28 Desember 2014

Rachid Ghannouchi: Tidak ada Kontradiksi antara Islam dan Demokrasi!

Tulisan ini diterjemahkan oleh Ahmad Rizky M. Umar, Editor Jurnal KAMMI Kultural, dari sebuah op-ed yang ditulis oleh Rachid Ghannouchi di The Washington Post. Judul Aslinya adalah "Tunisia Shows There Is No Contradiction between Democracy and Islam".
 
oleh: Rachid Ghannouchi
Pendiri dan Ketua Umum Partai An-Nahdha, Tunisia

Sejak Tunisia bersiap untuk menggelar Pemilu kedua yang bebas dan adil bulan Oktober silam, yang menandai sebuah transisi dari despotisme ke demokrasi, ada semacam tawaran baru yang berbeda dari sikap ekstrem para teroris dan intervensi militer yang terlihat di kawasan Tiomur Tengah. Tunisia saat ini tengah menjadi sebuah "bukti" bahwa mimpi demokrasi kini sedang dituai setelah menghadapi Arab Spring empat tahun silam. 

Kendati ada yang percaya sebaliknya, tidak ada sama sekali "pengecualian" dalam proses demokrasi di Timur Tengah atau kontradiksi yang inheren antara Islam dan Demokrasi. Sebaliknya, Timur Tengah bisa mendapatkan stabilitas dan perdamaian melalui proses rekonsiliasi dan konsensus. Akan tetapi, jalannya tentu masih panjang dan memerlukan kerja-kerja menantang. Masih ada proses pembangunan institusi, mengobati "luka lama" dan memperoleh kompromi dari nilai-nilai yang selama ini disepakati. Jalan yang sedang ditempuh oleh Tunisia bisa memandu negara-negara lain di kawasan.

Dominasi dari mereka yang ada di pucuk-pucuk kekuasaan telah terbukti sebagai akar dari kegagalan yang ada di kawasan Timur Tengah. Inilah sebabnya, Partai An-Nahdha tidak ingin memonopoli kekuasaa di Tunisia. Di Pemilu 2011, Partai An-Nahdha yang saya pimpin memperoleh suara terbesar dengan jarak yang cukup signifikan dari partai-partai lain. Kami, kendati demikian, justru menyuarakan adanya pemerintahan persatuan nasional, yang berisi koalisi dengan dua partai sekuler. Partai kami kemudian, dengan tulus, mengawal transisi menuju pemerintahan yang berbasis konsensus dan teknokratis, dengan tujuan untuk memastikan transisi menuju demokrasi terlaksana dengan sukses.

Pengorbanan kepentingan partai, di jalan ini, menjadi sebuah harga kecil yang harus kami bayar untuk kepentingan persatuan nasional. 51% suara mungkin cukup untuk memberikan legitimasi bagi pemerintahan baru di negara-negara demokratis seperti Amerika Serikat. Namun, di tempat seperti Tunisia yang baru saja membangun fondasi demokrasi dan tata aturan di dalamnya melalui sebuah proses pembangunan konsensus, tindakan semacam ini (mengklaim pemerintahan sendirian) justru akan membahayakan masyarakat karena berpotensi memicu polarisasi yang hebat. 

Poin pentingnya adalah: Tunisia telah berkomitmen untuk membangun sebuah model kemitraan politik antara kaum sekuler moderat dan kaum Islamis moderat. Atas dasar semangat ini, kami telah mengesahkan sebuah Konstitusi baru di bulan Januari, yang diterima oleh 94% anggota Majelis Nasional. Konstitusi tersebut, yang disebut-sebut sebagai salah satu Konstitusi paling progresif di dunia Arab, telah menjaga kesamaan derajat dan menjamin hak yang sama di antara seluruh warga Tunisia, pria dan wanita. 

Tidak seperti di Libya, Mesir, atau Iraq, sistem politik baru di Tunisia telah berubah dari sikap eksklusif. Sebaliknya, kami menaruh kepercayaan pada kotak suara. Kita juga telah  berusaha keras menghindari perlakuan yang salah terhadap mereka yang ditindas, dipenjarakan tanpa sebab yang sah, atau mengalami penyiksaan di rezim lama dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Kehormatan -sebuah Komisi yang menyediakan proses hukum untuk menyelesaikan trauma masa lalu, dengan bersandar pada HAM dan tata aturan hukum yang sah. 

Institusi-institusi resmi negara di Tunisia juga memainkan peran yang signifikan. Militer telah berkomitmen untuk menjaga proses transisi demokrasi, sementara elemen Masyarakat Sipil, Serikat Buruh, dan Kamar Dagang juga telah berkontribusi pada berjalannya dialog dengan semua pihak. Tunisia beruntung memiliki para wanita tangguh yang telah berpartisipasi, tanpa kenal lelas, untuk menjaga proses demokrasi ini. 41 anggota dari 89 anggota parlemen An-Nahdha adalah wanita. Mereka memiliki tingkat partisipasi tertinggi di parlemen, mengepalai Komisi Pembuatan Konstitusi di parlemen, dan memimpin proses-proses konsuiltasi dengan eleme masyarakat sipil. 

Sementara kami bangga dengan kemajuan ini, kami juga paham bahwa Tunisia sedang menghadapi tantangan-tantangan yang tak kalah beratnya. Kaum ekstremis melihat nilai-nilai demokrasi, moderasi, konsensus, serta kesamaan gender yang kami yakini sebagai penghambat terhadap visi politik mereka. Reformasi struktural dibutuhkan untuk mentransformasikan ekonomi dari  sistem feodal (yang berbasis pada kekayaan orang-seorang) menjadi berbasis pada aturan hukum, kebebasan ekonomi, dan inovasi. Kita perlu dukungan untuk menjalankan proses ini. Kami mengapresiasi tone positif Presiden Obama tentang Tunisia dalam pidatonya di PBB bulan September silam. Namun, kita juga perlu dukungan terhadap demokrasi juga dalam tindakan-tindakan politiknya. Barat tidak boleh kembali ke era ketika mereka hanya menerima ilusi trade-off tentang stabilitas dan demokrasi. Stabilitas jangka-panjang tidak akan bisa eksis jika rakyat kehilangan haknya, institusi (politik) kita dimonopoli dan pemuda kita ditindas. Pilihan antara "stabilitas" atau "demokrasi" justru keliru.  

Hasil dari Pemilu yang adil dan bebas harus dihormati. Beberapa kalangan mungkin khawatir dengan kemenangan partai Islam yang demokratis seperti An-Nahdha. Mungkin mereka keliru mengelompokkan partai tersebut dengan kaum ekstremis radikal. Namun, mengelompokkan semua Islamis ke dalam kotak yang sama, atau justru menghubungkan Islam dengan kekerasan, hanya akan membuat senang teroris yang berpendapat demokrasi itu tidak Islami. Di masa lalu, pertentangan semacam "Islamis vs Sekuler" justru dipropagandakan oleh rezim otoriter yang ingin mengalihkan isu publik dari penindasan mereka terhadap pluralisme dan semua bentuk oposisi politik.



Tunisia berharap untuk membuktikan bahwa "Islam dan Demokrasi" bisa bergandengan tangan di Timur Tengah. Bahwa kami juga menginginkan kebebasan. Dan kami juga ingin mengembangkan sebuah sistem yang inklusif dan progresif. Bahwa masyarakat kami bisa meletakkan kepentingan bangsa di atas kepentingan politik individual. Tapi kami perlu Barat untuk berinvestasi dalam demokrasi di kawasan kami -bukan hanya untuk kepentingan kami tetapi juga untuk mereka yang menginginkan dunia yang lebih baik.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Komentar Editor: Tulisan ini sebetulnya memiliki kemiripan dengan dua tulisan yang ditulis oleh tokoh Ikhwanul Muslimin, Abdul Mun'im Abul Futuh dan Essam al-Erian di The Washington Post (dan The New York Times) pada bulan Februari 2011, beberapa saat sebelum Hosni Mubarak jatuh di Mesir. Agak menarik karena baik tonasi maupun substansi yang ditawarkan sama: bahwa Islamisme bukan merupakan ancaman bagi demokrasi dan Barat harus mengubah persepsinya. Apakah hal tersebut benar atau hanya "cover", mari kita saksikan. Pengalaman Mesir membuktikan sesuatu yang aneh: Proses "moderasi" yang dilakukan Ikhwan justru berakhir di tangan kaum  konservatif yang menginginkan "negara Islam" dan berakhir pada konflik yang tidak perlu dan kembalinya militer. Abdul Mun'im Abul Futuh, tokoh Ikhwan yang menulis artikel di tahun 2011, justru dipecat dari Ikhwan.

Perkembangan Tunisia memang patut diapresiasi. Akan tetapi, ada satu hal yang perlu dicermati: "transformasi" dari gerakan Ikhwan tidak bisah hanya dilakukan di level politik. Ghannouchi sejauh ini bisa membawa An-Nahdha ke sebuah proses yang sangat progresif -setidaknya kalau dibandingkan dengan Ikhwan. Namun, pembaharuan Islam akan lebih progresif jika diikuti oleh pembaharuan intelektual terus-menerus (sebagaimana diingatkan oleh Tariq Ramadan). Proses-proses progresif senantiasa kita nantikan ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar