29 Desember 2014

Melampaui Islamisme: Otokritik untuk Gerakan-Gerakan Islam


Di edisi ini, Editor Jurnal KAMMI Kultural menerjemahkan artikel dari Professor Tariq Ramadan yang diambil dari website pribadi beliau, http:/www.tariqramadan.com/ Judul aslinya adalah "Beyond Islamism" dan berisi kritik terhadap kecenderungan gerakan Islam di beberapa negara, termasuk Turki, Mesir, Tunisia.

Beberapa poin penting yang ditampilkan dari artikel ini antara lain:

  1. Gerakan Islam Politik (Islamis) selama ini memang mampu menarik dukungan populer di pentas demokrasi, tetapi gagal mengelolanya dengan baik dan beberapa berujung pada konflik yang lebih besar.
  2. Perlu ada pembaharuan dalam Gerakan Islam saat ini, dengan tidak hanya bergerak di wilayah politik kekuasaan, tetapi juga politik pengetahuan dan kebudayaan. 
  3. Gerakan  Islam harus melampaui bias "Islam-Barat" yang dikotomis dan sloganistik, menjadi "Utara-Selatan" dengan dialog antara elemen-elemen yang selama ini terpinggirkan dalam tatanan dunia saat ini, dan dengan demikian menjadi alternatif atas tatanan dunia yang ada saat ini.

 ---------------

Oleh: Tariq Ramadan
Profesor Studi Islam di St. Antony’s College, University of Oxford.

Islamisme –atau “Islam Politik”—belum mati. Mereka yang memproklamirkan kematiannya atau menyerukan kecenderungan munculnya era “post-Islamist” jelas keliru sebagaimana ditunjukkan oleh kejadian-kejadian di Afrika, Timur Tengah, dan Asia.  Islamisme tidak lenyap dan tidak pula berubah secara fundamental. Tesis saya –posisi ideologis saya, harapan saya— adalah bahwa kita harus melampaui Islam Politik dan mengembangkan kritik terhadap segala macam bentuk dari apa yang sering disebut-sebut sebagai “Islamisme”.

Sebelum menjelaskan mengapa saya mengambil posisi ini, ada dua hal yang harus kita perhatikan. Ada semacam kebingungan –sesuatu yang tendensius dan sering tidak masuk akal— dari argument-argumen yang ada selama ini dan menuntut klarifikasi terlebih dulu.

Pertama, baik Ikhwanul Muslimin di Mesir atau An-Nahdha di Tunisia menikmati legitimasi populer dan elektoral di masing-masing negara; semua kaum demokrat harus menghormati putusan yang lahir dari dalam kotak suara. Siapapun bisa saja tidak setuju dengan keputusan dan posisi dari kaum Islamis  ketika mereka berkuasa, tetapi tidak satupun di antara kita yang bisa menjustifikasi adanya kudeta militer. Dalam kasus Mesir ini berarti bahwa sikap para demonstran yang bergerak tanpa kekerasan dan menyerukan Militer untuk mundur (dari pentas kekuasaan, pent.) adalah benar, terutama untuk menolak manipulasi dari para Jenderal. Pertanyaan krusialnya bukanlah apakah demokrasi itu menjadi mungkin dengan adanya kaum Islamis di pucuk kekuasaan –kita mengasumsikan bahwa norma-norma demokrasi itu dihormati— tetapi apakah mungkin sesuatu yang mirip dengan “demokrasi” bisa hidup di bawah pemerintahan militer yang tidak pernah sekalipun, selama 60 tahun, menghormati norma-norma itu.

Di Tunisia, kekacauan politik internal yang dilakukan baik melalui maneuver-manuver keras dari kaum Islamis yang menghendaki persuasi literal, maupun dari lawan mereka dari kubu fundamentalis sekuler, tidak boleh diijinkan untuk menentukan legitimasi dari institusi-institusi pemerintahan. Hal-hal yang tidak bisa dijustifikasi secara hukum tak boleh sekalipun bisa dijustifikasi hanya dengan mengatasnamakan perbedaan ideologis dari wakil-wakil rakyat yang telah terpilih secara langsung.

Kedua, problem terminologi. Di sini ada semacam kebingungan di kalangan semua orang ketika tidak ada satupun yang tahu apa persisnya arti dari istilah “Islamisme” ini. Istilah ini, yang sekarang bermakna sangat negative dan terkesan menjelek-jelekkan (peyoratif), bisa saja digunakan untuk menunjuk gerakan-gerakan Islamis Al-Qaeda (di seluruh dunia, dan terutama yang baru-baru ini muncul di Mali Utara), An-Nahdha di Tunisia yang sangat legalistik, serta Ikhwanul Muslimin dan partai Keadilan dan Pembangunan di Turki dan Maroko (dengan beberapa tingkat keberatan tertentu), dan termasuk juga rezim revolusioner Iran. Tentu saja susah dipercaya bahwa kebingungan ini ternyata dipertahankan sedemikian rupa, dan digunakan dalam berbagai kesempatan.

Sementara itu, agak mengherankan ketika kerajaan-kerajaan petro-dollar di Teluk, yang merupakan sekutu dekat Amerika Serikat dan terang-terangan menyatakan bahwa demokrasi itu tidak Islami, plus menerapkan Syariah dengan cara-cara yang sangat legalistik dan represif serta melarang partisipasi sosial-politik perempuan, tidak pernah digambarkan sebagai “Islamis”. Bahkan, penolakan istilah ini juga dilakukan justru ketika kebijakan dan praktik-praktik kekuasaan mereka mewakili esensi dari Islam Politik. Maka dari itu, partai-partai dan organisasi Islam harus kita definisikan secara akurat: beberapa di antara mereka tidak menganut kekerasan, reformis, legalis, sementara sebagian yang lain menganut literalisme dan sangat dogmatis, dan ada pula yang menganut kekerasan serta ekstremisme. Tanpa pemahaman yang utuh mengenai hal tersebut, tidak akan ada analisis politik yang benar-benar ilmiah yang mampu menjelaskan apa yang terjadi. Artikel ini, kendati hanya akan berfokus pada gerakan-gerakan yang bersifat reformis dan legalistik, juga akan menyentuh semua tren yang ada dalam gerakan Islam saat ini (dengan asumsi bahwa proponen Islam Politik pada dasarnya mengincar kekuasaan di level Negara).

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa kritik saya terhadap Islamisme bukanlah sebuah dorongan terhadap program dan posisi politik dari lawan-lawannya (dengan kata lain, mendorong lawan-lawan politik dari partai Islam untuk berkuasa, pent.). Selama lebih dari 60 tahun, mereka yang menamakan diri “liberal”, “progresif”, “sekuler”, atau bahkan “kiri” (semua istilah yang digunakan berkonotasi positif) telah gagal untuk menawarkan alternatif yang serius untuk mengeluarkan negara mereka dari krisis. Sikap oposisi terhadap “langkah mundur kaum Islamis” saja tidak cukup untuk mencapai kredibilitas ideologis dan praktis (untuk mengeluarkan diri dari krisis ekonomi-politik,pent.). Bahkan, kenyataannya, beberapa faksi liberal justru di masa lalu berjabat tangan dan bersahabat erat dengan para dictator, menikmati kontak-kontak dengan Barat, dan di saat yang bersamaan gagal memahami kehendak masayrakat mereka. Seringkali, mereka menyembunyikan keretakan hubungan di antara mereka dengan klaim sederhana bahwa mereka sedang bersatu melawan kaum Islamis. Faksionalisasi ini justru tidak memiliki basis massa yang jelas –fakta yang sebenarnya juga disadari oleh para pemimpin mereka. Maka dari itu kritik kami terhadap kaum “Islamis” tidak bisa dilihat sesederhana hanya sebagai penerimaan kami terhadap gagasan-gagasan kaum :”liberal”. Tidak, tujuan kami adalah untuk menggambarkan krisis dari kesadaran politik yang ada di mayoritas masyarakat muslim, yang mencakup berbagai horizon ideology yang ada.

Telah tiba saatnya bagi kita untuk bergerak “melampaui Islamisme”. Dulu, di awal abad ke-20, manifestasi pertama dari “Islamisme” berakar dan berkembang di Timur Tengah, Afrika, dan Asia, banyak di antara yang mereka yang sama-sama memiliki tiga tujuan penting: (1) untuk membebaskan masyarakat mereka dari kolonialisme; (2) untuk mengembalikan Islam dan melawan westernisasi budaya; serta (3) untuk mewujudkan, secara terperinci, prinsip dan ajakan yang mirip dengan apa yang ada pada “teologi pembebasan” di Amerika Latin, yakni keadilan sosial dengan prioritas pada kaum miskin dan kaum tertindas. Kelompok ini secara basis pemikiran keagamaan konservatif dan secara sosial-ekonomi dekat dengan rakyat. Selain itu, mereka juga percaya dan yakin bahwa negara-bangsa adalah kendaraan terbaik untuk membebaskan negeri mereka dari berbagai praktik penindasan bangsa colonial. Setuju atau tidak, penjelasan ini adalah cara yang paling mudah untuk menggambarkan orientasi politik dan ideologis dari gerakan-gerakan ini.

Namun dunia telah berubah, dan semua hal yang terjadi saat ini telah menunjukkan bahwa organisasi-organisasi Islamis seperti Ikhwanul Muslimin dan kelompok-kelompok legalis-reformis lainnya tidak lantas berpacu dengan perkembangan-perkembangan sejarah. Ada pergeseran dalam arus hubungan internasional dan paradigma baru tentang globalisasi juga telah muncul. Sebagai tambahan, kekuasaan negara yang pada awalnya hanya dipahami sebagai reformasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya, justru berkembang sebagai sebuah “akhir” dari perjuangan kaum Islamis, yang pada gilirannya menyesatkan baik tujuan maupun tindakan banyak gerakan-gerakan Islamis. Faktor-faktor semacam ini telah berkombinasi dan melahirkan, dalam perkembangannya, semacam keterputusan antara klaim yang diulang-ulang oleh gerakan-gerakan Islamis—yang membuat mereka gampang mendapatkan dukungan popular— dengan ketidakmampuan mereka untuk merespons tantangan dari era baru saat ini. Karena mereka telah berubah menjadi gerakan Islamis yang bersifat nasionalistik, obsesi mereka untuk mendapatkan kekuasaan negara justru membawa mereka pada pengabaian atas isu-isu ekonomi, permasalahan budaya, bahkan gagal untuk meng-address persoalan utama dari kebebasan, kewarganegaraan, hingga hak-hak individual warga negara. Karena mereka terdorong menjadi oposisi, berkomitmen (dan terpenjara oleh) kehendak untuk melegitimasi partisipasi mereka dalam proses-proses demokratik yang dikehendaki oleh negara-negara Barat, kaum Islamis justru menjadi kekuatan reaksioner yang, atas nama pragmatisme dengan berbagai bentuk kompromi, telah mempertahankan referensi keagamaan serta di saat yang bersamaan menjauhkan potensi-potensi pembebasan sosial, ekonomi, dan budaya yang sebetulnya mereka miliki sendiri.

Seberapa jauh kita dari interpretasi-interpretasi baru terhadap sumber-sumber “scriptural” kita, atau dari “teologi” pembebasan rakyat yang akan memberikan kita prioritas utama terhadap kaum miskin dan tertindas, akan terlihat dari cara pandang kita terhadap hubungan sosial dan politik dari kacamata ekonomi dan kultural. Kaum Islamis hari ini tidak punya alternatif ekonomi yang jelas dan kredibel yang bisa ditawarkan (untuk mengatasi krisis ekonomi politik yang dihadapi oleh masyarakat muslim saat ini, pent.). Atas dasar obsesi mereka terhadap pengakuan internasional, mereka justru tunduk pada kuasa imperatif dari ekonomi kapitalis yang dominan saat ini. Referensi keagamaan telah menjadi sesuatu yang semata-mata reaktif dan protektif, terutama terhadap ekses-ekses permisif dari kaum Barat dan proses Westernisasi yang menyertainya. Referensi tersebut telah kehilangan kemampuannya untuk menawarkan pendekatan etis terhadap pendidikan, keadilan sosial lingkungan, budaya, hingga komunikasi. Ada sebuah kecenderungan populis untuk menjadikan agama sebagai sesuatu yang mengarah pada tujuan-tujuan elektoral yang berkaitan dengan identitas dan emosi-emosi golongan tertentu.

Memang ada baiknya bagi kita untuk merayakan keberhasilan ekonomi Turki, dengan tidak menyebut keberhasilan pemimpinnya dalam mendemonstrasikan kompetensi dan pragmatisme (tentu saja tanpa melupakan kritik bahwa ada hak-hak dan kebebasan dasar yang absen di sana, juga tendensi untuk memonopoli kekuasaan akhir-akhir ini). Selain itu, tidak ada masalah jika kita menyambut perkembangan pemikiran kaum Islamis di Mesir dan Tunisia, atau munculnya gagasan (dari Ikhwanul Muslimin) tentang “negara sipil dengan referensi Islam” (daulah madaniyyah bil marja’iyyah Islamiyyah) daripada sebuah negara teokratis (daulah Islamiiyah). Namun, istilah-istilah di atas masih sebatas jargon, reaksi untuk mendapatkan kekuasaan jangka-pendek, serta tidak berdasar pada proyek politik yang jelas dan orisinil. Program-program yang ditampilkan oleh kaum Islamis yang konservatif hanya punya sedikit keberhasilan, kecuali dengan membuktikan bahwa mereka juga punya kemampuan untuk melakukan sesuatu hal sebaik –atau, paling tidak, seburuk— lawan-lawan politik mereka dalam memberikan perubahan yang substansial.

Mungkin inilah saatnya untuk mengkaji ulang prioritas dan menggeser paradigma --bisa jadi ini saat yang tepat bagi kelompok “Islam Politik” untuk berhenti bersikap terlalu politis. Setelah satu abad berada dalam oposisi, dan beberapa dekade berencana merebut kekuasaan, Islamisme telah menjadi sebuah ideologi tentang “cara” dan “manajemen”. Islamisme tidak menawarkan sesuatu yang lebih luas signifikansinya dari sekadar reaksi terhadap “Agresi Barat” atau “Musuh dalam Selimut”. Mayoritas masyarakat Muslim tidak akan bisa membebaskan diri mereka sepanjang mereka terikat pada visi yang reaktif dan restriktif. Kebutuhan banyak orang untuk makna, untuk kemuliaan dan spiritualitas, yang sebetulnya jauh terlepas dari konsep yang halus tentang iman, hukum dan agama, juga harus didengarkan. Tugas kita adalah adalah memikirkan kembali tujuan dari tindakan manusia dan mengembangkan watak etika sosial dan individual sebagai alternatif yang benar dari tatanan dunia yang tidak adil dan tidak manusiawi ini. Kebutuhan untuk memberi makna, kebebasan, keadilan, dan kemuliaan tidak pernah lebih besar dari ini; hari ini umat Islam memerlukan filosofi yang holistik tentang tujuan mereka, bahwa mereka perlu melepaskan diri dari rusaknya pengelolaan tentang makna yang telah direduksi oleh “Islam Politik” menjadi sekadar manajemen. Mayoritas umat Islam menginginkan revolusi intelektual, revolusi yang radikal dalam mencari substansi “Islam” dan berani dalam tujuan-tujuannya.

Jauh dari para pencari kekuasaan, terpisah dari urusan politik remeh-temeh dan para politikus, inilah saatnya bagi kita untuk bertemu kembali dengan kedalaman dan keagungan tradisi peradaban Islam dengan segenap makna dan interpretasinya yang memungkinkan terbentuknya tatanan yang bersandar pada tujuan perdamaian, keadilan, kebebasan, dan kemuliaan. Umat Islam hari ini perlu menegaskan kembali jati dirinya. Penting dalam proses ini adalah spiritualisme dan mistisisme –bukan dari bentuk-bentuk sufisme tertentu yang ‘tidak ingin terlibat dalam politik’ tetapi jatuh pada permainan kekuasaan (dan kolonial)— tetapi justru dari pencarian jati diri yang otentik dari sufisme yang tidak pernah terpisah dari pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan, sosial dan politik (dengan pertimbangan pada kebijaksanaan dan keadilan). Tentu saja belu m cukup jika hanya menyatakan bahwa ‘kebebasan dating lebih dulu dari syariah’ –apa yang kurang adalah refleksi mendalam tentang kebebasan di era modern dan maqashid syariah yang menggantikan persepsi sempit tentang aturan-aturan institusional yang menjadi perwujudan dari hukum-hukum Allah. Apa yang diberikan oleh Asy-Syathibi dengan sintesisnya tentang maqashid syariah –yang pada dasarnya membentuk sebuah kerangka filsafat hukum— harus dipikirkan dengan pencarian makna kebebasan: kita memerlukan “filsafat tentang kebebasan” yang tidak dogmatis, sempit, dan reaktif tetapi juga luas, holistik, dan membebaskan, baik bagi wanita dan laki-laki.

Ada semacam kebutuhan intelektual yang cukup akut bagi para ulama, baik laki-laki dan perempuan, untuk menunjukkan sedikit keberanian. Dengan menghargai pesan dan aturan-aturan yang tak bisa diubah dari praktik dan hukum agama, para ulama mesti mempertemukan kembali diri mereka dengan sedikit “kelancangan intelektual” yang di masa lalu telah terbukti memberikan kekuatan bagi tradisi intelektual Islam. Bertolak belakang dari lembaga yang telah membentuk mereka di bawah kontrol ketat negara dan pelemahan-pelemahan intelektual (seperti Al-Azhar atau Ummul Qura hari ini), generasi muda Muslim harus berani membebaskan dirinya, membuat kehadiran mereka terasa, dan menyumbangkan pemaknaan baru terhadap dinamika masyarakat sipil yang tidak lagi hanya menjadi penonton pasif atau hanya bisa melakukan protes, tetapi juga secara aktif menampilkan kemuliaan dan menawarkan jalan baru dalam tindakan-tindakan mereka. Plus visi alternatif tentang masyarakat madani. Kendati demikian, mereka harus terus percaya diri sembari tetap membangun perlawanan terhadap tatanan yang ada selama ini.

Tantangannya tentu saja besar, namun untuk membebaskan diri dari obsesi terhadap “politik”, gerakan yang berbasis pemikiran harus mampu menguraikan sebuah logika kekuasaan ‘yang-lain’ yang berorientasi pada pembebasan rakyat melalui keterlibatan sosial dan pendidikan, alternative terhadap ekonomi yang dominan melalui kreativitas budaya dan seni. Secara umum, saya telah menyebutkan beberapa tantangan-tantangan intelektual untuk mengajukan tujuan-tujuan utama dan mengembangkan visi global yang bisa menjamin keadilan dan otonomi warga negara. Persoalan ‘pertentangan internal’ antara sunni dan syiah dan antara berbagai mazhab (bahkan antara ‘yang relijius’ dan ‘yang sekuler’) harus dipecahkan. Isu-isu yang melatarbelakangi pertentangan ini seringkali serius, tetapi juga seringkali konyol. Membebaskan umat dari perangkap ini adalah tugas para ulama, intelektual, dan aktivis yang bebas (dan hal ini terkadang dipertahankan oleh para Islamis untuk menenggelamkan dan menjebak diri mereka sendiri).

Umat Islam tidak sendirian dalam perlawanan-perlawanan terhadap tatanan dunia saat ini. Umat Islam tidak hanya perlu membangun ‘hubungan Utara-Selatan’ dan menjauhkan bias pertentangan ‘Islam-Barat’, tetapi juga mengeksplorasi potensi-potensi kerjasama pendidikan, saintifik, dan pertukaran budaya di antara masyarakat Amerika Latin, Afrika, dan Asia. Pemikiran Islam yang dibentuk dari gagasan bahwa ‘kebijaksanaan’ atau ‘pengetahuan’ dibangun dari apapun (asalkan ia benar) tanpa harus melihat dari mana kebenaran itu berasal, kini telah terisolasi, mundur ke belakang, dan kering dari kemampuannya untuk mempelajari dan mendorong pertukaran –atau bahkan memetik keuntungan— dari peradaban dan kebudayaan yang berbeda. Tidak terkecuali kaum Islamis yang terobsesi pada negara-negara Utara dan kehilangan posisi mereka… juga negara-negara Selatan (ada sedikit refleksi: bukankah Qiblat, yang berfokus pada tatapan ke tengah dan memberikannya makna, tidak menyelaraskan nilai dan kemuliaan yang sama pada apa yang ada di pinggirnya?)

Kaum Islamis hari ini telah membangun pesan yang konservatif, sesuatu yang berusaha mereka adaptasi. Kesadaran umat Islam kontemporer harus membebaskan diri mereka dari pesan (konservatif) ini, dan memperbarui komitmen pada kekuatan pembaharuan dari konten tradisi spiritual dan kemanusiaan yang ada pada Islam. Tradisi pembaharuan telah memanggil kita untuk rekonsiliasi dengan diri dan keterbukaan dengan yang lain. Siklus itu telah berakhir, dan pembaharuan telah mengisyaratkan dirinya. Dengan berkenalan secara lebih baik dengan tradisi kita, dengan menentukan prioritas-prioritas kita, dan menggunakan –dengan lebih baik— cara-cara baru pada apa yang telah kita buang, kita akan bisa mendapatkan tujuan utama kita hari ini: kebebasan, kemuliaan, dan pembebasan. Paradoksnya justru terletak pada fakta bahwa umat Islam hari ini, dengan minimnya kepercayaan diri pada apa yang mereka miliki, justru menjadi ‘sipir’ yang memegang kunci dari penjara yang mereka bangun sendiri.

Professor Tariq Ramadan menulis banyak buku tentang Islam dan Gerakan Islam Kontemporer, antara lain “Western Muslims and the Future of Islam” (Oxford University Press, 2007), “Islam and Arab Awakening” (Oxford University Press, 2012), dan What I Believe (Oxford University Press, 2009). Selain mengajar di Faculty of Oriental Studies, Oxford University, beliau juga menjadi Direktur European Muslim Network yang berbasis di Brussels, Belgia. Beliau aktif menggalang kampanye dalam menentang Islamofobia dan sangat kritis dengan kecenderungan Gerakan Islam kontemporer, termasuk Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh kakeknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar