14 Februari 2015

Teologi Pembebasan untuk Gerakan Dakwah Kampus (Bagian 1)

oleh: Hilmi Bangkit
Aktivis Aku Peduli Cak! Surabaya dan Mahasiswa Geomatika ITS

“Sesungguhnya sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya.”
Hasan Al Banna

Berbicara tentang pemakanaan gerakan intelektual di kampus berarti bicara juga tentang dengan metodologi (konsep dan cara) gerakan dakwah kampus dalam menyelesaikan permasalahan umat. Namun, terkadang pemahaman tentang dakwah kampus yang mengusung misi untuk mewujudkan bahwa Islam rahmatan lil 'alamin terkadang mengalami distorsi makna, sehingga dakwahkampus seringkali terbentur dengan permasalahan solidaritas gerakan. Ditambah lagi dengan wacana politisasi kampus yang membuat gerakan-gerakan dakwah kampus lemah dalam memperjuangkan isu-isu seputar kesejahteraan umat dan kemuliaan Islam itu sendiri. 

Karena itu, melalui tulisan ini penulis ingin berargumen bahwa pada dasarnya gerakan dakwah di kampus harus memposisikan dirinya sebagai8 gerakan intelektual Islam yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan menjauhkan diri pada vested interest dalam urusan politisasi kampus, serta menghindari hubungan patronklien dengan unsur politik tertentu. Tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga bagian: Bagian Pertama akan mendiskusikan peran Gerakan Dakwah Kampus dalam memperjuangkan kaum mustadh'afin, Bagian Kedua akan mendiskusikan konsep teologi pembebasan yang perlu dibangun kembali oleh gerakan-gerakan dakwah kampus; dan Bagian Ketiga akan mencoba melakukan reposisi mengenai gagasan Gerakan Dakwah Kampus sebagai gerakan intelektual (profetik). 


Cita-Cita Masyarakat Madani
Cita-cita besar dalam gerakan dakwah kampus sejatinyaadalah terwujudnya masyarakat  madani. Namun sangat disayangkan bahwa konsep masyarakat madani (civil society) kurang dipahami dalam metodologi dakwah kampus. Masyarakat madani atau civil society secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat atau institusi sosial yang memiliki ciri-ciri antara lain : kemandirian, toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika yang disepakati secara bersama-sama [1]. Sehingga dalam masyarakat madani memiliki tiga konsep masyarakat, yakni masyarakat yang memiliki nilai-nilai keutamaan (khaer ummah), masyarakat yang seimbang (ummah wasath), dan masyarakat moderat (ummah muqtashidah). Dari ketiga istilah inilah, termuat konsep masyarakat madani dan terimplemenasi di Madinah pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Konsep khairah ummah sebagaimana dalam QS. Ali Imran (3):110, adalah model masyarakat terbaik dan yang ideal, ditugasi untuk mengembang beberapa fungsi profetik, terutama senantiasa menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, serta tidak bercerai berai dan berselisih setelah memperoleh keterangan yang jelas. Alquran  memberi petunjuk beberapa mekanisme damai untuk memecahkan problem internal, yaitu metode syūrah (musyawarah), ishlāh (rekonsiliasi),  dan berdakwah dengan cara al-hikmah wa al-mujādalah bi allati hiya ahsan (serua dengan kebijaksanaan serta perundingan dengan cara yang lebih baik). 

Konsep ummatan wasathan sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2): 143, adalah masyarakat yang seimbang. Masyarakat seimbang adalah posisi di tengah-tengah (wasath), yakni menggabungkan yang terbaik dari segala yang bertentangan. Penempatan posisi tengah itu bukan hanya dengan pernyataan negasi, misalnya, bukan kapitalisme dan bukan pula sosialisme.

Konsep ummah muqtashidah sebagaimana dalam QS. al-Maidah (5): 66, adalah masyarakat yang moderat, yakni entitas tertentu di kalangan ahli kitab, dan posisi ummah disitu adalah minoritas. Maksudnya, adalah kelompok kecil dalam masyarakat yang tetap setia menebarkan kebaikan dan perbaikan serta meminimalisir kerusakan. 

Konsep masyarakat madani ini diimplementasikan pertama kali oleh Nabi MuhammadSAW, di masyarakat Madinah yang ditandai dengan adanya Sahifah ay Watsiqah Madīnah, yakni “Piagam Madinah” yang item-itemnya meliputi enam prinsip, yakni asas kebebasan beragama, asas persamaan, asas kebersamaan, asas keadilan, asas perdamaian, dan asas musyawarah.

Peran Gerakan Dakwah Kampus
Natsir pernah berkata “Universitas adalah suatu tempat yang aman dan tentram, diliputi oleh suasana damai, satu tempat orang menggali ilmu pengetahuan, a still centre of learning, untuk mengasah otak dan memberi pendidikan didalam mempergunakan daya pikir secara disiplin.[2]

Dalam perkembangannya universitas, mengkehendaki mahasiswanya untuk turun langsung pada sektor kehidupan masyarakat, oleh karena suatu masyarakat merupakan suatu objek pembelajaran untuk mengetahui bagaimana bentuk social being, dan juga untuk mengasah intellectual being. Maka pada hakikatnya universitas memiliki fungsi untuk mengkader mahasiswanya dalam beberapa bentuk. Pertama, Kampus melatih setiap mahasiswa untuk menjadi seorang intelektual yang disiplin, dimana mahasiswa akan berpikir secara terstruktur, tertib, dan beretika. Kedua, Kampus melatih kecakapan mahasiswa dalam bidang ilmu pengetahuan dan menlaksanakan riset guna di aplikasikan untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat

Ketiga, Kampus menumbuhkan pribadi-pribadi calon pemimpin bangsa yang memiliki skill yang cakap, dalam bidang kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, dll. Dengan demikian, kampus dengan sendirinya menjadi kawah candradimuka bagi seorang pemuda untuk mengasah sendi-sendi intelektualnya. Peran tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini:


Bagaimana dengan Gerakan Dakwah Kampus? Dalam sejarah panjang pergerakan mahasiswa, Gerakan dakwah kampus merupakan sebuah  gerakan intelektual yang independen dan berorientasi terhadap urusan keumatan, tanpa berafiliasi dengan arus politik praktis. Hal ini didasarkan pada beberapa pandangan. Pertama, mahasiswa merupakan sosok yang punya kapasitas untuk mengartikulasikan suara-suara masyarakat yang 'diam'. Selain sebagaimana rakyat biasa,  mahasiswa memiliki posisi strategis sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintahan. 

Kedua, mahasiswa merupakan “Non partition, Non interest, Non vested interest”. Artinya, tidak tertarik dengan kepentingan politik praktis yang sarat kepentingan, karena seluruh dedikasi perannya di masyarakat, sebagai mereka yang berada di antara berbagai kelas sosial, adalah untuk mendobrak kemacetan. Hal ini dimungkinkan karena mahasiswa punya daya kritis dan kesempatan untuk terus belajar. 

Ketiga, mahasiswa sebagai pengawal intelektual dan kebudayaan yang ada pada bangsa kita.Mahasiswa merupakan tempat berpikir bagi kita semua untuk merupah bangsa kita ini, dimana setiap kali masyarakat bingung bisa merujuk ke Mahasiswa untuk mencari penerangan penjaga moral dan budaya bangsa.[2]

Membela Kaum Mustadh’afin
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu adalah suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah barang siapa yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, Ibnu sabil (musafir) dan orang-orang yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya (budak), mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menempati janjinya ketika ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan dan penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa"
(Q.S. Al-Baqarah: 177)

Perjuangan kelas sosial selalu menjadi sebuah permasalahan hingga kini. Apalagi, ditambah dengan kondisi masyarakat Islam yang sebagian besar berada di dunia ketiga sampai saat ini selalu ditindas oleh negara-negara kapitalis.Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah gerakan intelektual di kampus, untuk mengentaskan kaum Mustadh’afin dari segala bentuk neo-kolonialisme.

Kaum Mustadh’afin merupakan kaum yang harus dibela karena posisinya dalam struktur masyarakat yang selalu ditindas oleh pihak berkepentingan. Dalam blueprint Nadhatul Ulama diterangkan maksud kaum Mustadh’afin didasarkan dari dua poin yang diambli dari Al Qur’an, Hadits, dan Kaidah Usul Fiqh .Pertama, adanya ungkapan bahwa kemiskinan, kefakiran bisa menyebabkan orang menjadi kufur dan bahkan berpindah agama, “Kada alfakru ayya kuna kufran” yang berarti “kefakiran mendekatkan diri pada kekufuran.”(HR. Abu Naim). Kedua, Negara didirikan adalah sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, sudah seharusnya Negara melindungi, mengayomi, menfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya. Dalam hal ini kaidah ushul fiqh menjadi sangat relevan dalam memandang kekuasaan, “tasharruful imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al masalah.” (kebijakan pemimpin kepada rakyatnya harus sesuai dengan kemaslahatan/kesejahteraan rakyatnya).

Jadi kaum mustadh’afin adalah kaum lemah, kaum yang secara ekonomi miskin dan secara politik dikebiri hak-haknya sehingga banyak hak-hak dasar tidak diberikan oleh Negara; seperti pelayanan kesehatan yang memadai; pendidikan gratis; pemberian akses ekonomi bagi pengusaha kecil, dll. Elaborasinya sebagai berikut:
  1. Kategori orang-orang atau kelompok yang dilemahkan secara politik, dimana hak-hak mereka dikebiri dan tidak diberikan ruang sebagaimana jaminan konstitusi. 
  2. Orang-orang atau kelompok yang dilemahkan secara ekonomi.
  3. Kelompok yang dilemahkan secara sosial-budaya. 

Mereka adalah kelompok masyarakat yang dipinggirkan dalam pergaulan sosial bahkan sering kali terjadi pembunuhan karakter. Pengebirian hak-hak mustadh’afin dalam kategori ini adalah karena terjadinya perbedaan pandangan, kesenjangan ekonomi, maupun strata sosial yang berbeda.[3]

Deskripsi tentang kaum mustadh’afin juga dibahas oleh Prof. Abdul Munir Mulkhan (seorang intelektual dan Pengurus Pusat Muhammadiyah beberapa periode yang lalu)  berdasarkan makna fungsional dari tafsir surat Al Ma’un yang digagas oleh K.H Ahmad Dahlan. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.Maka kecelakaan bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna”

Dalam penafsiran KH. Ahmad Dahlan, Surat Al-Ma’un di atas, secara substansial mengandung  beberapa pesan penting. Pertama, orang yang cuek  terhadap kaum dhu’afa’, tergolong si pendusta agama (baca: Islam). Kedua, ibadah shalat yang berkategori ibadah mahdhah (langsung dengan Allah) memiliki dimensi sosial yang tidak diragukan. Lebih menukik lagi, tak ada faedah shalat, bila tak dibarengi ibadah sosial atau kolektif (ghairu mahdhah). Ketiga, melakukan amal shaleh sedikit pun tak boleh riya’. Misalnya: ingin mencari nama atau popularitas, dan  sifat–sifat  ujub lain yang bisa membuat amal shaleh jadi sumbing. Keempat, segelintir anak-manusia yang  terjerembab dalam  mental attitude  egoisme dan egosentrisme (ananiyah) sehingga enggan mengulurkan pertolongan pada kaum dhu’fa’ wa al-mustadh’afin, (kaum lemah dan dilemahkan).

Dari penjabaran surat Al Ma’un tersebut K.H Ahmad Dahlan menggagas sebuah ajaran “Etika Welas Asih” sebagai paradigma tandingan atas “Struggle for The Fittest” dari Darwinisme, sehingga dapat disimpulkan bahwa gerakan Muhammadiyah yang digagasnya merupakan sebuah amal dan usaha untuk pemberdayaan kaum mustadh’afin. Etika Welas Asih yang dicetuskan oleh K.H Ahmad Dahlan diaplikasikan dengan gerakan pembuatan rumah sakit, panti asuhan, dan kerja sosial-kemanusiaan lainnyha didasar oleh pembebasan umat dari jeratan kemiskinan.[4]

Selanjutnya HOS Cokroaminota dalam bukunya juga menerangkan  tentang sebuah konsep anasir-anasir sosialisme yang dituliskan dalam bukunya “Islam dan Sosialisme” sebagai buah pikirannya terhadap kondisi kaum mustadh’afin. “Ka 'anannaasu ummatan wahidatan” Peri-kemanusiaan adalah menjadi satu persatuan”, yang merupakan pokok dari sosialisme.Sehingga rasa peri kemanusiaan ini merupakan sebuah landasan kita untuk bergerak mengentaskan kaum mustadh’afin.

HOS Cokroaminoto dalam bukunya juga menerangkan bahwa seluruh keturunan Nabi Adam adalah satu badan yang beraturan dan terikat yang telah dijadikan dari pada satu asal yang telah digariskan Allah.Apabila salah satu anggotanya mendapat sakit, maka kesakitan tersebut dirasakan oleh segenap badan (organisme). Sehingga dapat disimpulkan sebuah anasir-anasir sosialisme yang mempunyai tiga anasir dasar, yaitu: kemerdekaan (virjheid-liberty), persamaan (gelijkheid-equality) dan persaudaraan (broederschap-fraternity).[5]

Maka dari itu, gerakan dakwah kampus membutuhkan sebuah gagasan teologi pembebasan untuk mengetaskan permasalahan umat Islam. Sehingga, gerakan intelektual khususnya dalam dakwah kampus memiliki sebuah spirit yang berorientasi pada permasalahan umat  seperti perjuangan Nabi membawa Islam untuk menerangi alam ini. Bukan hanya terfokus pada urusan perebutan kuasa di kampus yang temporer. 

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar