30 Agustus 2015

KAMMI Sebagai Ideologi

oleh: Zulfikhar
Anggota Biasa KAMMI, Tinggal di Ternate, Maluku Utara 

"Ideologi KAMMI bukan sesuatu yang final, dan tak boleh final”


(Imron Rosyadi)



Ideologi memang selalu menjadi perbincangan menarik yang tiada henti-hentinya dalam diskursus pergerakan mahasiswa. Mendefinisikan dan mengkategorikannya, merupakan pekerjaan yang oleh banyak aktivis dianggap penting. Terutama bagi gerakan dengan ideologi yang belum jelas. Atau yang belum sama sekali diketahui menganut ideologi apa. KAMMI adalah salah satunya.


Ideologi dalam diskursus ke-KAMMI-an dalam setiap waktu selalu menjadi pokok diskusi yang tiada putus-putusnya. Setiap masa, dalam regenerasi KAMMI, mulai level komisariat hingga pengurus pusat, tidak henti-henti membicarakannya. Khususnya, dalam Daurah Marhalah III dimana kader di didik menjadi ideolog-ideolog KAMMI. 

Pada jenjang tertinggi pangkaderan KAMMI ini, kader dituntut sejauh mana mampu meredefinisi KAMMI. Bahkan kalau bisa, mengkritik dan mendekonstruksikannya. Mulai karakter gerakan, yang selalu menjadi perdebatan –antara cocok tidaknya KAMMI menjadi gerakan mahasiswa atau partai politik.  Hingga seputar masalah ideologi, yang umumnya diorientasikan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO).

Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan apa sebenarnya ideologi yang dianut KAMMI. Apakah yang seperti disangkakan oleh sebagian besar kader, yakni sebagai perpanjangan tangan Ikhwanul Muslimin, Tarbiyah atau PKS? Ataukah dalam bentuk lain, yang baru-baru ini menjadi diskursus yang ramai di bicarakan oleh komunitas KAMMI Kultural.

29 Agustus 2015

Bergerak tanpa Kasta, Berjuang tanpa Nama

Ahmad Rizky M. Umar

Pada tahun 2013, Forum Diskusi KAMMI Kultural merilis jargonnya di Web: "Bergerak tanpa Kasta, Berjuang tanpa Nama". Sejarah jargon ini sederhana: waktu itu, Dharma Setyawan sedang menulis sebuah naskah lagu berjudul "KAMMI untuk Indonesia" yang direkam secara sederhana. Di dalam naskah lagu tersebut, terselip lirik "Bergerak tanpa Kasta, Berjuang tanpa Nama". Istilah ini kemudian dipopulerkan dalam tulisan-tulisan di Website. 

Sebetulnya jargon ini biasa saja. Mengingat, Forum Diskusi Kultural hanyalah komunitas yang diinisiasi oleh anggota-anggota KAMMI. Jadi, kami menganggap jargon ini semata ekspresi 'jiwa muda' plus sedikit keisengan. 

Belakangan, dari beberapa komentar di web, saya menangkap ada semacam 'keberatan'. Ada yang menuding jargon ini melukai hati beberapa kawan yang selama ini sudah bergerak di KAMMI. Atau ada yang menuding jargon ini terkesan kekiri-kirian (mungkin karena persis bersanding dengan Bintang Merah di Website). Beberapa, mungkin karena membaca tulisan-tulisan polemik di web atau wawancara di media, beranggapan bahwa KAMMI Kultural adalah 'antitesis' dari 'struktur' atau semacamnya. 

Apapun tanggapannya, saya merasa perlu untuk memberikan sebuah 'penafsiran' dan sedikit penjelasan mengenai apa makna dari jargon tersebut dan sejauh mana kita mengaktualisasikannya, baik sebagai anggota biasa maupun alumnus KAMMI. Tentu saja, ini adalah penafsiran: karena sebetulnya akan lebih baik jika makna jargon apapun dibiarkan terbuka oleh berbagai macam interpretasi, dan menjadikan KAMMI (Kultural) menjadi dinamis oleh karenanya.

28 Agustus 2015

Muhammadiyah dan Kerja: Melampaui Sekat Primordial, Mencerahkan Bangsa

Oleh: Dharma Setyawan
Alumnus Pascasarjana UGM dan Dosen STAIN Metro Lampung

Suatu hari dalam sebuah sambutan Bung Karno berpidato,”dengan sedikit bitjara banjak bekerdja, Muhammadijah telah memodernisasi tjara mengembangkan Islam, sehingga di seluruh Tanah air Indonesia, mulai Sabang sampai Merauke, telah berdiri tjabang-tjabang dan ranting-rantingnja. Selaku seorang jang pernah berketjimpung dalam lingkungan Muhammadijah, saja ingin berpesan kepada saudara-saudara, supaja selalu berpegang teguh kepada motto : ”banjak bekerdja”!.... Inilah sebabnja, Muhammadijah berkumandang dan menjadi besar.” (lihat Faozan Amar, 2009)

Jauh sebelum Presiden Jokowi mengumandangkan kata ‘kerja, kerja dan kerja’ untuk semua rakyat Indonesia, Bung Karno mendahului diktum “kerja” itu ke telinga warga Muhammadiyah. Sejak lahirnya --sejarah mencatat tanggal 18 November 1912 di Kauman Yogyakarta-- Muhammadiyah telah mentradisikan "kerja" dalam maknanya yang kolektif.  

16 Agustus 2015

[LAGU] Untukmu Pram





Cipt: Dharma Setyawan

Am Dm F E
Tajamnya penamu menusuk jantung kekuasaan 
Am Dm F E
Keriput kulitmu puas sedih dengan penindasan
Am Dm F E
Am Dm F E
Narasi cintamu untuk manusia dan Indonesia
Am Dm F E
Penjara buru menyiksamu penuh kekerasan
Chorus
F G C G
Kebebasan direnggut oleh kekuasaan 
F G C G
Dengan tulisan kau coba meraih keadilan


Reff
Am F G E
Sebuah lagu untukmu Pramoedya
Am F G E
Membuka mata kita bumi manusia 
Am F G E
Adil dalam fikiran dalam perbuatan
Am F G E
Menulis kebenaran lawan kekuasaan 


Melody 

Am F G E 2X
Reff
Reff 3x