1 Juni 2013

Membicarakan ‘Post-Tarbiyah’

Pegiat Kultural KAMMI UGM, Mahasiswa Sosiologi FISIPOL UGM  

Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan… Kami adalah orang-orang pemberani. Hanyalah Allah yang kami takuti. Tidak ada satu makhluk pun yang bisa menggentarkan hati kami, atau membuat kami tertunduk apalagi takluk kepadanya. Tiada yang kami takuti, kecuali ketakutan kepada selain-Nya…(Kredo Gerakan KAMMI)
Akhir-akhir ini mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga rekan-rekan Jama’ah Tarbiyah –terutama aktivis dakwah kampus- tentang sekumpulan kader yang teridentifikasi sebagai “Barisan Sakit Hati” yang mulai terorganisir dengan rapih. Entahlah apa namanya, sebab disetiap kampus  tentunya berbeda dengan kampus yang lain. Banyak orang yang menerka-nerka bahwa gerakan yang dikendalikan oleh “Barisan Sakit Hati” cenderung dimaknai sebagai sebuah penegasian terhadap gagasan tarbiyah secara keseluruhan dan sering mereka memaknainya sebagai gerakan “Post-Tarbiyah” yang melakukan sebuah tindakan reflektif terhadap gagasan ‘tarbiyah’ yang dianggap kian absolut. Namun, benarkah demikian?


Tarbiyah; Antara Gagasan dan Anomali

Pada point ini, penulis mencoba memberikan penilaian bahwa istilah ‘post tarbiyah’ adalah istilah yang bersifat epistimologis. Gagasan tersebut lahir sebagai sebuah hasil pemikiran reflektif sebagian kader terhadap gagasan tarbiyah yang dianggap telah mengakibatkan anomali. Ada dua faktor yang menjadi penyebabnya, yaitu; (1) Anomali Realitas: Meminjam istilah Thomas Kuhn; anomali terjadi karena antara paradigma politik dakwah dan penanaman nilai-nilai siyasah Islamiyah disetiap halaqoh tarbiyah tidaklah berkorelasi positif terhadap implementasi praksis politik kader. Dengan kata lain; ideologi hanyalah menjadi seperangkat nilai normatif yang tidak dapat diimplementasikan pada realitas politik yang sesungguhnya. (Benarkah demikian?)

(2)Anomali Nilai: Dalam hal ini,nilai-nilai ke-tarbiyah-an dianggap mengalami anomali, karena adanya segelintir orang yang menggunakan identitas ke-tarbiyah-annya untuk mengukuhkan posisi, status, ataupun jabatan didalam jama’ah tarbiyah. Terkadang, penggunaan legitimasi identitas ini mengukuhkan seseorang menjadi petinggi jama’ah -ataupun petinggi organisasi yang dikehendaki jama’ah- tidak lagi ditentukan oleh kredibilitas keilmuan dan ‘amal yaumiyah seseorang, melainkan ditentukan berdasarkan trah yang diturunkan dari ke-tarbiyah-an keluarga maupun berdasarkan loyalitasnya terhadap agenda partai.

Akibat dari semua ini adalah, terkadang tangkup kepemimpinan jama’ah -ataupun organisasi yang dikehendakinya- diamanahkan kepada orang-orang yang belum terstandarisasi. Terkadang mereka belum diuji berdasarkan aspek intelektual, keilmuan, spiritual, dan dan moral , sehingga keputusan yang mereka buat untuk jama’ah –terkadang- hanyalah didasarkan pada pemikiran mereka sendiri yang dijadikan sebagai suatu kebenaran bagi kebijakan jama’ah.

Dalam perkembangan filsafat, konsep kebenaran yang berdasarkan ‘pemikiran individu’ merupakan tradisi yang berkembang dalam filsafat Barat. Salah satu tokoh terkemuka dalam filsafat ini adalah Emanuel Kant. Dengan pendekatan rasio praktisnya, Kant berkata;  "Bertindaklah sedemikian rupa, sehingga maksim kehendakmu kiranya dapat berlaku setiap saat sekaligus dapat ditetapkan sebagai suatu undang-undang yang bersifat universal."

Habermas menyatakan bahwa cara pandang filsafat Kant merupakan sebuah refleksi yang bersifat monologis[1] yang akan menyebabkan sifat absolutisme dan totaliter. Absolutisme dipandang olehnya sebagai bagian dari imperatif kategoris –suatu perintah yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota tanpa syarat, sementara pemimpin tidak membuka dialog dengan anggota yang lainnya dalam membuka ruang partisipasi untuk mengambil sebuah keputusan. Dari rasio praktis inilah, pemimpin akan memandang secara monologis bahwa kebenaran yang hakiki berada didalam otoritas individu yang mengaatas-namakan jama’ah. Wajarlah jikalau banyak orang yang beranggapan bahwa setiap aktivitas syuro' yang selama ini dilakukan sejatinya hanyalah formalitas belaka, sedangkan keputusan sudah ditentukan terlebih dahulu sebelum syuro' itu berlangsung.

Rasulullah bersabda,”Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan.” [HR Muslim].

S.M.N Al- Attas (1993) menyiratkan; ketika kepemimpinan jama’ah diberikan kepada seseorang -yang tidak diukur berdasarkan kualitas intelektual,moral, dan spiritualnya- akan memungkinkan munculnya ‘pemimpin-pemimpin palsu’ yang akan melestarikan pengekalan pengaruh mereka terhadap usuran umat. Mereka akan melestarikan keadaan ini dengan cara menjamin keberlanjutan estafet kepemimpinan tidak lagi dilihat berdasarkan kredibilitas seseorang, melainkan hanyalah pada loyalitas belaka.

Perihal ini sebuah refleksi buat kita tentang bagaimanakah mekanisme pemilihan  majlis syuro’ disetiap fakultas maupun ditingkatan universitas. Bagaimanakah mekanisme yang berkembang dalam mekanisme pemilihan tersebut? Sudahkah diukur berdasarkan kredibilitas seseorang berdasarkankualitas keilmuan, moral, dan spiritualnya?. Sebab, setiap dari kita meyakini bahwa setiap kebijakan yang baik, tentu akan berkorelasi positif terhadap kebaikan umat. Tidak akan mungkin kebijakan yang baik ketika diterapkanditengah-tengah objek dakwah justru malah menimbulkan keburukan, perpecahan, ataupunketidak percayaan publik terhadap kinerja dakwah kita. Terlebih jika banyakumat muslim yang menolak cara dakwah kita, maka harus ada instrospeksi terhadap berbagai macam kebijakan dakwah yang kita buat.

Post Tarbiyah sebagai  Gerakan Pembaharu?

Ketika kita menelusuri lebih jauh, istilah ‘post’dalam studi gerakan, kerap definisikan sebagai sebuah konsepsi gerakanpemikiran yang identik dengan perlawanan terhadap pemikiran yang mapan padasaat itu. Contohnya adalah istilah ‘post modernisme’ sebagai sebuah anti-thesisterhadap gagasan ‘modernisme’ itu sendiri.

Dengan begitu, maka kita akan mengambil kesimpulanbahwa istilah ‘post tarbiyah’ sebagai sebuah anti-thesis terhadap gerakantarbiyah itu sendiri. Tidak jauh berbeda dengan kemunculan ‘post modernisme’pada umumnya, kemunculan ‘post tarbiyah’ merupakan sebuah perlawanan terhadapgerakan ‘tarbiyah’ karena berbagai macam alasan, diantaranya; karena ketidakpercayaan, karena dianggap kian absolut, karena dianggap tidak memberikanpencerdasan, karena dianggap tidak membebaskan ataupun tidak dapat menerimakritik yang menyebabkan seseorang ingin menciptakan tandingan gerakan barusebagai anti-thesis dari gerakan tarbiyah itu sendiri.

Dari sini kita akan mengambil benang merah bahwagerakan ‘post tarbiyah’ bergerak bukan hanya pada wilayah epistimologis,melainkan juga mereka membuat konsepsi dan metodologi tersendiri yang terangkumdalam ranah praksis gerakan. Dengan kata lain, gerakan ‘post tarbiyah’menciptakan sistem tersendiri –baik dalam ranah pikiran maupun ranah tindakan-yang berbeda dengan gerakan tarbiyah pada umumnya. Bentuk ‘post tarbiyah’adalah sebuah perlawanan terhadap ‘tarbiyah’, mereka adalah dua gerakan yangberbeda dan saling berbenturan satu sama lain. Sehingga kita akan melihatterjadinya persaingan yang sangat menonjol satu sama lain dalam membanguntradisi gerakan.

Pertanyaannya adalah; apakah benar saat ini tarbiyahsudah usang karena sudah terlalu banyak menimbulkan ketidak percayaan?  Padahal, bangunan dari sistem ‘tarbiyah’berasal dari konsepsi-konsepsi transendental yang berpedoman pada Al-Qur’an danSunnah. Konteks permasalahan mendasar yang dialami bukanlah karena faktorsistemnya ke-jamaah-annya, melainkankarena faktor pola kaderisasi keanggotaannya sendiri yang melahirkankader-kader instan. Dengan begitu, pengambilan sikap membangun gerakan ‘posttarbiyah’ tidak akan pernah mampu memperbaiki permasalahan internal tarbiyahitu sendiri, melainkan menimbulkan perpecahan baru yang membangun tradisipersaingan, saling mencari kekurangan satu sama lain, bukan saling melengkapidan bukan untuk saling menutupi kekurangan satu sama lain.

Purifikasi Tarbiyah sebagai Solusi; Sebuah Gagasan

Dari hal diatas, mungkin penulis mengambilkesimpulan bahwa perlunya sebuah refleksi terhadap gerakan tarbiyah selama ini.Yang harus dibangun adalah gerakan purifikasi tarbiyah itu sendiri, mencobamengembalikan gerakan tersebut pada khittahawal perjuangannya sebagai sebuah gerakan dakwah yang menjadikan agama Islamsebagai rahmatan lil ‘aalamiin.

Ada beberapa permasalahan mendasar yang menyebabkan gerakan tarbiyah semakin terjerumus, salah satunya adalah; pola kaderisasi: sebagaimana penulis terangkan diatas, salah satucontoh kecilnya adalah pola kaderisasi dalam menentukan majlis syuro’ yang ada di beberapa fakultas dan universitas banyakyang belum terstandarisasi dalam aspek intelektual, spiritual, dan dan moral.Masih banyak diantara kita yang menetapkan majlissyuro’ hanya karena faktor loyalitas belaka. Seandainya pun memang dalamkeadaan terdesak untuk menetapkan seseorang yang belum terstandarisasi menjadi majlis syuro’ karena alasan minimnya kader di fakultas maupun di universitas tersebut, terkadang mereka lebih memprioritaskan tuntutan kepada kinerja setiap majlis syuro’, ketimbang melakukan up grading secara simultan untuk meningkatkan kapasitas keilmuan,moral, dan spiritual setiap majlis syuro’.Permasalahan inilah faktor yang paling mendasar yang menyebabkan anomaligerakan. Karena sistem kaderisasi yang terlalu instan dalam menciptakanpemimpin yang akan memangku kebijakan sedangkan mereka dalam keadaan yang belummatang.

Disinilah point penting gerakan purifikasi tarbiyah harus dilakukan, mencoba untuk membenahi permasalahan-permasalahan secara mendasar, salah satunya adalah mematangkan pola kaderisasi dengan melakukan monitoring terhadap peningkatan kapasitas keilmuan, spiritual, dan moralitas setiap kader secara terstruktur dan menekankan pada aspek yang bersifat transendental. Karena tiga hal tersebut menjadi suatu hal yang fundamen bagiseorang muslim dalam perbaikan umat. Aspek yang menjadi penting selanjutnya adalah; pola pemahaman, yaitu; konsep tsiqoh terhadap sebuah keputusan tidak dimaknai secara sempit tanpa mengetahui landasan ilmu dan karakteristik orang yang menetapkan keputusan tersebut. Sebab Islam melarang seseorang untuk bertaklid buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa kebenarannya, walaupunperihal tersebut datanganya dari kalangan segolongan, sebangsa, seagama, ataupun dari ibu-bapak dan nenek moyang sekalipun. Allah berfirman; Dan janganlahengkau turut apa jang engkau tidak mempunjai pengetahuan atasnya,karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanya akanditanya tentang itu. (Q.s. Al-Israa’: 36.)

Dari konsep purifikasi tarbiyah ini ditekankan,bahwa purifikasi tarbiyah dimaknai bukan sebagai sebuah gerakan perlawananterhadap gerakan tarbiyah itu sendiri, melainkan purifikasi adalah sebuahspirit yang harus lahir dari setiap hati dan nurani kader untuk saling ber- watawashau bil haq dan berwatawashau bii shobr. Spirit untukmelakukan perbaikan diinternal tarbiyah itu sendiri, spirit pemurnian orientasiyang harus diarahkan hanya untuk dakwah, bukan untuk kepentingan pribadi. Sebab, sejatinya kita meyakini bahwa gerakan Tarbiyah lahir dari sebuah spirityang meyakini bahwa hukum Allah adalah suatu hal yang absolut dan mutlak, yangakan memberikan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta. Eirich Fromm (1968) menyatakan; siapa yang tidak menerima otoritas Tuhan  takan mengikuti: (1) relativisme penuh, dimana nilai dan norma sepenuhnya adalah urusan pribadi, (2) nilai tergantungpada masyarakat, sehingga nilai dari golongan yang dominan akan menguasai, dan(3) nilai tergantung pada kondisi biologis, sehingga darwinisme sosialisme, kompetisi, dan agresivitas adalah adalah nilai-nilai kebajikan.

Setidaknya dengan begitulah, kita akan meyakini bahwa harapan itu masih ada..

Billahi Fii Sabiilil Haq..

[1]Monologis disini diartikan sebagai “pembenaran pendapat pribadi, sedangkan yang lain salah”.

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Assalamu Alaykum..

    Artikel Anda menarik sekali. Semoga kita dapat saling sharing masalah ini lebih lanjut, terutama dengan lapang dada.

    Perkenalkan, saya Ketua Al-Hikmah Research Center, departemen kajian pemikiran sosial politik Islam sekaligus departemen peningkatan sumber daya manusia strategis di Forum Studi Islam (FSI) FISIP Universitas Indonesia.

    Nama saya Tom. Kalau Anda tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang topik ini, silakan hubungi saya di @Atomisbi atau @ARC_FISIP_UI, Tom Al-Ayyubi (Facebook), atau di nomor pribadi saya 085691687287.

    Terima kasih.

    BalasHapus