(Staf Departemen Kehumasan KAMMI Kota Ternate Periode 2012-2014)
Reideologisasi dan Rekonstruksi
Pada
dasarnya bagi saya, KAMMI bukan sebuah gerakan mahasiswa yang original. Dalam artian KAMMI tidak
memiliki konsep yang dari awal dirancangnya sendiri, tapi KAMMI adalah gerakan
mahasiswa peniru (imitator). Imitasi yang akhirnya berinovasi, itulah yang
tepat disematkan pada KAMMI sebagai keorisinalanya. Pada dasarnya semua yang
ada di dunia adalah peniru, bukan orisinal atau lebih tepatnya pengembangan
karena berbagai inovasi dimulai dari sebuah peniruan (imitasi). Imitasi adalah
meniru dengan membuat seperti yang sudah ada. Sedangkan inovasi adalah
pembaruan ataupun penemuan dari sekumpulan hal yang sudah ada, tetapi memiliki
nilai tambah. Imitasi dibagi dalam tiga bagian, yaitu imitasi inferior, imitasi
mirip, dan imitasi superior (Sidik dalam Trim, 2011). Imitasi inferior artinya
produk yang dihasilkan jauh mutunya dibandingkan produk yang ditiru. Imitasi
mirip artinya produk yang dihasilkan sama mutunya atau minimal mendekati mutu
produk yang ditiru. Dan imitasi superior artinya pada tingkatan ini imitator
membuat produk lebih bagus daripada produk yang ditiru.
KAMMI merupakan bagian dari gerakan dakwah ideologis yang mengglobal yang mempunyai kekhasan. Ini sebuah keniscayaan yang seharusnya dieksplor lebih jauh oleh KAMMI. Maka pada tataran ini adalah ranah re-ideologisasi. Pendalaman pemahaman sebagai Gerakan Tarbiyah dan penguatan pemahaman sebagai bagian dari pengembangan Ikhwanul Muslimin. Tapi dalam hal ini bukan membuat KAMMI terjebak pada gerakan politik praktis, namun lebih pada pendalaman pemikiran harakah Islam.
Disini KAMMI akan menempatkan dirinya sebagai basis gerakan massa politis (ekstra parlementer) atau sebagai mesin ideologis atau peleburan keduanya, gerakan massa yang berideologi. Penempatan KAMMI sebenarnya (atau butuh sebuah kesadaran) adalah sebuah cover dari harakah Islam tertentu dalam gerakan ideologi yang lebih besar, sehingga posisinya sebagai klien secara fisiologis dari gerakan ideologi itu sendiri. Maka bila ditempatkan sebagai mesin ideologis minimal KAMMI harus menjadi imitasi mirip sedangkan dalam tindakannya ia harus menjadi imitasi superior.
Dalam ranah ini, maka dibutuhkan rekonstruksi melalui fase-fase. Ikhwanul Muslimin misalkan, memiliki fase-fase yang terdiri dari fase pengenalan, fase pembentukan, dan fase pelaksanaan. sejatinya KAMMI harus memiliki fase, yakni fase Konseptual, Transisi, Substansi, dan Transformasi.
Fase
Konseptual adalah fase memperkuat
ranah ideologis melalui penguatan sistem administrasi organisasi dan
konsepsi-konsepsi organisasi terutama pada kaderisasi. Sejauh ini konsep-konsep
organisasi yang terlembagakan cenderung berubah setiap pergantian kepengurusan
(baik tingkat pusat hingga komisariat), budaya ini seharusnya diubah menjadi
organisasi yang bersifat keberlanjutan. Hampir yang tidak berubah adalah
konsepsi “Muslim Negarawan”. Tapi inipun multitafsir sebagai output pengkaderan
KAMMI atau sebagai sosok solusi kepemimpinan yang ditawarkan KAMMI untuk
Indonesia. Begitu pula tidak adanya patron yang ditawarkan KAMMI secara rill
sebagai prototype. Walaupun memiliki
kriteria diantaranya memiliki basis ideologi Islam yang mengakar, basis
pengetahuan dan pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada
pemecahan problematika umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen
bangsa pada upaya perbaikan. Maka langkah konseptual adalah melembagakan secara
kontinyu konsep-konsep dan membakukan sebagai panduan organisasi, misalkan
dibukukan dan seterusnya.
Fase
Transisi adalah fase try and error dari Fase Konseptual. Fase
percobaan dari konsep-konsep yang telah dibangun. Maka pada fase ini terjadi
proses perbaikan dan penyempurnaan yang disesuaikan dengan realitas.
Fase
Substansi adalah fase yang
mengokohkan dari fase transisi. Mengokohkan segala konsep yang telah diperbaiki
dan disempurnakan untuk melangkah kepada fase selanjutnya. Fase Transformasi
yang merupakan fase penerapan atau pelaksanaan berbagai konsep-konsep
organisasi. Maka kini dalam fase transformasi KAMMI memiliki dua konsepsi yang
harus direalisasi yaitu Muslim Negarawan dan Sipil Keummatan sehingga
membutuhkan tafsiran yang dikonsepkan secara jelas dan dibakukan.
Sama halnya dengan perkataan Hasan Al-Banna bahwa
seringkali ketiga fase (Ikhwanul Muslimin, fase pengenalan, fase pembentukan,
dan fase pelaksanaan) ini berjalan secara bersamaan karena melihat kesatuan
dakwah dan kuatnya keterkaitan antara ketiga fase tersebut. Maka fase-fase
KAMMI dapat dilalui secara bertahap tapi dapat pula dijalani secara bersamaan.
Dan dapat pula dilakukan reformulasi sehingga sifatnya dinamis tapi tetap
mengakar.
Transformasi
Praktis
Dalam transformasi praktis ini, saya
membayangkannya terpatri dalam Paradigma Gerakan KAMMI yang dapat
diejawantahkan melalui program kerja. Pertama,
Gerakan Dakwah Tauhid, dalam GBHO KAMMI didefinisikan dalam beberapa
pengertian, Gerakan Da’wah Tauhid adalah gerakan pembebasan manusia dari
berbagai bentuk penghambaan terhadap materi, nalar, sesama manusia dan lainnya,
serta mengembalikan pada tempat yang sesungguhnya: Allah SWT. Gerakan Da’wah Tauhid
merupakan gerakan yang menyerukan deklarasi tata peradaban kemanusiaan yang
berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (Ilahiyyah) yang mewujudkan
Islam sebagai rahmat semesta (rahmatan lil ‘alamin). Gerakan Da’wah Tauhid
adalah gerakan perjuangan berkelanjutan untuk menegakkan nilai kebaikan
universal dan meruntuhkan tirani kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar).
Langkah praktisnya tentu melalui perekrutan,
penguatan pengevalusian (pengkaderan, Madrasah KAMMI-khos), penyebaran gagasan
dakwah. Disini KAMMI menguatkan dirinya sebagai mesin ideologis untuk kadernya
dan generasi muda Muslim. Ini dapat dilakukan melalui daurah marhalah KAMMI, MK-Khos,
kajian tematik, dan kajian-kajian terbuka lainnya. Disini pula KAMMI harus
mendeklarasikan diri sebagai perbaikan gerakan moralitas. Gerakan moralitas ini
bukan gerakan pressure group terhadap
moral pemerintah, tapi gerakan pengkaderan yang bersifat dalam waktu yang lama.
Sehingga pada hakikatnya KAMMI berperan dalam membentuk generasi muda Muslim
dalam membentuk identitas dirinya. Ustad Hilmi Aminudin menyampaikan beberapa
kriteria yang setidaknya baiknya dimiliki oleh individu-individu (pemuda)
ataupun kelompok (organisasi kepemudaan) ataupun paling tidak ada proses
pengkaderan yang secara sadar membentuk individu-individu ini sebagai identitas
dirinya, diantaranya, pertama, paling teguh sikapnya, kedua, paling lapang
dadanya, ketiga, paling dalam pikirannya, keempat, paling luas pandangannya,
kelima, paling giat kerjanya, keenam, paling kokoh tatanannya, ketujuh, paling
banyak memberi manfaat. KAMMI dapat
meneguhkan diri sebagai iron stock
moralitas kepemimpinan, dimana fokus pengkaderannya secara otomatis adalah
generasi muda Muslim dengan pembentukan identitas diri. Sekaligus sebagai
pembentukan karakter Muslim Negarawan dan langkah awal Gerakan Sipil Keummatan.
Kedua, Gerakan
Intelektual Profetik, dalam GBHO KAMMI didefinisikan Gerakan Intelektual
Profetik adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan
nalar akal. Gerakan Intelektual Profetik merupakan gerakan yang mengembalikan
secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal.
Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan
nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan
pemberdayaan manusia secara organik. Gerakan Intelektual Profetik adalah
gerakan pemikiran yang menjangkau realitas rakyat dan terlibat dalam
penyelesaian masalah rakyat.
Langkah praktisnya adalah penguatan budaya membaca
dan tradisi menulis di kalangan kader. Sembari dalam tradisi menulisnya dan
berwacana membawa misi-misi Islami. Semakin banyak kader yang bergulat dalam
merespon isu melalui gerakan opini di media, berbagi gagasan dengan tokoh-tokoh
(melalui silahturahim tokoh), mulai menerbitkan gagasan dan buku dalam berbagai
hal apapun. Maka pada ranah ini adalah ranah pergulatan ide Muslim Negarawan
dan wacana ide Gerakan Sipil Keummatan.
Ketiga, Gerakan
Sosial Independen, dalam GBHO KAMMI didefinisikan Gerakan Sosial Independen
adalah gerakan kritis yang menyerang sistem peradaban materialistik dan
menyerukan peradaban manusia berbasis tauhid. Gerakan Sosial Independen
merupakan gerakan kultural yang berdasarkan kesadaran dan kesukarelaan yang
berakar pada nurani kerakyatan. Gerakan Sosial Independen merupakan gerakan
pembebasan yang tidak memiliki ketergantungan pada hegemoni kekuasaan
politik-ekonomi yang membatasi. Gerakan Sosial Independen bertujuan menegakkan
nilai sosial politik yang tidak bergantung dengan institusi manapun, termasuk
negara, partai maupun lembaga donor.
Langkah praktisnya adalah penguatan pemahaman
pentingnya berkontribusi pada masyarakat (melalui ijtimaiyah). Setelah itu
kader turut berkontribusi melalui gerakan sosial kemasyarakatan serta membangun
mitra dengan berbagai lembaga-lembaga sosial. Penguatan ke ranah-ranah
pemberdayaan masyarakat. Sebagai bentuk aplikasi Muslim Negarawan dan Sipil
Keummatan.
Keempat, Gerakan
Politik Ekstraparlementer, dalam GBHO KAMMI, Gerakan Politik Ekstraparlementer
adalah gerakan perjuangan melawan tirani dan menegakkan demokrasi yang
egaliter. Gerakan Politik Ekstraparlementer adalah gerakan sosial kultural dan
struktural yang berorientasi pada penguatan rakyat secara sistematis dengan
melakukan pemberdayaan institusi-institusi sosial/rakyat dalam mengontrol
proses demokrasi formal. Gerakan Ekstraparlementer berarti tidak menginduk pada
institusi parlemen maupun pembentuk parlemen (partai politik dan senator).
Independensi sikap politik bulat utuh tanpa intervensi partai apapun. Gerakan
Ekstraparlementer bergerak di luar parlemen dan partai politik, sebagai
representasi rakyat secara independen.
Langkah praktisnya, parlemen jalanan. Aksi-aksi
sebagai bentuk pressure group. Aksi
sebagai langkah awal. Setelah itu ada langkah-langkah lain yang perlu
direncanakan seperti advokasi, pembentukan opini publik melalui gagasan,
bersilahturahim dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, menjadi mitra
legislatif sehingga dapat bekerjasama dalam penawaran bentuk regulasi.
Menurut Edo Segara, Modifikasi Strategi KAMMI,
meliputi, Pertama, gerakan moral force ke political force.
KAMMI tidak hanya menjadi pengkritik moral pemerintah ketika sistem politik
tidak pro rakyat tapi KAMMI mulai melakukan langkah pro aktif dan turut andil
dalam kerja-kerja politik dengan berbagai unsur lain dalam menghadirkan
perubahan.
Kedua, pressure groups ke interest groups. KAMMI sudah bukan
masanya lagi sekedar menempatkan dirinya sebagai pressure groups yang
membelenggu KAMMI dalam ranah jalanan dan mengerdilkan daya intelektualitas dan
sikap kritis KAMMI. Konsep pressure group akan menempatkan KAMMI sebagai
pihak luar yang tidak banyak memiliki jangkauan atas proses perubahan yang
disuarakan. Maka tanpa meninggalkan peran pressure groups-nya, KAMMI
harus mulai meningkatkan intensitas peranannya sebagai interest groups. Konsep
interest groups akan membawa KAMMI untuk mengkonsep, merekayasa,
mengawal dan mengontrol proses perubahan. Perjuangan KAMMI akan menjadi
pergerakan yang sangat variatif—di mana pressure groups hanya akan
menjadi salah satu cara perjuangan KAMMI. Perubahan yang dihasilkan lebih
signifikan dan berjangka waktu lama. Maka dengan sendirinya rumusan perjuangan
bersifat lebih kompleks. KAMMI harus mampu menerjemahkan rumusan ideologis
kedalam tataran praktis, dari hal yang normatif kepada hal yang faktual, dari
tataran strategis sampai hal yang konseptual. KAMMI belajar untuk menempatkan
dirinya sebagai mitra pemerintah dan legislatif dalam penguatan data-data
advokasinya.
Ketiga, aksi individual ke aksi jaringan. Pada awal kelahirannya, KAMMI
telah mampu membangun jaringan yang cukup mapan dan solid dengan berbagai
elemen pergerakan. Salah satu faktor kuncinya adalah kesamaan isu dan agenda,
namun kini hal itu sudah berubah. Maka sangat sulit membangun sinergi yang
konstruktif dengan elemen gerakan yang lain. Hal ini merupakan sesuatu yang
wajar karena gerakan ekstra kampus memiliki corak ideologi yang beragam.
Hasilnya KAMMI lebih sering tampil sendirian. Meskipun demikian hal ini membuat
publik menilai KAMMI sebagai salah satu gerakan mahasiswa yang konsisten
terhadap pergerakannya. Sudah saatnya KAMMI memperkuat aliansi-aliansi dan
front-front baik yang seideologis atau yang memiliki kesamaan isu.
Dan output lainnya dari gerakan politik
ekstraparlementer, melalui mesin ideologis yang terbentuk melalui pengkaderan
maka membangun mitra dengan partai politik se-ideologi. Dan kalaupun ada kader
yang berpotensi dan berkeinginan maka terlibat dalam partai politik (paska
KAMMI). Sebagaimana penjelasan GBHO mengenai Posisi KAMMI, salah satunya KAMMI
dan Partai Politik, maka KAMMI menyadari potensi politik KAMMI sebagai gerakan
mahasiswa. Ekspresi gerakan KAMMI adalah ekspresi moral yang berdimensi
politik, dan ekspresi politik yang berdasar pada prinsip moral dan intelektual.
Sebagai gerakan politik yang berbasis moral, KAMMI tidaklah berpolitik
pragmatis yang berorientasi kekuasaan baik bagi gerakan maupun kadernya, tetapi
konsistensi KAMMI terhadap prinsip tersebut tidak akan menyebabkan KAMMI
berjauhan dan antipati dengan Partai Politik yang bekerja dalam ranah politik
praktis. Dalam bingkai independensinya, KAMMI akan siap bekerja sama dengan
mereka yang menurut KAMMI masih mengedepankan intelektualitas, nurani, dan
kepeduliannya pada rakyat dalam berpolitik.
Imajinasi tentang Output
Pada
dasarnya bagi saya, konsepsi Muslim Negarawan adalah kader yang bila
ditakdirkan sebagai pemimpin maka ia siap sebagai pemimpin tapi di satu sisi ia
juga siap sebagai rakyat. Jadi apapun kader KAMMI baik birokrat (PNS), politisi,
akademisi, ilmuwan, pengusaha, tenaga medis, guru, teknokrat, kepala daerah dan
profesi apapun, penjual tempe sekalipun, ia tetap memiliki karakter Muslim
Negarawan, yakni memiliki basis ideologi Islam yang mengakar, basis pengetahuan
dan pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada pemecahan
problematika umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen bangsa pada
upaya perbaikan.
Dengan langkah-langkah sesuai dengan Unsur-Unsur
Perjuangan KAMMI, pertama, bina al-qo’idah al-ijtima’iyah (membangun basis
sosial), yaitu membangun lapisan masyarakat yang simpati dan mendukung
perjuangan KAMMI yang meliputi masyarakat umum, mahasiswa, organisasi dan
lembaga swadaya masyarakat, pers, tokoh, dan lain sebagainya. Kedua, bina
al-qo’idah al-harokiyah (membangun basis operasional), yaitu membangun lapisan
kader KAMMI yang bergerak di tengah-tengah masyarakat untuk merealisasikan dan
mengeksekusi tugas-tugas da’wah yang telah digariskan KAMMI. Ketiga, bina
al-qo’idah al- fikriyah (membangun basis konsep), yaitu membangun kader
pemimpin yang mampu menjadi teladan masyarakat, memiliki kualifikasi keilmuan
yang tinggi sesuai bidangnya, yang menjadi guru bagi gerakan, mengislamisasikan
ilmu pengetahuan pada bidangnya, dan memelopori penerapan solusi Islam terhadap
berbagai segi kehidupan manusia. Keempat, bina’ al-qo’idah al-siyasiyah
(membangun basis kebijakan), yaitu membangun kader ideolog, pemimpin gerakan
yang menentukan arah gerak dakwah KAMMI, berdasarkan situasi dan kondisi yang
berkembang.
Sehingga unsur-unsur perjuangan ini, KAMMI dapat
mencapai Gerakan Sipil Keummatan dengan Karakter Muslim Negarawan yang terpatri
dalam individu-individu kader-kader KAMMI dalam setiap generasi.
Seperti yang digambarkan Hasan Al-Banna dalam
aktivis Ikhwanul Muslimin, mungkin masyarakat melihat seorang aktivis muslim
tengah berdoa di mihrab dengan khusyu’, merendahkan diri, dan menangis.
Tidak seberapa lama aktivis tersebut menjadi pemberi nasihat dan guru yang
mengetuk telinga dengan nasihat-nasihat yang mengesankan. Tidak seberapa lama
ia terlihat sebagai seorang olahragawan tulen yang melempar bola, melatih diri,
dan berenang. Tidak seberapa lama ia telah berada di tempat usaha atau
pekerjaannya untuk melakukan aktivitas ekonominya dengan penuh amanah dan
ikhlas.
Penerapan
nilai-nilai ke-Islaman sebagai langkah dari pengkaderan ideologis KAMMI yang
terpatri bukan hanya dalam pemikiran dan akhlak tapi terpatri pula dalam
tindakan-tindakan pekerjaan, sehingga terjadi perpaduan nilai-nilai ke-islaman
dalam pemikiran, akhlak, dan pekerjaan.
Menurut Nurcholish Madjid, hal itu berarti bahwa
keagamaan harus relevan dengan kehidupan nyata. Dalam hubungannya dengan hal
ini, kita sering lupa bahwa dunia ini sebenarnya berkembang. Sedangkan dalam
setiap perkembangan, tentu berarti terdapat perubahan. Maka, keagamaan harus
mampu menampung perubahan masyarakat (sosial
change).
Maka seperti konsepsi Ikhwanul Muslimin, kita akan
membina diri, sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Kita akan
membina rumah tangga, sehingga menjadi rumah tangga muslim. Kita akan membina
bangsa kita, sehingga menjadi bangsa yang muslim. Kita akan berada di
tengah-tengah bangsa Muslim ini dan akan berjalan dengan langkah pasti menuju
akhir perjalanan, tujuan yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kita, bukan
tujuan yang kita tetapkan untuk diri kita. Dan, dengan izin dan pertolongan
Allah, kita akan sampai ke tujuan. Karena Allah SWT, tidak menghendaki, kecuali
menyempurnakan cahaya-Nya.
Harus
ada kerja sama yang sempurna antara bangsa-bangsa Muslim, menyangkut masalah
wawasan, sosial, dan ekonomi. Setelah itu membentuk perseketuan dan koalisi
serta menyelenggarakan berbagai pertemuan dan muktamar di antara negara-negara
tersebut. Setelah itu membentuk Perseketuan bangsa-bangsa Muslim. Jika hal itu
bisa diwujudkan dengan sempurna, akan dihasilkan sebuah kesepakatan untuk
mengangkat imam yang satu, dimana ia merupakan penengah, pemersatu, penenteram
hati, dan naungan Allah di muka bumi. Wallahu’alam.
Referensi:
Garis-Garis Besar Haluan Organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Hasil-Hasil Muktamar
Kedelapan di Tanggerang Selatan.
Al-Banna, Hasan. 2012. Majmu’atur Rasail Jilid I (Cetakan Kesepuluh). Penerbit
Al-I’tishom. Jakarta.
Madjid, Nurcholis. 2013. Islam, Kemodernan, dan KeIndonesiaan (Edisi Baru, Edisi Kedua).
Penerbit Mizan. Bandung.
Trim, Bambang. 2011. The Art Of Stimulating Idea. Penerbit Metagraf. Solo.
Segara, Edo. 2013. Modifikasi Strategi Gerakan KAMMI di Era Demokratisasi. http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/26/modifikasi-strategi-gerakan-kammi-di-era-demokratisasi/
Rahman, Ardhi. 2013. Strategi Kebudayaan KAMMI: Risalah Rekonstruksi Ideologi
Gerakan KAMMI. http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/21/ibhar-vol-1-strategi-kebudayaan-kammi-risalah-rekonstruksi-ideologi-gerakan-kammi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar