Alikta Hasnah Safitri
Pegiat Kultural KAMMI UNS
Budaya Korupsi dari Masa ke Masa
“Korupsi di negeri kita
bukanlah akibat dari pikiran yang korup, melainkan akibat dari tekanan ekonomi.
. . Pada akhirnya, ketika pertumbuhan ekonomi menjadi sedemikian pesat dan dan
menciptakan taraf kehidupan yang lebih baik dalam segala bidang, para pegawai
pemerintahan akan menerima gaji yang memadai dan tidak lagi memiliki alasan
untuk melakukan korupsi.”- Soeharto, mantan
Presiden RI
Tidaklah
mengherankan bahwa di era kepemimpinan Suharto, Indonesia menyabet reputasi
sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Dari pernyataanya yang seolah acuh
tak acuh terhadap korupsi seperti yang saya kutip di awal tulisan ini, kiranya
bisa memberikan gambaran bahwa persoalan suap, uang terima kasih, hadiah yang
bernilai ratusan juta pada klien atau bawahan, anggota keluarga, atau pejabat
yang loyal terhadap kekuasaan pemerintah hanyalah persoalan kecil yang dalam
politik ‘diperbolehkan’.
Memang,
bagi sebagian besar masyarakat kita, pemberian hadiah oleh seseorang terhadap
pemimpin atau rekan bisnis bukanlah suatu perkara yang bisa dikategorikan dalam
tindak pidana korupsi. Memberikan jabatan pada keluarga maupun kerabat dekat
juga bukan merupakan bentuk tindakan nepotis. Hal ini tentu bisa dijelaskan,
mengingat bahwa jika kita ingin
menjustifikasi tindakan korupsi sebagai ‘korupsi’ kita harus melihatnya
berdasarkan pada perspektif budaya yang menjadi pemahaman yang menghegemoni
bawah sadar manusianya.
Beberapa
praktik yang saat ini kita sebut sebagai korupsi sebenarnya dapat kita temukan
dilaksanakan di kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa pada masa lampau. Para raja
Jawa di masa lalu berupaya mendapat jaminan loyalitas dari para elite politik
di kerajaannya dengan menempatkan orang-orang yang setia terhadapnya pada
posisi-posisi tertentu dengan pemberian gelar khusus agar pada saatnya nanti
memberikan kebermanfaatan bagi posisi sang Raja. Dan pemanfaatan kekuasaan
untuk hal-hal semacam itu tidak dikategorikan sebagai nepotisme. Sebagai
akibatnya, para bangsawan yang diangkat oleh sang Raja pun secara berkala
memberikan upeti yang berfungsi sebagai simbol loyalitas dan ‘balas jasa’
kepada sang Raja. Inilah yang seolah membenarkan praktik tahu sama tahu, yang diadopsi untuk membenarkan praktik-praktik
serupa di era sekarang.
Konsepsi
kepemimpinan Jawa yang menempatkan kekuasaan Raja dalam hierarkis kasta yang
kaku dan memberikan pandangan bahwa jabatan sebagai Raja memiliki kekuasaan
absolut sehingga rakyat harus nrimo ing
pandum pada segala bentuk kebijakan yang diambil oleh raja yang tak pernah salah telah memberi
dampak kuatnya tradisi patronasi dalam gaya kepemimpinan yang diwariskan turun
temurun secara periodik dari masa ke masa. Patronasi ini terlembaga dalam
sistem patrimonial yang berhubungan dengan corak politik dimana kekuasaan
penguasa diperoleh terutama dari kemampuannya mempertahankan loyalitas dari
elite politik yang menyokong kepemimpinannya dengan jalan memuaskan keinganan
mereka.
Dalam
perkembangan selanjutnya, ketika penjajah datang ke Nusantara, praktik
aristokrasi tradisional pun mulai diterapkan dengan mempekerjakan para pamong
praja/ penguasa pribumi oleh pemerintah
kolonial. Sehingga, otoritas para penguasa pribumi lebih tergantung pada koloni
penjajah, bukan atas legitimasi mereka sebagai penguasa sah. Budaya Indonesia
secara substantif pun banyak dibentuk oleh kebudayaan Jawa, apalagi sejarah
kepemimpinan republik ini secara periodik menunjukan dominasi kepemimpinan para
pribumi Jawa. Lihat saja pada kepemimpinan Soekarno, Soeharto, Megawati, Gus
Dur, dan SBY yang memiliki latar belakang budaya Jawa yang relatif bisa kita
lihat dalam corak kepemimpinannya.
Namun,
yang perlu digarisbawahi adalah bahwa korupsi akan selalu menimbulkan pengaruh
politis yang membawa pada kejatuhan sebuah sistem. Pada abad ke 18, praktik
bisnis korup menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kebangkrutan VOC.
Demokrasi Terpimpin Soekarno dengan kebijakan nasionalisasi asset-aset asing
menjadi milik Negara membawa dampak mewabahnya praktik korupsi besar-besaran, seiring
dengan inflasi anggaran belanja hingga membawa kejatuhannya antara tahun
1965-1966. Pun, demikian terulang pada Soeharto tiga dekade setelahnya dengan
praktik korupsi dalam birokrasi pemerintahannya. Kini, di era reformasi,
korupsi bukannya habis, malah semakin berkembang dengan meluasnya otonomi
daerah yang menyebar pada tiap elemen lembaga kekuasaan negara.
Kini,
yang menjadi pertanyaan adalah, akankah pemerintahan yang kini sedang memegang
tampuk kekuasaan akan kembali digulingkan karena kasus korupsi yang juga
semakin merajalela? Jika pun hal itu terjadi, bisakah kita menjamin bahwa
praktik KKN akan habis sepenuhnya dari bumi Nusantara ini?
Masihkah
ada Harapan?
Sekali lagi, kita seolah telah kehabisan kata, daya, dan upaya dalam upaya pemberantasan korupsi. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari gerakan sosial antikorupsi, penafsiran teologi korupsi, pembuatan aturan perundangan anti korupsi setiap kali ada kasus korupsi yang dinilai baru, serta pembentukan lembaga yang khusus menangani masalah korupsi. Namun nyatanya, korupsi tetap ada, mengakar, dan membudaya.
Gagasan mengenai good governance yang bersih dari praktik KKN pun mulai terdengar sumbang untuk digaungkan, oleh sebab para elite yang selalu berbicara mengenai pemerintahan yang bersih pun telah menodainya ketika menjabat dalam tatanan struktural di pemerintahan. Ironis, memang. Kalaupun sudah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh sekelompol warga masyarakat, baik itu ormas, organisasi kemahasiswaan, maupun LSM, hasilnya belum begitu terlihat kalau tak bisa dibilang nihil.
Tokoh dan lembaga keagamaan Islam khususnya, haruslah memiliki common platform dalam gerakan bersama melawan korupsi. Bukan sekedar menyuarakan jargon retoris semata! Jikalah patronasi hierarkis budaya Jawa dalam gaya kepemimpinan yang diwariskan turun temurun secara periodik dari masa ke masa ini masih relevan di era sekarang, maka hierarki institusi yang berbasis keagamaan entah itu parpol, ormas, LSM dan lain sebaginya mampu melakukan pengawasan pada semua level organisasi, dari atas hingga ke bawah sehingga transparansi dapat terwujud pasti.
KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang dalam prosesi kelahirannya merupakan salah satu pengusung reformasi yang menuntut terselenggaranya pemerintahan yang bebas dari korupsi dengan penegakkan supremasi hukum memiliki tanggungjawab moral yang besar dalam upaya pemberantasan korupsi.
Dengan paham keagamaan yang modern dan puritan, massa yang banyak, serta basis pengkaderan yang relatif mapan, maka KAMMI semestinya bisa memainkan peran untuk menggaungkan gerakan anti korupsi yang lebih menyentuh pada tatanan praksis. Sebagai pressure group, KAMMI semestinya secara ‘cantik’ mampu memainkan perannya dengan membawa suara moral keagamaan dalam melakukan kontrol sosial terutama pada pimpinan parpol dan organisasi massa khususnya yang memiliki basis keislaman untuk membuktikan bahwa organisasi dan partainya bersih dari KKN.
Namun, sejatinya komitmen KAMMI dalam pemberantasan korupsi harus dimulai dari dirinya sendiri (ibda’ bi nafsika). Sejauh mana komitmen itu terpegang teguh manakala yang terlibat adalah salah satu kader, simpatisan, petinggi, alumni, atau penyokong dana yang menghidupi organisasinya. Lebih lanjut, beranikah kita bergerak secara sadar dan objektif menyikapi kasus-kasus yang menimpa mereka sebagaimana kita asik masyuk menilai organisasi/parpol yang juga terlibat dalam skandal kasus korupsi. Ataukah kita malah terjebak dalam praktik budaya para Raja Jawa yang melembagakan tradisi patronasi sebab kitalah para punggawa yang ingin memberi balas jasa pada ‘sang Raja’?
Bisakah kita bersikap dan bertindak dewasa?
Sekali lagi, kita seolah telah kehabisan kata, daya, dan upaya dalam upaya pemberantasan korupsi. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari gerakan sosial antikorupsi, penafsiran teologi korupsi, pembuatan aturan perundangan anti korupsi setiap kali ada kasus korupsi yang dinilai baru, serta pembentukan lembaga yang khusus menangani masalah korupsi. Namun nyatanya, korupsi tetap ada, mengakar, dan membudaya.
Gagasan mengenai good governance yang bersih dari praktik KKN pun mulai terdengar sumbang untuk digaungkan, oleh sebab para elite yang selalu berbicara mengenai pemerintahan yang bersih pun telah menodainya ketika menjabat dalam tatanan struktural di pemerintahan. Ironis, memang. Kalaupun sudah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh sekelompol warga masyarakat, baik itu ormas, organisasi kemahasiswaan, maupun LSM, hasilnya belum begitu terlihat kalau tak bisa dibilang nihil.
Tokoh dan lembaga keagamaan Islam khususnya, haruslah memiliki common platform dalam gerakan bersama melawan korupsi. Bukan sekedar menyuarakan jargon retoris semata! Jikalah patronasi hierarkis budaya Jawa dalam gaya kepemimpinan yang diwariskan turun temurun secara periodik dari masa ke masa ini masih relevan di era sekarang, maka hierarki institusi yang berbasis keagamaan entah itu parpol, ormas, LSM dan lain sebaginya mampu melakukan pengawasan pada semua level organisasi, dari atas hingga ke bawah sehingga transparansi dapat terwujud pasti.
KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang dalam prosesi kelahirannya merupakan salah satu pengusung reformasi yang menuntut terselenggaranya pemerintahan yang bebas dari korupsi dengan penegakkan supremasi hukum memiliki tanggungjawab moral yang besar dalam upaya pemberantasan korupsi.
Dengan paham keagamaan yang modern dan puritan, massa yang banyak, serta basis pengkaderan yang relatif mapan, maka KAMMI semestinya bisa memainkan peran untuk menggaungkan gerakan anti korupsi yang lebih menyentuh pada tatanan praksis. Sebagai pressure group, KAMMI semestinya secara ‘cantik’ mampu memainkan perannya dengan membawa suara moral keagamaan dalam melakukan kontrol sosial terutama pada pimpinan parpol dan organisasi massa khususnya yang memiliki basis keislaman untuk membuktikan bahwa organisasi dan partainya bersih dari KKN.
Namun, sejatinya komitmen KAMMI dalam pemberantasan korupsi harus dimulai dari dirinya sendiri (ibda’ bi nafsika). Sejauh mana komitmen itu terpegang teguh manakala yang terlibat adalah salah satu kader, simpatisan, petinggi, alumni, atau penyokong dana yang menghidupi organisasinya. Lebih lanjut, beranikah kita bergerak secara sadar dan objektif menyikapi kasus-kasus yang menimpa mereka sebagaimana kita asik masyuk menilai organisasi/parpol yang juga terlibat dalam skandal kasus korupsi. Ataukah kita malah terjebak dalam praktik budaya para Raja Jawa yang melembagakan tradisi patronasi sebab kitalah para punggawa yang ingin memberi balas jasa pada ‘sang Raja’?
Bisakah kita bersikap dan bertindak dewasa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar