
Beberapa poin penting yang ditampilkan dari artikel ini antara lain:
- Gerakan Islam Politik (Islamis) selama ini memang mampu menarik dukungan populer di pentas demokrasi, tetapi gagal mengelolanya dengan baik dan beberapa berujung pada konflik yang lebih besar.
- Perlu ada pembaharuan dalam Gerakan Islam saat ini, dengan tidak hanya bergerak di wilayah politik kekuasaan, tetapi juga politik pengetahuan dan kebudayaan.
- Gerakan Islam harus melampaui bias "Islam-Barat" yang dikotomis dan sloganistik, menjadi "Utara-Selatan" dengan dialog antara elemen-elemen yang selama ini terpinggirkan dalam tatanan dunia saat ini, dan dengan demikian menjadi alternatif atas tatanan dunia yang ada saat ini.
Oleh:
Tariq Ramadan
Profesor
Studi Islam di St. Antony’s College, University of Oxford.
Islamisme –atau “Islam
Politik”—belum mati. Mereka yang memproklamirkan kematiannya atau menyerukan
kecenderungan munculnya era “post-Islamist” jelas keliru sebagaimana
ditunjukkan oleh kejadian-kejadian di Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Islamisme tidak lenyap dan tidak pula
berubah secara fundamental. Tesis saya –posisi ideologis saya, harapan saya—
adalah bahwa kita harus melampaui Islam Politik dan mengembangkan kritik
terhadap segala macam bentuk dari apa yang sering disebut-sebut sebagai
“Islamisme”.
Sebelum menjelaskan mengapa saya
mengambil posisi ini, ada dua hal yang harus kita perhatikan. Ada semacam
kebingungan –sesuatu yang tendensius dan sering tidak masuk akal— dari
argument-argumen yang ada selama ini dan menuntut klarifikasi terlebih dulu.
Pertama, baik Ikhwanul Muslimin di Mesir
atau An-Nahdha di Tunisia menikmati legitimasi populer dan elektoral di
masing-masing negara; semua kaum demokrat harus menghormati putusan yang lahir
dari dalam kotak suara. Siapapun bisa saja tidak setuju dengan keputusan dan
posisi dari kaum Islamis ketika mereka
berkuasa, tetapi tidak satupun di antara kita yang bisa menjustifikasi adanya kudeta militer.
Dalam kasus Mesir ini berarti bahwa sikap para demonstran yang bergerak tanpa
kekerasan dan menyerukan Militer untuk mundur (dari pentas kekuasaan, pent.)
adalah benar, terutama untuk menolak manipulasi dari para Jenderal. Pertanyaan krusialnya
bukanlah apakah demokrasi itu menjadi mungkin dengan adanya kaum Islamis di pucuk
kekuasaan –kita mengasumsikan bahwa norma-norma demokrasi itu dihormati— tetapi
apakah mungkin sesuatu yang mirip dengan “demokrasi” bisa hidup di bawah
pemerintahan militer yang tidak pernah sekalipun, selama 60 tahun, menghormati
norma-norma itu.
Di Tunisia, kekacauan politik internal
yang dilakukan baik melalui maneuver-manuver keras dari kaum Islamis yang
menghendaki persuasi literal, maupun dari lawan mereka dari kubu fundamentalis
sekuler, tidak boleh diijinkan untuk menentukan legitimasi dari
institusi-institusi pemerintahan. Hal-hal yang tidak bisa dijustifikasi secara hukum tak
boleh sekalipun bisa dijustifikasi hanya dengan mengatasnamakan perbedaan ideologis dari
wakil-wakil rakyat yang telah terpilih secara langsung.
Kedua, problem terminologi. Di sini ada
semacam kebingungan di kalangan semua orang ketika tidak ada satupun yang tahu apa persisnya arti dari istilah “Islamisme” ini. Istilah ini, yang sekarang bermakna
sangat negative dan terkesan menjelek-jelekkan (peyoratif), bisa saja digunakan
untuk menunjuk gerakan-gerakan Islamis Al-Qaeda (di seluruh dunia, dan terutama
yang baru-baru ini muncul di Mali Utara), An-Nahdha di Tunisia yang sangat
legalistik, serta Ikhwanul Muslimin dan partai Keadilan dan Pembangunan di
Turki dan Maroko (dengan beberapa tingkat keberatan tertentu), dan termasuk
juga rezim revolusioner Iran. Tentu saja susah dipercaya bahwa kebingungan ini
ternyata dipertahankan sedemikian rupa, dan digunakan dalam
berbagai kesempatan.
Sementara itu, agak mengherankan ketika
kerajaan-kerajaan petro-dollar di
Teluk, yang merupakan sekutu dekat Amerika Serikat dan terang-terangan menyatakan bahwa
demokrasi itu tidak Islami, plus menerapkan Syariah dengan cara-cara yang
sangat legalistik dan represif serta melarang partisipasi sosial-politik
perempuan, tidak pernah digambarkan sebagai “Islamis”. Bahkan, penolakan istilah ini juga dilakukan justru ketika kebijakan
dan praktik-praktik kekuasaan mereka mewakili esensi dari Islam Politik.
Maka dari itu, partai-partai dan organisasi Islam harus kita definisikan secara
akurat: beberapa di antara mereka tidak menganut kekerasan, reformis, legalis,
sementara sebagian yang lain menganut literalisme dan sangat dogmatis, dan ada
pula yang menganut kekerasan serta ekstremisme. Tanpa pemahaman yang utuh
mengenai hal tersebut, tidak akan ada analisis politik yang benar-benar ilmiah
yang mampu menjelaskan apa yang terjadi. Artikel ini, kendati hanya akan
berfokus pada gerakan-gerakan yang bersifat reformis dan legalistik, juga akan
menyentuh semua tren yang ada dalam gerakan Islam saat ini (dengan asumsi bahwa
proponen Islam Politik pada dasarnya mengincar kekuasaan di level Negara).
Dengan demikian, terlihat jelas
bahwa kritik saya terhadap Islamisme bukanlah sebuah dorongan terhadap program
dan posisi politik dari lawan-lawannya (dengan
kata lain, mendorong lawan-lawan politik dari partai Islam untuk berkuasa, pent.). Selama lebih dari 60 tahun,
mereka yang menamakan diri “liberal”, “progresif”, “sekuler”, atau bahkan
“kiri” (semua istilah yang digunakan berkonotasi positif) telah gagal untuk
menawarkan alternatif yang serius untuk mengeluarkan negara mereka dari krisis.
Sikap oposisi terhadap “langkah mundur kaum Islamis” saja tidak cukup untuk
mencapai kredibilitas ideologis dan praktis (untuk mengeluarkan diri dari
krisis ekonomi-politik,pent.).
Bahkan, kenyataannya, beberapa faksi liberal justru di masa lalu berjabat
tangan dan bersahabat erat dengan para dictator, menikmati kontak-kontak dengan
Barat, dan di saat yang bersamaan gagal memahami kehendak masayrakat mereka.
Seringkali, mereka menyembunyikan keretakan hubungan di antara mereka dengan
klaim sederhana bahwa mereka sedang bersatu melawan kaum Islamis.
Faksionalisasi ini justru tidak memiliki basis massa yang jelas –fakta yang
sebenarnya juga disadari oleh para pemimpin mereka. Maka dari itu kritik kami
terhadap kaum “Islamis” tidak bisa dilihat sesederhana hanya sebagai penerimaan
kami terhadap gagasan-gagasan kaum :”liberal”. Tidak, tujuan kami adalah untuk
menggambarkan krisis dari kesadaran politik yang ada di mayoritas masyarakat
muslim, yang mencakup berbagai horizon ideology yang ada.
Telah tiba saatnya bagi kita untuk
bergerak “melampaui Islamisme”. Dulu, di awal abad ke-20, manifestasi pertama
dari “Islamisme” berakar dan berkembang di Timur Tengah, Afrika, dan Asia,
banyak di antara yang mereka yang sama-sama memiliki tiga tujuan penting: (1)
untuk membebaskan masyarakat mereka dari kolonialisme; (2) untuk mengembalikan
Islam dan melawan westernisasi budaya; serta (3) untuk mewujudkan, secara
terperinci, prinsip dan ajakan yang mirip dengan apa yang ada pada “teologi
pembebasan” di Amerika Latin, yakni keadilan sosial dengan prioritas pada kaum
miskin dan kaum tertindas. Kelompok ini secara basis pemikiran keagamaan
konservatif dan secara sosial-ekonomi dekat dengan rakyat. Selain itu, mereka
juga percaya dan yakin bahwa negara-bangsa adalah kendaraan terbaik untuk
membebaskan negeri mereka dari berbagai praktik penindasan bangsa colonial.
Setuju atau tidak, penjelasan ini adalah cara yang paling mudah untuk
menggambarkan orientasi politik dan ideologis dari gerakan-gerakan ini.
Namun dunia telah berubah, dan
semua hal yang terjadi saat ini telah menunjukkan bahwa organisasi-organisasi
Islamis seperti Ikhwanul Muslimin dan kelompok-kelompok legalis-reformis
lainnya tidak lantas berpacu dengan perkembangan-perkembangan sejarah. Ada
pergeseran dalam arus hubungan internasional dan paradigma baru tentang
globalisasi juga telah muncul. Sebagai tambahan, kekuasaan negara yang pada
awalnya hanya dipahami sebagai reformasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya,
justru berkembang sebagai sebuah “akhir” dari perjuangan kaum Islamis, yang
pada gilirannya menyesatkan baik tujuan maupun tindakan banyak gerakan-gerakan
Islamis. Faktor-faktor semacam ini telah berkombinasi dan melahirkan, dalam
perkembangannya, semacam keterputusan antara klaim yang diulang-ulang oleh
gerakan-gerakan Islamis—yang membuat mereka gampang mendapatkan dukungan
popular— dengan ketidakmampuan mereka untuk merespons tantangan dari era baru
saat ini. Karena mereka telah berubah menjadi gerakan Islamis yang bersifat
nasionalistik, obsesi mereka untuk mendapatkan kekuasaan negara justru membawa
mereka pada pengabaian atas isu-isu ekonomi, permasalahan budaya, bahkan gagal
untuk meng-address persoalan utama
dari kebebasan, kewarganegaraan, hingga hak-hak individual warga negara. Karena
mereka terdorong menjadi oposisi, berkomitmen (dan terpenjara oleh) kehendak
untuk melegitimasi partisipasi mereka dalam proses-proses demokratik yang
dikehendaki oleh negara-negara Barat, kaum Islamis justru menjadi kekuatan
reaksioner yang, atas nama pragmatisme dengan berbagai bentuk kompromi, telah
mempertahankan referensi keagamaan serta di saat yang bersamaan menjauhkan
potensi-potensi pembebasan sosial, ekonomi, dan budaya yang sebetulnya mereka
miliki sendiri.
Seberapa jauh kita dari
interpretasi-interpretasi baru terhadap sumber-sumber “scriptural” kita, atau
dari “teologi” pembebasan rakyat yang akan memberikan kita prioritas utama
terhadap kaum miskin dan tertindas, akan terlihat dari cara pandang kita terhadap
hubungan sosial dan politik dari kacamata ekonomi dan kultural. Kaum Islamis
hari ini tidak punya alternatif ekonomi yang jelas dan kredibel yang bisa
ditawarkan (untuk mengatasi krisis ekonomi politik yang dihadapi oleh
masyarakat muslim saat ini, pent.).
Atas dasar obsesi mereka terhadap pengakuan internasional, mereka justru tunduk
pada kuasa imperatif dari ekonomi kapitalis yang dominan saat ini. Referensi
keagamaan telah menjadi sesuatu yang semata-mata reaktif dan protektif,
terutama terhadap ekses-ekses permisif dari kaum Barat dan proses Westernisasi
yang menyertainya. Referensi tersebut telah kehilangan kemampuannya untuk
menawarkan pendekatan etis terhadap pendidikan, keadilan sosial lingkungan,
budaya, hingga komunikasi. Ada sebuah kecenderungan populis untuk menjadikan
agama sebagai sesuatu yang mengarah pada tujuan-tujuan elektoral yang berkaitan
dengan identitas dan emosi-emosi golongan tertentu.
Memang ada baiknya bagi kita untuk
merayakan keberhasilan ekonomi Turki, dengan tidak menyebut keberhasilan pemimpinnya
dalam mendemonstrasikan kompetensi dan pragmatisme (tentu saja tanpa melupakan
kritik bahwa ada hak-hak dan kebebasan dasar yang absen di sana, juga tendensi
untuk memonopoli kekuasaan akhir-akhir ini). Selain itu, tidak ada masalah jika
kita menyambut perkembangan pemikiran kaum Islamis di Mesir dan Tunisia, atau
munculnya gagasan (dari Ikhwanul Muslimin) tentang “negara sipil dengan
referensi Islam” (daulah madaniyyah bil
marja’iyyah Islamiyyah) daripada sebuah negara teokratis (daulah Islamiiyah). Namun,
istilah-istilah di atas masih sebatas jargon, reaksi untuk mendapatkan
kekuasaan jangka-pendek, serta tidak berdasar pada proyek politik yang jelas
dan orisinil. Program-program yang ditampilkan oleh kaum Islamis yang
konservatif hanya punya sedikit keberhasilan, kecuali dengan membuktikan bahwa
mereka juga punya kemampuan untuk melakukan sesuatu hal sebaik –atau, paling
tidak, seburuk— lawan-lawan politik mereka dalam memberikan perubahan yang
substansial.
Mungkin inilah saatnya untuk
mengkaji ulang prioritas dan menggeser paradigma --bisa jadi ini saat yang tepat bagi
kelompok “Islam Politik” untuk berhenti bersikap terlalu politis. Setelah satu
abad berada dalam oposisi, dan beberapa dekade berencana merebut kekuasaan,
Islamisme telah menjadi sebuah ideologi tentang “cara” dan “manajemen”.
Islamisme tidak menawarkan sesuatu yang lebih luas signifikansinya dari sekadar
reaksi terhadap “Agresi Barat” atau “Musuh dalam Selimut”. Mayoritas masyarakat
Muslim tidak akan bisa membebaskan diri mereka sepanjang mereka terikat pada
visi yang reaktif dan restriktif. Kebutuhan banyak orang untuk makna, untuk
kemuliaan dan spiritualitas, yang sebetulnya jauh terlepas dari konsep yang
halus tentang iman, hukum dan agama, juga harus didengarkan. Tugas kita adalah
adalah memikirkan kembali tujuan dari tindakan manusia dan mengembangkan watak
etika sosial dan individual sebagai alternatif yang benar dari tatanan dunia
yang tidak adil dan tidak manusiawi ini. Kebutuhan untuk memberi makna,
kebebasan, keadilan, dan kemuliaan tidak pernah lebih besar dari ini; hari ini
umat Islam memerlukan filosofi yang holistik tentang tujuan mereka, bahwa
mereka perlu melepaskan diri dari rusaknya pengelolaan tentang makna yang telah
direduksi oleh “Islam Politik” menjadi sekadar manajemen. Mayoritas umat Islam
menginginkan revolusi intelektual, revolusi yang radikal dalam mencari substansi
“Islam” dan berani dalam tujuan-tujuannya.
Jauh dari para pencari kekuasaan,
terpisah dari urusan politik remeh-temeh dan para politikus, inilah saatnya
bagi kita untuk bertemu kembali dengan kedalaman dan keagungan tradisi
peradaban Islam dengan segenap makna dan interpretasinya yang memungkinkan
terbentuknya tatanan yang bersandar pada tujuan perdamaian, keadilan, kebebasan, dan
kemuliaan. Umat Islam hari ini perlu menegaskan kembali jati
dirinya. Penting dalam proses ini adalah spiritualisme dan mistisisme –bukan
dari bentuk-bentuk sufisme tertentu yang ‘tidak ingin terlibat dalam politik’
tetapi jatuh pada permainan kekuasaan (dan kolonial)— tetapi justru dari
pencarian jati diri yang otentik dari sufisme yang tidak pernah terpisah dari
pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan, sosial dan politik (dengan pertimbangan
pada kebijaksanaan dan keadilan). Tentu saja belu m cukup jika hanya menyatakan bahwa ‘kebebasan dating lebih dulu dari syariah’ –apa yang kurang
adalah refleksi mendalam tentang kebebasan di era modern dan maqashid syariah yang menggantikan
persepsi sempit tentang aturan-aturan institusional yang menjadi perwujudan
dari hukum-hukum Allah. Apa yang diberikan oleh Asy-Syathibi dengan sintesisnya
tentang maqashid syariah –yang pada
dasarnya membentuk sebuah kerangka filsafat hukum— harus dipikirkan dengan
pencarian makna kebebasan: kita memerlukan “filsafat tentang kebebasan” yang
tidak dogmatis, sempit, dan reaktif tetapi juga luas, holistik, dan
membebaskan, baik bagi wanita dan laki-laki.
Ada semacam kebutuhan intelektual yang cukup akut bagi para ulama, baik laki-laki dan perempuan, untuk menunjukkan sedikit
keberanian. Dengan menghargai pesan dan aturan-aturan yang tak bisa diubah dari
praktik dan hukum agama, para ulama mesti mempertemukan kembali diri mereka
dengan sedikit “kelancangan intelektual” yang di masa lalu telah terbukti memberikan
kekuatan bagi tradisi intelektual Islam. Bertolak belakang dari
lembaga yang telah membentuk mereka di bawah kontrol ketat negara dan
pelemahan-pelemahan intelektual (seperti Al-Azhar atau Ummul Qura hari ini),
generasi muda Muslim harus berani membebaskan dirinya, membuat kehadiran mereka
terasa, dan menyumbangkan pemaknaan baru terhadap dinamika masyarakat sipil
yang tidak lagi hanya menjadi penonton pasif atau hanya bisa melakukan protes,
tetapi juga secara aktif menampilkan kemuliaan dan menawarkan jalan baru dalam
tindakan-tindakan mereka. Plus visi alternatif tentang masyarakat madani. Kendati
demikian, mereka harus terus percaya diri sembari tetap membangun perlawanan
terhadap tatanan yang ada selama ini.
Tantangannya tentu saja besar,
namun untuk membebaskan diri dari obsesi terhadap “politik”, gerakan yang
berbasis pemikiran harus mampu menguraikan sebuah logika kekuasaan ‘yang-lain’
yang berorientasi pada pembebasan rakyat melalui keterlibatan sosial dan
pendidikan, alternative terhadap ekonomi yang dominan melalui kreativitas
budaya dan seni. Secara umum, saya telah menyebutkan beberapa tantangan-tantangan intelektual untuk mengajukan tujuan-tujuan utama dan
mengembangkan visi global yang bisa menjamin keadilan dan otonomi warga negara.
Persoalan ‘pertentangan internal’ antara sunni
dan syiah dan antara berbagai mazhab (bahkan antara ‘yang relijius’ dan
‘yang sekuler’) harus dipecahkan. Isu-isu yang melatarbelakangi pertentangan
ini seringkali serius, tetapi juga seringkali konyol. Membebaskan umat dari
perangkap ini adalah tugas para ulama, intelektual, dan aktivis yang bebas (dan
hal ini terkadang dipertahankan oleh para Islamis untuk menenggelamkan dan
menjebak diri mereka sendiri).
Umat Islam tidak sendirian dalam
perlawanan-perlawanan terhadap tatanan dunia saat ini. Umat Islam tidak hanya
perlu membangun ‘hubungan Utara-Selatan’ dan menjauhkan bias pertentangan
‘Islam-Barat’, tetapi juga mengeksplorasi potensi-potensi kerjasama pendidikan,
saintifik, dan pertukaran budaya di antara masyarakat Amerika Latin, Afrika,
dan Asia. Pemikiran Islam yang dibentuk dari gagasan bahwa ‘kebijaksanaan’ atau
‘pengetahuan’ dibangun dari apapun (asalkan ia benar) tanpa harus melihat dari
mana kebenaran itu berasal, kini telah terisolasi, mundur ke belakang, dan
kering dari kemampuannya untuk mempelajari dan mendorong pertukaran –atau
bahkan memetik keuntungan— dari peradaban dan kebudayaan yang berbeda. Tidak
terkecuali kaum Islamis yang terobsesi pada negara-negara Utara dan
kehilangan posisi mereka… juga negara-negara Selatan (ada sedikit refleksi: bukankah Qiblat, yang berfokus pada tatapan ke
tengah dan memberikannya makna, tidak menyelaraskan nilai dan kemuliaan yang sama
pada apa yang ada di pinggirnya?)
Kaum Islamis hari ini telah
membangun pesan yang konservatif, sesuatu yang berusaha mereka adaptasi.
Kesadaran umat Islam kontemporer harus membebaskan diri mereka dari pesan
(konservatif) ini, dan memperbarui komitmen pada kekuatan pembaharuan dari
konten tradisi spiritual dan kemanusiaan yang ada pada Islam. Tradisi
pembaharuan telah memanggil kita untuk rekonsiliasi dengan diri dan keterbukaan
dengan yang lain. Siklus itu telah berakhir, dan pembaharuan telah mengisyaratkan
dirinya. Dengan berkenalan secara lebih baik dengan tradisi kita, dengan
menentukan prioritas-prioritas kita, dan menggunakan –dengan lebih baik—
cara-cara baru pada apa yang telah kita buang, kita akan bisa mendapatkan
tujuan utama kita hari ini: kebebasan, kemuliaan, dan pembebasan. Paradoksnya
justru terletak pada fakta bahwa umat Islam hari ini, dengan minimnya
kepercayaan diri pada apa yang mereka miliki, justru menjadi ‘sipir’ yang
memegang kunci dari penjara yang mereka bangun sendiri.
Professor Tariq Ramadan
menulis banyak buku tentang Islam dan Gerakan Islam Kontemporer, antara lain
“Western Muslims and the Future of Islam” (Oxford University Press, 2007),
“Islam and Arab Awakening” (Oxford University Press, 2012), dan What I Believe
(Oxford University Press, 2009). Selain mengajar di Faculty of Oriental
Studies, Oxford University, beliau juga menjadi Direktur European Muslim
Network yang berbasis di Brussels, Belgia. Beliau aktif menggalang kampanye
dalam menentang Islamofobia dan sangat kritis dengan kecenderungan Gerakan
Islam kontemporer, termasuk Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh kakeknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar