29 Agustus 2015

Bergerak tanpa Kasta, Berjuang tanpa Nama

Ahmad Rizky M. Umar

Pada tahun 2013, Forum Diskusi KAMMI Kultural merilis jargonnya di Web: "Bergerak tanpa Kasta, Berjuang tanpa Nama". Sejarah jargon ini sederhana: waktu itu, Dharma Setyawan sedang menulis sebuah naskah lagu berjudul "KAMMI untuk Indonesia" yang direkam secara sederhana. Di dalam naskah lagu tersebut, terselip lirik "Bergerak tanpa Kasta, Berjuang tanpa Nama". Istilah ini kemudian dipopulerkan dalam tulisan-tulisan di Website. 

Sebetulnya jargon ini biasa saja. Mengingat, Forum Diskusi Kultural hanyalah komunitas yang diinisiasi oleh anggota-anggota KAMMI. Jadi, kami menganggap jargon ini semata ekspresi 'jiwa muda' plus sedikit keisengan. 

Belakangan, dari beberapa komentar di web, saya menangkap ada semacam 'keberatan'. Ada yang menuding jargon ini melukai hati beberapa kawan yang selama ini sudah bergerak di KAMMI. Atau ada yang menuding jargon ini terkesan kekiri-kirian (mungkin karena persis bersanding dengan Bintang Merah di Website). Beberapa, mungkin karena membaca tulisan-tulisan polemik di web atau wawancara di media, beranggapan bahwa KAMMI Kultural adalah 'antitesis' dari 'struktur' atau semacamnya. 

Apapun tanggapannya, saya merasa perlu untuk memberikan sebuah 'penafsiran' dan sedikit penjelasan mengenai apa makna dari jargon tersebut dan sejauh mana kita mengaktualisasikannya, baik sebagai anggota biasa maupun alumnus KAMMI. Tentu saja, ini adalah penafsiran: karena sebetulnya akan lebih baik jika makna jargon apapun dibiarkan terbuka oleh berbagai macam interpretasi, dan menjadikan KAMMI (Kultural) menjadi dinamis oleh karenanya.

Bergerak tanpa Kasta?
"Bergerak tanpa Kasta" membawa semangat egalitarian. Istilah ini sangat terkait dengan kredo pertama KAMMI: "Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkehendak merdeka, Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak". Saya tidak pernah mendapatkan tafsir yang lebih jelas dari kredo pertama KAMMI tersebut, namun semangat yang ditampilkan adalah bahwa semangat yang ditampilkan adalah semangat independensi ("berpikir dan berkehendak merdeka") dan egalitarian ("tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak"). 

Saya yakin, selama ini KAMMI sudah bergerak dengan sangat independen dan egaliter. Oleh sebab itu, dengan jargon ini, semangat itu hendaknya dipertegas. Bergerak tanpa Kasta berarti setiap pergerakan yang dihadirkan oleh anggota-anggota biasa KAMMI (wa bil khusus yang bergerak di Forum Diskusi KAMMI Kultural) hendaknya didasarkan pada kredo. Dan tidak perlu minder, karena dengan berpikir dan berkehendak merdeka, tidak ada kasta di antara anggota-anggota biasa KAMMI. Tidak ada jenjang kecuali yang diberikan oleh perkaderan. Jenjang perkaderan (AB1, AB2, AB3) itu pun sebetulnya bukan merupakan kasta, melainkan fungsi dan tanggung jawab. Artinya, yang membedakan AB1, AB2, dan AB3 adalah fungsi dan tanggung jawabnya di KAMMI, dan bukan merupakan bentuk 'senioritas' ataupun 'kuasa'. Sebab, bukankah setiap anggota biasa KAMMI adalah orang-orang yang berpikir dan berkehendak merdeka? 

Bergerak tanpa Kasta penting untuk diketengahkan kembali karena dua sebab. Pertama, mendorong setiap anggota biasa KAMMI, tak peduli apapun status perkaderan ataupun posisi 'struktural'-nya di KAMMI, untuk menjadi generasi pembelajar. Untuk belajar kepada siapapun dan mampu menarik hikmah dari apapun. Sebab, bukankah Allah menyuruh kita untuk "membaca" (Iqra') di wahyu pertamanya? Banyak tempat untuk belajar di dunia pergerakan maupun di luar. Bergeraklah, oleh karenaya, tanpa kasta, dengan semangat pembelajaran. Jadilah generasi muslim pembelajar.

Kedua, mendorong setiap anggota biasa KAMMI,  tak peduli apapun status perkaderan ataupun posisi 'struktural'-nya di KAMMI, untuk mampu menghargai kedhaifan manusia. Dengan bergerak tanpa kasta, kita bisa tahu potensi diri kita dan, terutama, tahu kelemahan-kelemahan diri kita. Juga tahu kelebihan rekan-rekan kita dan tahu kelemahan-kelemahannya. Maka dari itu, dengan bergerak tanpa kasta, kita dituntut untuk menghargai setiap kelebihan dan kelemahan, baik orang yang kita anggap lebih senior (tua) maupun yang lebih junior (muda). Baik AB1, AB2, maupun AB3. 

Ini penting. Sebab, tak mesti yang lebih tua dan lebih dulu masuk KAMMI, atau yang lebih tinggi jenjang perkaderannya, lebih baik dari kita. Tak mesti juga mereka yang lebih terlambat masuk KAMMI atau lebih rendah jenjang perkaderannya tidak lebih baik dari kita. Bersikap proporsional adalah kata kuncinya. Dan dengan demikian, kita tak perlu menjadikan jenjang perkaderan atau senioritas sebagai "kasta". 

Dengan demikian, bergerak tanpa kasta sebetulnya punya makna yang lebih luas: bahwa setiap anggota biasa KAMMI adalah sama: makhluk Allah, yang punya potensi dan punya kelemahan. Dalam berorganisasi, kita kemudian dituntut untuk memperlakukan orang dengan setara, dengan memahami kedaifan diri dan kekuatan diri. Lalu mengakumulasikannya untuk kepentingan organisasi kolektif. Di sinilah daya dobrak KAMMI: karena mampu bergerak tanpa kasta di dalam, KAMMI menjadi lebih berani di luar. Berani berdebat dengan lawan-lawan gerakannya, berani untuk bersikap di hadapan entitas politik lain, bahkan yang mungkin 'lebih tua' dari KAMMI. Semangat bergerak tanpa kasta adalah semangat untuk bergerak dengan penuh energi, semangat untuk mengedepankan 'totalitas' dalam perjuangan-perjuangan KAMMI.

Sehingga, tidak perlu salah paham dengan jargon ini. Karena bergerak tanpa kasta, secara egaliter, adalah fitrah manusia yang lahir tanpa pakaian dan setara sebagai makhluk Allah. 

Berjuang tanpa Nama?
Lantas, bagaimana dengan "berjuang tanpa nama"? Jika anggota-anggota biasa KAMMI sudah mampu meng-azzam-kan "bergerak tanpa kasta dalam setiap nawaitu pergerakannya, berjuang tanpa nama adalah konsekuensi untuk menciptakan perubahan tanpa harus terbebani dengan label atau nama. Ya, mungkin nama penting. KAMMI adalah nama. Tapi tak perlu terbebani dengan nama besarnya, apatah itu sebagai "anak kandung reformasi" atau "organisasi pergerakan muslim yang besar". Nama memang penting, tapi menjadi mubazir jika kita menyandangnya dengan penuh beban.

Berjuang tanpa nama menyiratkan satu pesan: apapun perjuangan kita, hendaknya ikhlas lillahi ta'ala. Ini tentu berat. Tetapi, satu hal yang pasti, maknanya adalah bahwa kontribusi dan karya, daya cipta, jauh lebih penting dari sekadar brand atau nama. Jauh lebih penting juga dari citra. Ini terkait dengan kredo KAMMI yang lain: "Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman , bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan". 

Ya, berjuang tanpa nama berarti mencipta dan kemudian menjadi kebermanfaatan, bukan pengakuan, sebagai nawaitu KAMMI. Artinya, manfaat dan kontribusi pada rakyat, pada umat, menjadi titik tekan. Lantas, apa guna branding dan humas? Keduanya tetap penting, sebagai sarana memperkenalkan KAMMI pada publik. Sehingga KAMMI bercitra positif pada publik dan masyarakat luas. Tapi bukan lantas menjadi tujuan utama. Karya dan daya cipta menjadi fokus.

Hal ini penting, agar kemudian setiap gerakan yang diinisiasi oleh KAMMI, mau itu Save Pribumi atau Antikorupsi tetap punya basis kemanfaatan bagi rakyat yang lebih luas. Bukan sekadar pencitraan media. Bukan juga sekadar laporan kepada penyandang dana. Dan oleh karenanya, perjuangan KAMMI bukan terbatas hanya pada ranah politik, tetapi juga ranah yang lebih luas. Ranah ekonomi, kebudayaan, penelitian, profesi dan lain sebagainya hendaknya juga menjadi sasaran. Karena nawaitu-nya adalah keikhlasan, bukan sekadar nama. 

"Berjuang tanpa nama" mengajarkan kita untuk mencipta tanpa mengharap balas jasa. Berat, memang. Tapi bagi mahasiswa (bukan orang yang sudah bekerja mencari uang) yang sejak awal sudah diperkenalkan dengan jargon gerakan moral atau agent of change, tentu ini dasar. Bahwa tugas kita adalah mencipta, memberi manfaat. Apapun yang kemudian diberikan publik pada kita, selama itu tidak merusak nama kita, menjadi tidak penting untuk dibawa perasaan terlalu jauh. 

Itulah sebabnya, "Berjuang tanpa Nama" juga mengajarkan kita satu hal lain: konsistensi dalam perjuangan, untuk setia di garis massa. Bahwa tak selamanya perjuangan dilakukan di atas panggung yang hiruk-pikuk dengan pengeras suara dan tabuhan gendang. Perjuangan kadang kala dilakukan di balik panggung, di bawah tempat penonton menikmati hiburan, atau mungkin di ruang-ruang yang selama ini terlupakan oleh para politikus. Tempat yang kadang sunyi, penuh onak dan duri, dan sering juga terabaikan. Tapi dengan semangat keikhlasan, insya Allah hal-hal semacam itu bisa dilalui sebagai pembelajaran. 

Dan oleh karenanya, "berjuang tanpa nama" menjadi relevan untuk menjadi pijakan gerakan di zaman yang penuh dengan hiruk-pikuk. Mungkin nama penting, tapi tak lebih penting daripada sebuah perjuangan untuk menciptakan tradisi berbudaya baru melalui lagu dan puisi, misalnya. Dan dari sanalah, saya yakin, anggota-anggota biasa KAMMI dididik dari tingkat Komisariat, mungkin oleh para pengkader yang bersahaja dan sederhana.

Aktualisasi
Mungkin bergerak tanpa kasta dan berjuang tanpa nama ini berat, tapi setidaknya beberapa di antara anggota KAMMI sudah memulainya dengan penuh perjuangan. Ada yang menginisiasi usaha penerbitan buku, menggerakkan daya literasi di tengah himpitan ekonomi yang kian berat. Ada yang saban bulan pergi ke daerah hanya untuk mengisi Daurah. Ada yang menciptakan lagu dan sajak hanya untuk dilupakan nama penciptanya ketika sudah digunakan oleh Presiden partai politik tertentu di kampanye. Ada yang memilih mendidik anak-anak SD sebagai guru. Ada juga yang memilih menulis buku dan meneliti. 

Ya, hal-hal semacam ini mungkin tidak perlu menggunakan nama KAMMI. Karena mungkin, inilah cara mereka untuk mengejawantahkan: bergerak tanpa kasta, berjuang tanpa nama!

Anggota-anggota biasa KAMMI mungkin kenal Kanda Fahri dan Kanda Andi yang gegap gempita dengan karier politik mereka. Tetapi mungkin kita juga perlu berkenalan dengan orang-orang seperti Mu'tamar Ma'ruf yang memilih menjadi guru, Yusuf Maulana yang memilih menjadi editor profesional, atau Maryati yang menjadi Koordinator sebuah Koalisi NGO internasional, atau Akbar Tri Kurniawan yang menjadi wartawan. Ada banyak lagi nama lain. Nama-nama mereka mungkin tidak segegap-gempita para politikus, anggota dewan, atau Ustadz, yang disebut-sebut ketika Daurah Marhalah, tetapi, dengan cara masing-masing yang khas, mereka mengaktualisasikan ke-KAMMI-an mereka untuk publik, untuk rakyat, untuk umat.

Bagi setiap anggota biasa KAMMI, saya hanya bisa berharap tidak ada lagi kesalahpahaman terhadap entitas kecil bernama Forum Diskusi KAMMI Kultural ini. Mari kita bergerak dengan cara kita masing-masing. Yang fokus di KAMMI mari menggerakkan roda organisasi. Yang fokus di profesi mari menebar kemanfaatan dengan  cara yang paling sederhana. Yang penting, kredo menyatukan kita. Dan bergerak tanpa kasta, berjuang tanpa nama menjadi jargon yang dilakukan tanpa perlu terlalu sering diucapkan.

Oleh sebab itulah, dalam momentum Rapimnas dan menyambut Muktamar KAMMI ini, saya hanya bisa berharap kepada para pimpinan KAMMI yang baru: semoga ke depan, KAMMI bisa semakin bermanfaat untuk rakyat dan umat. Mari bergerak tanpa kasta, berjuang tanpa nama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar