Grady Nagara
Ketua Forum Studi Islam FISIP Universitas Indonesia
Ketua Forum Studi Islam FISIP Universitas Indonesia
DALAM
dunia pemikiran, terutama dunia pemikiran Barat modern, istilah “Neo” dan “Post” bukan sesuatu yang asing. Kita
tentu pernah mengenal istilah “neoliberalisme”, “neomarxisme”, sampai dengan
“neo-institusionalisme”. Neoliberalisme misalnya, pada dasarnya merupakan
wacana lanjutan panjang dari liberalisme yang muncul pada masa Renaissance (masa pencerahan). Ia
merupakan hasil dari evolusi panjang wacana liberalism yang telah
bermetamorfosis dari liberalism klasik hingga liberalisme modern ala Keynesian,
dan akhirnya menemui bentuk baru lagi setelah muncul istilah Washington Consesus –apa yang selama ini kita sebut dengan istilah “neoliberalisme”.
Dalam diskursus Marxisme kontemporer, kita juga mengenal “post-Marxisme”:
sebuah gagasan yang mencoba untuk merekonstruksi gagasan Marxisme setelah era
Lenin dan partai komunisnya berkuasa atas Uni Soviet secara totaliter (Laclau
& Mouffe, 1985). Begitu juga dengan gagasan lain seperti ‘post-modernisme’
yang digagas oleh proponen kritik atas teori-teori modernisasi. Dengan melihat
beberapa wacana ini, saya mendefiniskan term
“neo” sebagai suatu upaya memperbaharui suatu gagasan yang dianggap sudah
tidak relevan lagi dengan zamannya.
Gerakan Tarbiyah, diakui atau tidak, pada hakikatnya merupakan gagasan yang
terinspirasi dari kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir.