19 Oktober 2014

Melupakan Fahri Hamzah dari Pikiran KAMMI


Oleh: Ahmad Rizky MU
Peneliti dan Aktivis

Ketika pimpinan Ketua DPR baru saja terpilih beberapa pekan lalu, banyak kader-kader KAMMI yang tersenyum sumringah. Rupanya, ada semacam perasaan bangga di dada mereka setelah mengetahui kalau Fahri Hamzah, sang mantan Ketua Umum yang dulu disebut-sebut "pendiri" KAMMI, menjadi Wakil Ketua DPR. 

Ya, akhirnya setelah sekian lama, ada juga alumni KAMMI yang tampil di pentas senayan. Jadi Wakil Ketua DPR, lagi. Namanya: Fahri Hamzah. 

Mungkin wajar saja jika banyak kader yang bangga. Baik kader-kader di Pengurus Pusat ataupun di KAMMI Nasional. Maklum, bagi organisasi yang masih muda seperti KAMMI, mendudukkan alumninya sebagai anggota parlemen itu seperti bunga bangsa yang baru saja pulang dari medan perang; seperti pahlawan. 

Hal itu sah-sah saja. Tapi mohon maaf kalau saya punya pikiran yang agak sedikit berbeda: tidak ada yang perlu dibanggakan dari seorang Fahri Hamzah dalam pencapaiannya itu. Fahri Hamzah memang, harus kita akui bersama-sama, punya nama besar sebagai pendiri. Namun, mohon maaf, tanpa sedikit pun mengurangi rasa hormat saya pada bung Fahri, saat ini KAMMI harus meninggalkan pakem politik KAMMI; jangan jadikan Fahri seperti "Megawati" di PDI-Perjuangan: membuat KAMMI gagal move on dari pakem politik yang sudah seharusnya di-upgrade. 


Apa alasannya? Mari kita baca ulang sejarah KAMMI.

Nama Fahri Hamzah muncul dalam pentas politik nasional, pertama kali, ketika ia dikukuhkan sebagai Ketua Umum KAMMI. Beliau memimpin KAMMI bersama Haryo Setyoko yang saat itu masih menjabat Ketua BEM UGM. Pendirian KAMMI menandai satu fase gerakan Tarbiyah di Indonesia: masuknya mereka ke pentas politik praktis. 

Setelah itu, kita mengenal nama Fahri yang berkibar-kibar: memimpin puluhan aksi, dan klimaksnya membawa massa aksi KAMMI ke Gedung DPR-MPR. Namanya selalu bersanding dengan Amien Rais yang waktu itu juga dikenal paling vokal mengkritik Orde Baru (berbeda dengan sekarang). Lalu Allah men-takdirkan Suharto jatuh; artinya, KAMMI menjadi salah satu bagian dari gerakan yang disebut-sebut "memelopori" reformasi.

Apakah KAMMI setelah itu bubar? Ternyata tidak. Muncul desakan untuk melaksanakan Muktamar. Jadilah hasil Muktamar 1998: KAMMI jadi Ormas. Tapi ternyata keberhasilan menjungkalkan aksi tidak membuat Fahri lantas terpilih lagi jadi Ketua Umum. Ia ternyata hanya memimpin lima bulan: Fitra Arsil, adik kelasnya di FH-UI, yang terpilih. Tak lama kemudian, rupanya eksponen-eksponen Gerakan Tarbiyah "keluar" dari pertapaannya selama ini. Didirikanlah PKS, dimana Fahri menjadi salah satu bagian di dalamnya.

Fahri Hamzah memang sudah tidak di KAMMI lagi, tapi ada satu warisan yang ia tinggalkan: patronase KAMMI terhadap PKS. Bergabungnya Fahri, dan aktivis-aktivis generasinya, dengan PKS, menandai satu episode baru terhadap KAMMI: politik patronase yang terbangun secara tidak sadar antara KAMMI dengan partai berlambang padi hitam ini. 

Selama bertahun-tahun, figur generasi Fahri Hamzah menjadi semaca "penanda utama" bagi aktivis-aktivis KAMMI. Dari Pra-Daurah Marhalah hingga Daurah Marhalah 2 (setidaknya ini yang pernah saya tempuh), kader-kader dicekoki semacam doktrin: KAMMI adalah agen reformasi, agen perubahan, iron stock, pembawa perubahan, dan lain sebagainya. Ketika menyebut soal reformasi, ada semacam kebanggaan. Lebih bangga lagi ketika disebut nama Fahri Hamzah, Andi Rahmat, Akbar Zulfakar, dan lain-lain yang berubah status karena memperjuangkan reformasi. 

Pendeknya, sejak awal, kader-kader KAMMI sudah ditanamkan satu hal: kalau ingin menjadi kader "yang baik", jadilah seperti Abang Fahri atau Abang Andi! Kader-kader KAMMI seakan diromantisasi untuk mengulang apa yang telah lalu. Profil yang ditanamkan adalah bahwa kader KAMMI adalah pemimpin gereakan (di masa lalu) dan akan menjadi politisi hebat (di masa depan). Akhirnya, melalui proses semacam itu pula, "cermin" bahwa KAMMI adalah PKS terbentuk. Kader KAMMI sudah didoktrin untuk jadi PKS sejak bayi. 

Kondisi ini dalam beberapa hal sebetulnya punya ekses bagi KAMMI. Karena sejak awal diromantisasi ke masa lalu, apa yang ingin dilakukan oleh kader-kader KAMMI hanyalah kembali ke masa lalu. Banyak yang lupa hari ini adalah tahun 2014, sudah berlalu hampir 17 tahun dari 1998. Dengan kembali ke masa lalu, KAMMI mengalami kemiskinan imajinasi: yang dimunculkan di dalam pikiran hanyalah nostalgia-nostalgia heroik untuk bisa menumbangkan rezim dan sok-sokan menjadi oposisi.

Sehingga, gerakan-gerakan KAMMI seperti dikuras: dituntut untuk aksi dengan massa yang banyak, tuntutan politik yang "wah", tapi tidak jelas ke mana tujuannya. Hal-hal semacam ini menjadi lahan subur bagi broker-broker partai. Ke mana KAMMI harus mencari dana untuk membiayai gerakannya yang mahal itu? KAMMI tentu beda dengan NGO yang punya strategi fundraising canggih dan network yang kuat. Di sisi lain, KAMMI juga tidak dikelola secara profesional -tidak punya sumber pemasukan tetap dan mekanisme pengelolaan keuangan yang baku. Maka, jadilah aktivis KAMMI, di berbagai daerah di Indonesia, mencari channel pada abang-abangnya di partai politik. Jelas, mereka bukan orang yang dermawan untuk gerakan; ada kepentingan yang tersirat (maupun tersurat) dari sumbangan-sumbangan yang mereka berikan itu. 

Padahal, jika kita telaah lebih dalam, sebetulnya gerakan 1998 yang dibangun oleh abang-abang dulu juga mengalami kegagalan. Bagaimana mungkin, reformasi 1998 yang mengklaim diri menjatuhkan Orde Baru itu justru kemudian disetir oleh eksponen mantan Orba, atau orang buangan Orba yang sebetulnya nalarnya juga tak jauh berbeda dengan Orba dalam hal kekuasaan, semacam Akbar Tanjung, Megawati, Amien Rais, Prabowo, Hilmi Aminuddin, atau SBY? Bagaimana mungkin, reformasi pasca-Orba justru menjadi ajang proponen neoliberalisme untuk berpesta? Di balik "kegemilangan" abang-abang kita dulu, kita harus jujur mengakui bahwa gerakan 1998 sebetulnya juga punya kegagalan-kegagalan tertentu, ketika para pembawanya beramai-ramai masuk ke dalam parlemen. 

Karena itulah, maka romantisasi gerakan justru menjadi benalu sejarah bagi KAMMI. Epistemologi 1998, yang melihat demonstrasi turun ke jalan adalah sesuatu yang "romantis" (bukan strategi atau taktik perjuangan), sudah seharusnya dievalusi dan ditinjau kembali. KAMMI harus membangun epistemologi politiknya sendiri yang berbeda dengan Fahri atau senior-senior lain yang PKS. 

Dengan kata lain, KAMMI harus "membuang" Fahri Hamzah (sebagai cara berpikir) dari nalar gerakannya saat ini, dan membangun nalar gerakan baru. Saatnya KAMMI melupakan Fahri Hamzah dan nalar gerakan 1998, dan mulai berpikir. Ya, berpikir! Mungkin ada baiknya model-model gerakan gaya broker dan koboy politik Jakarta ditimbang ulang, lalu mulai menggunakan otak yang dikaruniakan oleh Allah untuk berpikir tentang tantangan ke depan.

'Ala Kulli haal, saya ingin mengutip pendapatnya Mas Mu'tamar Ma'ruf dalam laporan pertanggung jawabannya di KAMMI DIY tahun 2002: "Jika kamu bekerja untuk KAMMI, maka KAMMI akan hidup hari ini, tapi jika kamu berpikir untuk KAMMI, maka KAMMI akan hidup di masa depan". Jangan sampai karena kita gagal move on dari cara berpikir masa lalu, KAMMI harus gagal hidup di masa depan dan terperangkap di tubuh masa lalunya. Maka, hanya ada satu kata: Lupakan Fahri Hamzah dan generasinya!

Nashrun minallah wa fathun Qariib...

19 komentar:

  1. benar, koruptor begitu ndak perlu lagi disebut-sebut. Buang dan Ludahi saja dia. wallahualam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Koruptor kok nggak di tangkap... 😁

      Hapus
  2. tidak begitu juga mas. :melupakan" di sini adalah metafor: logika gerakan 98 itu yang perlu dilampaui. trims

    BalasHapus
  3. Apakah KAMMI Kultural menjadi wadah liberalisme bagi kader2 yang merasa karyanya tidak ada nilainya dalam struktural???

    Bukan perkara KAMMI atau PKS nya, itu hanya turunan dari gerakan kita di dunia ini.

    Kita bersatu dalam barisan, bukan seolah membuat tubuh KAMMI ada perpecahan, jika memang KAMMI Kultural mempertahankan prinsipnya untuk melupakan cara berpikir dari bang Fahri Hamzah. Secara pribadi saya hanya menilai bahwa ada penyusup 'pemahaman' dalam cara berpikir kader KAMMI Kultural.
    Bukan lagi saatnya sekarang ini kita memberikan doktrin untuk melupakan masa lalu, biarkan masa lalu itu menjadi kenangan dan sejarah yang harus diketahui oleh setiap kader.

    "Bergerak tanpa nama, Berjuang tanpa kasta" slogan ini seolah menyakiti pribadi saya sebagai kader KAMMI.
    1. Bergerak tanpa nama, seolah-olah KAMMI memperjuangkan kepentingan rakyat atas nama golongan, ada unsur kepentingan politik di dalamnya. terlalu dangkal cara berpikir seperti itu, bahwa ada kepentingan yang lebih besar daripada itu semua, yaitu Islam.

    2. Berjuang tanpa kasta, seolah-olah KAMMI berjuang sesuai dengan struktural dan tingkatan2 atau jenjang tertentu yang dianggap sebagai pembatas semangat perjuangan.

    wallahu alam

    BalasHapus
  4. KAMMI merupakan salah satu wadah dari wadah-wadah islam, KAMMI merupakan sarana untuk berbuat untuk islam,,,
    Tapi perlu diingat kawannn, kebangkitan islam tidak membutuhkan KAMMI kan tetapi sebaiknya KAMMI yang membutuhkan kebangkitan islam, berfikirlah untuk islam dan kaum musimin bukan berfikir diruang lingkup organisasi saja,,,,,, kita yang membutuhkan islam bukan islam yang membutuhkan kita....Allahhu musta'an

    BalasHapus
  5. Miris baca tulisan ini, pola pikir spt ini perlu di ikutkan dauroh lagi...
    Kembali ke pra DM1.
    Sejak kpn kader kammi diajarkan taklid sm senior?
    Kader kammi diajarkan bertindak dg pemahaman (Alfahmu), ini doktrin dasar unk kader kammi, oleh karenanya kita juga g mau luluskan org dr DM1 sblm ia paham Kammi.

    Bila ada tokoh kammi yg memilih jalan A stelah slesai beramanah di kammi jgn lantas taklid, juga jgn lngsnh antipati.
    Pahami Jalan A tersebut, jika jalan A tsb adalah jalan yg diridhoi Allah, why not???
    Sejak kpn paranoid itu muncul dlm diri kader kammi saat akan memimilih jalan kebenaran?

    Sy justru mmpertnyakn kontribusi yg nulis ni unk kammi apa?
    Ato jgn2 anda iri dg pak fahri yg jauh lbh dikenal di intern kammi maupun di khalayak umum?
    Klo benar bgitu, kembali sj ke pra DM1, bljar lg bab niat. :)

    BalasHapus
  6. mungkin dengan tulisan ini si penulis ingin memberikan stimulus bagi adek adeknya untuk melakukan tajdid menuju arah yang lebih baik dan tentunya sebagai aktifis dakwah sikap dan cara pikir progresif merupakan kewajiban sebagai koment yang subjektif tidak ada patut di perjuangkan kecuali belajar dan belajar kerana belajar tidak mengenal waktu.
    untuk penulis saya sangat menantikan "membangun nalar gerakan baru" bagaimana dan konsep apa yang antum sarankan ?di tunggu tulisan berikutnya

    BalasHapus
  7. fitrahnya, manusia tidak bisa dikekang dan mengekang, juga tidak bisa terlalu bebas. lihat saja unsur pembentuknya, Jasad,Ruh(Annafs,Arruh),Akal (Zhahir dan Bathin). dia bhineka tunggal ika, jika saja kita lepas atau kita hilangkan atau berat sebelah salah satunya, bukankah ia akan menuntut keseimbangannya? ruh menginginkan persatuan, Annafs dan akal menginginkan kebebasan, jasad menyalurkannya.
    siapa yang bisa menjaga keseimbangannya?
    coba kita maknai 'alastu birobbikum, Qoolu Balaa Syahidna. temukan wahyu dan tugasmu didunia dariNya. jadilah AVATAR!

    BalasHapus
  8. saran ogud, jangan hanya baca buku Hasan Al-banna aja, tapi sharing hearing langsung dengan beliau, apa maksud dan rasa tertinggi yang telah beliau tuangkan ke dalam bukunya. mau tau caranya?? pahami dulu diri sendiri. heuheuhe salam #KAMMIYANGMANAAJA

    BalasHapus
  9. Adanya hari ini krn adanya masa lalu...KAMMI bukanlah PKS krn KAMMI telah dahulu lahir dr PKS..kasus fahri hamzah menjadi alat pembenaran bahwa Alumni KAMMI tidak mesti k PKS...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betulkah? Apakah ada kader KAMMI yang masih aktif saat ini juga aktif di partai lain selain PKS? Jika tidak maka mereka akan dikeluarkan, teman saya pun dikeluarkan karena ikut pileg tapi bukan lewat PKS

      Hapus
    2. Betulkah? Apakah ada kader KAMMI yang masih aktif saat ini juga aktif di partai lain selain PKS? Jika tidak maka mereka akan dikeluarkan, teman saya pun dikeluarkan karena ikut pileg tapi bukan lewat PKS

      Hapus
  10. Hahaha...bahkan berdirinya KAMMI juga di bumbui cerita fantastis, bahwa sdmua peserta FSLDK sepakat membentuk KAMMI, padahal kenyataannya, forum FSLDK terposah dengan forum pendirian KAMMI digedung yang sama...intinya FH memanipulasi sejarah KAMMI, tanya saja sama saksi mata peserta FSLDK kala itu (jika mereka mau jujur)

    BalasHapus
  11. Hahaha...bahkan berdirinya KAMMI juga di bumbui cerita fantastis, bahwa sdmua peserta FSLDK sepakat membentuk KAMMI, padahal kenyataannya, forum FSLDK terposah dengan forum pendirian KAMMI digedung yang sama...intinya FH memanipulasi sejarah KAMMI, tanya saja sama saksi mata peserta FSLDK kala itu (jika mereka mau jujur)

    BalasHapus
  12. Assalamu'alaikum, akhina sekalian. Sebenarnya pemikiran sperti KAMMI kultural bukan hal baru, sejak sy masih kuliah sdah ad wacana yg hampir mirip tpi t prnah trwjud (sbtas obrolan warungkopi). berhusndzon sja trhdap pnlis, tnpa mndakwa apa sj jsax. Bukankah tdk ada bda dg iblis (Ana khoiru minhu) bila sesama kita saling membanggakan jasa di KAMMI. wassalamu'alaikum.

    BalasHapus
  13. Ha ha ha sudah sudah KAMMI sudah diperalat oleh ambisi para seniornya yang berkomplot atas nama idealisme dan perjuangan....

    BalasHapus
  14. Uwis gak usah gontok sana gontok sini, kembali ke khittoh awal perjuangan KAMMI, kembali ke Qur'an dan Sunnah, perbaharui niat perjuangan KAMMI
    Islam dan Meninggikan Kalimat Alloh target utama perjuangan KAMMI.
    Istighfar akhina

    BalasHapus