7 Oktober 2015

Pelajaran dari Pakatan Harapan

Oleh: Muh. Ihsan Harahap
Ketua KAMMI Universitas Hasanuddin, Makassar dan Monitoring Officer Wilayah Sulawesi Selatan di Indonesian Interfaith Weather Station (IIWS)

Setelah demonstrasi fenomenal BERSIH 4.0 secara resmi berakhir pada akhir Agustus 2015 lalu, kondisi jalanan di Malaysia dua pekan terakhir ini berganti warna. Warna yang dulunya kuning (warna kaos para pendukung BERSIH 4.0) kini berganti menjadi warna merah. Mereka adalah orang-orang yang tergabung dalam “Himpunan Rakyat Bersatu” sebagai respon terhadap gerakan BERSIH 4.0. Demonstrasi berbaju merah (red shirt rally) ini mengusung “Marwah Melayu” (Malaysian Dignity) dalam aksi mereka. 

Puncaknya terjadi pada 16 September 2015 ketika puluhan ribu pendemo memadati Padang Merbok. Kekacauan sempat terjadi ketika massa membuat keributan di Petaling Street yang merupakan kawasan perbelanjaan dimana sebagian besar pemiliknya adalah warga keturunan. Massa berbaju merah dengan terang-terangan mengusung “Anti-BERSIH” di kawasan yang diketahui sebagai basis pendukung gerakan BERSIH 4.0. 

Dinamika ini tak berhenti hanya sampai di sana. Pada Kamis (28/09), gerakan yang diinisiasi oleh Himpunan Rakyat Bersatu ini menyerahkan 12 resolusi kepada Pemerintah Malaysia. Banyak yang berkomentar kurang enak: Barisan Nasional berada di balik demonstrasi berbaju merah.

Sementara itu, di tengah ketidakjelasan masa depan koalisi oposisi, Pakatan Rakyat, akibat pemenjaraan terhadap Anwar Ibrahim, sebuah koalisi baru dibentuk. Koalisi ini bernama Pakatan Harapan. Koalisi ini terbentuk pada 22 September 2015 setelah Pakatan Rakyat resmi berakhir pada 16 Juni 2015 lalu.  

Pakatan Harapan terdiri dari Parti Keadilan Rakyat (PKR), Democratic Action Party (DAP) dan Parti Amanah Negara (PAN). Koalisi ini dibentuk untuk untuk menghadapi Pilihan Raya Umum 2018 dimana Pakatan Harapan resmi mendaulat Anwar Ibrahim sebagai Perdana Menteri jika koalisi memenangkannya. Di lain sisi, ini tentu menjadi dukungan baru bagi Anwar Ibrahim yang sampai saat ini masih di dalam penjara atas hukuman lima tahun penjara atas kasus sodomi yang kedua. Banyak pihak menganggap kasus ini bermotif politik untuk menghancurkan karir politik Anwar Ibrahim.

Hal yang harus diperhatikan dari komposisi koalisi ini adalah ketidakikutsertaan Parti Islam Se-Malaysia/Pan-Malaysian Islamic Party (PAS) dalam koalisi ini. Wan Azizah Wan Ismail, istri Anwar Ibrahim, menjelaskan bahwa PAS diundang untuk turut bergabung bersama Pakatan Harapan namun mereka menolak. Meski begitu, tentu tidak bisa dibantah bahwa Pakatan Rakyat berakhir dikarenakan konflik antara DAP dan PAS. Salah satunya adalah kengototan PAS untuk menerapkan hukum pidana (Islam) di Kelantan. 

Tantangan Pakatan Harapan
Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Pakatan Harapan. Ada tiga alasan yang mendasari mengapa Pakatan Harapan perlu merevitalisasi dirinya di tengah percaturan politik Malaysia. 


Pertama karena pada pemilu 2013, hampir 90 kursi dari 200 kursi yang dimenangkan oleh Pakatan Rakyat berasal dari kursi-kursi milik PAS. Dukungan masyarakat Malaysia terhadap PAS masih sangat besar, meskipun mereka masih cenderung konservatif dalam menerapkan hubungan Syariah dan Politik.

Kedua karena soal bergabungnya PAN (lebih dikenal dengan sebutan ‘Amanah’) ke dalam koalisi Pakatan Harapan. Partai ini adalah sebuah partai baru yang dideklarasikan pada 16 September 2015, hari yang sama dengan demonstrasi berbaju merah yang diinisiasi oleh Himpunan Rakyat Bersatu. Amanah menetapkan posisi Presiden diduduki oleh Muhamad Sabu (lebih dikenal dengan panggilan ‘Mat Sabu’) yang merupakan mantan Wakil Presiden PAS. Tidak sedikit petinggi Amanah -dulunya- adalah bagian dari kubu moderat di PAS namun tidak sependapat dengan pendapat umum di PAS tentang implementasi hukum pidana syariah, terutama hudud, di Malaysia. Tantangan terbesar dari Amanah tentu saja kemampuan elektabilitasnya yang belum teruji sama sekali.

Ketiga karena pengaruh BERSIH 4.0. Ada selentingan bahwa aksi BERSIH 4.0 adalah tidak lain merupakan “aksi cina” alias warga keturunan di negara tersebut. Apalagi Himpunan Rakyat Bersatu yang menggelar demonstrasi berbaju merah sebagai respon terhadap BERSIH 4.0 mengangkat isu yang cenderung terlihat rasis seperti “Marwah Melayu” dan lain-lain.

Hal ini harus diakhiri sesegera mungkin agar rasisme tidak menjadi alasan masyarakat untuk bergerak untuk mendapatkan haknya. Hak Asasi Manusia, kebebasan dan demokrasilah yang seharusnya menjadi alasan rakyat untuk bergerak dan mendapatkan hak-hak mereka.

Lalu, apa peran yang bisa Indonesia berikan di sini? Menjelang implementasi Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) yang akan berlaku efektif mulai 31 Desember 2015, Indonesia perlu mengambil peran yang lebih dalam. Komunitas ASEAN bukan hanya sekedar Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC), tetapi juga tentang Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN (APSC) dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASCC). 

Salah satu poin yang patut disyukuri adalah adanya agenda untuk mendukung proses perdamaian dan demokratisasi di ASEAN dalam cetak biru APSC. Agenda ini mengemuka di Deklarasi ASEAN Concord II atau yang lebih dikenal sebagai Bali Concord II. 

Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN dan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia harus mengambil perannya. Islam Nusantara jangan hanya sekedar menjadi wacana yang masih diributkan di dalam negeri: saatnya diimplementasikan untuk perdamaian dan demokratisasi di seluruh ASEAN. Pengalaman Indonesia dalam transisi dari otoritarianisme ke dalam alam demokrasi harus menjadi pelajaran berharga bagi negara-negara ASEAN lain  demi mencapai demokrasi yang ideal. 

Pelajaran bagi Gerakan Mahasiswa Indonesia
Gerakan mahasiswa di Indonesia harus maju sebagai contoh. Gerakan mahasiswa di Indonesia seharusnya tidak lagi sibuk hanya pada persoalan dalam negeri, namun harus memberikan peran yang lebih luas pada tingkat ASEAN.

Hingga saat ini, masih ada sekitar 60 mahasiswa di Myanmar yang dipenjara karena melakukan demonstrasi menantang Undang-Undang baru tentang Pendidikan pada awal Maret 2015 lalu. Gerakan mahasiswa di Indonesia harus mulai bersuara lantang soal ini. Gerakan mahasiswa di Indonesia juga harus mendukung proses demokratisasi menjelang Pemilihan Presiden di Myanmar akhir tahun ini, dan bersuara atas masa depan demokrasi dan kebebasan berpendapat di Malaysia serta demokratisasi yang macet di Thailand.

Apapun yang terjadi, masa depan demokrasi dan kebebasan berpendapat di Malaysia berada di tangan masyarakat Malaysia sendiri. Vonis yang menimpa Anwar Ibrahim sendiri telah menjadi preseden buruk bagi Malaysia di mata dunia internasional. Pada 10 Agustus 2015, bertepatan dengan ulang tahun Anwar Ibrahim, sekurangnya 40 intelektual dan tokoh dunia mendesak Pemerintah Malaysia untuk membebaskan Anwar. Sebut saja beberapa di antaranya: Noam Chomsky, Francis Fukuyama, Tariq Ramadan, Slavoj Zizek, Yusuf Al Qaradawi. Hingga nama-nama seperti Al Gore, B.J. Habibie hingga Rached Al Ghannouchi. Amnesti International (AI) dan Human Rights Watch (HRW) turut bersuara lantang atas tuduhan yang menimpa Anwar.

Pada akhirnya, Pakatan Harapan hanya akan betul-betul menjadi koalisi yang efektif jika mereka berhasil keluar dari sekat-sekat rasisme yang hingga kini dianggap masih menjadi masalah utama perpolitikan di Malaysia. Hanya dengan mendukung keberagaman, kebebasan dan kesetaran dengan konsisten dan jujur yang bisa membuktikan bahwa Pakatan Harapan bisa menjadi ‘harapan’ rakyat Malaysia. Semuanya akan terbukti di Pemilihan Umum Raya 2018. 

Kita tunggu kiprahmu, kawan! Terutama bagi KAMMI, yang baru saja memilih pemimpin barunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar