Ahmad
Rizky M. Umar
Bekas
Kepala Departemen Kajian Keilmuan KAMMI Komisariat UGM
Tulisan
Fachry Aidulsyah yang diberi judul "Membicarakan Post-Tarbiyah"
menarik untuk diulas dan dibicarakan lebih lanjut. Selain karena
gagasannya yang cukup bermanfaat untuk memetakan wacana yang ada di
gerakan Tarbiyah saat ini, gagasan ini juga mengurai secara kritis
sebuah wacana yang disebut oleh Fachry sebagai 'post-Tarbiyah'.
Sehingga, tulisan tersebut layak untuk diberi tanggapan dan kritik
yang memadai.
Di artikel tersebut, Fachry memulai dengan gagasannya tentang Tarbiyah, Syuro, dan bagaimana Jama'ah dikelola. Konsep yang jika kita lacak akar genealogisnya, akan sampai pada konsep Ikhwanul Muslimin tentang tanzim. Menurutnya, dengan melacak akar epistemologis dari konsep kolektivitas organisasi (bahasa Ikhwan: Jama'ah), yang diklaim banyak kader (yang diidentifikasi oleh Fachry sebagai 'barisan sakit hati') bersifat anomali (par. 2-3).
Fachry
sendiri mengakui bahwa anomali tersebut terjadi karena sistem
pengambilan keputusan dalam Jama'ah
yang bersifat
'mediokrasi' atau trah,
bukan kredibilitas keilmuan (par. 4). Dari sana, Fachry melihat bahwa
keberadaan wacana 'post-Tarbiyah' linear dengan munculnya
kelompok-kelompok marjinal atau 'Barisan Sakit Hati' (meminjam bahasa
Fachry sendiri) di Tarbiyah (par. 1; par. 11).
Dengan berpijak pada logika tersebut, Fachry melihat bahwa logika gerakan Post-Tarbiyah inheren dengan konsepsi 'post-modernisme' yang merupakan antitesis/penolakan terhadap 'modernisme', sehingga dengan demikian 'post-Tarbiyah' adalah antitesis terhadap Tarbiyah (par. 10-11). Menurut Fachry, "gerakan ‘post tarbiyah’ bergerak bukan hanya pada wilayah epistimologis,melainkan juga mereka membuat konsepsi dan metodologi tersendiri yang terangkum dalam ranah praksis gerakan" (par. 12).
Dari titik itu, ia berpindah ke sebuah pertanyaan reflektif: benarkah Tarbiyah sendiri sudah usang dan harus diperbarui? (par. 13). Hal itulah yang mengantarkannya pada gagasan tentang 'purifikasi Tarbiyah sebagai alternatif cara pandang baru dalam ber-Tarbiyah.
Beberapa Catatan Kritis
Gagasan
itu menarik. Hanya saja, dengan analisisnya tersebut, ada beberapa
hal yang terlupakan dan menjadi titik lemah utama dari gagasan
Fachry. Inilah yang mengantarkan kita pada beberapa kritik atas
gagasan yang ditulis oleh Fachry.
Pertama, seperti apa sebenarnya bentuk (status ontologis) dari wacana 'post-Tarbiyah' yang coba dikritik oleh Fachry tersebut? Dengan menyamakan 'Post-Tarbiyah' sebagai wacana dengan 'Barisan Sakit Hati', Fachry telah membuat sebuah overgeneralisasi (ke-lebay-an pada penyimpulan) yang menyebabkan ia terjebak pada penilaian yang bersifat judgmental, bahkan cenderung apriori terhadap Post-Tarbiyah.
Jika demikian halnya, Fachry tidak sedang berbicara tentang 'Post-Tarbiyah'; Fachry pada dasarnya sedang berbicara tentang 'Barisan Sakit Hati' melalui penanda yang bernama 'Post-Tarbiyah'. Fachry menjadikan Post-Tarbiyah sebagai penanda-kosong (empty signifier) yang membuat ia bisa melabeli orang sebagai 'post-Tarbiyah' jika ia sakit hati dengan keputusan Jama'ah. Seharusnya, jika Fachry ingin membicarakan Post-Tarbiyah sebagai sebuah gagasan/wacana, Fachry harus menjelaskan secara ontologis bagaimana bentuk dari Post-Tarbiyah itu.
Kedua, Jika 'Post-Tarbiyah' diandaikan sebagai 'antitesis' atau 'penolakan' terhadap Tarbiyah, yang berarti Post-Tarbiyah itu adalah negasi dari Tarbiyah, konsep apa saja yang ditolak oleh 'Post-Tarbiyah dan sejauh mana penolakan itu dapat dijelaskan secara ontologis bersifat negatif terhadap Tarbiyah? Istilah 'post' yang digunakan oleh Fachry di sini cukup problematis. Ia mendefinisikan 'post' sebagai berikut,
"Ketika kita menelusuri lebih jauh, istilah post’ dalam studi gerakan, kerap didefinisikan sebagai sebuah konsepsi gerakan pemikiran yang identik dengan perlawanan terhadap pemikiran yang mapan pada saat itu. Contohnya adalah istilah ‘post modernisme’ sebagai sebuah anti-thesis terhadap gagasan ‘modernisme’ itu sendiri" (par. 10).
Pertanyaannya,
siapakah yang mendefinisikan istilah 'post' sebagai gerakan pemikiran
yang identik dengan perlawanan? Apakah Fachry sedang mengutip
pendapat orang lain atau sedang membuat definisi sendiri? Katakanlah
kita anggap bahwa definisi tersebut dibuat sendiri oleh Fachry. Tapi
ketika melihat penjelasan selanjutnya, di mana Fachry menggunakan
'post-modernisme' sebagai contoh, definisi Fachry justru rancu,
keliru, bahkan ia bantah sendiri.
Di sini, terlihat bahwa Fachry sendiri tidak memahami dengan jelas apa itu Post-Modernisme. Sebab, jika Fachry membaca secara lebih tuntas literatur 'post-modernisme' dari Lyotard hingga Derrida (atau sampai ke penulis yang lebih kontemporer), mereka tidak menolak modernitas, melainkan 'relasi-kuasa' yang dihasilkan di atasnya. Istilah 'post' di sini, justru mengandaikan eksistensi dari modernisme. Jika hal semacam ini tidak diperjelas, Fachry akan kembali jatuh pada judgment terhadap apa yang ia definisikan sendiri sebagai 'post-Tarbiyah'.
Ketiga, yang lebih mendasar, bagaimana sebenarnya konsep 'Tarbiyah' itu lahir dan eksis sebagai sebuah epistemologi tertentu tentang Islam? Fachry dalam tulisannya memang mengulas konsep-konsep kunci dalam Tarbiyah. Namun, ia tidak memandang Tarbiyah secara epistemologis, dalam arti Tarbiyah tidak dilihat sebagai sebuah cara pandang dunia tertentu. Padahal, Fachry pada saat itu sedang mengulas Post-Tarbiyah sebagai sebuah epistemologi tertentu yang tentu saja mengimplikasikan uraian yang lebih serius tentang 'Tarbiyah' sebagai epistemologi.
Dengan demikian, Fachry tidak dengan tuntas melihat bagaimana gagasan 'Tarbiyah' itu membentuk bangunan epistemologi tertentu, dan justru langsung meloncat pada upaya melakukan purifikasi. Jika demikian halnya, perlu dipertanyakan kembali, dalam konteks apa Fachry ingin melakukan purifikasi? Apakah 'purifikasi' itu berarti menegaskan bahwa 'Tarbiyah adalah doktrin kebenaran yang tidak boleh dipertanyakan' atau justru, meminjam gagasan purifikasi yang digunakan Abduh dan Al-Afghany, kembali pada sumber autentik tentang Islam dan membangun epistemologi baru tentang 'Islam' dari sana, yang berarti membuka dialog dan perdebatan? Fachry mungkin perlu mengupas hal ini secara lebih tajam.
Hal-hal semacam ini yang perlu diperjelas lagi. membicarakan 'post-tarbiyah' (jika boleh menggunakan judul tulisan Fachry) berarti melihat Tarbiyah dan Post-Tarbiyah (jika ada) sebagai sebuah wacana tersendiri. Ia tidak bisa merujuk hanya pada 'barisan sakit hati'. Oleh sebab itu, analisis yang lebih komprehensif secara ontologis juga perlu dilakukan, agar tidak terjatuh pada judgment tertentu.
'Post-Tarbiyah' dan 'Post-Islamism'
Saya
akan berangkat pada kritik pertama saya terhadap tulisannya Fachry
atas gagasan 'Post-Tarbiyah'. seperti apa sebenarnya bentuk (status
ontologis) dari wacana 'post-Tarbiyah' yang coba dikritik oleh Fachry
tersebut? Istilah 'post-Tarbiyah' bukanlah sesuatu yang secara
akademik disepakati oleh para penulis. Istilah ini juga tidak pernah
diklaim oleh para pegiatnya. Jika ingin membuat persamaan, kita
bisa mengacu pada konsepsi tentang 'post-Islamisme' yang digunakan
oleh Roy (1999) atau Bayat (2007) untuk menjelaskan perubahan
orientasi gerakan Ikhwanul Muslimin di awal dekade 2000an.
Post-Islamisme yang ditangkap di oleh penelitian Asif Bayat di Mesir adalah terjadinya ‘moderasi’ di Ikhwanul Muslimin sebagai strategi mereka untuk menentang Hosni Mubarak. Bayat melihat Post-Islamisme sebagai ‘strategi kontra-hegemoni’ model Gramsci yang diterapkan Ikhwan untuk melawan rezim Mubarak (Umar, 2013a). Secara epistemologis, gagasan 'post-Islamisme' dapat dilacak pada perdebatan antara Hasan Al-Hudaybi dan Sayyid Qutb dari dua tulisannya di penjara, yang melihat bahwa gagasan tentang 'negara Islam' bukanlah sesuatu yang bisa dicapai secara revolusioner (Umar, 2013b). Gagasan ini kemudian mulai mewujud ketika Umar Tilmisani menjadi mursyid 'am Ikhwan dan mengubah pola gerak Ikhwan.
Narasi yang ditampilkan dalam pembentukan Partai Wasat di tahun 1996 menampilkan gagasan 'post-Islamisme' secara lebih utuh. Jika mengikuti studi Stacher (2002), misalnya, kita akan menangkap gagasan tentang 'politik Islam' yang universal dan rahmatan lil 'alamin. Gerakan ini moderat terhadap hak-hak non-muslim dan perempuan. Beberapa wawancara dengan Abul A'la al-Mady (1999) atau Ibrahim Al-Za'afarani (2012) memperlihatkan corak gagasan ini; bahwa 'gerakan Islam' perlu memperlihatkan visi kemanusiaan dan visi moderatnya di ranah publik.
Jika kita mengikuti pergerakan Ikhwanul Muslimin, secara sederhana gagasan 'post-Islamisme' dapat kita petakan sejak munculnya Partai Wasat. Perdebatan antara Abul A'la al-Mady dengan Ma'mun Al-Hudaybi (waktu itu belum menjadi Mursyid 'Am dapat dilihat sebagai sebuah upaya untuk melakukan 'moderasi'. Hanya saja, Al-Mady, tidak seperti Erdogan di Turki yang melakukan manuver secara damai, sikap kerasnya membuat ia dikeluarkan dari Ikhwan. Namun, upaya untuk melakukan 'moderasi' ini tetap bertahan di Ikhwan dengan faksi-faksi lain, seperti Abul Futuh atau Al-Erian, yang terlihat dari upaya mereka mendorong Ikhwan sebagai gerakan oposisi pada pembentukan Gerakan Kifaya di tahun 2004.
Lantas, secara epistemologis, apa yang kita maksud dengan 'post-Islamism' tersebut, dan bagaimana ia terhubung dengan Jama'ah Tarbiyah? Pemaparan di atas menunjukkan satu hal: 'post-Islamism' bukanlah antitesis dari 'Islamism', melainkan 'wajah lain' dari Islamism. Epistemologi yang dibangun oleh Abul A'la al-Mady dalam Partai Wasat bukanlah epistemologi yang menolak Ikhwan; ia berulang-kali menekankan pentingnya gagasan Hasan Al-Banna dalam membentuk konsepsi politik tertentu dalam Islam (Stacher, 2002). Namun, Al-Mady mengartikulasikan gagasan Al-Banna tersebut dalam praksis politik berbeda dengan tanzim Ikhwan.
Jika boleh meminjam wacana psikoanalisis, gagasan Al-Mady pada dasarnya adalah 'Ikhwan yang-lain' (The Other Ikhwan), yang selama ini direpresi hasratnya oleh formalisasi Ikhwan dalam bentuk tanzim. Sehingga, 'post-Islamism' adalah 'Ikhwan yang-lain', yang membangun sebuah epistemologi tentang Islam pada kerangka berpikir Ikhwan, tetapi membangun basis metodologi yang berbeda.
Jika logika ini kita terapkan pada Tarbiyah, kita akan menangkap benang merahnya: 'Post-Tarbiyah' bisa jadi adalah 'Tarbiyah yang-lain'. Dalam arti, epistemologi Tarbiyah yang diartikulasikan bukanlah Tarbiyah yang-politis sebagaimana diartikulasikan oleh PKS, yang mengimplikasikan semua hal dibangun atas logika tanzim yang arbitrer dan strukturalistik, tetapi Tarbiyah yang mengartikulasikan dimensi-dimensi yang lain yang direpresi oleh kecenderungan PKS-centrism dalam diri Tarbiyah.
Tentu saja, gagasan ini tidak bisa kita baca dalam bentuk-bentuk formal. Tetapi, dengan pembacaan ini, kita dapat mengidentifikasi, misalnya, FKP (Forum Kader Peduli) di Jakarta, sebagai post-Tarbiyah. Atau, gagasan yang coba dibangun oleh Komunitas Jogokaryan yang dibina Ust. Jazir di Yogyakarta. Di tubuh mahasiswa kita juga bisa lihat contoh lain pada Forum Diskusi KAMMI Kultural. Dengan demikian, 'post-Tarbiyah' bukanlah 'anti-Tarbiyah', melainkan pelampauan atas bentuk-bentuk hegemonik tertentu di Tarbiyah.
Logika di atas mungkin perlu diperjelas lagi: bagaimana 'post-Tarbiyah' melihat bentuk-bentuk formal Tarbiyah seperti Jama'ah atau Syuro? Penjelasannya mungkin bisa panjang; tetapi saya mencoba untuk melihat satu contoh: bagaimaa memahami logika al-hizb huwa al-jama'ah wa al-jama'ah hiya al-hizb (Partai adalah Jama'ah; dan Jama'ah adalah Partai).
Jika dilacak di tulisan Hasan Al-Banna, istilah ini tentu tidak akan ditemukan. Logika ini berkembang di PKS untuk mengikat seluruh artikulasi Jama'ah dalam rangkaian Hizb. Seorang kader 'Tarbiyah akan dengan taat menaati doktrin ini. Tetapi, tentu saja, jika dikritisi, kita perlu mempertanyakan: apakah konstruksi ini fundamental? Bukankah Hasan Al-Banna, dalam Risalah Muktamar V dan VI, menampilkan posisi Ikhwan yang bersifat ekstraparlementer?
Pada titik inilah kita bisa melihat mengapa generasi 'Post-Tarbiyah' banyak yang kemudian melakukan kritik terhadap keputusan-keputusan Jama'ah (seperti ditulis oleh Fachry). Persoalannya tidak bisa direduksi sekadar 'tidak taat' atau Syuro yang tidak kompeten, tetapi persoalan bagaimana mengartikulasikan sesuatu yang berbeda dari apa yang dipahami Ikhwan/jama'ah selama ini. Hal-hal semacam ini bisa diverifikasi, misalnya, secara epistemologis pada basis teks yang menjadi pijakan epistemologi Tarbiyah. Hal inilah yang tidak kita dapati dari cara pandang Fachry tentang 'Post-Tarbiyah'.
Pentingnya Iqra'
Seberapa
pentingkah 'membaca' dalam Islam? Allah sendiri yang menempatkannya
di posisi strategis: wahyu pertama. Membaca adalah pintu gerbang
pengetahuan. Tanpa membaca, gerakan akan kehilangan arah. Tanpa
membaca, gerakan akan kehilangan dimensi pengetahuan yang membuatnya
membabi-buta; berjalan tanpa arah yang jelas. Oleh sebab itu,
alih-alih memberikan tawaran 'purifikasi', saya mencoba
menawarkan 'membaca' sebagai cara untuk menghadapi 'post-Tarbiyah'.
Mungkin,
jika kita ingin membedakan gerakan mana yang 'post-Tarbiyah' dan mana
yang 'barisan sakit hati', kita bisa memulainya dari membaca apa yang
dipikirkan oleh orang-orang itu. Jangan-jangan, mereka berbeda bukan
karena sakit hati, tetapi karena pemahaman yang berbeda. Atau, karena
ia merasa ada 'something wrong' dengan kondisi yang ada, dan
memilih untuk menempuh jalan yang lain. Pada titik inilah dialog dan
pembicaraan menjadi penting. Dan dari sana, belajar untuk memahami
satu sama lain; alih-alih saling menegasikan.
Sebagai seorang aktivis yang lama menekuni Tarbiyah, saya kira sudah saatnya Fachry mulai dapat memahami hal-hal ini secara lebih arif. Bahwa, yang-lain itu tidak selalu yang-berbahaya. Bisa jadi, yang-lain itu justru adalah sesuatu yang bisa bercermin; mengidentifikasi diri; dan menemukan apa yang kurang pada diri sendiri. Tapi ini hanya sekadar'bisa jadi'; tugas kita ke depan untuk membaca yang sebenarnya, di dunia nyata.
Nashrun
Minallah wa Fathun Qariib.
tulisan
Fachry:
http://www.facebook.com/notes/fachry-aidulsyah/membicarakan-post-tarbiyah/10151859275504622?notif_t=comment_mention
Tidak ada komentar:
Posting Komentar