1 September 2015

Kelak Jika Saya Punya Anak, Akankah Ia Masuk KAMMI?

oleh: Gading EA
Mahasiswa Profesi Ners Unair, Penulis Buku "Menjaga Nafas Gerakan"

KAMMI adalah organisasi pergerakan yang masih sangat muda. Dideklarasikan di Malang pada tanggal 29 Maret 1998, tahun ini usianya baru menginjak 17 tahun, usia di mana seorang anak belum cukup umur masuk dunia kampus. Pun demikian dengan anak-anak para aktivisnya. Artinya, KAMMI belum memiliki generasi kedua dalam satu keluarga yang orang tua dan anaknya juga menjadi kader KAMMI.

Sekedar ilustrasi, Fahri Hamzah ketua KAMMI pertama menikah tahun 1996, jika punya anak 1-2 tahun setelahnya mungkin usia anaknya baru menginjak 17-18 tahun. Itu gambaran keluarga aktivis KAMMI generasi paling awal, belum yang setelahnya. Berbeda dengan HMI, GMNI, IMM, atau PMII yang usianya jauh lebih tua. Mungkin ada di antaranya mereka yang dalam satu keluarga dua-tiga generasi mengikuti organisasi yang sama.

Lantas, apa pentingnya membahas hal ini?

Anak
Anak adalah buah hati kita. Mungkin mereka jauh lebih kita cintai daripada istri kita, orangtua, bahkan diri kita sendiri. Untuk anak, kita pasti menghendaki yang terbaik. Apapun itu. Entah pendidikan, gizi, fasilitas, perlakuan, dan sebagainya. Demikian halnya dengan pilihan organisasi. Jika kita seorang aktivis, kita pasti menghendaki anak kita juga menjadi aktivis. Tentunya menjadi aktivis di organisasi yang menurut kita baik untuknya. Nah, suatu ketika muncul pertanyaan yang mengusik pikiran saya, “kelak jika saya punya anak, apakah ia akan saya suruh masuk KAMMI?”

Pertanyaan ini bisa kita jadikan refleksi untuk menilai standar bahwa KAMMI itu organisasi yang baik di masa depan. Kalau hanya 1-2 tahun ke depan untuk tempat berkontribusi junior-junior kita di kampus, mungkin mudah menjawabnya. Tapi bagaimana dengan 10-20 tahun mendatang untuk anak-anak kita? Apalagi hari ini gerakan posmodernisme mulai marak. Gerakan ideologis seperti kehilangan peminatnya. Itu baru kondisi hari ini, bagaimana bertahun-tahun ke depan?

Loyalitas
KAMMI adalah sebuah organisasi dengan massa tradisional aktivis gerakan Tarbiyah. Yang menarik, meskipun memiliki akar historis yang sama, tidak banyak senior-senior gerakan Tarbiyah yang mendorong anak-anaknya masuk ke KAMMI. Justru saya melihat mereka banyak berkiprah di komunitas-komunitas "posmodernis". Karena di Tarbiyah sendiri ada “doktrin” jamaah qabla wajihah. Jamaah sebelum organisasi. Apapun organisasi yang kita ikuti, yang penting tetap berada dalam lingkaran jamaah, tetap ngaji, tetap halaqah.

Inilah yang menjadi titik rentan KAMMI. Karena loyalitas aktivisnya bukan semata karena kecintaanya kepada KAMMI, tapi karena aktivitasnya di Tarbiyah. Kalau didorong untuk ikut aktivitas dakwah, mungkin iya. Tetapi KAMMI? Belum tentu. Jadinya, "dakwah yes, KAMMI (maybe) no". Bagaimana cara mengujinya? Tanyakan saja, “kalau anak antum kelak jadi mahasiswa, mau dimasukkan KAMMI gak?” Karena sesuatu yang dipilih untuk anak pasti pilihan yang menurutnya terbaik. Hari ini kita bisa mengatakan mencintai KAMMI, tetapi ekspresi cinta sesungguhnya akan tergambar dari pilihan untuk anak kita kelak.

KAMMI
Saya tidak hendak mengatakan bahwa KAMMI buruk. Sesuatu yang tidak diminati belum tentu buruk, dan sesuatu yang banyak diminati belum tentu baik. Namun sesuatu yang baik itu juga memiliki ketergantungan pada konteks waktu dan tempat. Anggap saja KAMMI organisasi yang baik hari ini, apakah ia masih baik dan relevan dijadikan organisasi untuk bergerak di masa mendatang? Waktu yang akan menjawabnya.

Itulah sedikit kegalauan saya tentang masa depan organisasi pergerakan yang hari ini saya ikuti dan cintai. Namun cinta saya itu belum terbukti, kalau anak saya belum saya minta ikut KAMMI. Dan masa pembuktian itu masih akan sangat panjang. Karena belum tentu 20 tahun mendatang KAMMI masih ada. Lagipula, saya pun juga belum punya anak. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar