28 Agustus 2015

Muhammadiyah dan Kerja: Melampaui Sekat Primordial, Mencerahkan Bangsa

Oleh: Dharma Setyawan
Alumnus Pascasarjana UGM dan Dosen STAIN Metro Lampung

Suatu hari dalam sebuah sambutan Bung Karno berpidato,”dengan sedikit bitjara banjak bekerdja, Muhammadijah telah memodernisasi tjara mengembangkan Islam, sehingga di seluruh Tanah air Indonesia, mulai Sabang sampai Merauke, telah berdiri tjabang-tjabang dan ranting-rantingnja. Selaku seorang jang pernah berketjimpung dalam lingkungan Muhammadijah, saja ingin berpesan kepada saudara-saudara, supaja selalu berpegang teguh kepada motto : ”banjak bekerdja”!.... Inilah sebabnja, Muhammadijah berkumandang dan menjadi besar.” (lihat Faozan Amar, 2009)

Jauh sebelum Presiden Jokowi mengumandangkan kata ‘kerja, kerja dan kerja’ untuk semua rakyat Indonesia, Bung Karno mendahului diktum “kerja” itu ke telinga warga Muhammadiyah. Sejak lahirnya --sejarah mencatat tanggal 18 November 1912 di Kauman Yogyakarta-- Muhammadiyah telah mentradisikan "kerja" dalam maknanya yang kolektif.  

Kita tahu bersama bahwa Muhammadiyah didirikan oleh seorang anak khatib masjid besar keraton Yogyakarta, bernama Muhammad Darwis—kemudian kelak Darwis berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Darwis hidup di lingkungan tradisi keraton yang menjadi penegak kekuasaan lokal, namun disergap oleh kolonialisme pemerintahan Hindia Belanda yang selalu mengintai. Tradisi Jawa yang kental itu ditunjukkan dengan pakaian-pakaian resmi pendiri Muhammadiyah saat itu, dengan busana lengkap adat Jawa. Fakta ini juga menjadi penanda bahwa Muhammadiyah melewati konteks sejarah yang tidak kaku, melewati sekat tradisi yang sangat primordial, dan kemudian bangkit dengan semangat Islam modernis. 

Maka, semangat modernisme ini (kemudian dikenal sebagai "Islam Berkemajuan") menjadi pembeda Muhammadiyah dengan organisasi lain pada saat itu. Kata ‘modernis’ berhubungan dengan semangat berkemajuan, berkelindan dengan semangat pengetahuan ilmiah. Pelan namun pasti, Muhamamdiyah berjuang menghilangkan musuh kemajuan yaitu TBC--tahayul, bid’ah dan churafat (ejaan lama) yang telah lama menjadi tradisi masyarakat Jawa. Bahkan Tan Malaka (1942) dalam buku Madilog menjelaskan untuk membangun kesadaran rakyat,” jauhkanlah diri kita sejauh-jauhnya dari dasar berfikir tahayul, mistik dan teman-temannya. Sikap tahayul ini tentu berlawanan dengan makna ‘kerja’ yang menjadi semangat pendiri bangsa saat itu. Tan Malaka mencatat bahwa Pemerintah Hindia Belanda demi mendapatkan tenaga kerja yang murah, mereka menjadikan kuli-kuli kontrak sebagai manusia bodoh, terikat dan berwawasan sempit. Mereka harus memeras keringat untuk hidup, sehingga mereka tidak memahami makna kehidupan dan pembebesan pada manusia.

Jadi kerja bagi Muhammadiyah bukan hanya sekedar kerja. Kerja bagi Muhammadiyah berpijak pada semangat ‘tajdid’. Sedangkan ‘tajdid’ Muhammadiyah sebagai gerakan sosial  keagamaan, dari segi bahasa ‘tajdid’ berarti pembaruan dan dari segi istilah tajdid memiliki dua arti. Pertama, tajdid dalam arti purifikasi—atau pemurnian ajaran kembali ke tauhid al-quran dan as-sunnah—kata ini kemudian dijadikan jargon dalam gerakan pembaruan Islam agar terlepas dari bid'ah, tahayul dan khurafat. Kedua, tajdid dalam arti “pembaharuan” dimambil dari bahasa Arab yang berasal dari kata "taddada-tujaddidu-tajdiidan" yang artinya memperbarui-peningkatan-pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya. (Sutarmo: 2005).  

Kerja dengan Tajdid
Muhamamdiyah terus bekerja membentuk masyarakat kota (urban). Melalui semangat ‘teologi al-maun’, Muhammadiyah berusaha mengentaskan permasalahan sosial. Semangat ‘al-maun’ ini yang kemudian melahirkan Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) cikal bakal ratusan Rumah Sakit Muhammadiyah dan panti sosial yang bertebaran di Indonesia saat ini. Kerja dengan ‘tajdid’ memiliki dampak sosial yang sangat luas. Muhammadiyah tercatat sampai hari ini memiliki amal usaha terdiri dari; TK/TPQ 4.623; Sekolah Dasar (SD)/MI 2.604; Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MTs 1.772; Sekolah Menengah Atas (SMA)/SMK/MA 1.143; Pondok Pesantren 67; Jumlah total Perguruan tinggi Muhammadiyah 172; Rumah Sakit, Rumah Bersalin, BKIA, BP, dan lain-lain 457; Panti Asuhan, Santunan, Asuhan Keluarga 318; Panti jompo 54; Rehabilitasi Cacat 82; Sekolah Luar Biasa (SLB) 71; Masjid 6.118; Musholla 5.080; Tanah 20.945.504  M². (lihat web resmi Muhammadiyah untuk verifikasi data ini).

Maka, menjadi menarik ketika Presiden Jokowi membacakan pidato dalam pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke-47 (03/8) di Makassar, Sulawesi Selatan. Beliau mengapresiasi dan mengucapkan terimakasih yang mendalam atas kerja-kerja Muhammadiyah dalam 103 tahun ini. Presiden berucap, "sudah berapa juta bayi yang lahir di RS Muhammadiyah? Berapa juta siswa yang meniti pendidikan di sekolah Muhammadiyah? Kita bisa melihat begitu banyak kontribusi Muhammadiyah untuk negara kita. Muhammadiyah telah cukup lama dikenal dengan gagasan dan kreatifitas berkemajuan. Hal ini membuat Muhammadiyah bisa berkontribusi di berbagai kota, bahkan hingga pedesaan. Dengan pandangan Islam berkemanjuan dan berbagai modal sosial. Muhammadiyah dan Aisyiyah berhasil menjadi motor kemajuan bangsa." 

Kerja Muhammadiyah sudah dilakukan sejak pra-merdeka hingga mengantar ke pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, menjadi bukti sekaligus saksi sejarah. Mulai dari presiden Soekarno sampai Jokowi Muhammadiyah tetap setia dan bekerja untuk Islam berkemajuan di bumi Nusantara. Maka ‘tajdid’ bekerja dalam narasi Muhammadiyah tetap sesuai dengan pesan KH Ahmad Dahlan,”Muhammadiyah kini, lain dengan Muhammadiyah yang akan datang. Maka teruslah bersekolah menuntut ilmu pengetahuan dimana saja. Jadilah Guru, kembali kepada Muhammadiyah, Jadilah Dokter, kembali kepada Muhammadiyah, Jadilah Meester, insinyur dan lain-lain, dan kembalilah kepada Muhammadiyah. 

Mereka-mereka yang lahir dari tradisi Islam modernis kini bertebaran memberi manfaat untuk ummat Islam, Indonesia bahkan dunia. Matahari Muhamamadiyah telah bersinar lebih dari 1 abad, Islam berkemajuan adalah potensi yang dimiliki Indonesia dalam pergaulan internasional. Berangkat dari kesadaran, berjuang meraih pengetahuan dan bekerja sebagai kewajiban kemanusiaan. Sebagaimana W.S. Rendra (1984) berucap,”Kesadaran adalah Matahari/ Kesabaran adalah Bumi/ Keberanian menjadi cakrawala/ Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata/” 

Selamat datang pemimpin baru Sang Surya, tetaplah bersinar matahari Islam berkemajuan, semoga cahayamu semakin menerangi bangsa Indonesia. 

Artikel ini semula diterbitkan oleh laman sangpencerah.com dan dimuat ulang untuk keperluan pendidikan, tentu atas seizin penulisnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar