4 November 2015

Sumpah Pemuda dan Inteligensia Indonesia

oleh: Muhammad Sadli
Pegiat Diskusi Kultural KAMMI di Maluku Utara

Indonesia adalah negara multikultural dengan beragam suku, agama, adat istiadat, tradisi, dan ras. Indonesia adalah komunitas politis yang sendi-sendinya terbangun melalui proses komunikasi. Ia lahir dari kehendak bebas individu-individu yang membangun relasi bebas dan setara satu sama lain. Dengan kata lain, terbentuknya Indonesia merupakan bentuk pelepasan masing-masing individu dari perspektif kesukuannya untuk mencapai kebebasan melalui proses komunikasi intersubjektif yang bebas dan setara. 

Keragaman suku bangsa, budaya, agama, dan bahasa telah membentuk Indonesia menjadi negara dengan struktur sosial yang multikultural. Multikultural adalah keterbukaan hati dan pikiran untuk saling menerima apa adanya tanpa memandang apapun latar belakang sosiokulturalnya. Karena pada hakikatnya multikultural merupakan suatu kesadaran, semangat, sikap hidup ditengah realitas keragaman masyarakat. Masyarakat Multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan. (Azra, 2007 dalam UNY, 2013).  


Individu-individu, pada awalnya mulai “meninggalkan” keluarganya dan memasuki arena publik untuk berkomunikasi dengan individu lainnya. Dalam komunikasi dengan individu lain tersebut, harapan dan tujuan bersama pun akhirnya terbentuk. Setelah itu, individu-individu yang saling berkomunikasi secara jujur, bebas, dan setara itu, akan berjuang bersama untuk mencapai cita-cita dan harapan bersama pula. Komunikasi pun akan melebarkan ruang-ruangnya. Ia tidak lagi membatasi diri pada pembangunan jaringan di dalam suatu organisasi, tetapi meluas menjadi antar organisasi. Puncak kulminasi komunikasi tersebut adalah peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. (Hamzah, 2010). 

Pada dasarnya setiap pemuda memiliki masa yang berbeda, kondisi yang berbeda, maka tantangan yang juga berbeda. Tapi kita (pemuda) tetap penting mengambil pelajaran dari pemuda-pemuda sebelumnya. Termasuk sejarah sumpah pemuda, yang terjadi selang 87 tahun lalu. Dan menjelang memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2015. Pada dasarnya kita tahu bahwa pemuda-pemuda (sejarah sumpah pemuda) itu tergabung dalam simpul-simpulnya masing-masing (organisasi kepemudaan) kemudian menggabungkan diri dalam simpul yang besar (Kongres Pemuda). Mereka mensejarahkan momentum mereka. Dan momentum Sumpah Pemuda adalah salah satu refleksi terhadap multikultural gerakan. 

Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari sini. Pertama, menemukan momentum, mengenal momentum, menyiapkan momentum, kalau tidak ya menciptakan momentum. Anis Matta, menuliskan “seseorang tidak menjadi pahlawan karena ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan sepanjang hidupnya. Kepahlawanan seseorang biasanya mempunyai momentumnya. Ada potongan waktu tertentu dalam hidup seseorang dimana anasir kepahlawanan menyatu padu. Saat itulah ia tersejarahkan”. Dan Imam Hasan Al-Banna menegaskan “Setiap masa ada pemudanya, setiap pemuda ada masanya dan yang terbaik adalah mereka yang mengetahui masanya”. 

Kedua, mengutamakan pusat keunggulan atau kompetensi inti. Anis Matta menuliskan “Para pahlawan mengajarkan sebuah kaidah kepada kita, seseorang hanya akan menjadi besar dan meledak sebagai pahlawan, jika ia bekerja secara optimal pada kompetensi intinya”. Kompetensi inti atau pusat keunggulan itu menurut Anis Matta biasanya dicirikan oleh beberapa hal. Misalnya, adanya minat yang tinggi terhadap suatu bidang, kemampuan penguasaan yang cepat dalam bidang itu, kegembiraan natural saat menjalaninya, optimisme pada kemampuan pengembangan lebih jauh. 

Ketiga, menyatu dalam simpul besar dari simpul-simpul kecil. Imam Hasan Al-Banna, menuliskan “Wahai para pemuda, perbaruilah iman dan tentukan tujuan serta sasaran kalian. Sebab kekuatan pertama adalah iman, buah dari iman ini adalah kesatuan, dan konsekuensi logis kesatuan adalah kemenangan yang gilang gemilang. Oleh karenanya, berimanlah kalian, eratkanlah ukhuwah, dan bekerjalah”. 

Dan bila kita telaah periodisasi gerakan kepemudaan di Indonesia, dari tahun 1908 (Budi Utomo), 1928 (Sumpah Pemuda), 1945 (Kemerdekaan), 1966 (Peruntuhan Orde Lama), 1998 (Peruntuhan Orde Baru), dan kini Era Reformasi. 1908 dan 1928 terjadi pergulatan pemikiran dengan pembentukan organisasi kepemudaan serta kongres sebagai momentum. Dan 1966 dan 1998 adalah gerakan massa dan aksi demonstrasi sebagai momentum. 

Maka setidaknya kita dapat melihat ini sesuai kata Anis Matta, jika kecemasan merupakan kekuatan utama yang menggerakan para pahlawan kebangkitan, maka kekuatan apakah yang paling agresif menggerakkan para pahlawan di jaman kejayaan? Jawabannya adalah obsesi kesempurnaan. Penjelasannya seperti ini, pada jaman kejayaan suatu peradaban, kondisi kehidupan masyarakat sudah relatif stabil, ada pemerintahan yang kuat, ada pertahanan dan keamanan yang stabil, ada kemakmuran yang merata secara relatif, ada tingkat kesehatan dan pendidikan yang baik, dan seterusnya. Semua itu dalam tataran relatif. Karena itu, ada ketenangan, dan dalam ketenangan itu muncul kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan intelektual dan spiritual. 

Dengan ini kita patut mencerna selang waktu di luar periodisasi momentum pemuda. Misalkan tahun 1970-an dan 1980-an. Pada konteks itu maka kita dapat merumuskan sama halnya untuk trend gerakan kepemudaan era Reformasi yang momentumnya bukan lagi aksi demonstrasi dan gerakan massa untuk meruntuhkan rezim. Tapi trend gerakan kepemudaan kini adalah berafiliasi dalam pengkaderan yang berbasis moralitas (moral force), sosial kemasyarakatan, dan sinergi pergulatan pemikiran tanpa mengabaikan gerakan ekstraparlementernya, yang semua itu implikasinya adalah ledakan karya. 

Mencetak Inteligensia 
Pada kondisi kini Indonesia sedang dirunut masalah seperti kabut asap, korupsi yang tak henti, pembakaran rumah ibadah, perekonomian yang tidak stabil, nilai rupiah yang lemah, bahan bakar minyak diliberalisasi pada pasar bebas, dan ditambah dengan momentum pilkada serentak, dan berbagai masalah-masalah klasik diantaranya termasuk pemuda yang hedonis, di satu sisi hal-hal positif dalam pembangunan juga berjalan. Apa peran pemuda dalam membantu berbagai masalah negara. Apakah terbatas pada gerakan parlemen jalanan, atau terlebih-lebih ditambah kepedulian yang terpatri dalam gerakan sosial independen. Ataukah sebuah tranformasi yang bernafas panjang dalam yang terpatri dalam tiga bentuk; ilmuwan, pemikir, dan teknokrat.

Ahmad Wahib, seorang cendekiawan yang lahir dari rahim aktivisme mahasiswa,  menuliskan “itu tergantung juga sampai dimana kemampuan intelektualitas yang dimiliki intelektual tadi. Kalau dia hanya kreatif, dedikatif, responsif, setia pada kebenaran dan akal sehat, pokoknya berkepribadian baik tapi sama sekali kosong dari kemampuan akademis maka dia hanya menjadi orang pencetak moral atau kepribadian, sedang karya-karyanya hanya bermanfaat bagi tingkat desa atau kecamatan. Kalau di samping memiliki kepribadian yang indah-indah tadi ditopang oleh kemampuan akademis yang tinggi, maka dialah orang yang paling ideal, bermoral dan berilmu tinggi”.

Teknokrat didefenisikan sebagai mereka yang tidak mempersoalkan siapa yang berkuasa. Mereka hanya bekerja membantu yang berkuasa (Wahib, 2013). Cendekiawan yang berkiprah dalam pemerintahan. Menyangkut pengelolaan organisasi dan manajemen sumber daya pada negara industri oleh kelompok teknokrat (KBBI).

Wahib (2013) menuliskan, “Pendapat-pendapat yang saya lontarkan selama ini lebih banyak terdominir oleh keinginan-keinginan sebagai idealis daripada suatu pendapat yang betul-betul dipikirkan landasan ilmiahnya. Memang ada perbedaan antara pemikir dan ilmuwan. Pemikir terutama memeras otaknya untuk menemukan apa yang baik untuk masa depan. Ilmuwan memeras otaknya untuk mengerti kenyataan-kenyataan yang ada”. Karena itu keterlibatan kita secara kreatif dalam pergolakan kultural zaman adalah keharusan. Lari pada ketenangan dan ketenteraman dan meninggalkan arena pergolakan yang selalu menggelisahkan adalah sikap yang tidak bertanggungjawab kepada masa depan. Kita maju karena kita berani gelisah. Dan tantangan ini adalah tantangan bagi para pemikir, ilmuwan, dan para calon pemikir dan ilmuwan. (Wahib, 2013).

Perspektif kemakmuran dan percabangan-percabangannya yang dekat, masih berada dalam lingkungan penggarapan ilmu pengetahuan. Tapi sesudah itu, ilmu akan tidak berdaya menjawab masalah-masalah asasi kemanusiaan. Menuruk Ivan Svitak, masalah kesejahteraan manusia tidak mungkin disederhanakan begitu saja menjadi sekedar data empiris ilmu pengetahuan, sebab ia akan juga berurusan dengan masalah-masalah nilai-nilai dan pandangan tentang tujuan hidup manusia. Sebab, nilai-nilai menetapkan arah tujuan, kegiatan sosial, dan sekaligus merupakan sumber motivasi serta pendorong bagi aktivitas-aktivitas tersebut. 

Karena nilai merupakan masalah keyakinan, disini dituntut adanya peranan mutlak agama. Disini, nilai-nilai keagamaan hendaknya diwujudkan menjadi kemanusiaan yang aktif, menjiwai kegiatan-kegiatan praktis manusia, guna mewujudkan apa yang sering kita sebut masyarakat adil dan makmur (dunia dan ilmiah) yang mendapatkan ridha Tuhan Yang Maha Esa (ukhrawi dan religius). Sebab, esensi kemanusiaan tidak terbatas pada pertumbuhan material semata-mata, tetapi meliputi pengembangan sepenuhnya diri manusia itu, dan pembebasannya, sehingga ia akan dapat menumbuhkan cipta rasanya, mengembangkan bakat-bakatnya dan kecerdasan untuk menghayati kekayaan dan keindahan dunia. (Madjid, 2013). 

Freelance inteligentia perlu mutlak untuk suatu masyarakat, walau tidak perlu banyak. Orang-orang yang beginilah yang mampu menciptakan pikiran-pikiran yang melampaui ruang dan zamannya. Inilah dasar pikiran mengapa bahwa seorang sarjana yang hidup dalam menara gading itu baik, bahwa universitas itu untuk sebagian harus merupakan ivory tower (Wahib, 2013).

Harapan untuk Transformasi
Tentu harapannya dalam waktu-waktu mendatang itu kita akan disajikan sebuah masyarakat dengan multikultural gerakan tersebut. Karena di negeri ini nanti orang-orang menggunakan kebebasannya secara bertanggung jawab, karena mereka telah memiliki rasa cinta. Di negeri ini nanti orang-orang memiliki harapan untuk hidup sejahtera karena mereka memiliki semangat kerja. Di negeri ini pula nanti orang-orang hidup dalam keragaman yang bersatu padu dan tidak menjadi sumber konfilk berkepanjangan, karena mereka memaknai rasa harmoni. (Matta, 2013). 

Karena nanti di negeri ini kita akan menyaksikan orang-orang yang selalu tampak santai dalam kesibukan, tersenyum dalam kesedihan, tenang di bawah tekanan, bekerja dalam kesulitan, optimis di depan tantangan, dan gembira dalam segala situasi. (Matta, 2013).  

Karena suatu nanti di negeri ini kita akan menyaksikan suatu tatanan masyarakat yang menjaga adab, tatanan hidupnya murni, dan tradisi yang kukuh, sebagaimana mereka membela tanah airnya dari penjajahan, memelihara kehormatannya agar tidak dirusak, menjaga kekayaannya agar tidak dirampas, dan menjaga kemuliaannya agar tidak direndahkan. Karena semuanya berakar dari nilai-nilai multikulturalisme bangsa, yang sejatinya sudah lahir sejak Republik ini berdiri, dengan bersemboyannya yang teguh: “Bhineka Tunggal Ika”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar