24 Mei 2015

[ULASAN BUKU] Jalan-Jalan Bersilang: Islamisasi Nusantara dan Keruntuhan Majapahit

Judul Buku: "Genealogi Keruntuhan Majapahit (Islam, Toleransi, dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali)"

Penulis: Dr. Nengah Bawa Atmadja
Jumlah Halaman: xxxiii+530 halaman
Cetakan: Pertama, Desember 2010
Penerbit: Pustaka Pelajar
 

Peresensi: Kuncoro Probojati *)

MAJAPAHIT yang merupakan ikon puncak peradaban Hindu-Jawa. Sejarah mencatat bahwa setelah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, yang dikenal sebagai salah satu kerajaan yang mampu mempersatukan nusantara, kerajaan ini perlahan namun pasti mengalami kemunduran dan akhirnya musnah pada abad ke-15. Bersamaan dengan itu pulan, terjadi proses islamisasi di Jawa hingga munculnya kerajaan Islam, yaitu Demak yang menjadi kerajaan besar menggantikan Majapahit (hlm 1). 

Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertanyaan ini menjadi salah satu alasan lahirnya buku berjudul “Genealogi Keruntuhan Majapahit (Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali)”. Buku ini ditulis Nengah Bawa Atmadja, seorang Antropolog Bali di Universitas Udayana. Ditulis dengan menggunakan kerangka Genealogi Foucauldian, buku ini melacak sejarah Bali dari keruntuhan Majapahit, bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam, dan dipertahankannya agama Hindu di pulau tersebut.

Masuknya Islam
Pada abad ke-7 Indonesia, khususnya Jawa telah mengenal Islam. Proses islamisasi di Indonesia (Jawa) bermula melalui perdagangan yang melibatkan pedagang dan pendakwah dari berbagai negara seperti, Arab, India/Gujarat, Persia dan Cina, kemudian komunitas-komunitas Islam mulai berdiri di wilayah pesisir. Selanjutnya pada abad ke-8, di Sumatra muncul negeri Islam, yakni di Perlak (Double, 2007). Gejala ini menjadi bukti bahwa pada saat kerajaan Singasari berjaya, telah ada negeri Islam di Indonesia, hal ini terus berlanjut hingga tumbuhnya kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa yang penduduknya banyak memeluk agama Islam pada masa kerajaan Majapahit (hlm 2-3).

Islamisasi di tanah nusantara tidak lepas dari peran Wali Sanga, menurut Nengah Bawa Admadja sedikitnya ada enam modal yang dimiliki Wali Sanga hingga mampu berhasil menyebarkan agama Islam, yaitu; modal agama, modal intelektual, modal kultural, modal ekonomi, modal sosial, dan modal politik. Selain itu Wali Sanga pun melakukan dua tahapan utama untuk menyukseskan penyebaran Islam di Jawa, yaitu;tahapan pertama, mendirikan masjid, karena masjid menjadi tempat strategis untuk mengembangkan komunitas Islam.Tahapan kedua, mendirikan pesantren sebagai lembaga bagi pendidikan dan atau penyebarluasan agama (hlm 4).

Pesantren dinilai memiliki kaitan dengan kebudayaan Hindu-Buddha, yang pada zaman Majapahit disebut mandala, yaitu pertapaan yang dilengkapi dengan asrama yang berfungsi sebagai tempat tinggal siswa yang berguru kepada orang suci yang memiliki pertapaan. Pesantren menjadi institusi keislaman berbasis kebudayaan, yang merupakan hasil akulturasi terhadap kebudayaan Hindu-Buddha dan kebudayaan Islam. Oleh karena itu pesantren bukan dianggap sebagai budaya asing, tetapi telah mengakar dalam budaya Jawa, sehingga pendidikan agama lewat pesantren lebih mudah diterima masyarakat saat itu (hlm 4-7).

Keruntuhan Majapahit
Banyak faktor penyebab keruntuhan Majapahit, menurut Nengah Bawa Atmadja setidaknya ada dua faktor utama. Pertama, faktor politik. Setelah kekuasaan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, tidak ada lagi orang kuat, Majapahit gagal mengisi posisi raja secara definitif, hal ini menyebabkan terjadinya perang saudara yang mengakibatkan Majapahit semakin lemah dalam mengontrol wilayah kekuasaannya. 


Kedua, faktor ekonomi. Karena kekuasaan Majapahit yang semakin melemah, maka banyak adipati yang melepaskan diri, sehingga terbentuk penguasa lokal yang merdeka dan menolak membayar upeti, Majapahit kehilangan modal ekonominmya. Kemudian Demak sebagai salah satu daerah pelabuhan tidak hanya memerdekaan diri tetapi juga menyerang Majapahit, akibatnya Majapahit yang sekarat, karena salah kelola, akhirnya runtuh (hlm 9-12).

Kerajaan Majapahit tidak hanya runtuh, tetapi mengalami konversi agama, yaitu banyaknya orang atau kelompok yang berpindah agama dari yang semula beragama Hindu menjadi beragama Islam. Nengah Bawa Atmadja menggunakan teori sosiologi (Jalaluddin, 1996; Hendropuspito, 1983; O’dea, 1995), psikologi dan teori rasa takut (Moreno, 1985) untuk membahas permasalahan ini secara lebih mendalam (hlm 58).

Berdasarkan teori sosiologi, Nengah Bawa Atmadja menemukan beberapa faktor, yaitu; pemertahanan dan perubahan status sosial, kepiawaian juru dakwah Islam, lokalisasi agama Islam, wibawa kultural agama Islam, elit politik Majapahit yang melemah serta etika kepemimpinan Hindu yang terabaikan. Sementara itu, di sisi lain, Islam juga menjadi agama pembebasan yang tidak mengenal sistem kasta yang kemudian menjadi alternatif ketika sebagian manusia justru menodai agama Hindu-Buddha. Faktor lain adalah krisis hukum yang dialami Majapahit, agama Hindu-Buddha agama elite karena menggunakan sistem kasta, penyederhanaan ritual (kematian) dalam Islam, munculnya Islam sebagai agama perdamaian, Islam memiliki Ashabiyyah yang kuat, hilangnya norma dan timbulnya kekacauan nilai di dalam Majapahit (hlm 59-113). 


Sementara itu, berdasarkan teori rasa takut, ditemukan faktor-faktor sebagai berikut; masyarakat takut kehilangan relasi dagang dan takut diserang, takut terhadap bandit, takut terhadap kemiskinan, serta takut terhadap penyakit (hlm 117-128). Hal-hal semacam ini memberi jalan bagi Islam untuk tumbuh sebagai alternatif atas Majapahit.

Buku “Geneologi Keruntuhan Majapahit (Islamisasi, toleransi dan pemertahanan agama Hindu di Bali)” tidak hanya membahas islamisasi hingga keruntuhan Majapahit. Buku ini juga membahas proses islamisasi pada saat masa penjajahan dan masuknya agama Kristen ke tanah Nusantara, pertarungan antara bulan sabit (Islam) dan salib (Kristen). Selain itu buku ini juga membahas proses islamisasi yang dialami bangsa Indonesia dari masa awal kemerdekaan hingga kini, proses perdebatan tentang hubungan negara dan agama dalam menentukan dasar negara, hingga otonomi daerah yang menjadi pintu masuk terciptanya peraturan daerah (perda) syariah.

Pemertahanan agama Hindu di Indonesia khususnya di Bali menjadi isu yang tidak kalah penting dibahas oleh Nengah Bawa Atmadja sebagai penganutnya. Dalam buku ini kita akan menemukan faktor-faktor apa saja yang membuat agama Hindu dapat bertahan di Indonesia hingga hari ini, serta kita akan mengetahuibagaimana proses diakuinya kepercayaan Hindu sebagai sebuah agama di Indonesia.

Buku ini membantu umat Islam melihat Islam dari sudut pandang seorang penganut Hindu. Dari sini, seorang Muslim akan belajar untuk memandang Bali dalam perspektif dan subjektivitas seorang Hindu. Tentu saja, akan banyak ditemukan bantahan atau kritik setelah membaca buku ini. Salah satu yang perlu jadi catatan khusus adalah bagian yang berkaitan dengan pemaknaan atau penafsiran yang berbeda atas teks dalam buku ini. 

Namun, di titik inilah kita menemukan maksud dari buku ini. Seperti yang diakui oleh Nengah Bawa Atmadja, justru disanalah letak manfaat buku ini, bukan dimaksudkan untuk menghegemoni pembaca tetapi mendorong orang untuk mengkritik dan mengkritisinya guna menghasilkan teks yang lebih baik (hlm xxxii-xxxiii).

Nengah Bawa Atmadja mengakhiri tulisannya dengan mengutip pendapat Cicero, historia magistra vitae-sejarah adalah guru kehidupan (hlm 421). Belajar dari sejarah akan membantu kita berpikir lebih positif. Semoga Indonesia tidak terjebak pada hipermaterialisme yang menjadi sebab keruntuhan Majapahit. Mari belajar dari sejarah, menjadikannya sebagai salah satu dasar untuk bertindak di masa yang akan datang.

*) Kuncoro Probojati adalah Mahasiswa Fakultas Hukum UNS, Koordinator Forum Indonesia Muda (FIM)-Club bidang Liberal Arts dan Pegiat Diskusi Kultural Solo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar