oleh: Muhammad Sadli
Pegiat Diskusi Kultural KAMMI di Maluku
Utara
Indonesia adalah negara
multikultural dengan beragam suku, agama, adat istiadat, tradisi, dan ras. Indonesia
adalah komunitas politis yang sendi-sendinya terbangun melalui proses
komunikasi. Ia lahir dari kehendak bebas individu-individu yang membangun
relasi bebas dan setara satu sama lain. Dengan kata lain, terbentuknya
Indonesia merupakan bentuk pelepasan masing-masing individu dari perspektif
kesukuannya untuk mencapai kebebasan melalui proses komunikasi intersubjektif
yang bebas dan setara.
Keragaman suku bangsa, budaya,
agama, dan bahasa telah membentuk Indonesia menjadi negara dengan struktur
sosial yang multikultural. Multikultural adalah keterbukaan hati dan pikiran
untuk saling menerima apa adanya tanpa memandang apapun latar belakang
sosiokulturalnya. Karena pada hakikatnya multikultural merupakan suatu
kesadaran, semangat, sikap hidup ditengah realitas keragaman masyarakat. Masyarakat
Multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam
komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi
mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah,
adat serta kebiasaan. (Azra, 2007 dalam UNY, 2013).
Individu-individu, pada awalnya
mulai “meninggalkan” keluarganya dan memasuki arena publik untuk berkomunikasi
dengan individu lainnya. Dalam komunikasi dengan individu lain tersebut,
harapan dan tujuan bersama pun akhirnya terbentuk. Setelah itu,
individu-individu yang saling berkomunikasi secara jujur, bebas, dan setara
itu, akan berjuang bersama untuk mencapai cita-cita dan harapan bersama pula.
Komunikasi pun akan melebarkan ruang-ruangnya. Ia tidak lagi membatasi diri
pada pembangunan jaringan di dalam suatu organisasi, tetapi meluas menjadi
antar organisasi. Puncak kulminasi komunikasi tersebut adalah peristiwa Sumpah
Pemuda, 28 Oktober 1928. (Hamzah, 2010).
Pada dasarnya setiap pemuda
memiliki masa yang berbeda, kondisi yang berbeda, maka tantangan yang juga
berbeda. Tapi kita (pemuda) tetap penting mengambil pelajaran dari
pemuda-pemuda sebelumnya. Termasuk sejarah sumpah pemuda, yang terjadi selang 87
tahun lalu. Dan menjelang memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2015.
Pada dasarnya kita tahu bahwa pemuda-pemuda (sejarah sumpah pemuda) itu
tergabung dalam simpul-simpulnya masing-masing (organisasi kepemudaan) kemudian
menggabungkan diri dalam simpul yang besar (Kongres Pemuda). Mereka
mensejarahkan momentum mereka. Dan momentum Sumpah Pemuda adalah salah satu
refleksi terhadap multikultural gerakan.
Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari sini. Pertama, menemukan momentum, mengenal momentum, menyiapkan momentum, kalau
tidak ya menciptakan momentum. Anis Matta, menuliskan “seseorang tidak menjadi
pahlawan karena ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan sepanjang
hidupnya. Kepahlawanan seseorang biasanya mempunyai momentumnya. Ada potongan
waktu tertentu dalam hidup seseorang dimana anasir kepahlawanan menyatu padu.
Saat itulah ia tersejarahkan”. Dan Imam Hasan Al-Banna menegaskan “Setiap masa ada pemudanya, setiap
pemuda ada masanya dan yang terbaik adalah mereka yang mengetahui masanya”.
Kedua,
mengutamakan pusat keunggulan atau kompetensi inti. Anis Matta
menuliskan “Para pahlawan mengajarkan sebuah kaidah kepada kita, seseorang
hanya akan menjadi besar dan meledak sebagai pahlawan, jika ia bekerja secara
optimal pada kompetensi intinya”. Kompetensi inti atau pusat keunggulan itu
menurut Anis Matta biasanya dicirikan oleh beberapa hal. Misalnya, adanya minat
yang tinggi terhadap suatu bidang, kemampuan penguasaan yang cepat dalam bidang
itu, kegembiraan natural saat menjalaninya, optimisme pada kemampuan
pengembangan lebih jauh.
Ketiga, menyatu dalam simpul
besar dari simpul-simpul kecil. Imam Hasan Al-Banna, menuliskan “Wahai para
pemuda, perbaruilah iman dan tentukan tujuan serta sasaran kalian. Sebab
kekuatan pertama adalah iman, buah dari iman ini adalah kesatuan, dan
konsekuensi logis kesatuan adalah kemenangan yang gilang gemilang. Oleh
karenanya, berimanlah kalian, eratkanlah ukhuwah, dan bekerjalah”.
Dan bila kita telaah periodisasi
gerakan kepemudaan di Indonesia, dari tahun 1908 (Budi Utomo), 1928 (Sumpah
Pemuda), 1945 (Kemerdekaan), 1966 (Peruntuhan Orde Lama), 1998 (Peruntuhan Orde
Baru), dan kini Era Reformasi. 1908 dan 1928 terjadi pergulatan pemikiran
dengan pembentukan organisasi kepemudaan serta kongres sebagai momentum. Dan
1966 dan 1998 adalah gerakan massa dan aksi demonstrasi sebagai momentum.
Maka
setidaknya kita dapat melihat ini sesuai kata Anis Matta, jika kecemasan
merupakan kekuatan utama yang menggerakan para pahlawan kebangkitan, maka
kekuatan apakah yang paling agresif menggerakkan para pahlawan di jaman
kejayaan? Jawabannya adalah obsesi kesempurnaan. Penjelasannya seperti ini,
pada jaman kejayaan suatu peradaban, kondisi kehidupan masyarakat sudah relatif
stabil, ada pemerintahan yang kuat, ada pertahanan dan keamanan yang stabil,
ada kemakmuran yang merata secara relatif, ada tingkat kesehatan dan pendidikan
yang baik, dan seterusnya. Semua itu dalam tataran relatif. Karena itu, ada
ketenangan, dan dalam ketenangan itu muncul kecenderungan untuk memenuhi
kebutuhan intelektual dan spiritual.
Dengan ini kita patut mencerna
selang waktu di luar periodisasi momentum pemuda. Misalkan tahun 1970-an dan
1980-an. Pada konteks itu maka kita dapat merumuskan sama halnya untuk trend
gerakan kepemudaan era Reformasi yang momentumnya bukan lagi aksi demonstrasi
dan gerakan massa untuk meruntuhkan rezim. Tapi trend gerakan kepemudaan kini
adalah berafiliasi dalam pengkaderan yang berbasis moralitas (moral force), sosial kemasyarakatan,
dan sinergi pergulatan pemikiran tanpa mengabaikan gerakan
ekstraparlementernya, yang semua itu implikasinya adalah ledakan karya.
Mencetak Inteligensia
Pada kondisi kini Indonesia sedang dirunut masalah seperti kabut asap, korupsi yang tak henti, pembakaran rumah ibadah, perekonomian yang tidak stabil, nilai rupiah yang lemah, bahan bakar minyak diliberalisasi pada pasar bebas, dan ditambah dengan momentum pilkada serentak, dan berbagai masalah-masalah klasik diantaranya termasuk pemuda yang hedonis, di satu sisi hal-hal positif dalam pembangunan juga berjalan. Apa peran pemuda dalam membantu berbagai masalah negara. Apakah terbatas pada gerakan parlemen jalanan, atau terlebih-lebih ditambah kepedulian yang terpatri dalam gerakan sosial independen. Ataukah sebuah tranformasi yang bernafas panjang dalam yang terpatri dalam tiga bentuk; ilmuwan, pemikir, dan teknokrat.
Ahmad Wahib, seorang cendekiawan yang lahir dari rahim aktivisme mahasiswa, menuliskan “itu tergantung juga sampai dimana kemampuan intelektualitas yang dimiliki intelektual tadi. Kalau dia hanya kreatif, dedikatif, responsif, setia pada kebenaran dan akal sehat, pokoknya berkepribadian baik tapi sama sekali kosong dari kemampuan akademis maka dia hanya menjadi orang pencetak moral atau kepribadian, sedang karya-karyanya hanya bermanfaat bagi tingkat desa atau kecamatan. Kalau di samping memiliki kepribadian yang indah-indah tadi ditopang oleh kemampuan akademis yang tinggi, maka dialah orang yang paling ideal, bermoral dan berilmu tinggi”.
Teknokrat didefenisikan sebagai mereka yang tidak mempersoalkan siapa yang berkuasa. Mereka hanya bekerja membantu yang berkuasa (Wahib, 2013). Cendekiawan yang berkiprah dalam pemerintahan. Menyangkut pengelolaan organisasi dan manajemen sumber daya pada negara industri oleh kelompok teknokrat (KBBI).
Wahib (2013) menuliskan, “Pendapat-pendapat yang saya lontarkan selama ini lebih banyak terdominir oleh keinginan-keinginan sebagai idealis daripada suatu pendapat yang betul-betul dipikirkan landasan ilmiahnya. Memang ada perbedaan antara pemikir dan ilmuwan. Pemikir terutama memeras otaknya untuk menemukan apa yang baik untuk masa depan. Ilmuwan memeras otaknya untuk mengerti kenyataan-kenyataan yang ada”. Karena itu keterlibatan kita secara kreatif dalam pergolakan kultural zaman adalah keharusan. Lari pada ketenangan dan ketenteraman dan meninggalkan arena pergolakan yang selalu menggelisahkan adalah sikap yang tidak bertanggungjawab kepada masa depan. Kita maju karena kita berani gelisah. Dan tantangan ini adalah tantangan bagi para pemikir, ilmuwan, dan para calon pemikir dan ilmuwan. (Wahib, 2013).
Mencetak Inteligensia
Pada kondisi kini Indonesia sedang dirunut masalah seperti kabut asap, korupsi yang tak henti, pembakaran rumah ibadah, perekonomian yang tidak stabil, nilai rupiah yang lemah, bahan bakar minyak diliberalisasi pada pasar bebas, dan ditambah dengan momentum pilkada serentak, dan berbagai masalah-masalah klasik diantaranya termasuk pemuda yang hedonis, di satu sisi hal-hal positif dalam pembangunan juga berjalan. Apa peran pemuda dalam membantu berbagai masalah negara. Apakah terbatas pada gerakan parlemen jalanan, atau terlebih-lebih ditambah kepedulian yang terpatri dalam gerakan sosial independen. Ataukah sebuah tranformasi yang bernafas panjang dalam yang terpatri dalam tiga bentuk; ilmuwan, pemikir, dan teknokrat.
Ahmad Wahib, seorang cendekiawan yang lahir dari rahim aktivisme mahasiswa, menuliskan “itu tergantung juga sampai dimana kemampuan intelektualitas yang dimiliki intelektual tadi. Kalau dia hanya kreatif, dedikatif, responsif, setia pada kebenaran dan akal sehat, pokoknya berkepribadian baik tapi sama sekali kosong dari kemampuan akademis maka dia hanya menjadi orang pencetak moral atau kepribadian, sedang karya-karyanya hanya bermanfaat bagi tingkat desa atau kecamatan. Kalau di samping memiliki kepribadian yang indah-indah tadi ditopang oleh kemampuan akademis yang tinggi, maka dialah orang yang paling ideal, bermoral dan berilmu tinggi”.
Teknokrat didefenisikan sebagai mereka yang tidak mempersoalkan siapa yang berkuasa. Mereka hanya bekerja membantu yang berkuasa (Wahib, 2013). Cendekiawan yang berkiprah dalam pemerintahan. Menyangkut pengelolaan organisasi dan manajemen sumber daya pada negara industri oleh kelompok teknokrat (KBBI).
Wahib (2013) menuliskan, “Pendapat-pendapat yang saya lontarkan selama ini lebih banyak terdominir oleh keinginan-keinginan sebagai idealis daripada suatu pendapat yang betul-betul dipikirkan landasan ilmiahnya. Memang ada perbedaan antara pemikir dan ilmuwan. Pemikir terutama memeras otaknya untuk menemukan apa yang baik untuk masa depan. Ilmuwan memeras otaknya untuk mengerti kenyataan-kenyataan yang ada”. Karena itu keterlibatan kita secara kreatif dalam pergolakan kultural zaman adalah keharusan. Lari pada ketenangan dan ketenteraman dan meninggalkan arena pergolakan yang selalu menggelisahkan adalah sikap yang tidak bertanggungjawab kepada masa depan. Kita maju karena kita berani gelisah. Dan tantangan ini adalah tantangan bagi para pemikir, ilmuwan, dan para calon pemikir dan ilmuwan. (Wahib, 2013).
Perspektif kemakmuran dan
percabangan-percabangannya yang dekat, masih berada dalam lingkungan
penggarapan ilmu pengetahuan. Tapi sesudah itu, ilmu akan tidak berdaya
menjawab masalah-masalah asasi kemanusiaan. Menuruk Ivan Svitak, masalah
kesejahteraan manusia tidak mungkin disederhanakan begitu saja menjadi sekedar
data empiris ilmu pengetahuan, sebab ia akan juga berurusan dengan
masalah-masalah nilai-nilai dan pandangan tentang tujuan hidup manusia. Sebab,
nilai-nilai menetapkan arah tujuan, kegiatan sosial, dan sekaligus merupakan
sumber motivasi serta pendorong bagi aktivitas-aktivitas tersebut.
Karena nilai merupakan masalah
keyakinan, disini dituntut adanya peranan mutlak agama. Disini, nilai-nilai
keagamaan hendaknya diwujudkan menjadi kemanusiaan yang aktif, menjiwai
kegiatan-kegiatan praktis manusia, guna mewujudkan apa yang sering kita sebut
masyarakat adil dan makmur (dunia dan ilmiah) yang mendapatkan ridha Tuhan Yang
Maha Esa (ukhrawi dan religius). Sebab, esensi kemanusiaan tidak terbatas pada
pertumbuhan material semata-mata, tetapi meliputi pengembangan sepenuhnya diri
manusia itu, dan pembebasannya, sehingga ia akan dapat menumbuhkan cipta
rasanya, mengembangkan bakat-bakatnya dan kecerdasan untuk menghayati kekayaan
dan keindahan dunia. (Madjid, 2013).
Freelance inteligentia perlu mutlak untuk suatu masyarakat, walau tidak perlu banyak. Orang-orang yang beginilah yang mampu menciptakan pikiran-pikiran yang melampaui ruang dan zamannya. Inilah dasar pikiran mengapa bahwa seorang sarjana yang hidup dalam menara gading itu baik, bahwa universitas itu untuk sebagian harus merupakan ivory tower (Wahib, 2013).
Freelance inteligentia perlu mutlak untuk suatu masyarakat, walau tidak perlu banyak. Orang-orang yang beginilah yang mampu menciptakan pikiran-pikiran yang melampaui ruang dan zamannya. Inilah dasar pikiran mengapa bahwa seorang sarjana yang hidup dalam menara gading itu baik, bahwa universitas itu untuk sebagian harus merupakan ivory tower (Wahib, 2013).
Harapan untuk Transformasi
Tentu harapannya dalam
waktu-waktu mendatang itu kita akan disajikan sebuah masyarakat dengan
multikultural gerakan tersebut. Karena di negeri ini nanti orang-orang
menggunakan kebebasannya secara bertanggung jawab, karena mereka telah memiliki
rasa cinta. Di negeri ini nanti orang-orang memiliki harapan untuk hidup
sejahtera karena mereka memiliki semangat kerja. Di negeri ini pula nanti
orang-orang hidup dalam keragaman yang bersatu padu dan tidak menjadi sumber
konfilk berkepanjangan, karena mereka memaknai rasa harmoni. (Matta, 2013).
Karena nanti di negeri ini kita
akan menyaksikan orang-orang yang selalu tampak santai dalam kesibukan,
tersenyum dalam kesedihan, tenang di bawah tekanan, bekerja dalam kesulitan,
optimis di depan tantangan, dan gembira dalam segala situasi. (Matta, 2013).
Karena suatu nanti di negeri ini
kita akan menyaksikan suatu tatanan masyarakat yang menjaga adab, tatanan
hidupnya murni, dan tradisi yang kukuh, sebagaimana mereka membela tanah airnya
dari penjajahan, memelihara kehormatannya agar tidak dirusak, menjaga
kekayaannya agar tidak dirampas, dan menjaga kemuliaannya agar tidak
direndahkan. Karena semuanya berakar dari nilai-nilai multikulturalisme bangsa, yang sejatinya sudah lahir sejak Republik ini berdiri, dengan bersemboyannya yang teguh: “Bhineka Tunggal Ika”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar