31 Desember 2014

Kota, Kata, Kamisan, Kultural: Dari Tahun yang Berlalu Menuju Awal yang Baru

Oleh: Dharma Setyawan
Pegiat Majelis Kamisan Cangkir dan Forum Diskusi Kultural, Penulis Buku “Haji Agus Salim: The Grand Old Man”


 “Di belakang gedung-gedung tinggi
Kalian boleh tinggal
Kalian bebas tidur dimana-mana kapan saja
Kalian bebas bangun sewaktu kalian mau
Jika kedinginan karena gerimis atau hujan
Kalian bisa mencari hangat
Di sana ada restoran
Kalian bisa tidur dekat kompor penggorengan
Bakmi ayam dan babi denting garpu dan sepatu mengkilat
Di samping sedan-sedan dan mobil-mobil bikinan asli Jepang
Kalian bisa mandi kapan saja
Sungai itu milik kalian
Kalian bisa cuci badan dengan limbah-limbah industri
Apa belum cukup terang benderang itu lampu merkuri taman
Apa belum cukup nyaman tidur di bawah langit kawan
Kota ini milik kalian
Kecuali gedung-gedung tembok pagar besi itu jangan!”

-Wiji Thukul: “Kota Ini Milik Kalian”-


Kota
Puisi Wiji Thukul yang berjudul ‘Kota Ini Milik Kalian’ saya sajikan sebagai preambule dalam pidato ini. Kota selalu menyengaja ‘berisik’. Dalam kota muncul pelbagai hal-hal baru yang menarik kita semua untuk memperhatikannya. Kota meletupkan emosi bagi mereka yang terpinggirkan, dan juga mereka yang diledek kemiskinan. Pelbagai kemungkinan bisa terjadi, misal dengan ‘kota’ yang dipenuhi arogansi kekuasaan, absennya kaum intelektual, dan sampai rusaknya lingkungan hidup. Membahas kota perlu energi baru, karena kota yang identik ramai ternyata sepi dalam refleksi diri, ini terbukti dengan kondisi kota yang selalu menuai masalah dan minim ide dalam upaya menuju ‘paripurna’.

Sejarawan Arnold Toynbee[1] menyatakan sebuah kota terbentuk karena adanya kaum minoritas kreatif (creative minority) yang menggerakkan kota itu. Pendapat ini sepertinya benar dalam proses menuju kota. Ditambah pendapat Max Weber[2] tentang peran budaya terhadap kota yang ditulisnya dalam buku The City (1905), Weber mengatakan bahwa melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari  individual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah. Max Weber mengungkapkan lebih panjang lagi, bahwa kota dibentuk oleh proses perkembangan kapitalisme dan merkantilisme, khususnya dalam bentuk transaksi-transaksi perdagangan, proses ekspor-impor, hingga pembentukan sistem perbankan dan keuangan.

Kota seolah tidak pernah mati gaya, selalu hidup dan akan menemukan hal-hal yang baru jika disandingkan dengan ‘nyanyi sunyi’ tentang desa. Desa tiarap ber-ide, sepi kreatifitas pemuda, tidak ada keramaian pasar dan nihilnya aliran uang. Kita melihat kota adalah tempat bergumulnya kepentingan. Di dalam ‘kota’ terjadi produksi kata yang masif.[3] ‘Madinah’ yang memiliki arti—tamaddun—kota berperadaban, tak selalu menemukan relevansinya. Budaya tidak ber-adab telah menandai gagalnya kota membangun peradabannya. Kita lihat kondisi nyata seperti; maraknya prostitusi, ancaman limbah produksi, megahnya hutan beton, sungai yang tercemar sampah, kriminalitas tinggi adalah wujud dari tidak beradabnya kota itu sendiri.

Sebagaimana dikutip oleh Rahardjo dalam bukunya, Peradaban menurut Spengler adalah tingkatan kebudayaan ketika tidak lagi memiliki sifat perodiktif, beku, dan mengkristal. Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa peradaban adalah sesuatu yang sudah selesai (it has been), sedangkan kebudayaan sebagai sesuatu yang menjadi (it becomes).[4] Peradaban menurut Malik bin Nabi adalah keseluruhan sarana moral dan material yang menjadikan masyarakat memberikan semua pelayanan sosial yang diperlukan setiap anggotanya untuk kemajuan.  Malik Bin Nabi menyatakan terjadinya peradaban terjadi karena tiga unsur; manusia, waktu dan tanah.[5]

Lewis Mumford[6] seorang filsuf dan sejarawan Amerika menulis buku berjudul ‘The City in History’ (Kota dalam Sejarah) pada tahun 1961. Di dalam buku tersebut Mumford menjelaskan tentang pengertian kota dengan pendekatan metafora, setidaknya terdapat lima metafora dalam pembahasan mengenai kota, yaitu: Kota sebagai Magnet, Kota sebagai Kontainer,  Necropolis,  Megamachine, Pentagon. Dalam penjelasan lebih jauh Mumford menjelaskan kondisi kota; 1) Kota sebagai Magnet, yang dapat menarik orang dari segala penjuru; 2) Kota sebagai Kontainer, ia merupakan wadah bagi apapun yang dapat masuk didalamnya; 3) Necropolis, Kota juga dapat mengalami kematian layaknya makhluk hidup; 4) Megamachine, Kota bisa juga berperan menjadi mesin besar yang dapat menghancurkan segala sendi-sendi kemanusiaan; 5) Pentagon, Kota juga dapat menjadi simbol militerisme, kekuatan, dan merusak segalanya dikarenakan obsesi besar pengelola kota demi modernisasi disemua lini tanpa mengedepankan keseimbangan antara teknologi dengan kondisi sosial dan daya dukung lingkungan.

Kota juga dapat mengalami kematian—atau disebut Necropolis dalam pandangan Mumford—akibat mandegnya minoritas kreatif. Pendapat ini setidaknya menolak pendapat Toynbee tentang ‘minoritas kreatif’. Ketika kreatifitas terhenti hal itu menandakan kematian kota bagi Mumford. Lebih miris lagi, jamak kita menyaksikan kota telah menghancurkan segala sendi kemanusiaan—gotong royong, sopan santun, kerifan lokal dan local genius lainnya. Modernisme lebih-lebih telah memusatkan energi kerusakan untuk memberi kewenangan pada “antroposentrisme”, sehingga kerusakan yang terjadi memang ulah manusia. Karena pada hakikatnya ketika kita mengambil sesuatu dari alam kita harus memberikan sesuatu juga kepada alam.

Mumford juga menyatakan bahwa,"Sebelum manusia modern dapat memenangkan kembali pengawasan dari kekuatan-kekuatan yang sekarang mengancam keberadannya sendiri, ia harus mendapatkan kembali pengawasan terhadap dirinya sendiri. Dan ini adalah tugas pertama dari kota masa depan yaitu untuk menciptakan kembali struktur urban, yang tampak dan regional berdasarkan pada citra-citra kebersamaan, mampu untuk meletakkan seseorang dengan dirinya yang terdalam, tapi lebih pada tempat dari identitas manusia baru, identitas dari ‘Manusia Dunia’.

Cara berfikir harus berubah, kemudian sikap akan berubah untuk menempatkan semua sendi kehidupan dapat setara. Manusia dan Alam adalah simbiosis mutualisme yang seharusnya bisa berdampingan bukan saling menegasikan. Maka Pattrick Geddes (1918)[7] menyatakan perencanaan kota harus didasarkan pada pengetahuan tentang alam dan sumber daya suatu wilayah. Misalnya secara khusus ia memandang kawasan lembah sungai sebagai unit alami untuk menguji berbagai aktivitas yang berbeda terkait dengan kota. Dan juga Geddes telah meramalkan adanya pengaruh yang penting tentang perkembangan kota yang terdesak oleh teknologi dan mode transportasi. Ramalan ini semakin benar dengan hadirnya teknologi dan mode transportasi modern, kota yang tidak sadar menjaga “napas alam” selalu saja menuai masalah lingkungan yang kian parah. Modernisme teknologi bahkan tidak dapat menjamin kenyamanan hidup sebagaimana nyamannya manusia berdampingan dengan alam.

Kata
Kita harus berfikir jauh ke depan. Menyengaja untuk membangkitkan kesadaran bersama tentang kota. Bagaimana kita akan memulai perubahan? Saya akan menjawab dengan ‘Kata”. Kenapa ‘kata’? karena salah satu modal besar bangsa ini dalam demokrasi pasca-soeharto adalah ‘kata’—kebebasan bicara dan berkembangnya media. Ia menjadi modal untuk menegakkan bandul demokrasi yang sangat mungkin semakin kebablasan. Begitupun dengan kota yang ‘stagnan’, atau lelah untuk kreatif selalu diawali dengan kata untuk dapat dibangkitkan lagi.

‘Kata’ itu elastis, menyelinap di ruang berfikir yang bengal sekalipun. ‘Kata’ menyergap mereka yang tuli dan diam atas proses perubahan. Dengan ‘kata’, pikiran-pikiran lama yang statis diperbaharui. Misalnya kota dengan isu yang dapat berubah seiring dengan ‘berita-berita’ di koran. Lalu lintas ‘kata’ di ‘kota’ bertebaran seiring dengan akses teknologi dan komunikasi yang semakin baik. ‘Kata’ itu menjadi energi untuk memproduksi ‘sastra’ lebih jauh. Disinilah ‘kata’ dan ‘kota’ menemukan titik temu. ‘Kota’ butuh ‘kata’ dan ‘kata’ menempati ruang yang disebut ‘kota’. Mereka-mereka yang tercerahkan—Rausyan Fikr meminjam istilah Ali Sariati—adalah mereka yang berjibaku dengan ‘kata’. Buku, film, musik, puisi, diskusi, semuanya membutuhkan ‘kata’ untuk memunculkan esensinya. Mandegnya lalu-lintas ‘kata’ juga akan mempengaruhi seberapa cepat perubahan kota itu terjadi. Bukankah peradaban Yunani adalah buah dari produksi kata para Filsuf?

Lebih jauh, peran ‘sastra’ menarik untuk diperbincangkan. Mereka yang tidak siuman dari pingsan kedunguan dan tidak memiliki kesadaran untuk berbudaya, lihat saja selalu dikritik oleh sastra.[8] Maka, ‘sastra’ selalu mampu mengusik kekuasaan yang tuli atas kebenaran, karena fungsi penting sastra adalah ‘menunjukkan kebenaran’ meskipun katup-katup kebebasan, misal kebebasan berbicara sengaja dibungkam. Bangsa yang memahami sastra tidak pernah berucap untuk dendam. Bangsa yang mengenal sastra tidak pernah berdiri kaku di tengah ragam perbedaan. Bangsa yang mengerti sastra akan menegakkan harmoni di tengah permusuhan. Sebagaimana Ashadi Siregar (2013) menyatakanHarmoni itu tidak pernah mengenal kata krisis”.[9] Dan Inilah bukti elan vital sastra.

Pramoedya Ananta Toer (1999) juga pernah menyebut bahwa sastra memang tidak memiliki kemampuan bersenjata, membangun gerakan kudeta sebagaimana dimiliki oleh aparatus negara. Akan tetapi, ‘sastra’ akan mampu untuk mengkudeta cara berpikir ‘kerdil’ kekuasaan yang tidak berpikir benar.[10] Jadi, seberapa penting sastra dalam kehidupan demokrasi kita? Tentu sangat penting. Bahkan, kudeta yang melukai laku demokrasi kita membutuhkan ‘sastra’ untuk memberi legitimasi terhadap kudeta yang mereka lakukan –sebagaimana Orde Baru melegitimasi anti-Komunisme dalam film dan sastra yang dilukiskan oleh Wijaya Herlambang (2013).[11] Dan kekerasan budaya itu pernah dilakukan orde baru, untuk meneror mereka yang melawan, mencari kebenaran dan korban tahun 65’ tidak pernah mendapat keadilan.
Jika militer melakukan kudeta-bersenjata, maka bisa kita katakan: sastra juga melakukan kudeta senyap; yaitu kudeta dengan mengubah jalan pikiran anak-anak bangsa, lewat sastra itu, generasi masa depan cepat atau lambat, akan menemukan fatsoen sejarah. Sastra hadir menempati ruang dan waktu.

Untuk itulah, kita semua mesti segera sadar untuk memberi panggung bagi sastra hingga menjadi bagian penting berpikir membangun toleransi dalam keberagaman lingkungan hidup kita. Kiblat politik yang semakin menggurita, contoh nyata oligarki kekuasaan–yang tak ubahnya feodalisme berjubah demokrasi—harus kita lawan dengan narasi sastra, sehebat apapun oligarki itu, sekuat apapun oligarki itu, akan tumbang pada saatnya. Bukankah Soeharto lengser setelah 32 tahun berkuasa juga ada andil sastra? Pada akhirnya lemahnya sastra dapat berakibat pada lemahnya kesadaran–‘menjadi Indonesia’.

Kamisan
Bagian terakhir yang saya bahas adalah tentang hadirnya Majelis Kamisan Cangkir di kota kecil ini—Kota Metro di tengah Lampung—sebagai harapan baru khususnya para pegiatnya. Majelis ini hadir dengan keberagaman yang nyaris sempurna penuh perbedaan. Bertemu dengan kegelisahan yang sama, anak-anak muda yang bertindak dengan narasi yang selalu baru. Majelis ini menolak kejenuhan dan kejumudan. Di tengah kota kecil ini, saya ingin mendukung puisi Wiji Thukul “Kota Ini Milik Kalian” dengan menyatakan hal senada bahwa ‘Kota ini milik kita semua’. Bukan hanya milik penguasa, pengusaha dan komprador politik sejenisnya. Kita hadir untuk membangkitkan kreatifitas bersama dan sejak awal telah kita mulai dengan modal luar biasa yaitu “kata”.

Berawal dengan Diskusi Kamisan Berpincang Berfikir (CANGKIR), lalu membuat halaman portal warga www.pojoksamber.com,  kemudian menghidupkan lembaga penelitian Sai Wawai Institute sekaligus penerbitan buku pertama di kota ini Sai Wawai Publishing. Majelis ini juga telah mendirikan Bank Sampah sebagai respon membenahi lingkungan hidup.

Kini kita berkumpul di sini menyaksikan kehebatan ‘kata’ dan buah karya dalam narasi sastra. ‘Rumah bersama’ adalah buah gotong royong dan budaya sama kerja. Disebut juga ‘Rumah Gagasan’ karena dibangun dengan gagasan-gagasan yang terus mengalir. Kota kecil ini akan lebih dinamis, dan kontribusi majelis ini untuk membangkitkan ‘orang kreatif’ adalah bukti nyata kehebatan ‘kata’. Karena sejarah adalah akumulasi jejak manusia dari yang terkecil, maka rumah bersama ini memulai sejarahnya dengan menghidupkan tanah salah satu warga Majelis ini.[12] Tanah yang kelak akan menghidupkan banyak hal dan melahirkan orang kreatif sebagai pahlawan-pahlawan baru di masyarakat.

Romo Mangun mengingatkan kita untuk menemukan kembali orang-orang kreatif dari rakyat. Romo mengajak kita menyelami kehidupan sejarah manusia secara normal, memulai dari mereka yang sering tidak diperhatikan. Beliau bertutur,“...Namun itu berarti bahwa telah tumbuhlah benih-benih pengakuan, bahwa yang benar-benar penting dalam sejarah justru adalah yang hidup sehari-hari, yang normal yang biasa, dan bukan pertama-tama kehidupan serba luar biasa dari kaum ekstravagan serba mewah tapi kosong untuk di konsumtif. Dengan kata lain, kita mulai belajar, bahwa tokoh sejarah dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali diantara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang barangkali kecil dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan.[13]

Di rumah bersama ini akan muncul orang-orang yang menggunakan akal dan hatinya untuk terus berkarya. Buku, musik, film, puisi, lukisan, dan karya lainnya akan lahir. Pun, saya pribadi selalu optimis karya itu akan lahir dari tempat ini. Betul bahwa Majelis ini tidak akan bisa memperbaiki semua permasalahan, ditambah lagi jika mejelis ini diisi oleh orang-orang yang tidak mau melepaskan “cangkang egonya”. Dan itu juga tanda ramalan Mumford yang benar, bahwa ‘kota’ dapat mengalami kematian—yaitu ditandai ‘hilangnya kreatifitas’. Tapi Majelis ini dapat memberi kepastian dan akan terus berkontribusi—sekecil apapun itu—dalam upaya menumbuhkan “orang kreatif”.

Seturut dengan hal di atas, Majelis Kamisan Cangkir lahir dengan berbagai latar belakang mulai dari aktifis kampus, akademisi, penulis, wartawan, bermacam lintas suku, golongan, agama dan rakyat biasa. Sikap egaliter telah bertunas sejak awal tumbuh, saling belajar dan mengajar adalah karakter gerakan majelis ini. Majelis ini juga punya tagline,”Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah”. Kita membangun majelis ini dengan kemandirian. Rumah ini adalah bukti ‘torehan kata’ itu, dan kita melihat bersama kata itu benar-benar mengubah lingkungan hidup kita.

Kultural
Di bagian ini saya akan sedikit berefleksi tentang Forum Diskusi KAMMI Kultural. Bagian ini mungkin pernah saya ceritakan di tulisan yang lain. Saya menyebut KAMMI Kultural sebagai “upaya memenangkan kekuasaan pada tingkat berpikir kader”. Ia tentu saja bukan sekedar alat politik yang tujuannya hanya bersifat pragmatis, yaitu untuk berkuasaKAMMI Kultural ingin menciptakan kader-kader intelektual yang progresif

Kita tentu pernah mengingat sosok Al-Farabi. Ia adalah seorang tukang kebun dan bekerja siang hari untuk tuannya. Akan tetapi,  kita juga melihat sosok Al-Farabi sebagai penguasa di jagad pemikiran dan dirinya dalam hidupnyaSejak usia balighia hanya tidak menulis saat dua hari –yaitu saat malam pertama menikah dan saat Ayahnya meninggal. Selain dua hari itu, Al-Farabi menulis sampai akhir hayatnya. Wajar jika Muhammad Natsir dalam “Capita Selecta” menyebut Al-Farabi sebagai “Penguasa di jagad Ruh kendati menjadi budak di jagad materi.

Begitulah saya menafsirkan gerakan kultural sebagai sebuah gerakan kehendak bebas’ yang bertujuan memberi ruang kepada seluruh kaderKAMMI untuk memberikan sumbangsih berfikir secara dialektis melalui ruang-ruang kultural –bergerak tanpa kasta dan berjuang tanpa nama. Bisa saja, seorang kader KAMMI dalam wilayah struktural bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang jundi komisariat yang tidak menempati posisi/jabatan struktural yang strategis. Akan tetapi, di jagad pemikiran, ialah yang paling baik amal ibadahnya, lebih luas membaca bukunya, tinggi pemahaman ilmu dan pengetahuannya, serta lebih progresif dalam berkarya.

Kultural adalah “kata”. Dan “kata” itu tak boleh berhenti hanya dalam batas-batas yang ditentukan oleh KAMMI sendiri. Oleh karena Kultural adalah “kata”, hendaknya ke depan Kultural terus berupaya memberi ruang adil. agar kader-kader KAMMI, di struktur manapun ia berkiprah, dapat mengakomodir dan mengakui proses tumbuhnya ilmu di tubuh KAMMI sampai di tingkat komisariat.

Ikhtitam
“Rumah ini adalah rumah kata”. ‘Kata’ yang bekerja dan menyeruak di ruang publik. Dibaca orang banyak, dimaknai dengan seksama dan dikumpulkan menjadi kayu, bata, semen, pasir, geribik, paku dan ijuk. Dengan kerja bermodal ‘kata’ itu kita telah menegakkan komunitas membangun social capital. “Kata” juga bekerja secara nyata mengimbangi narasi pemerintah kerja...kerja...kerja. Tapi kerja kita harus berbeda, ini kerja baru dan ini baru kerja. Semoga Kamisan, Kultural, atau apapun namanuya ini akan terus bekerja, berkarya, bergotong royong, membangun kepercayaan dan menjadi berkah bagi kota ini.

‘Ala Kulli hal, selalu saya senang menutup tulisan dengan mengutip ungkapan-ungkapan Pramoedya Ananta Toer,“Belajar berdiri sendiri, jangan hanya jual tenaga pada siapapun, ubah kedudukan kuli jadi pengusaha, biar kecil seperti apapun, tak ada modal? Berserikat, bentuk modal, belajar bekerjasama, bertekun dalam pekerjaan”.[14]

Billahi fi sabilil haq, fastabiqul khoirot.

Referensi
Arnold J Toynbee, 1967, (ed), Cities of Destiny, New York: McGraw-Hill.
Ashadi Siregar, 2013, Menuju Bangsa Tanpa Sastra. Pidato budaya dalam  peluncuran majalah sastra “Sabana” di Rumah Budaya  EAN (Emha Ainun Najib) Yogyakarta. 
Dharma Setyawan, Kata, Kota, dan Kekuasaan, Lampung Post, 20 Agustus 2014. www.lampost.co
Dharma Setyawan, Sastra dan Kudeta, lihat di  www.kammikultural.org
Lewis Mumford, 1961,The City in History, San Diego, Harcourt Inc,.
Malik Bin Nabi, 1994, Membangun Dunia Baru Islam, terj. Syuruth al-Nahdhah, Bandung: Mizan.
Max Weber, The City, 1921. (tr. 1958),Translated and edited by Don Martindale and Gertrud Neuwirth, New York.
Patrick Geddes, 1918, Town Planning Towards City Development: A Report to the Durbar of Indore, Holkar State Printing Press, Indore, Vols I and II.
Pramoedya Ananta Toer, 2010, Anak Semua Bangsa, Jakarta: Lentera Dipantara.
____________________,1995, Sastra, Sensor, dan Negara, lihat di http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/10/11/0024.html
Supratikno Rahardjo, 2002, Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu.
Wijaya Herlambang, 2013, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, Jakarta: Marjin Kiri.
Y.B. Mangunwijaya, 2000, Impian dari Yogyakarta: Kumpulan Esai Masalah Pendidikan, Jakarta: Kompas.


*) Versi Awal dari Tulisan ini disampaikan sebagai Pidato Kebudayaan di Majelis Kamisan Cangkir, Kota Metro, Lampung.




[1] Arnold J Toynbee, 1967, (ed), Cities of Destiny, New York: McGraw-Hill.
[2] Max Weber, The City, 1921. (tr. 1958), Translated and edited by Don Martindale and Gertrud Neuwirth, New York.
[3] Dharma setyawan, Kata, Kota, dan Kekuasaan, Lampung Post, 20 Agustus 2014. www.lampost.co
[4] Supratikno Rahardjo, 2002, Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu h. 24
[5] Malik Bin Nabi, 1994, Membangun Dunia Baru Islam, terj. Syuruth al-Nahdhah, Bandung: Mizan. h. 19
[6] Lewis Mumford, 1961,The City in History, San Diego, Harcourt Inc,. Diterjemahkan Bahasa Indonesia “Kota dalam sejarah”.
[7] Patrick Geddes, 1918, Town Planning Towards City Development: A Report to the Durbar of Indore, Holkar State Printing Press, Indore, Vols I and II.
[8] Dharma Setyawan, Sastra dan Kudeta, lihat di  www.kammikultural.org
[9] Ashadi Siregar, “Menuju Bangsa Tanpa Sastra”.pidato budaya dalam  peluncuran majalah sastra “Sabana” di Rumah Budaya  EAN (Emha Ainun Najib) Yogyakarta (25/06/13). 
[10] Pramoedya Ananta Toer,1995, Sastra, Sensor, dan Negara, pidato tertulis Pramoedya, yang disampaikan ketika ia menerima penghargaan Magsaysay, di Manila, lihat di http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/10/11/0024.html
[11] Wijaya Herlambang,2013, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, Jakarta: Marjin Kiri, h. 65-66.
[12] Tanah milik Bung Rahmatul Ummah, sebuah harapan barsama membangun peradaban kecil sebagaimana tesis yang pernah diungkapkan Malik bin Nabi tentang unsur peradaban salah satunya adalah ‘tanah’, kelak akan menjadi cikal bakal jejak sejarah Majelis ini di masa depan.
[13] Y.B. Mangunwijaya, 2000, Impian dari Yogyakarta: Kumpulan Esai Masalah Pendidikan, Jakarta: Kompas, h. 38
[14] Pramoedya Ananta Toer, 2010, Anak Semua Bangsa, Jakarta: Lentera Dipantara, hal 59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar