28 April 2013

KAMMI-Nomics dan Beyond Politics: Sebuah Catatan Pasca-Sarasehan Jakarta

Oleh : DHARMA SETYAWAN
Pegiat KAMMI Kultural asal Lampung



 “KAMMI tidak perlu saling menegasikan, lakukan saja permainan yang lebih cantik’ (Haryo Setyoko, Deklarator dan Sekjen Pertama KAMMI)
“Sejak awal KAMMI dilahirkan untuk menjadi palu godam menumbangkan rezim, saya sadar bahka KAMMI tidak memiliki akar ideologisasi yang kuat, Sudah saatnya KAMMI Merumuskan gagasan-gagasan institusionalisasi keilmuan” (Mu’tamar Ma’ruf)
15 Tahun KAMMI?
Beberapa hari setidaknya 1 bulan ini saya meneliti Amal Usaha Muhammadiyah di Jogja dan Jakarta. Penelitian yang terkait dengan platform gerak ekonomi Muhammadiyah memaksa saya mengaitkan dengan gagasan-gagasan yang muncul di Sarasehan Inteligensia Jakarta. Pertama, bahwa KAMMI telah cukup bermain politik dalam pusaran jargon, bahkan dianggap beberapa alumni tidak konsisten dengan paradigma “politik ekstra-parlementer”. Kedua, KAMMI mencoba untuk berfikir dan bertindak tentang apa yang disebut “Beyond Politik”. Dua hal ini menarik untuk didiskusikan oleh kader-kader yang mempercayai gerakan jamaah adalah gerakan kesadaran, berfikir setara, melepaskan kasta, dan bersikap terbuka (baca : kultural). Umur15 Tahun gerakan KAMMI, belum cukup mampu mempercayai bagaimana individu bergerak secara jamaah terkait dengan “beyond politik”. Kader KAMMI memang telah mampu berjamaah secara politik, namun pada tingkat ekonomi misalnya individu di “KAMMI” sangat individualis. Gagasan-gagasan ekononomi yang muncul seperti BUMK, Badan Wakaf dan kemandirian ekonomi per- KAMMI propinsi sangat terlihat masih mentah dan belum terbangun dalam rencana jangka panjang.
Beberapa daerah seperti Aceh dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sangat tinggi dapat memberi andil besar bagi berkembangnya tubuh organisasi KAMMI lewat anggaran APBD. Namun didaerah lain yang tidak memiliki kualitas kader baik dan juga tingkat PAD yang sangat kecil membuat KAMMI harus lebih progresif bicara kemandirian gerakan. Di Pusat pun (Jakarta), KAMMI belum memiliki rencana jangka panjang kapan KAMMI memiliki konsep kemandirian Ekonomi, Skretariat Permanen dan gerakan Badan Usaha Milik KAMMI (BUMK). Saya harus katakan “kita harus memulai, sekecil apapun itu gerakan kemandirian KAMMI harus segera di mulai”. Kita juga tidak perlu menunggu 1 Abad KAMMI seperti umur Muhammadiyah hari ini. Kita juga tidak perlu menjadi gerakan Kultural tulen seperti Nahdliyin agar mampu merangkul banyak kader untuk dilihat KAMMI lebih Manusiawi. Saya lebih tertarik dengan KAMMI Struktural yang progresif dan KAMMI Kultural yang manusiawi dan mampu berdiskusi epistemik secara jujur dan terbuka.
KAMMI Kultural?
Selama ini banyak kader curiga apa yang di inginkan oleh KAMMI Kultural? Bagi saya pribadi yang tidak pernah menginisiasi gerakan ini tapi kemudian menjadi pegiat di dalamnya, perlu untuk menjelaskan kemana arah gerakan ini. KAMMI kultural lahir juga harus diakui terlahir dari rahim berfikir kawan-kawan Pengurus Pusat ( Andriyana (Sekjen), Adhe Nuansa Wibisono (HLN), Syamsudin Kadir (Kaderisasi), dan pengurus lain yang hadir di Jogja Sarasehan I, Tatang Iskandar, Luthon, Liyuda Saputra). Yang menarik adalah Sarasehan ini ditangkap oleh Kader Jogja hingga kemudian berkembang natural tanpa rekasaya Jogja-centrisme.
Hal yang perlu saya jelaskan adalah : Pertama, pada tingkat Ideologi KAMMI Kultural telah keluar dari pakem bacaan, berfikir dan sejarah dominasi Ikhwanul Muslimin. KAMMI Kultural menarik sejarah Indonesia yang terlupakan oleh KAMMI selama ini. KAMMI Kultural tidak memiliki niat untuk barnafsu berkuasa di strultural KAMMI. KAMMI Kultural hanya ingin mengisi ruang kosong di tingkat pemikiran dan mengembangkannya secara gerak kultural (epistimologi, budaya). Kedua, Sejarah para pemikir Kultural yang memang selama ini bersembunyi dan tidak nampak di permukaan. Pada Sarasehan Inteligensia Jogja KAMMI mendatangkan orang-orang yang cukup ideolog di tubuh KAMMI seperti Yusuf Maulana, Imron Rosyadi (Alumni yang hilang dari sejarah pemikiran, padahal mereka yang menggagas Paradigma Gerakan KAMMI). Di Sarasehan Inteligensia Jakarta KAMMI Kultural mengundang orang-orang yang terlupakan KAMMI seperti Mu’tamar Ma’ruf (Muhammadiyah) pencetus Intelektual profetik yang juga hilang dari sejarah. Bahkan kita mengundang Haryo Setyoko (Deklarator dan Sekjen KAMMI Pertama) yang telah lebih dari 10 tahun tidak pernah bertemu kawan-kawan KAMMI. Perlu diketahui masih banyak alumni-alumni yang tidak terdeteksi di KAMMI. Hal ini pertama, karena KAMMI tidak memberi ruang inteligensia. Kedua alumni tersebut tidak aktif di Partai Politik yang dikehendaki jamaah. Bagi KAMMI Kultural perdebatan afiliasi politik adalah pilihan alumni sendiri dan Kultural tetap menghargai sebagai alumni yang punya peran dalam sejarah masa lalu untuk menumbuhkan KAMMI hingga saat ini.
Pertanyaan kemudian, KAMMI Kultural mau apa lagi? KAMMI Kultural akan terus bergerak menyebarkan pesan-pesan kultural yang dapat diterima oleh mereka-mereka yang mau terbuka dan ber-KAMMI secara sederhana. Blog yang di buat KAMMI Kultural kita isi dengan gagasan-gagasan kritis dan mencerdaskan, Sarasehan Inteligensia kita lanjut di semua daerah, Kritik yang dibangun adalah untuk memperkokoh KAMMI secara basis ideologi dan gerakan. Gagasan-gagasan praksis juga muncul menjadi bagian yang sangat fundamen di masa depan KAMMI kelak. KAMMI Kultural secara tidak langsung membantu KAMMI Struktural di ruang pemikiran sehingga persis yang diungkapkan Haryo Setyoko “KAMMI harus bermain cantik tanpa perlu saling menegasikan”.
Beyond Politik
Beyond Politik (melampaui politik) adalah gagasan yang menarik untuk dibahas di KAMMI. Gagasan ini adalah melepaskan tubuh KAMMI yang bergerak tergantung oleh system politik yang ada. KAMMI perlu merancang masa depan dengan melampaui gerakan politik yang sudah dilakukan 15 tahun ini. Bukan berarti KAMMI menjadi anti-politik, KAMMI bergerak lebih cerdas lagi dan bergerak dalam garis konflik lokal yang terjadi di tiap daerah. Alasan pertama yaitu Tarikan isu pusat yang tidak berdampak serius di daerah seringkali dipaksakan dan diteriakkan di daerah. Maka ide Mu’tamar Ma’ruf yang menggagas KAMMI dengan basis keilmuan, sangat direspon positif oleh kawan-kawan kultural.  Dengan basis keilmuan kader KAMMI punya kejelasan gerak untuk mengawal dan memberi andil solusi bagi isu-isu lokal dan nasional secara terarah dan jelas bertanggung jawab secara nalar ilmiah.
Kedua, bahwa tindakan-tindakan berjejaring di era komunikasi ini sudah tidak dapat dibantah sebagai gerakan baru. Haryo Setyoko (Deklarator KAMMI), Muhammad Badaruddin (Ketua Umum KAMMI 2001-2002) menyatakan ini dengan dasar yang jelas. Bahwa ini zaman integrasi Lembaga Pendidikan integrasi dengan Perusahaan, Lembaga donor integrasi dengan komunitas kreatif dan lainnya. Hampir dipastikan negara telah tereduksi perannya akibat zaman komunikasi yang pesat ini. Sehingga kelak KAMMI bisa integrasi dengan Bank, KAMMI dengan Lingkungan, KAMMI integrasi dengan Perusahaan.
Beyond Politik adalah ide yang muncul dengan proses kreatif yang jelas sangat keluar dari pakem struktural, komando pusat, hegemoni jamaah dan doktrin ideologis. Beyond politik terbangun atas kesadaran, kesamaan informasi, dan pertarungan kreatifitas. Malampaui politik akan menjadi trend gerakan masa depan yang membuat manusia melepaskan diri kungkungan struktur negara atau organisasi yang hegemonik dan kaku. Kita dapat melihat tokoh-tokoh kreatif seperti Ridwan Kamil (Indonesia berkebun) yang cukup fenomenal membangun ide-ide prubahan tanpa melibatkan pemerintah. Ridwan Kamil yang sekarang menjadi calon walikota bandung dengan konsep individu yang sangat kreatif, arsitek internasional, dan lainnya. Atau yang sudah mendahului Anis Rasyd Baswedan (Indonesia Mengajar) yang mengajak perusahaan membantu pendidikan untuk lebih maju. Dan gerakan-gerakan komunitas lainnya yang keluar dari pakek organisasi dan negera. 
KAMMI-Nomics?
Gagasan ekonomi KAMMI perlu di rancang. Mulai dari yang kecil hingga jangka panjang muncul untuk membuat KAMMI mandiri. 15 tahun KAMMI terpenjara oleh ketergantungan pendanaan pemerintah dan menarik KAMMI dalam pusaran politik sandra. KAMMI tersandra ideologi, tersandra struktur, tersandra kepentingan 5 tahunan. KAMMI-Nomics adalah bentuk kesadaran bersama untuk mulai memikirkan ide-ide kemandirian gerakan baik dalam cara pandang ekonomi, komunitas dan inteligensia alumni KAMMI.
Sudah waktunya KAMMI meneguk sejarah perjuangan semua gerakan (IM, Muhammadiyah, NU, Persis dan lainnya) dan menjadikan sejarah tersebut wawasan-wawasan hikmah yang ditemukan KAMMI dan digerakkan dengan basis kesadaran. Rijalul Imam membagi marhalah ini dengan 2 hal : pertama, Struktur KAMMI dan kedua, dengan forum alumni KAMMI. Struktur KAMMI memiliki tugas menjangkau gerak kader Mahasiswa dan forum alumni KAMMI melanjutkan gerakan yang tidak dapat dijangkau struktur. Di ruang ini KAMMI Kultural menjadi estafet bagi putusnya ide struktur dan alumni.
Di Sarasehan Inteligensia Jakarta ada dua hal yang penting menjadi perubahan besar KAMMI untuk masa depan. Pertama, Manifesto KAMMI. Kedua, Gerakan strategis KAMMI Kultural diantaranya KAMMI-Nomics (BUMK, Badan Wakaf KAMMI, BMT). Munculnya LEKMI (Lembaga Kebudayaan KAMMI), Pengelolaan Wibsite KAMMIKultural.or.id sebagai inspirasi ide yang lebih progresif dan terakhir membentuk penerbitan “Kultural Press”. Sudah saatnya KAMMI Struktural dan Kultural bekerjasama ide gagasan dan bersinergi untuk KAMMI yang mandiri. Anggap saja ini kado terindah untuk milad KAMMI yang ke 15 tahun. Untuk KAMMI yang meng-Indonesia!



Sarasehan Inteligensia KAMMI di Jakarta






















Adhe Nuansa Wibisono,SIP menyerahkan kenang-kenangan ke Pemateri Rijalul Imam,MSI






















Dharma Setyawan.SEI menyerahkan kenang-kenangan kepada Pemateri Mu'tamar Ma'ruf.S.Pd, M.Pd

Okta Undang S. SIP menyerahkan kenang-kenangan kepada Pemateri Muhammadi Badaruddin (Ketua Umum KAMMI 2001-2002)











Adhe Nuansa Wibisono menyerahkan kenang-kenangan kepada pemateri Haryo Setyoko (Sekjend KAMMI 98)

















Ahmad Rizky Mardhatillah Umar memantik jalannya diskusi paling heroik, Muhammad Badarudin, Haryo Setyoko, Fikri Aziz.

16 April 2013

Secangkir Kopi Aktivis: Dari Teologi Politik hingga Debat soal Demokrasi

Beberapa malam terakhir, dikarenakan insomnia (susah tidur) akut, terpaksa saya membaca ulang beberapa bahan buat keperluan Thesis S-1,terutama dari Desk Classical Philosophy from the Athens” hingga The Contemporary Political Life”. Pemikiran politik sejak masa Athena 
(Yunani Kuno) hingga era kontemporer sekarang ini. Alhamdulillah, ada  Microsoft Encarta, jadi nggak begitu butuh banget koneksi dengan internet. Terima Kasih Mr Bill Gates! Tapi karena Encartanya saya membajak alias copy CD yang tidak orisinal. Tapi apalah artinya Hak Cipta. Bukankah para ulama sering berkata, "Hak Cipta hanyalah milik Allah semata, dianjurkan untuk menyebarluaskan demi keperluan Ummat". Nah, lho... keren kan? 

Karena insomnia itu tadi akhirnya tiap malam diatas jam 2 dini hari, saya selalu memiliki dua teman akrab: Kopi (yang kental pastinya) dan buku teks mengenai teori-teori demokrasi, pemikiran Islam, jurisprudensi Islam (baca: Fikih) dan Syariah, juga makro ekonomi. Ya begitulah aktivitas yang membuat betah jadi mahasiswa hampir tujuh tahun ini, menunggu pagi.

Akhirnya kembali juga semangat saya buat back to basic, sesuai dengan major yang saya tekuni semenjak memasukkan proposal Thesis S1 yakni dalam bidang kritik teori. Sebelumnya hampir lebih dari enam bulan ini saya berkutat di Minor studies, karena kebetulan saya masuk dalam kelas konsentrasi Pertahanan Keamanan di departemen HI UPN, yang tentunya pendekatannya lebih pragmatis.

Beberapa bulan ini membersamai sejumlah kelompok sipil yang berusaha mendesakkan reformasi dalam sektor keamanan, cukup menggeser minat awal saya dalam komunitas epistemik bersama para filosof. Terakhir kali Selasa siang kemarin baru aja fresh setelah diskusi panjang lebar di Laboratorium Hankam Departemen HI UPN Kampus Babarsari, dengan Pak Rizal Dharmaputera, Direktur Eksekutif LESPERSSI (Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia) yang sempat membuat saya "patah hati" dikarenakan selama hampir sepuluh tahun reformasi sektor kemanan berjalan, namun hasilnya masih saja stagnan.  

Untuk kasus Polri misalnya, meskipun ada upaya kuat untuk menata lembaga intelijen (Intelkam Polri) namun pada akhirnya di mata masyarakat, Polantas tetap menjadi faktor determinan yang paling menentukan. Jadi susah juga, Baintelkam berusaha memperbaharui doktrin dan kewenangan operasionalnya (mencakup upaya-upaya yudisial dan konstitusional) namun jika Polantas busuk (baca: masih suka mencari-cari kesalahan pengendara motor jika Razia) ya tetap saja, orang bilang Polisi busuk.

****

KEMBALIU ke soal malam-malam yang panjang dan sepi di kota pelajar Yogyakarta, saya jadi teringat dengan Immanuel Kant. Sang filsuf besar ini juga menghabiskan malam-malamnya yang sepi di Königsberg.

Buku International Relations In Political Thoght; Texts from the ancient Greeks to the First World War (Cambidge University Press, 2002), yang diedit secara "keroyokan" oleh tiga orang Profesor HI  dari tiga kampus ternama, yakni Chris Brown (LSE), Terry Nardin (Wisconsin-Milwaukee) dan Nicholas Rengger (St. Andrew, Scotland).menjabarkan dengan komprehensif karya-karya filosofis (philosophical essay) dari sejumlah pemikir besar dari abad yang lalu. Namun, yang menjadi favorit saya adalah Perpetual Peace (perdamaian abadi) karya Immanuel Kant.

Hal ini dikarenakan, Kant tidak hanya merombak tradisi besar dalam teologi politik dan filsafat politik, namun dikarenakan ia menjadi jembatan penghubung menuju teori politik, dan (bahkan) meletakkan pondasi buat `lahirnya' ilmu politik yang sebenarnya. Pendek kata, Perpetual Peace-nya Kant bukan sekedar paper filosofis, namun sejatinya ia adalah paper kebijakan (not only philosophical essay but also an early policy paper). Sejatinya, Perpetual Peace tersebut ditujukan kepada dua khalayak; yakni rakyat yang merindukan prinsip keadilan dan kebebasan dalam pemerintahan, juga buat para penguasa yang tidak ingin digulingkan dari kekuasaan.

Dalam dekade ini, perkembangan ilmu politik sudah sedemikian derasnya. Dari Ilmu Politik lahirlah ilmu Pemerintahan dan Ilmu Hubungan Internasional. Masing-masing dengan kekurangan dan kelebihan instrumen yang dimilikinya untuk saat ini, pada perkembangannya dianggap telah mencapai the highest level yang pernah ada dalam sejarah revolusi ilmu pengetahuan umat manusia.

Dari ilmu Pemerintahan (yang dulunya `sekedar' ilmu administrasi tentang negara) saat ini lahirlah kybernologi; yakni ilmu yang dianggap paripurna mengenai administrasi negara yang pernah ada. Sedangkan Hubungan Internasional tidak hanya lagi bicara tentang konflik dan diplomasi, namun sejatinya di tanah seberang sana, ia bahkan sudah menanjak menuju teori sistem dunia (world system theory) di mana mencoba mencari sebuah konsep (dan praktek) agar warga dunia penghuni planet bumi ini menyadari bahwa dari seluruh jagat raya, mereka ini hanya punya satu planet untuk didiami bersama, sehingga bagaimanakah usaha kita agar dapat hidup lebih baik esok hari. Dunia tanpa konflik, tanpa teror, tanpa kekerasan atas nama apapun.

****

PERTANYAAAN yang sering muncul: dengan perkembangan ilmu (dalam bidang sains politik) apakah teologi politik sudah mandek? Nah biar lebih jelas saya gambarkan dulu pembabakan ilmu politik dalam rentang sejarah umat manusia:

  1. Fase Teologi Politik

  2. Fase Filsafat Politik

  3. Fase Teori Politik

  4. Fase Ilmu Politik

Nah, sudah jelas kan? Teologi Politik adalah sebuah kajian politik yang memfokuskan pada legitimasi kitab suci (wahyu Tuhan) yang menjadi dasar bagi sebuah etika politik. Para pemikir yang memberikan kontribusi besar antara lain: Augustinus, Thomas Aquinas (Kristen) Maimonides [Musa ibnu Maimun] (Yahudi) dan juga Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun (dalam beberapa hal lebih dikenal sebagai seorang teoretisi politik, red.), Muhammad bin Abdul Wahab (Islam).

Sedangkan Filsafat murni mencari basis filosofis dari Ra'yu (pemikiran) dan praktek keseharian secara induktif untuk menjadi dasar dari sebuah tatanan politik (pemerintahan) yang ada. Filsafat politik ini pada mulanya adalah kritik pada nalar teologi politik yang terlalu dogmatis tanpa melihat realitas kesejarahan. Pelopornya yakni: Machiavelli, Rosseau, Marx (Eropa kontinental, aufklärung) dan juga Chanakya, Kautilya (India, 300 SM).

Kong Hu Cu (Confucius) dan Sidharta Gautama (Sakyamauni-Budha) sebetulnya adalah seorang filsuf. Mereka bukan nabi atau dewa seperti yang disembah oleh para pengikutnya seperti sekarang. Lebih dari itu, mereka sejatinya telah melakukan terobosan besar ketika 500 tahun sebelum Masehi, telah menjadi Filsuf politik ketika di Eropa dan Yunani masih berkutat pada nalar teologi yang cenderung mistis. Dengan mengerahkan  Ra'yu secara maksimal, mereka membuka `jalan' bagi penganut agama-agama pagan dan Hindu waktu itu kepada sebuah pandangan hidup yang lebih kritis. Sayangnya, dikarenakan keterputusan sejarah, mereka disembah-sembah oleh pengikutnya dan dianggap sebagai Tuhan. Padahal waktu itu, sebetulnya mereka lebih merupakan seorang filsuf daripada seorang nabi atau bahkan dewa.

****

TEORI POLITIK tentunya lebih sistematis daripada filsafat politik dan teologi politik. Tidak jelas, pembabagannya pada kurun mana, namun para ilmuwan dan sejarawan bersepakat (ijma') bahwa teori politik merupakan landasan konseptual bagi lahirnya ilmu politik yang lebih komprehensif. Diperkirakan, bangunan teori politik lahir dari kerangka filsafat yang lebih bersifat menganalis sebuah wacana (filsafat analitik). Perkembanganya mungkin diawali oleh sebuh karya besar Kant, Critique of Pure Reason (1781) yang mana berusaha "mendamaikan" antara rasionalitas dengan empirisme (pengalaman) yang menjadi sumber pertikaian antara para filosof Anglo-Saxon dengan Eropa kontinental satu abad sebelumnya. Critique of Pure Reason ini menjadi tonggak bagi lahirnya filsafat kritis (basis bagi teori politik) yang mungkin hanya dapat disejajarkan dengan karya Ibnu Rushd (Averoes), Tahafut at Tahafut Al Falasifah (ditulis

berturut-turut pada 1178, 1179, 1180) yang juga menjadi tonggak sejarah ketika Ibnu Rushd berusaha "mendamaikan" antara akal dengan wahyu, untuk menutup perdebatan teologis 100 tahun sebelumnya (yang diawali oleh Imam Ghazali dengan Tahafut al-Falasifah-nya).

Sedangkan Ilmu Politik sudah sedemikian majunya sehingga memanfaatkan instrumen matematika seperti statistik dan game theory untuk menganalisa sebuah model kebijakan dan memprediksi sebuah kemungkinan tertentu di masa depan. Misalnya saja kajian comparative politik tentang Pemilu (kemungkinan perolehan suara) atau potensi perang di masa depan (bagaimana menghindari konflik dengan cara membuat aliansi) dan lain sebagainya yang lebih teknis. Masuk dalam kajian ini adalah strategic studies, dimana logika perang dan damai dapat dipetakan baik dengan mempergunakan instrumen-instrumen ilmu sosial dasar semacam gemainschaft und geiselschaft maupun mempergunakan instrumen yang lebih rumit seperti BoP (Balance of Power/ teori perimbangan kekuatan) hingga ke analisa persebaran senjata nuklir tingkat tinggi (nuclear arms-race/ the spread of nuclear logistic). Dengan kata lain, Ilmu Politik sudah menjadi Sains murni dan dapat dimanfaatkan sebagai sebuah instrumen ilmu pengetahuan yang dapat diukur (ilmu pasti).

******

Dengan hadirnya berbagai macam instrumen, baik mempergunakan perangkat-perangkat filosofis-analitik (mencangkup studi atas teks, filologi, dan hermeneutika) serta instrumen lain dari "lapangan empiris" macam perkembangan arsenal persenjataan, doktrin, taktik, dan strategi militer (umumnya masuk kedalam kajian RMA; Revolution in Military Affairs) belum lagi beberapa dokumen dari masa lampau tentang berbagai macam operasi-operasi rahasia yang telah diungkap seperti penetrasi, infiltrasi, covert action, dan operasi klandestin (biasanya masuk ke RIA; Revolution in Intelligence Affairs) apakah teologi politik (yang memfokuskan perhatian pada argumen Wahyu Tuhan dalam Kitab Suci, serta sabda-sabda Nabi untuk sebuah tatanan yang ideal, bermoral dan religius) sudah "habis" serta dianggap tidak berguna lagi?

Rupanya teologi politik belum musnah. Ia sejatinya telah "bereinkarnasi" dalam Ilmu Politik. Politik tentunya berbicara tentang tujuan yang ingin dicapai. Asas moral dalam politik. Moralitas tentunya merupakan pondasi paling dasar dari politik tadi. Namun jangan lupa, moralitas dalam politik adalah moralitas politik itu sendiri, bukan moralitas yang lain.

Meskipun begitu, sejatinya basis moralitas yang berasal dari teologi politik telah berEvolusi dan "menitis" secara genetis dalam Ilmu Politik. Politik tanpa basis moral, adalah Politik yang nihil (Nihilisme). Sayangnya hingga kini, dikalangan intern umat Islam sendiri, perdebatan mengenai kompatibilitas (kesesuaian) antara konsep demokrasi dengan Islam masih terus berlangsung. Tentang status "halal-haram" Demokrasi di dalam Islam masih terus diperdebatkan.

Sebagai pengkaji Ilmu Politik, tentunya saya amat menyayangkan ini. Ketika berkumpul dengan berbagai elemen sipil untuk mendesakkan Reformasi Sektor Keamanan, upaya kami adalah bagaimana instrumen aparatus negara tidak melakukan  penyalahgunaan wewenang, seperti misalnya: Penculikan paksa, Penahanan tanpa tanpa surat keterangan, penyiksaan, pelecehan dan lain sebagainya (dalam arti bagaimana misalnya intelijen negara tidak melakukan tindakan menyalahgunakan kekuasaan sehingga mau diatur dalam kerangka demokratik). Sayangnya, ketika saya kembali ke beberapa pengajian dan aktivis Islam tertentu masih saja ada yang suka "melaknat" demokrasi.

Padahal demokrasi sejatinya "Cuma" sebuah instrumen agar terjadi transparansi dan akuntabilitas dalam mengatur sektor keamanan agar tidak asal main tangkap dan "sok koboy". Persoalan demokrasi bukanlah sekedar adanya pemilu atau wakil-wakil rakyat di Parlemen. Persoalan demokrasi sejatinya adalah persoalan tentang "kadar" partisipasi warga dalam sebuah kontinuum (ruang) demokrasi itu sendiri.

Alangkah bodohnya kita jika masih terus berdebat soal demokrasi dalam perspektif demokrasi  minimalis (sempit), yakni "Cuma" soal pemilu dan parlemen. Itu bukanlah demokrasi yang sesungguhnya bung, Itu "Cuma" disebut "Demokrasi Prosedural" atau "Demokrasi Parlementer". Persoalan yang paling mendasar saat ini buat parlemen adalah perlunya sebuah Komite Intelijen di DPR untuk melakukan Parliamentary Oversight (pengawasan parlemen) terhadap lembaga-lembaga intelijen yang masih suka bergaya "Koboy" tadi. Hal di atas tentunya (untuk saat ini) hanya dapat dilakukan oleh parlemen yang dihasilkan lewat referendum (pemilu) yang jurdil dan demokratis.

Memang betul sabda Rasulullah SAW: "tidak akan terjadi kiamat, sehingga diserahkan sebuah urusan kapada yang bukan Ahlinya. Jika hal itu telah terjadi, maka tunggulah kehancurannya".

Para Ilmuwan Politik, aktivis anti-penindasan dan penyalahgunaan wewenang aparat negara sudah berupaya keras agar bagaimana hidup kita lebih baik; bebas dari tirani dan penindasan lewat berbagai mekanisme demokratis untuk mendesakkan Reformasi dalam Sektor Keamanan, namun masih ada saja yang dituduh tidak Islami dan "thagut" dikarenakan dianggap "mengabdi" kepada demokrasi . Padahal, dengan memisahkan kehidupan publik dengan privat (kebijakan [politik] dengan masyarakatnya), sejatinya diam-diam kita telah menjadi "Sekuler"!

Benarlah, jika sebuah urusan tidak diserahkan kepada Ahlinya; tunggulah saat kehancurannya. Marilah kita BERILMU sebelum (berkata dan) beramal.

****

ADZAN Subuh mulai berkumandang. Kopi yang ada di meja telah lama dingin. Hari yang baru telah berganti, bersama fajar yang mulai menyingsing. Semoga dengan paradigma baru yang lebih demokratis, aparat negara betul-betul menjalankan tugas dan kewajibannya: menjaga keamanan negara tanpa melakukan teror terhadap warga negara yang seharusnya dilindunginya. Semoga tidak ada lagi yang patah hati. []

4 April 2013

TARBIYAH PERSILANGAN: Tentang Identitas Kultural Kader KAMMI



oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Pegiat Forum KAMMI Kultural Yogyakarta

maruSESEORANG yang mengecap dakwah tarbiyah biasanya akan menemui dua pilihan yang sebenarnya susah: tereksklusi dari habitus awal tempat ia mengenyam ilmu agama dulu, lantas memilih untuk sama-sekali keluar dari habitus-nya itu, segera berganti ke habitus tarbiyah yang penuh kompleksitas.

Atau mungkin ia justru menghampiri tarbiyah-nya dengan pendekatan yang telah lama ia gunakan, ia terima dari habitus tempat ia menuntut ilmu agama dulu, sehingga menyebabkan munculnya keterpaduan yang tidak sederhana; antara doktrin-doktrin harakah yang mengikat, dengan wawasan kultural yang dipersembahkan habitus yang lama ia tempati dulu.

Mahasiswa Menghadapi Pemilu 2014: Perspektif KAMMI

oleh: Zulfikhar *)

Pegiat Forum KAMMI Kultural Yogyakarta

“Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan” -Soe Hok Gie

zul2Di penghujung diskusi Sarasehan Inteligensia di Jakarta kemarin menghadirkan tiga narasumber menarik. Diskusi penutup ini menghadirkan orang-orang penting yang sedikit banyak berpengaruh pada alur kesejarahan organisasi yang hampir berusia 15 tahun ini. Mereka adalah Haryo Setyoko (Sekjen KAMMI 1998-1999), Muhammad Badaruddin (Ketua PP KAMMI 2000-2001) dan Fikri Azis (Sekjen KAMMI 2008-2009).

Dalam tulisan ini penulis akan mengulas kembali gagasan Fikri Azis yang segar dan kontroversial menyikapi peran KAMMI pada pemilu 2014.

1 April 2013

REFLEKSI MILAD KE-15: KAMMI Mesti Hidupkan Sel Gerakannya

oleh: Muhammad Azami *)
Pegiat Forum KAMMI Kultural Malang
GambarMenghindari masa ketenggelaman dalam senja sejarah KAMMI sebagai gerakan ‘hijau’ yang cepat naik daun. Mengantisipasi masa dimana KAMMI lahir di malang dan akan mati di malang”
SALAH seorang ikhwan membacakan sebuah surah sebagai tanda mengawali diskusi kecil malam refleksi 15 tahun KAMMI, di heliped depan gedung Deklarasi Malang. Rintik hujan yang genit, membasahi langit langit pikiran kami, namun tetap tidak menyurutkan hati kelima orang ini untuk berkumpul bersama guna melestarikan tradisi ilmu dan perjuangan yang diwariskan oleh Islam.