Ketua KAMMI Universitas Hasanuddin, Makassar dan Monitoring Officer Wilayah Sulawesi Selatan di Indonesian Interfaith Weather Station (IIWS)
Setelah
demonstrasi fenomenal BERSIH 4.0 secara resmi berakhir pada akhir Agustus 2015
lalu, kondisi jalanan di Malaysia dua pekan terakhir ini berganti warna. Warna
yang dulunya kuning (warna kaos para pendukung BERSIH 4.0) kini berganti
menjadi warna merah. Mereka adalah orang-orang yang tergabung dalam “Himpunan
Rakyat Bersatu” sebagai respon terhadap gerakan BERSIH 4.0. Demonstrasi berbaju
merah (red shirt rally) ini mengusung “Marwah Melayu” (Malaysian Dignity) dalam aksi mereka.
Puncaknya
terjadi pada 16 September 2015 ketika puluhan ribu pendemo memadati Padang
Merbok. Kekacauan sempat terjadi ketika massa membuat keributan di Petaling
Street yang merupakan kawasan perbelanjaan dimana sebagian besar pemiliknya
adalah warga keturunan. Massa berbaju merah dengan terang-terangan mengusung “Anti-BERSIH” di kawasan yang diketahui sebagai basis pendukung gerakan BERSIH
4.0.
Dinamika ini tak berhenti hanya sampai di sana. Pada Kamis (28/09), gerakan yang diinisiasi oleh Himpunan
Rakyat Bersatu ini menyerahkan 12 resolusi kepada Pemerintah Malaysia. Banyak
yang berkomentar kurang enak: Barisan Nasional berada di balik demonstrasi
berbaju merah.
Sementara
itu, di tengah ketidakjelasan masa depan koalisi oposisi, Pakatan Rakyat, akibat
pemenjaraan terhadap Anwar Ibrahim, sebuah koalisi baru dibentuk. Koalisi ini
bernama Pakatan Harapan. Koalisi ini terbentuk pada 22 September 2015 setelah
Pakatan Rakyat resmi berakhir pada 16 Juni 2015 lalu.
Pakatan
Harapan terdiri dari Parti Keadilan Rakyat (PKR), Democratic Action Party (DAP)
dan Parti Amanah Negara (PAN). Koalisi ini dibentuk untuk untuk menghadapi
Pilihan Raya Umum 2018 dimana Pakatan Harapan resmi mendaulat Anwar Ibrahim
sebagai Perdana Menteri jika koalisi memenangkannya. Di lain sisi, ini tentu
menjadi dukungan baru bagi Anwar Ibrahim yang sampai saat ini masih di dalam
penjara atas hukuman lima tahun penjara atas kasus sodomi yang kedua. Banyak
pihak menganggap kasus ini bermotif politik untuk menghancurkan karir politik
Anwar Ibrahim.
Hal
yang harus diperhatikan dari komposisi koalisi ini adalah ketidakikutsertaan
Parti Islam Se-Malaysia/Pan-Malaysian Islamic Party (PAS) dalam koalisi ini.
Wan Azizah Wan Ismail, istri Anwar Ibrahim, menjelaskan bahwa PAS diundang
untuk turut bergabung bersama Pakatan Harapan namun mereka menolak. Meski
begitu, tentu tidak bisa dibantah bahwa Pakatan Rakyat berakhir dikarenakan
konflik antara DAP dan PAS. Salah satunya adalah kengototan PAS untuk
menerapkan hukum pidana (Islam) di Kelantan.
Tantangan Pakatan Harapan
Ini
menjadi tantangan tersendiri bagi Pakatan Harapan. Ada tiga alasan yang mendasari mengapa Pakatan Harapan perlu merevitalisasi dirinya di tengah percaturan politik Malaysia.
Pertama
karena pada pemilu 2013, hampir 90 kursi dari 200 kursi yang dimenangkan oleh
Pakatan Rakyat berasal dari kursi-kursi milik PAS. Dukungan masyarakat Malaysia
terhadap PAS masih sangat besar, meskipun mereka masih cenderung konservatif
dalam menerapkan hubungan Syariah dan Politik.
Kedua karena
soal bergabungnya PAN (lebih dikenal dengan sebutan ‘Amanah’) ke dalam koalisi
Pakatan Harapan. Partai
ini adalah sebuah partai baru yang dideklarasikan pada 16 September 2015, hari
yang sama dengan demonstrasi berbaju merah yang diinisiasi oleh Himpunan Rakyat
Bersatu. Amanah menetapkan posisi Presiden diduduki oleh Muhamad Sabu (lebih
dikenal dengan panggilan ‘Mat Sabu’) yang merupakan mantan Wakil Presiden PAS.
Tidak sedikit petinggi Amanah -dulunya- adalah bagian dari kubu moderat di PAS
namun tidak sependapat dengan pendapat umum di PAS tentang implementasi hukum
pidana syariah, terutama hudud, di Malaysia. Tantangan terbesar dari Amanah
tentu saja kemampuan elektabilitasnya yang belum teruji sama sekali.
Ketiga karena pengaruh BERSIH 4.0. Ada
selentingan bahwa aksi BERSIH 4.0 adalah tidak lain merupakan “aksi cina” alias
warga keturunan di negara tersebut. Apalagi Himpunan Rakyat Bersatu yang
menggelar demonstrasi berbaju merah sebagai respon terhadap BERSIH 4.0
mengangkat isu yang cenderung terlihat rasis seperti “Marwah Melayu” dan
lain-lain.
Hal
ini harus diakhiri sesegera mungkin agar rasisme tidak menjadi alasan
masyarakat untuk bergerak untuk mendapatkan haknya. Hak Asasi Manusia,
kebebasan dan demokrasilah yang seharusnya menjadi alasan rakyat untuk bergerak
dan mendapatkan hak-hak mereka.
Lalu,
apa peran yang bisa Indonesia berikan di sini? Menjelang
implementasi Masyarakat ASEAN (ASEAN Community) yang akan berlaku efektif mulai
31 Desember 2015, Indonesia perlu mengambil peran yang lebih dalam. Komunitas
ASEAN bukan hanya sekedar Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC), tetapi juga tentang
Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN (APSC) dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASCC).
Salah
satu poin yang patut disyukuri adalah adanya agenda untuk mendukung proses
perdamaian dan demokratisasi di ASEAN dalam cetak biru APSC. Agenda ini
mengemuka di Deklarasi ASEAN Concord II atau yang lebih dikenal sebagai Bali
Concord II.
Indonesia
sebagai negara terbesar di ASEAN dan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga
di dunia harus mengambil perannya. Islam Nusantara jangan hanya sekedar menjadi
wacana yang masih diributkan di dalam negeri: saatnya diimplementasikan untuk
perdamaian dan demokratisasi di seluruh ASEAN. Pengalaman Indonesia dalam
transisi dari otoritarianisme ke dalam alam demokrasi harus menjadi pelajaran
berharga bagi negara-negara ASEAN lain demi mencapai demokrasi yang ideal.
Pelajaran bagi Gerakan
Mahasiswa Indonesia
Gerakan
mahasiswa di Indonesia harus maju sebagai contoh. Gerakan mahasiswa di
Indonesia seharusnya tidak lagi sibuk hanya pada persoalan dalam negeri, namun
harus memberikan peran yang lebih luas pada tingkat ASEAN.
Hingga
saat ini, masih ada sekitar 60 mahasiswa di Myanmar yang dipenjara karena
melakukan demonstrasi menantang Undang-Undang baru tentang Pendidikan pada awal
Maret 2015 lalu. Gerakan mahasiswa di Indonesia harus mulai bersuara lantang soal
ini. Gerakan
mahasiswa di Indonesia juga harus mendukung proses demokratisasi menjelang Pemilihan
Presiden di Myanmar akhir tahun ini, dan bersuara atas masa depan demokrasi dan
kebebasan berpendapat di Malaysia serta demokratisasi yang macet di Thailand.
Apapun
yang terjadi, masa depan demokrasi dan kebebasan berpendapat di Malaysia berada
di tangan masyarakat Malaysia sendiri. Vonis yang menimpa Anwar Ibrahim sendiri
telah menjadi preseden buruk bagi Malaysia di mata dunia internasional. Pada 10
Agustus 2015, bertepatan dengan ulang tahun Anwar Ibrahim, sekurangnya 40
intelektual dan tokoh dunia mendesak Pemerintah Malaysia untuk membebaskan
Anwar. Sebut saja beberapa di antaranya: Noam Chomsky, Francis Fukuyama, Tariq
Ramadan, Slavoj Zizek, Yusuf Al Qaradawi. Hingga nama-nama seperti Al Gore,
B.J. Habibie hingga Rached Al Ghannouchi. Amnesti International (AI) dan Human
Rights Watch (HRW) turut bersuara lantang atas tuduhan yang menimpa Anwar.
Pada
akhirnya, Pakatan Harapan hanya akan betul-betul menjadi koalisi yang efektif
jika mereka berhasil keluar dari sekat-sekat rasisme yang hingga kini dianggap
masih menjadi masalah utama perpolitikan di Malaysia. Hanya dengan mendukung
keberagaman, kebebasan dan kesetaran dengan konsisten dan jujur yang bisa
membuktikan bahwa Pakatan Harapan bisa menjadi ‘harapan’ rakyat Malaysia.
Semuanya akan terbukti di Pemilihan Umum Raya 2018.
Kita
tunggu kiprahmu, kawan! Terutama bagi KAMMI, yang baru saja memilih pemimpin barunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar