22 Desember 2014

Problem Mendasar Ideologisasi KAMMI

oleh: Biiznilah, 
Anggota Biasa KAMMI | Mahasiswa Pasca-Sarjana ICAS Jakarta  


Kader adalah rahasia kehidupan dan kebangkitan –Asyahid Hasan Al Banna-
Masalah Kita
Jika kita melihat KAMMI secara utuh, maka kita akan dihadapkan pada cerminan sebuah arus sejarah yang campur aduk, saling berkait, dan berkelindan. KAMMI berdiri di atas proses panjang yang melibatkan beberapa anasir di dalamnya: gerakan Tarbiyah, FSLDK, gerakan reformasi yang  melibatkan berbagai elemen mahasiswa, dan lain sebagainya. Maka dari itu, sepatutnya  tidak ada satupun individu ataupun lingkaran kelompok berhak  mendominasi arah dan warna gerakan KAMMI. Namun, yang terjadi sejak kemunculannya justru sebaliknya. Harus diakui, KAMMI telah didominasi oleh sebuah pola pandang yang cenderung kaku dan klasik. Bahkan sebagian kader KAMMI menganggap ekslusifitas KAMMI adalah bagian dari keistimewaan organisasi ini.
Kecendrungan ikhwanisasi dan salafisasi dalam tubuh KAMMI tak terhindarkan. Padahal, dalam filosofi gerakan KAMMI, kita tidak akan menemukan kecendrungan mazhab atau fiqroh tertentu. Kita hanya menemukan pernyataan-pernyataan universal yang menegaskan alasan KAMMI lahir.  Kecenderungan ini mengarah pada kebudayaan yang muncul dalam interaksi antar kader. Kesalehan skriptual dan ritus-ritus terlanjur menjadi indikator mutlak bagi status ke-KAMMI-an seorang kader.
Tentu, saya tidak menolak unsur-unsur kesalehan ini sebagai salah satu inti dari kultur KAMMI. Saya hanya tidak sepakat dengan labelling jati diri kader yang cenderung skriptual dan ritus oriented, hingga berimbas pada jati diri KAMMI secara keseluruhan. Jika demikian, KAMMI hanya menjadi gerakan mahasiswa yang mengusung agenda-agenda keagamaan. Ttak heran akhir-akhir ini kita banyak menemukan adanya atensi komisariat-komisariat KAMMI di indonesia yang mengadakan tasqif tentang kesesatan aliran ini, kesesatan mazhab anu, dan keburukun kelompok ini dan kejelekan kelompok itu.
KAMMI berubah menjadi sebuah lembaga sertifikasi bagi keyakinan dan iman kelompok tertentu. KAMMI melupakan prinsip utamanya untuk menjadi elemen perekat bangsa yang meniscayakan objektivikasi terhadap cara pandang dalam melihat seluruh elemen bangsa sebagai potensi, bukan sebagai musuh.
Selama ini, kitab yang ditulis Sayyid Qutb yakni Ma’alim fi Thoriq menjadi bacaan wajib di kalangan kader sebagaimana Risalah Pergerakan Hasan Al Banna. Kita sepakat bahwa kedua referensi di atas memiliki nilai yang luar biasa bagi kemajuan intelektual dan semangat aktivisme kader. Akan tetapi, barangkali kita abai pada fakta bahwa kedua jenis rujukan tersebut dan buku-buku rujukan sejenis hanyalah pustaka intelektual sebagaimana buku-buku yang dikarang oleh para intelektual lainnya, seperti: Rekayasa Sosial karangan Jalaluddin Rakhmat, kitab-kitab rujukan fiqh karangan Ramadhan Al Buthi, bahkan buku-buku filsafat karya Martin Heidiger, Huserl, Tomas Khun, dan sebagainya. 
Selama ini, kader sudah terlanjur melihat berdasarkan informasi-informasi para seniornya bahwa kitab Ma’alim Fi Thoriq karangan Sayyid Qutb adalah gambaran utuh dari apa yang sedang diperjuangkan oleh KAMMI. In short, lahirlah sebuah paradigma liar yang menyatakan bahwa KAMMI adalah salah satu sayap dakwah Ikhwan di indonesia. Paradigma ini berujung pada penduplikasian secara utuh pola dan metode dakwah Ikhwan. Maka tak heran, materi Dauroh Marhalah, Tasqif, Madrasah KAMMI, dan perangkat kaderisasi lainnya tak jauh berbeda dengan kurikulum Ikhwan. Lebih jauh lagi, kita akan menemukan adanya kecendrungan beberapa kader yang mengafiliasikan fiqrohnya pada beberapa anasir gerakan Islam Radikal yang mengundang aib bagi gerakan profetik ini. Akhirnya, KAMMI hanya menjadi gerakan yang identik dengan kelompok tertentu, esklusif, cendrung mirip gerakan purifikasi Islam, anti budaya, dan anti-sosial.

Lantas Bagaimana?
Sebagai pembaca setia Jurnal KAMMI Kultural yang mengikuti perkembangan artikel dari waktu ke waktu, saya berkeseimpulan bahwa Forum Diskusi KAMMI Kultural berkomitmen membuka semua peluang bagi terserapnya potensi intelektual kader. Namun, perlu diingat bahwa kemampuan bagi setiap orang untuk menelaah dan memahami subjek ilmu pengetahuan dan memahami realitas sangat berbeda sesuai tingkatan intelektual mereka.  
Banyak orang yang terlibat dalam aktifitas intelektual hanya melalui diskursus. Akibatnya, pemahamannya dalam memandang realitas pun cenderung parsial. Kader KAMMI kadang terjebak dalam suasana intelektual yang seringkali hanya menggunakan fragmen-fragmen pikiran yang dipahami sekenanya. Tak jarang, ketika berdiskusi dengan kader KAMMI, kita tidak pernah akan sampai pada kesimpulan. Tiba-tiba saja seorang kader membawa diskursus fiqih untuk menganalisis perubahan sosial (yang tentu saja sering tidak nyambung), atau membawa jargon-jargon ketika kita sedang membahas sesuatu yang harus diselesaikan dengan telaah dan analisa.
Untuk itu, KAMMI harus melakukan refleksi bukan hanya terhadap sistem pengkaderan yang masih menggunakan skema patron-klien (Qiyadah wal Jundiyah), melainkan juga merumuskan materi atau konten ideologisasi yang bercorak rasional. Artinya KAMMI harus berani memasukan materi seperti logika (mantiq), epistemologi, ontologi, kosmologi, serta kajian filsafat dalam silabus pengkaderannya. Materi-materi seperti ini dibutuhkan oleh setiap orang untuk memahami kaidah berpikir dan hubungannya dengan memahami realitas. Saya menilai, miskonsepsi dan over-analisis yang terjadi dalam gerakan mahasiswa, (khususnya KAMMI) adalah karena mengasingkan dasar-dasar pengetahuan ini dalam setiap kegiatan pengkaderan atau kajian-kajian yang bersifat ilmiah.
Sebenarnya, Forum Diskusi KAMMI Kultural memiliki peluang menjembatani kebekuan intelektual kader dengan tidak melepaskannya dari keterlibatan secara intens dengan media-media organisasi yang telah ada. Menghidupkan kembali tasqif, Madrasah KAMMI, atau suplemen kaderisasi lain yang dapat memperkaya khazanah intelektual kader dengan skema materi yang terstruktur dan bersifat tematik adalah langkah bijak bagi KAMMI di masa yang akan datang.

Penutup
Usaha untuk membangun kesadaran intelektual dalam jati diri KAMMI membutuhkan upaya sistematik yang meminimalisir segala resiko. Upaya perbaikan yang dilakukan Forum Diskusi KAMMI Kultural meniscayakan adanya sebuah desain sistematis. Kita bukan hanya harus menganalisis masalah tapi juga membatasinya. Apa yang menjadi bagian penting untuk diperbaiki saat ini? Apa yang menjadi orientasi kita? Bagaimana upaya-upaya ini membuahkan hasil dimasa depan?
Aristoteles, filosof linuhung yang faedah kehidupannya kita rasakan hingga sekarang, pernah berkata :  قوة التفكير هي جوهر الحياة  yang artinya : daya berfikir adalah esensi dari kehidupan.  Ideologi haruslah dibangun dari sesuatu yang paling esensial bagi manusia. Sesuatu yang paling asli. Sesuatu yang membuat manusia disebut manusia, yakni akal dan kecenderungan akal. Jika kita dapat mengoptimalkan akal sebagai neraca intelektual dalam membangun pemahaman terhadap ideologi, maka kita akan menjadi manusia otentik. Kita akan mampu menjadi ustadziyatul ‘alam atau soko guru dunia.

Akhirul kalam, astaghfirullah hal ‘adzim

3 komentar:

  1. akal diselaraskan rasa. intelektual diasah untuk menerjemahkan bahasa rasa. sejauh mana kita mengasah rasa dan memacu intelektual sebagai penerjemahnya.
    arruh,annafs,al aql, al jasad.

    BalasHapus