Dharma Setyawan
Pegiat Lembaga Kebudayaan KAMMI
Aku mencari-cari sosokmu lagi
Di tengah 250 juta penduduk negeri ini
Bangsa yang asing menyelami fikiranmu
Bangsa yang tidak mengerti maksud berkoperasi
Aku mencari-cari sosokmu lagi
Di tengah berisiknya politisi di senayan
Bangsa yang sombong dengan kebudayaan orang lain
Bangsa yang tidak memahami arti kerja sama
Aku mencari-cari sosokmu lagi
Di tengah timpangnya ekonomi si miskin dan si kaya
Bangsa yang amnesia dengan perdaban nusantara
Bangsa yang lupa menjadi indonesia
Di mana kau Bung Hatta?
Aku masih mencari-carimu lagi
Di mana kau Bung Hatta?
Koperasimu perlu mendidik kami lagi
Di mana kau Bung Hatta?
Kesederhanaanmu kami rindu menilai pemimpin kami
20 Juni 2013
13 Juni 2013
Puisi-Puisi Dedy Yanwar Elfani
Dedy Yanwar Elfani adalah mahasiswa FISIPOL UGM Jurusan Administrasi Negara, kelahiran Pati. Saat ini menjabat sebagai Ketua Umum PD KAMMI Sleman (2011-2013). Penulis buku "Aktivisme Sekejap dan Lenyap (Diandra, 2012). Berikut adalah puisi-puisi yang beliau tulis.
4 Juni 2013
Tarbiyah Sebagai Bentuk Alienasi?
Menarik untuk dikaji sebuah konsep gerakan Tarbiyah, yang
dipandang sebagai gerakan mutakhir yang paling efektif untuk membangkitkan
kembali kejayaan Islam di masa lampau. Tarbiyah dengan sistem halaqahnya,
memang menjadikan para kadernya lebih solid dalam hal persaudaraan (ukhwah). Di mana dalam satu halaqah,
para anggotanya dibatasi dan tidak lebih dari sepuluh orang. Mungkin faktor
inilah yang menyebabkan Jama’ah ini
kuat dan tetap solid walau badai tiada berlalu. Karena biasanya semakin sedikit
sebuah komunitas, maka semakin tinggi tingkat solidaritasnya (militan).
Namun, tetap saja tidak ada sebuah gerakan yang anti-kritik.
Pun demikian dengan Jama’ah Tarbiyah.
Mungkin kita pernah mendengar, tentang adanya sebagian kader-kader Tarbiyah
yang cenderung untuk menegasikan kelompok-kelompok lain bahwa mereka bukanlah
bagian kita, kelompok di luar Tarbiyah salah dan Tarbiyah lah yang paling
benar. Apabila sudah terjadi seperti ini, tentu ada yang salah sehingga
mejadikan Tarbiyah sebagai bentuk alienasi (pengasingan) bukan sebagai
pembebasan!
3 Juni 2013
Memperjelas "Post-Tarbiyah" (Tanggapan untuk Fachry Aidulsyah)
Ahmad
Rizky M. Umar
Bekas
Kepala Departemen Kajian Keilmuan KAMMI Komisariat UGM
Tulisan
Fachry Aidulsyah yang diberi judul "Membicarakan Post-Tarbiyah"
menarik untuk diulas dan dibicarakan lebih lanjut. Selain karena
gagasannya yang cukup bermanfaat untuk memetakan wacana yang ada di
gerakan Tarbiyah saat ini, gagasan ini juga mengurai secara kritis
sebuah wacana yang disebut oleh Fachry sebagai 'post-Tarbiyah'.
Sehingga, tulisan tersebut layak untuk diberi tanggapan dan kritik
yang memadai.
Di artikel tersebut, Fachry memulai dengan gagasannya tentang Tarbiyah, Syuro, dan bagaimana Jama'ah dikelola. Konsep yang jika kita lacak akar genealogisnya, akan sampai pada konsep Ikhwanul Muslimin tentang tanzim. Menurutnya, dengan melacak akar epistemologis dari konsep kolektivitas organisasi (bahasa Ikhwan: Jama'ah), yang diklaim banyak kader (yang diidentifikasi oleh Fachry sebagai 'barisan sakit hati') bersifat anomali (par. 2-3).
Fachry
sendiri mengakui bahwa anomali tersebut terjadi karena sistem
pengambilan keputusan dalam Jama'ah
yang bersifat
'mediokrasi' atau trah,
bukan kredibilitas keilmuan (par. 4). Dari sana, Fachry melihat bahwa
keberadaan wacana 'post-Tarbiyah' linear dengan munculnya
kelompok-kelompok marjinal atau 'Barisan Sakit Hati' (meminjam bahasa
Fachry sendiri) di Tarbiyah (par. 1; par. 11).
1 Juni 2013
Membicarakan ‘Post-Tarbiyah’
Pegiat Kultural KAMMI UGM, Mahasiswa Sosiologi FISIPOL UGM
Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan… Kami adalah orang-orang pemberani. Hanyalah Allah yang kami takuti. Tidak ada satu makhluk pun yang bisa menggentarkan hati kami, atau membuat kami tertunduk apalagi takluk kepadanya. Tiada yang kami takuti, kecuali ketakutan kepada selain-Nya…(Kredo Gerakan KAMMI)Akhir-akhir ini mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga rekan-rekan Jama’ah Tarbiyah –terutama aktivis dakwah kampus- tentang sekumpulan kader yang teridentifikasi sebagai “Barisan Sakit Hati” yang mulai terorganisir dengan rapih. Entahlah apa namanya, sebab disetiap kampus tentunya berbeda dengan kampus yang lain. Banyak orang yang menerka-nerka bahwa gerakan yang dikendalikan oleh “Barisan Sakit Hati” cenderung dimaknai sebagai sebuah penegasian terhadap gagasan tarbiyah secara keseluruhan dan sering mereka memaknainya sebagai gerakan “Post-Tarbiyah” yang melakukan sebuah tindakan reflektif terhadap gagasan ‘tarbiyah’ yang dianggap kian absolut. Namun, benarkah demikian?
KAMMI dan Pemberantasan Korupsi
Alikta Hasnah Safitri
Pegiat Kultural KAMMI UNS
Budaya Korupsi dari Masa ke Masa
“Korupsi di negeri kita
bukanlah akibat dari pikiran yang korup, melainkan akibat dari tekanan ekonomi.
. . Pada akhirnya, ketika pertumbuhan ekonomi menjadi sedemikian pesat dan dan
menciptakan taraf kehidupan yang lebih baik dalam segala bidang, para pegawai
pemerintahan akan menerima gaji yang memadai dan tidak lagi memiliki alasan
untuk melakukan korupsi.”- Soeharto, mantan
Presiden RI
Tidaklah
mengherankan bahwa di era kepemimpinan Suharto, Indonesia menyabet reputasi
sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Dari pernyataanya yang seolah acuh
tak acuh terhadap korupsi seperti yang saya kutip di awal tulisan ini, kiranya
bisa memberikan gambaran bahwa persoalan suap, uang terima kasih, hadiah yang
bernilai ratusan juta pada klien atau bawahan, anggota keluarga, atau pejabat
yang loyal terhadap kekuasaan pemerintah hanyalah persoalan kecil yang dalam
politik ‘diperbolehkan’.
Memang,
bagi sebagian besar masyarakat kita, pemberian hadiah oleh seseorang terhadap
pemimpin atau rekan bisnis bukanlah suatu perkara yang bisa dikategorikan dalam
tindak pidana korupsi. Memberikan jabatan pada keluarga maupun kerabat dekat
juga bukan merupakan bentuk tindakan nepotis. Hal ini tentu bisa dijelaskan,
mengingat bahwa jika kita ingin
menjustifikasi tindakan korupsi sebagai ‘korupsi’ kita harus melihatnya
berdasarkan pada perspektif budaya yang menjadi pemahaman yang menghegemoni
bawah sadar manusianya.
Langganan:
Postingan (Atom)