30 Agustus 2015

KAMMI Sebagai Ideologi

oleh: Zulfikhar
Anggota Biasa KAMMI, Tinggal di Ternate, Maluku Utara 

"Ideologi KAMMI bukan sesuatu yang final, dan tak boleh final”


(Imron Rosyadi)



Ideologi memang selalu menjadi perbincangan menarik yang tiada henti-hentinya dalam diskursus pergerakan mahasiswa. Mendefinisikan dan mengkategorikannya, merupakan pekerjaan yang oleh banyak aktivis dianggap penting. Terutama bagi gerakan dengan ideologi yang belum jelas. Atau yang belum sama sekali diketahui menganut ideologi apa. KAMMI adalah salah satunya.


Ideologi dalam diskursus ke-KAMMI-an dalam setiap waktu selalu menjadi pokok diskusi yang tiada putus-putusnya. Setiap masa, dalam regenerasi KAMMI, mulai level komisariat hingga pengurus pusat, tidak henti-henti membicarakannya. Khususnya, dalam Daurah Marhalah III dimana kader di didik menjadi ideolog-ideolog KAMMI. 

Pada jenjang tertinggi pangkaderan KAMMI ini, kader dituntut sejauh mana mampu meredefinisi KAMMI. Bahkan kalau bisa, mengkritik dan mendekonstruksikannya. Mulai karakter gerakan, yang selalu menjadi perdebatan –antara cocok tidaknya KAMMI menjadi gerakan mahasiswa atau partai politik.  Hingga seputar masalah ideologi, yang umumnya diorientasikan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO).

Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan apa sebenarnya ideologi yang dianut KAMMI. Apakah yang seperti disangkakan oleh sebagian besar kader, yakni sebagai perpanjangan tangan Ikhwanul Muslimin, Tarbiyah atau PKS? Ataukah dalam bentuk lain, yang baru-baru ini menjadi diskursus yang ramai di bicarakan oleh komunitas KAMMI Kultural.

Definisi Ideologi
Ideologi (mabda’) pertama kali dikemukakan oleh filsuf Prancis, Antoine Destutt De Tracy (1754-1836), pada abad 18.[2] Ia mendefinisikan ideologi sebagai sains tentang ide. Sains ini digunakan untuk mendeskripsikan ide secara eksplisit. Agar dapat diketahui dan dipelajari secara luas oleh masyarakat.

Penemuan De Tracy berhasil mentransformasi ideologi yang dahulunya hanya berhenti sekedar kesadaran praktis, menjadi kesadaran diskursif.[3] Dengan begitu, definisi dan tujuan ideologi menjadi semakin jelas. Sehingga, pada tahap selanjutnya mampu direkayasa menjadi semakin teruji sebagai solusi bagi permasalahan masyarakat.

Menurut Franz Magnis Suseno (1991), Guru Besar Filsafat di STF Driyarkara, ideologi merupakan keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu.[4] Ideologi pada konteks definisi ini, baru berada pada tataran normatif. Sebatas ranah metafisik, belum berpijak pada ranah praktis. Ideologi masih sebagai archia (baca: asal usul)[5] yang mendahului genealogi praktisnya.

Martin Suryajaya (2015) memandang ideologi sebagai gambaran yang disadari maupun tidak disadari tentang kenyataan sosial-politik.[6] Gambaran itu diterima begitu saja tanpa ditelusuri benar tidaknya. Hal ini senada dengan pendapat Karl Marx (1818-1883) mengenai ideologi sebagai ‘kesadaran palsu’ atau kesadaran yang keliru tentang kenyataan sosial-politik. Kesadaran tanpa daya kritis ini mengalihkan manusia jauh dari kebenaran. Seperti, pandangan umumnya manusia bahwa pasar bebas itu baik, padahal merugikan negara-negara berkembang yang notabene kondisi perindustriannya belum sekokoh negara-negara maju (baca: industrialis). Dalam kasus ini, ideologi sebagai tindakan ketaksadaran merupakan hasil tindakan pseudo- aksiomatik produk negara-negara maju yang disebut Antonio Gramsci: “hegemoni.”[7]

Berbeda dengan beberapa definisi di atas, Antonio Gramsci memutarbalik definisi ideologi secara induktif. Ideologi menurutnya mengatur manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka, dan sebagainya.[8] Perbedaannya, ideologi tidak berhenti pada ranah metafisik, melainkan mengendalikan manusia dalam ranah praktis. Sebab, ideologi lahir dari tindakan-tindakan manusia, bukan dari buah pikiran mengenai baik buruk. Kendati, berlangsung secara sadar atau tidak sadar (Hegemoni).

Lebih lanjut, pendapat Gramsci diperkuat oleh gagasan Louis Althusser (1918-1990) mengenai penyebaran ideologi. Filsuf Prancis ini mengungkapkan bahwa bekerjanya ideologi dipengaruhi oleh sederet pranata yang disusun pemerintah untuk mengendalikan rakyat tanpa menggunakan aparatus (alat) kekerasan. Pranata ini bekerja secara bottom-up mempengaruhi keyakinan masyarakat melalui lembaga-lembaga semi-formal dengan kewenangan privat. Mulai dari lingkungan keluarga, lembaga agama (masjid/gereja), sekolah, lembaga hukum, partai politik, serikat buruh, media, lembaga kebudayaan, dan sebagainya. Althusser menyebutnya aparatus ideologis negara.[9]

Aparatus ini dibedakan dengan aparatus represif negara. Yang secara fungsional memiliki fungsi sama, namun dengan metodologi berbeda. Aparatus represif negara bekerja dengan jalan kekerasan untuk mengideologisasi warganya. Ia menggunakan lembaga formal yakni aparatus negara (pemerintah, administrasi, angkatan bersenjata, kepolisian, pengadilan, penjara dan sebagainya).[10]

Muhammad Ismail menyatakan bahwa ideologi (mabda’) merupakan ‘aqidah ‘aqliyyah yanbatsiqu ‘anha an nidzam, yang berarti: seperangkat kaidah berfikir yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan (nizham).[11] Melalui definisi ini, Ismail menyatakan sesuatu dapat disebut ideologi apabila memenuhi dua kondisi, yaitu memiliki ‘aqidah ‘aqliyyah sebagai fikrah (epistemologi) dan memiliki sistem (aturan) sebagai thariqah(metodologi).

Makna ideologi sebagai epistemologi berarti gagasan mengenai ideologi harus dapat dideskripsikan. Yang menderivasikan ideologi sebagai sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah. Sedangkan, metodologi adalah pengandaiannya. Bahwa tidak mungkin ada ide tanpa basis material yang mengondisikannya. Relasi ini mengaksentuasi ide bukan sesuatu yang terberi (given), muncul begitu saja. Maka, 

Jadi, secara singkat dapat digeneralisasikan, ideologi merupakan sistem ide, gagasan dan tata nilai yang muncul dari praktik-praktik yang dilakukan manusia secara sadar maupun tidak sadar sehingga mengondisikan ide dan gagasannya mengenai baik buruk. Sama halnya dengan Pancasila, sebagai ideologi negara yang disampaikan Ir. Soekarno dalam pidato bertanggal 1 Juni 1945: “Karena saja dalam hal Pantjasila itu sekadar menjadi “perumus” dari perasaan-perasaan jang telah lama terkandung bisu dalam kalbu rakjat Indonesia.”[13]

Perkembangan Perumusan Ideologi KAMMI
Muktamar KAMMI I di Bekasi akhir tahun 1998 menandai  permulaan penemuan ideologi KAMMI. Penemuan itu adalah perubahan bentuk gerakan yang tadinya tidak lebih dari pada sebuah aliansi aksi mahasiswa menjadi organisasi mahasiswa yang memiliki AD dan ART. Sebuah keputusan yang tepat dan visioner, dimana keran reformasi yang baru saja terbuka  beberapa bulan tidak semestinya dibiarkan mengalir tanpa pengawalan.

Keputusan ini juga dirasa penting sebab arus dukungan mahasiswa dan warga masyarakat kala itu begitu besar. Bisa dibayangkan, ribuan massa yang berkumpul pada aksi perdana di depan Masjid Al-Azhar, untuk sebuah organisasi yang baru berdiri satu minggu sebelumnya, apakah bukan sebuah revolusi? Kalau tidak menyebutnya sebagai prestasi gemilang.

Setelah berubah menjadi organisasi pergerakan mahasiswa (harakatul amal), gejolak dinamika dalam tubuh KAMMI semakin sering terjadi. Berkali-kali Muktamar Luas Biasa (MLB) harus dilakukan untuk menjaga eksistensi gerakan. Ketua umum harus berpindah ke lain orang sebelum genap menyelesaikan periode kepemimpinan selama dua tahun. Bahkan, pernah dalam satu tahun periode kepengurusan, terjadi dua kali pergantian ketua KAMMI. Pada masa-masa itu juga, KAMMI pernah dipimpin dengan pola presidium, kendati tetap menemui kegagalan.[14] 

Pada Muktamar ke IV di Samarinda, rumusan ideologi KAMMI menjadi semakin matang. Menurut Imron Rosyadi, Ketua SC Muktamar saat itu, sifat organisasi yang terbuka dan berorientasi publik dicetuskan pada momentum akbar tersebut. Berikut beberapa konsep yang dikenal sekarang seperti Paradigma Gerakan, MuqoddimahAnggaran Dasar, Kredo dan AD-ART yang baru. [15]

Yang menarik, konsep pertama mengenai KAMMI sebagai institusi publik hingga saat ini belum banyak diketahui kader. Informasi mengenainya barangkali baru beredar luas tiga tahun belakangan ini. Setelah beberapa kali sarasehan diselenggarakan Forum diskusi KAMMI Kultural.

Kedua  peristiwa ini menandakan KAMMI bukan milik siapa-siapa. Bukan milik jamaah atau partai manapun. Tidak berbaiat kepada Allah SWT melalui organisasi apapun. KAMMI adalah milik kader-kadernya yang menggerakkannya dengan mandiri, independen dan profesional. Sebagaimana telah dimanifestokan dalam Kredo Gerakan; “

KAMMI adalah orang-orang yang berpikir dan berkehendak merdeka. Tak ada satupun orang yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taqlid, serta atas dasr keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan.

Tidak berhenti disitu, pada alinea ketiga dari Muqaddimah Anggaran Dasar KAMMI juga terkandung nafas transformatif. “...Kaum muslimin adalah bagian terbesar bangsa Indonesia, sehingga masa depan bangsa Indonesia akan ditentukan oleh peran-peran sejarah kaum muslimin. Sementara itu, sejarah Indonesia adalah sejarah tirani, penindasan, dan kedzaliman atas rakyatnya yang mustadh’afin, termiskinkan, dan terpinggirkan. Sejarah kelam tersebut pada penghujung abad ke-20—pada tahun 1998—telah mencapai puncaknya....". Nah, pada idiom mustadh’afin[18] makna transformatif bersemayam. Dengan begitu, KAMMI tidak hanya punya semangat transendensi, namun juga liberasi.


Lalu, Apa Ideologi KAMMI?

Sebelum menjawab hal tersebut, saya ingin kembali menggunakan pendapat Muhammad Ismail mengenai ideologi. Sebagaimana telah diuraikan di atas, ideologi menurutnya harus memiliki epistemologi (fikrah) dan metodologi (thariqah). Berkaitan dengan hal tersebut, muncul pertanyaan: (1) apa epistemologi KAMMI, dan (2) apa metodologinya?


Pertama kali yang harus dijawab adalah metodologi KAMMI. Berarti, apa saja selama 16 tahun dilakukan KAMMI adalah jawabannya.


Saya rasa semua kader umumnya tahu apa yang dilakukan gerakan ini selama kurang lebih 16 tahun adalah mengawal demokrasi. Kurang lebih melalui tiga ranah: politik, sosial dan intelektual.

Pada ranah politik, audiensi, aksi, advokasi dan silaturahmi ke pemerintah umumnya menjadi agenda utama KAMMI dari level pusat hingga komisariat. Tetapi, seiring berjalannya waktu, amanat reformasi yang selama ini dikawal KAMMI dan elemen gerakan mahasiswa lain hampir semua tuntutannya telah terpenuhi. Imbasnya, KAMMI tidak punya agenda lain selain menjadi “gerakan penanggap.” Gerakan reaksioner dan bertindak atas isu-isu yang berkembang. Maka terjadilah kekosongan agenda gerakan.[19]

Kekosongan itu sejak awal pendirian KAMMI telah dicoba diatasi dengan mengambil ranah kedua, yakni gerakan sosial sebagai lahan perjuangan baru. Mengingat sejak akhir abad ke 20, tren gerakan sosial di seluruh dunia bergeser ke arah gerakan sosial baru. [20]

Pada ranah sosial, KAMMI menyibukkan diri dengan bermacam agenda kemasyarakatan. Umumnya yang dilakukan KAMMI adalah  membangun desa mitra, pemberdayaan anak jalanan, pemberdayaan orang miskin, wanita tuna susila dan sebagainya. KAMMI juga mengutus kader-kadernya sebagai relawan ke daerah-daerah dimana terjadi bencana alam. Dari agenda ini lahirlah KAMMI Reaksi Cepat (KRC) sebagai motor penggerak aksi kemanusiaan KAMMI yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia.

Tidak hanya sibuk mengabdikan diri pada masyarakat,  KAMMI juga melakukan agenda-agenda berbau pecinta alam. Seperti mendaki gunung, berkemah, menjelajahi daerah-daerah terpencil dalam rangka tadabbur alam, mensyukuri karunia Allah SWT. Dari berbagai macam agenda ini lahirlah KAMMI Pecinta Alam (KAMMIPALA) yang didirikan Liyuda Saputra dan kawan-kawan. Di Makassar, ada Social Service Centre (SSC) yang didirikan Arif Ardiansyah bersama kader KAMMI Makassar.

Pada ranah intelektual sebenarnya sudah berjalan sejak awal pendirian KAMMI. Setidaknya banyak kader KAMMI yang masuk menjadi tenaga pengajar di puluhan perguruan tinggi. Sayangnya, kesempatan itu tidak banyak digunakan untuk mengaktualisasikan ideologi KAMMI. Setidaknya kredo gerakan, menurut Yusuf Maulana, mantan Ketua Humas KAMMI DIY 2001-2002 ketika mendefinisikan ukuran mantan kader KAMMI yang dikatakan masih idealis.

Kelangkaan ini kemudian dijawab dengan program komisariat berbasis kompetensi sebagai antitesanya. Isu ini sebelumnya mencuat pada Sarasehan Inteligensia di Jakarta tahun 2013 melalui sesi materi dari Badaruddin, mantan Ketua PP KAMMI. Lalu diadopsi oleh pengurus PP KAMMI sekarang. Kendati, hingga hari ini belum terpantau sejauh mana perkembangannya.

Melalui ranah intelektual, KAMMI tidak hanya memikirkan masa depan persebaran ide-idenya, namun juga sekaligus hendak menemukan identitas aslinya. Dimana selama ini geliat gerakannya selalu disetir oleh Jamaah Tarbiyah. Diskursus dalam gerakan selalu bersifat tunggal diasosiasikan dengan Ikhwanul Muslimin. Dan yang paling sering mengundang polemik adalah hubungan KAMMI dan PKS.

Puncak kegelisahan ini kemudian berujung dengan lahirnya komunitas KAMMI Kultural. Komunitas yang terdiri dari kader KAMMI lintas generasi, lintas struktural dan jenjang kaderisasi ini, mengusung reformasi intektualitas di tubuh KAMMI yang selama ini berlangsung monolitik. Kejumudan dan ketaklidan –yang di definisikan Kredo Gerakan sebagai musuh-  adalah juga musuh mereka.  Salah satu agenda komunitas ini -yang pernah memicu kontroversi- adalah ide mengenai Post-Tarbiyah.[21]Sebuah wacana untuk mendudukkan KAMMI pada pijakan idealnya sebagai institusi publik (wajihah ‘am). Sikap yang seharusnya diambil KAMMI sebagai konsekuensi  dari Paradigma Gerakan yang dianut selama ini.

Kondisi faktual di atas, sedikit banyak telah merepresentasikan kondisi material KAMMI sekarang. Maka dengan sendirinya menjawab epistemologi KAMMI.

Namun, disinilah sumber masalahnya, apa yang mau diuraikan mengenai epistemologi KAMMI. Apa teori pengetahuan berikut asal-usulnya yang harus dijabarkan? Hingga detik ini belum ada konsep dalam konstitusi KAMMI yang berwenang menjawabnya. Setidaknya, yang barangkali mampu menjawabnya adalah GBHO. Terutama Prinsip Gerakan, Paradigma Gerakan dan Kredo Gerakan. Itulah mengapa banyak intelektual KAMMI –seperti Amin Sudarsono dan Rijalul Imam- mengatakan GBHO sebagai ideologi KAMMI.

Menurut saya,  GBHO masih sekedar wajah, belum kesatuan tubuh yang dikehendaki sebagai ideologi KAMMI. GBHO baru sebatas menguraikan landasan moral. Masih dalam tataran filosofis dan normatif yang saya pikir  belum sepenuhnya menyentuh realitas persoalan rakyat. Kondisi masyarakat yang termarginalkan dan mengalami proses pemiskinan secara struktural, tidak akan mampu diubah jika KAMMI tidak mempunyai pisau analisis yang jitu. Pisau analisis itulah yang akan membimbing GBHO menuju ideologi.

Bila menggunakan pendapat Muhammad Ismail, GBHO baru sebatas menjadi metodologi. Bukan ideologi itu sendiri. Lagi pula, epistemologi hingga saat ini belum ada.

Jika kita berkaca pada khazanah pergerakan umumnya, epistemologi gerakan biasanya dijelaskan melalui sebuah manifesto. Manifesto inilah –secara epistemologi- dengan sendirinya menjawab ideologi yang dianut sebuah gerakan. HMI misalnya, menjabarkan ideologinya dengan “Nilai-nilai Dasar Perjuangan” (NDP) yang disusun oleh Nurcholish Madjid. Komunisme dijelaskan Karl Marx dan Friedrich Engels ke dalam “Communist Manifesto.” Sosialisme Arab dijelaskan oleh Buku Hijau yang dikarang Moammar Khadafi. Nazisme oleh Hitler dijelaskan ke dalam “Mein Kampf.” Sedangkan, Maoisme dijabarkan Mao Tse-Tung ke dalam “Quotation of Chairman Mao Tse-Tung.” Lalu, bagaimana dengan KAMMI?

Hal ini tidak dimaksudkan bahwa manifesto adalah satu-satunya jalan menjelaskan ideologi KAMMI. Berikut –meminjam idiom Fikri Aziz- “jenis kelamin” gerakan yang menjadi objek perdebatannya selama ini.

Keberadaan ideologi diperlukan untuk menentukan arah gerakan yang selama ini belum jelas. Jikalau banyak kader menyebut ideologi KAMMI adalah Islam.  Entah Islam dengan tanda petik atau tidak, lantas apa yang membedakannya dengan Islam versi HMI, IMM, PMII atau Gema Pembebasan? Sebab, mereka mengaku mengatasnamakan Islam dan kepentingan umat Islam. Yang menarik mengenai hal ini, ada satu dua orang kader KAMMI di Yogyakarta tidak setuju Islam menjadi ideologi.


Manifesto KAMMI Untuk Indonesia

Pada Sarasehan Inteligensia di Jakarta tahun 2013, para pegiat KAMMI Kultural menjawab kegamangan ini dengan membuat sebuah manifesto. Manifesto tersebut dinamakan “Manifesto KAMMI Untuk Indonesia.”  Bertepatan dengan ulang tahun KAMMI ke 15, manifesto ini di deklarasikan di Malang. Semacam deklarasi yang melengkapi Deklarasi Malang sebelumnya.


Manifesto KAMMI Untuk Indonesia terbagi ke dalam lima bab. Secara umum terbagi ke dalam empat pembahasan. Dimulai dari sejarah bangsa Indonesia yang tertindas (baca: deliberalisasi), kondisi material Indonesia saat ini yang terjerumus ke dalam jebakan kapitalisme domestik dan global (baca: dehumanisasi), kedudukan KAMMI di dalamnya, dan langkah yang harus dilakukan.


Manifesto ini jika digeneralisasikan, dengan sendirinya menjawab ideologi yang selama ini KAMMI anut -hanya barangkali pijakan materialnya yang  perlu diperkuat. Pertama, tauhid sosial adalah konsekuensi dakwah tauhid. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Maa’uun (107) dan  Surah Al-Balad (90).

Kedua, intelektual profetik tidak boleh berhenti hanya pada aras intelektual yang memusatkan aspek spiritual dan syariat sebagai laku intelektual an sich. Namun, juga harus berwatak transformatif.

Ketiga, sebagai gerakan sosial independen dan politik ekstraparlementer, KAMMI harus terjun dan bergerak bersama rakyat.  Sudah tidak relevan lagi bagi KAMMI menjadi gerakan yang merepresentasikan kepentingan rakyat –melalui aksi sehari-hari- tanpa melibatkan rakyat.[23] Sudah saatnya KAMMI bertransformasi menjadi gerakan masyarakat sipil.[24] Sebab, kekuatan KAMMI hanyalah bersama rakyat yang tertindas dan termarginalkan. Rencana Strategis PP KAMMI 2013-2015 yang meletakkan Gerakan Sipil Keummatan sebagai instrumen gerak KAMMI ke depan oleh karenanya patut diapresiasi sebagai permulaan yang baik. [25]

Dengan menganalisa manifesto tersebut, kekaburan ideologi KAMMI lambat laun terjawab sudah. Merujuk pada manifesto tersebut, ideologi yang KAMMI anut setidaknya dideskripsikan sebagai Islam yang berwatak pembebasan atau transformatif. Atau Islam dengan napas Kiri: Kiri Islam ala Hasan Hanafi.

Penggunaan istilah ini memang dilematis. Sebab, telah dipakai dan menjadi identitas beberapa pemikir, kalau bukan sekelompok orang. Tetapi, untuk tujuan pengetahuan, sebenarnya tidak ada yang salah. Namun, mengingat Manifesto KAMMI Untuk Indonesia hingga saat ini belum diratifikasi secara struktural-organisasional. Maka, biarkanlah istilah ini menjadi wacana yang berseliweran kemana-mana sembari menunggu kepastian nasibnya.


Penutup

Menurut penulis, keberadaan Manifesto KAMMI Untuk Indonesia sudah menjawab pertanyaan mengenai apa itu ideologi KAMMI. Hanya saja hal ini akan menjadi ajang polemik dan perdebatan panjang. Kendati manifesto ini nantinya diterima, epistemologi atau bahkan nama ideologinya akan bisa saja  berbeda dengan napas gramatikal yang tersirat di dalamnya. Dan tidak menutup kemungkinan akan berkembang dinamis seiring dengan dinamika gerakan menyongsong masa depan.

Untuk menengahinya, sembari menunggu respon PP KAMMI, baiknya tafsiran atas manifesto tadi ditunda dulu. Bukankah tafsiran sekelompok kecil orang tidak etis merepresentasikan ratusan ribu orang? Yang bahkan belum tentu mendapat mandat dan legitimasi kader secara keseluruhan. Oleh karena itu, tafsiran yang representatif mengenai ideologi KAMMI adalah KAMMI itu sendiri.


KAMMI disebut ideologi karena secara metodologi dan epistemologis, laku kader secara sadar dan tidak sadar mengekspresikannya secara eksplisit. Landasan mereka  bergerak karena mereka adalah kader KAMMI. Sebab, menjadikan KAMMI sebagai spirit adalah sebuah imperatif kategoris. Sebuah perintah tanpa perlu pemahaman muluk-muluk. Pakem KAMMI sebagai pola pikir dan bertindak sudah cukup bagi kader untuk bekerja merealisasikan visi kepemimpinan Indonesia yang Islami. Dengan begitu, sebenarnya kader sudah mendefinisikan apa itu ideologi KAMMI.

Wallahu alam bis shawab.


Daftar Pustaka
Al-Quranul Kariim

Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS


Patria, Nezar  dan Andi Arief. 2009. Antonio Gramsci: Negara dan Revolusi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Althusser, Louis. 2010. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra

Suryanegara, Ahmad Mansur. 2010. Api Sejarah 2. Bandung: Salamadani

Amrullah, Taufik. 2008. KAMMI Menuju Muslim Negarawan. Bandung: Muda Cendekia

Sudarsono, Amin. “Ideologi Gerakan KAMMI.”http://jelajahsemesta.blogspot.com/2007/07/ideologi-gerakan-kammi.html. Diakses pada tanggal 27 Januari 2015

Surjayaja, Martin. “Pengantar Ideologi.”http://indoprogress.com/2014/12/pengantar-ideologi/. Diakses pada tanggal 27 Januari 2015

Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. Post-Modernisme Kammi: Risalah (De)Konstruksi Dan (Re)Konstruksi Dari Ideologi Ke Kaderisasi. Makalah Prasayarat Training For Instructur (TFI) KAMMI Wilayah Yogyakarta

Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. “Ideologi Gerakan KAMMI Belum Selesai! – Catatan Sarasehan Nasional Intelegensia KAMMI (2).” https://kammikomsatugm.wordpress.com/2012/12/25/ideologi-gerakan-kammi-belum-selesai-catatan-sarasehan-nasional-intelegensia-kammi-2/. Diakses pada tanggal 27 Januari 2015

Nurjaman, Dadang. Pemikiran Ali Syari’ati.

Umasangaji, Muhammad Sadli. KAMMI Sebagai Gerakan Sipil Keummatan (Bagian 1).

Wikipedia. Ideologihttp://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi. Diakses pada tanggal 27 Januari 2015




Anggaran Dasar KAMMI


Manifesto KAMMI Untuk Indonesia




1 komentar:

  1. kawan, sudah baca ini? menarik, lho? :)

    http://duniatimteng.com/kammi-kultural-dan-wacana-absurd-kiri-religius/

    BalasHapus