Di awal Februari 2015, empat intelektual Muslim Progresif (Ghaleb Bencheik,
Anwar Ibrahim, Felix Marquardt, dan Tariq Ramadan) mengeluarkan pernyataan yang
intinya mengajak kaum "Demokrat Muslim" untuk bersatu. Reformasi
keagamaan harus kembali dibangkitkan di tengah kondisi dunia yang dipenuhi oleh
prasangka dan kesalahpahaman. Demokrasi harus ditegakkan dalam maknanya yang
progresif. Kaum muslim harus terlibat aktif dalam soal-soal toleransi dan hidup
berdampingan secara damai. Kontributor Jurnal
KAMMI Kultural, Muhammad Ihsan Harahap menerjemahkan pernyataan sikap tersebut pada para
pembaca sekalian.
oleh: Ghaleb
Bencheik, Anwar Ibrahim, Felix Marquardt & Tariq Ramadan
Sejak akhir abad
ke-19, gerakan untuk refleksi kritis atas fondasi dan interpretasi terhadap
Islam telah kehilangan momentum, berganti dengan dominasi wacana keislaman yang "sklerotik" (tidak responsif pada perkembangan zaman), Arab
sentris, serta berbasis pada cara pandang dunia (worldview) yang usang dan seringkali
menyingkirkan (pandangan) Islam-non Arab.
Hari ini, kita
bersungguh-sungguh menyeru para pemimpin Muslim yang komitmen kepada demokrasi,
baik itu tokoh-tokoh politik maupun para intelektual dan para agamawan untuk
bertemu di Prancis pada awal tahun 2016 untuk mendefinisikan kontur dari
interpretasi Islam progresif abad ke-21.
Mengikuti jejak
para intelektual seperti Malek Bennabi (di Indonesia lebih dikenal dengan nama
“Malik bin Nabi”, ed), kita perlu untuk memulai mempertanyakan nostalgia
sejarah yang (cenderung) “romantis” yang tersebar di masyarakat Islam. Adalah
hal yang penting untuk (kembali) memeriksa secara hati-hati (sebab-sebab)
kegagalan-kegagalan peradaban kita, dari era sebelum kolonial ke era
globalisasi dan alasan mengapa seruan untuk Kebangkitan (renaisans) Islam di
masa lalu lenyap tanpa jawaban yang pasti
Penting juga kami
mengingatkan kembali tentang karya-karya ijtihad dari para reformis yang diusahakan oleh beberapa tokoh, antara lain Muhammad Abduh, Abdurrahman Al Kawakibi dan Muhammad Iqbal di awal abad abad
ke-20: analisis kritis atas Qur’an dan Sunnah.
Inilah waktunya
kita menghentikan parokialisme budaya terhadap dogma agama. Muslim di seluruh
dunia harus memahami lebih dalam dan lebih jelas dimana Islam dan dimana
praktek-praktek budaya diletakkan.
Inilah waktunya
kita mempertanyakan legitimasi dan pengaruh yang cenderung menguasai dari
negara-negara dengan latar politik dan sosial tertentu dalam menentukan apa
yang “islami” dan apa yang “tidak islami”, siapa muslim “yang baik” dan siapa
yang tidak. Dan juga penting, inilah waktunya kita memberikan porsi lebih
kepada permasalahan yang ada pada Muslim Asia, yang tidak jarang dianggap
sepele, (secara) demokratis dan legitimatif, berdasarkan demografi, di abad
ke-21.
Masyarakat Muslim
Asia, seperti juga Eropa, sub-Sahara Afrika dan Amerika, bukanlah Muslim kelas
dua. Terlalu sering, pertentangan antara Barat dan pemerintahan negara Arab
tertentu disamarkan sebagai pertentangan antara Barat dan Masyarakat Muslim.
Apapun bangsa dan keyakinan keagamaannya, manusia harus bebas untuk mendapatkan
status kewarganegaraannya dan agamanya sesuai dengan apa yang dianggap cocok
baginya. Pada 2015, kami menekankan bahwa dunia ini bukan hanya untuk Barat, tapi juga
Timur, atau tidak hanya untuk Judea-Kristen, tapi juga Islam.
Hal yang juga
krusial adalah kita tidak akan membiarkan para otokrat sekali lagi menodai
reputasi kita sebagai Muslim dengan membajak (hijacking) tujuan kita sebagai
reformis, dan menganggap sepele salah satu aspirasi terbesar Masyarakat Muslim
seluruh dunia di Abad ke-21: hidup dalam masyarakat adil dan demokratis. Di
saat kita harus berdiri sebagai umat Islam untuk menyuarakan secara terbuka
keterikatan kita dengan politik sekuler, mari kita tidak pernah lupa bahwa pada
skala global, umat Islam sendiri adalah korban pertama dari para
literalis-dogmatis yang mengklaim mewakili Islam dan juga oleh otokrat sekuler
yang mengklaim mereka adalah satu-satunya solusi. Diktator seperti Bashar al
Assad di Suriah dan Abdul Fattah Al Sisi di Mesir, untuk menyebut sebagian dari
mereka, bisa seenaknya menyerukan reformasi atas Islam sebanyak yang mereka
suka, tapi semoga tidak ada ambiguitas di sana: mereka bukan bagian dari kami,
dan kami juga bukan bagian dari mereka.
Kita juga harus
memperhatikan ISIS dan Boko Haram yang mengklaim mengamalkan Islam yang
sesungguhnya secara serius –mari tunjukkan bahwa terorisme yang dilakukan
dilakukan atas nama Islam, tidak berhubungan sama sekali dengan Islam, seperti
Perang Salib tidak ada hubungannya dengan Kristen. Tuduhan yang diarahkan
terhadap umat Muslim sebagai silent majority, sebagai akibat dari tindakan
kelompok-kelompok teroris mungkin saja dirasa tidak adil, namun ini tetap harus disikapi. Sekali lagi, kita harus membuat para pembunuh barbar yang menganggap
kejahatan-kejahatannya dilakukan atas nama Islam, tahu: ketika mereka menyerang
seseorang, mereka sebenarnya menyerang kita sebagai Muslim, keyakinan dan
nilai-nilai kita, pertama dan terutama.
Pemuka pendapat
Muslim harus menyadari tanggung jawab penting mereka di area ini. Jika kita
tidak ingin Islam dibajak secara permanen, itu adalah tugas kita untuk terus
mendukung moderasi dan pendekatan reformis terhadap isu-isu pendidikan agama,
pemerintahan, penegakan hukum, kebebasan berekspresi dan perlindungan kebebasan
mendasar (fundamental liberties) dan saat yang sama mengambil sikap yang jelas
pada interpretasi kitab suci.
Mereka yang ingin
memecah belah kemanusiaan menggunakan jalan pintas yang sama sekali tidak
cerdas dengan tujuan untuk mengasosiasikan Islam dan barbarisme dan menyiratkan
bahwa ada kekerasan intrinsik dalam agama kita, (seakan-akan) ada solidaritas
alami antara Muslim dan teroris. Mereka menyiratkan bahwa Islam secara
intrinsik tidak kompatibel dengan demokrasi.
Pada kenyataannya,
sebagian besar umat Islam menolak kekerasan. Dan ketika kebebasan dan demokrasi
bermasalah, mereka juga akan bermasalah, seperti juga Budha, Sikh, Hindu,
Kristen atau Yahudi. Musuh kita bukanlah tetangga kita yang pergi ke sinagog,
gereja, atau kuil. Apa yang berbahaya bukanlah tetangga kita yang menutup
rambutnya dengan jilbab, ataupun memilih tidak berjilbab. Bahaya yang paling
nyata sebenarnya yaitu: kebodohan, dan stigmatisasi terhadap orang lain; itu
adalah prasangka yang memisahkan kita ketika kita harus bergabung bersama
sebagai manusia.
Telah tiba saatnya bagi kita untuk mengubah keadaan, dan menetapkan arah baru bagi Islam di abad ke-21.
Masa depan kita, sebagai Muslim Moderat yang cinta damai, dipertaruhkan!
Kaum Muslim Demokrat
Sedunia, Bersatulah!
9 Februari 2015,
Ghaleb Bencheik adalah
Presiden World Conference for Religions for Peace.
Anwar Ibrahim adalah
mantan Deputi Perdana Menteri Malaysian dan saat ini menjadi pemimpin oposisi Malaysia serta Ketua Umum World Forum for Muslim Democrats.
Felix Marquardt adalah
Pendiri Abd al-Rahman al-Kawakibi Foundation dan Gerakan "Khlass the
silence!"
Tariq Ramadan adalah
Profesor Studi Islam di University of Oxford dan cucu dari Pendiri Ikhwanul
Muslimin Hasan al-Banna.
Penerjemah: Muh Ihsan Harahap, Aktivis KAMMI Universitas Hasanuddin, Makassar
Versi berbahasa Inggris dari artikel ini bisa dilihat pada Huffington Post: http://www.huffingtonpost.com/felix-marquardt/muslim-democrats-unite_b_6648898.html
Basar al Assad dan Al sisi respon terhadap parokialisme agama yang dengan secara sadar di jalankan oleh gerakan2 islam radikal. tidak ada satupun bukti otentik assad atau al asisi menjadi diktator dengan inisiatifnya sendiri. gerakan radikal membangun image ini!!!.
BalasHapus"Waktunya telah datang untuk mengubah keadaan, dan menetapkan arah baru bagi Islam di abad ke-21. Masa depan kita, sebagai Muslim Moderat yang cinta damai, dipertaruhkan!". Tujuan ini hanya bisa dicapai denga memotong mata rantai radikalisme dengan Tarbiyah Komprehensif dengan menghapus seluruh dogma-dogma tentang kebutuhan NEGARA ISLAM dan SYARIAT ISLAM!! kemudian menghapus dogma tentang Syumulnya Islam berdasarkan Teks2 Klasik. Tarbiyah generasi kita untuk tidak takut2 menggunakan nalarnya, dan jangan sekali-sekali ancam mereka dengan Neraka dan label Kafir
BalasHapusSayangnya perwakilan Indonesia tidak masuk jajaran itu, padahal sosoknya banyak di negeri ini, untuk ukuran negara mayoritas muslim dan terbesar. Patut digandeng
BalasHapusTidak begitu juga, bung. Syumuliatul Islam yang dipahami oleh Tarbiyah justru bisa membuat kita untuk berpikir kosmopolitan. Bukankah Hasan al-Hudaybi sendiri yang pernah berkata, "tegakkanlah daulah Islam di hatimu maka ia akan tegak di dalam negerimu?"
BalasHapusTrims,
tidak ada satupun bukti otentik yang menyiratkan assad melakukan reformasi islam secara serampangan. keterlibatan Ramadhan al Buthi, Syekh Hassoun dan mayoritas sunni moderat dalam jajaran pemerintahannya membuktikan bahwa assad menjalankan mekanisme dialog kepada entitas2 sunni syiria. tiba-tiba segerombolan orang yang di backing oleh entitas-entitas hegemonik merusaknya atas nama Allah, atas nama Muhamamad saw dan atas nama umat islam!. ketika kita memutuskan untuk menjadi moderat, maka kita harus menjalankan seluruh agenda yang mengarah pada membangun komunitas moderat diseluruh kawasan.
BalasHapusBahkan, as-sisi, Gamal abdul naser adalah anggota ikhwan!, mereka hanya berseteru dengan sesepuh2 mereka di tanzim
BalasHapus