19 Juli 2013

Intelektual (2)

Oleh Ahmad Rizky Mardhatillah Umar.S.IP
Pegiat KAMMI Kultural

Antonio Gramsci pernah bilang, "Semua orang adalah intelektual, tapi tidak semua anggota masyarakat punya fungsi intelektual". Kira-kira, kalimat yang ia tulis semasa berada di penjara Mussolini tersebut dapat digambarkan dalam cerita berikut.

Pada tahun 1971, Hasan al-Hudaiby baru saja keluar dari penjara Mesir. Bersama banyak tokoh Ikhwanul Muslimin yang lain, ia dibebaskan oleh Presiden Mesir yang baru, Anwar Sadat, dan diberikan kesempatan untuk aktif kembali berdakwah di masyarakat.

Namun Sadat punya satu permintaan: tidak boleh berpolitik. Kata Sadat, "yang ingin berpolitik silakan masuk partai, dan siapa yang ingin beragama silakan ke mesjid".

Hudaiby dan penerusnya, Umar Tilmisani, mencoba mengurus pendirian partai baru kepada Sadat, namun ditolak.

Tak lama berselang, Hasan al-Hudaiby meninggal dunia. Ia digantikan oleh Umar Tilmisani, seorang tokoh Ikhwan yang juga pernah hidup bersama Hasan al-Banna. Tilmisani langsung diserahi tugas oleh jama'ah: membangun kembali Ikhwan yang porak-poranda akibat tekanan politik zaman Nasser.

Karena tak boleh berpolitik, tentu saja Ikhwan tak bisa lagi seperti dulu. Tapi Tilmisani punya strategi lain.

Intelektual(1)

Oleh Ahmad Rizky Mardhatillah Umar.S.IP
Pegiat KAMMI Kultural


Ada satu hal yang menarik, jika kita mencermati beberapa tahun belakangan: soal Turki.

Sejak tahun 2003, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) memenangi Pemilu Turki dan membentuk pemerintahan. AKP, kita tahu persis, adalah partai dengan haluan 'Islamis'; mereka yang percaya dengan 'Islam' sebagai referensi gerakan mereka (meminjam Bobby Sayyid). Fenomena ini agak mengejutkan, mengingat beberapa tahun sebelumnya, eksponen-eksponen Islamis baru saja tersungkur oleh Kudeta. Terpilih sebagai Perdana Menteri, Recep Tayyip Erdogan, 'murid' dari Necmettin Erbakan, mantan Perdana Menteri yang juga dikudeta oleh kekuatan Kemalis Turki.

Erdogan segera saja mendapatkan perlawanan sengit. Sejak Ataturk menumbangkan kekhalifahan di tahun 1924, struktur kekuasaan selama bertahun-tahun didapuk oleh para 'Kemalis' -mereka yang loyal kepada Mustafa Kemal Ataturk. Para Kemalis ini utamanya adalah para militer yang menjadi 'penjaga gawang' rezim politik yang ada. Mungkin mirip dengan para Nasseris di Mesir yang baru saja melakukan kudeta terhadap Mohammad Morsy.

9 Juli 2013

Panduan Kerja Nasional : Manifestasi Visi Gerakan KAMMI


Adhe Nuansa Wibisono, S.IP[1] 
Kajian Terorisme dan Keamanan Internasional FISIP UI
Anggota Biasa KAMMI

Penilaian dengan Hati

Apa yang membuat arahan kerja-kerja organisasi dapat menjadi terukur dan terarah? Pikiran kita kemudian beralih kepada visi, sebuah organisasi dibentuk atau didirikan dengan sebuah visi besar yang menyertainya. Jika kita berbicara sebuah visi gerakan lalu bagaimana caranya kita dapat mewujudkan visi gerakan itu menjadi sesuatu yang dapat diterapkan, kemudian dapat diukur secara rigid dan mendetail? Pada mulanya penulis melihat adanya suatu kegamangan yang terlihat pada organisasi KAMMI, tepatnya pada level struktur kepengurusan Pusat. Ketika itu pada bulan maret 2011, di kota Banda Aceh, penulis dan kawan-kawan dari KAMMI Daerah Sleman dan KAMMI Wilayah Yogyakarta menghadiri Muktamar VII KAMMI.

Saat itu proses muktamar mulai memasuki masa-masa penilaian Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus Pusat (LPJ PP) KAMMI. Keanehan mulai dirasakan ketika para muktamirin harus memberikan penilaian kepada kinerja kepengurusan Pusat kala itu, satu pertanyaan kemudian mengemuka, “bagaimana mekanisme melakukan penilaian LPJ PP KAMMI?”. Terjadi keriuhan diantara muktamirin menanggapi pertanyaan tersebut, muncul banyak opsi untuk melakukan penilain terhadap LPJ tersebut. Sampai-sampai ada guyonan, “sebaiknya kita melakukan penilaian dengan hati saja, jadi antum menolak atau menerima LPJ tersebut berdasarkan penilaian subyektif delegasi daerah”.

Sebenarnya penyebabnya sederhana saja, penulis melihat mengapa para muktamirin  mengalami kebingungan dalam melakukan penilaian LPJ, dikarenakan tidak adanya suatu mekanisme penilaian yang baku yang ditetapkan dalam sebuah indikator-indikator keberhasilan yang parameter penilaiannya bersifat kuantitatif, dengan angka-angka yang bisa diukur. Problem ini pun disadari juga oleh delegasi daerah dan wilayah KAMMI Yogyakarta yang kemudian memberikan usulan bahwa LPJ ini harus dinilai dengan sebuah indikator kuantitatif yang terukur dan kemudian diberikan persentase keberhasilan. Akhirnya usulan itupun diterima oleh para muktamirin dan menjadi alat ukur yang digunakan dalam proses penilaian LPJ tersebut.

Pada saat itu Pengurus Pusat KAMMI Periode 2009-2011 telah melakukan suatu perumusan Panduan Kerja Nasional (PKN) yang telah mencakup beberapa bidang bahasan seperti : Organisasi, Kaderisasi, Jaringan Gerakan, Sosial Politik dan Administrasi Keuangan. Pembahasan yang cukup detail juga terdapat dalam poin, “Terbinanya kader baru sejumlah 10.000 AB 1, 5000 AB 2, 2000 AB 3”, “terciptanya 10 KAMMI Wilayah, 50 KAMMI Daerah, 275 Komisariat”[2], “Terbentuknya Tim Pengkader di semua level”, dan “Terbitnya buku manhaj kaderisasi”.[3] Walaupun masih banyak ditemui beberapa poin yang sifatnya cukup normatif dan agak kesulitan jika kita akan melakukan suatu pengukuran yang sifatnya kuantitatif, seperti terdapat dalam poin, “Terlibat aktif dalam interaksi antar gerakan mahasiswa”, “Membangun tradisi intelektual dengan menumbuhkan tradisi membaca, menulis, dan diskusi di kalangan kader”, dan “Memulai impelementasi distribusi fungsi struktural dengan rapi”.[4]