Oleh: Dharma Setyawan
Pegiat Majelis Kamisan
Cangkir dan Forum Diskusi Kultural, Penulis Buku “Haji Agus Salim: The Grand Old
Man”
Kalian boleh tinggal
Kalian bebas tidur dimana-mana kapan saja
Kalian bebas bangun sewaktu kalian mau
Jika kedinginan karena gerimis atau hujan
Kalian bisa mencari hangat
Di sana ada restoran
Kalian bisa tidur dekat kompor
penggorengan
Bakmi ayam dan babi denting garpu dan
sepatu mengkilat
Di samping sedan-sedan dan mobil-mobil
bikinan asli Jepang
Kalian bisa mandi kapan saja
Sungai itu milik kalian
Kalian bisa cuci badan dengan
limbah-limbah industri
Apa belum cukup terang benderang itu lampu
merkuri taman
Apa belum cukup nyaman tidur di bawah
langit kawan
Kota ini milik kalian
Kecuali gedung-gedung tembok pagar besi
itu jangan!”
-Wiji Thukul: “Kota Ini Milik Kalian”-
Kota
Puisi Wiji Thukul yang berjudul ‘Kota Ini Milik
Kalian’ saya sajikan sebagai preambule
dalam pidato ini. Kota selalu menyengaja ‘berisik’. Dalam kota muncul pelbagai
hal-hal baru yang menarik kita semua untuk memperhatikannya. Kota meletupkan
emosi bagi mereka yang terpinggirkan, dan juga mereka yang diledek kemiskinan. Pelbagai
kemungkinan bisa terjadi, misal dengan ‘kota’ yang dipenuhi arogansi kekuasaan,
absennya kaum intelektual, dan sampai rusaknya lingkungan hidup. Membahas kota
perlu energi baru, karena kota yang identik ramai ternyata sepi dalam refleksi
diri, ini terbukti dengan kondisi kota yang selalu menuai masalah dan minim ide
dalam upaya menuju ‘paripurna’.
Sejarawan Arnold Toynbee[1]
menyatakan sebuah kota terbentuk karena adanya kaum minoritas kreatif (creative minority) yang menggerakkan
kota itu. Pendapat ini sepertinya benar dalam proses menuju kota. Ditambah
pendapat Max Weber[2]
tentang peran budaya terhadap kota yang ditulisnya dalam buku The City (1905), Weber mengatakan bahwa
melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari individual dan inovasi, dan hal ini menjadi
instrumen dari perubahan sejarah. Max Weber mengungkapkan lebih panjang lagi,
bahwa kota dibentuk oleh proses perkembangan kapitalisme dan merkantilisme,
khususnya dalam bentuk transaksi-transaksi perdagangan, proses ekspor-impor,
hingga pembentukan sistem perbankan dan keuangan.
Kota seolah tidak pernah mati gaya, selalu hidup dan
akan menemukan hal-hal yang baru jika disandingkan dengan ‘nyanyi sunyi’
tentang desa. Desa tiarap ber-ide, sepi kreatifitas pemuda, tidak ada keramaian
pasar dan nihilnya aliran uang. Kita melihat kota adalah tempat bergumulnya
kepentingan. Di dalam ‘kota’ terjadi produksi kata yang masif.[3] ‘Madinah’
yang memiliki arti—tamaddun—kota berperadaban, tak selalu menemukan
relevansinya. Budaya tidak ber-adab telah menandai gagalnya kota membangun
peradabannya. Kita lihat kondisi nyata seperti; maraknya prostitusi, ancaman
limbah produksi, megahnya hutan beton, sungai yang tercemar sampah,
kriminalitas tinggi adalah wujud dari tidak beradabnya kota itu sendiri.
Sebagaimana dikutip oleh Rahardjo dalam bukunya, Peradaban
menurut Spengler adalah tingkatan
kebudayaan ketika tidak lagi memiliki sifat perodiktif, beku, dan mengkristal. Lebih
lanjut lagi, ia menyatakan bahwa peradaban adalah sesuatu yang sudah selesai (it has been), sedangkan kebudayaan sebagai
sesuatu yang menjadi (it becomes).[4] Peradaban menurut
Malik bin Nabi adalah keseluruhan sarana moral dan material yang menjadikan
masyarakat memberikan semua pelayanan sosial yang diperlukan setiap anggotanya
untuk kemajuan. Malik Bin Nabi menyatakan
terjadinya peradaban terjadi karena tiga unsur; manusia, waktu dan tanah.[5]
Lewis Mumford[6] seorang
filsuf dan sejarawan Amerika menulis buku berjudul ‘The City in History’ (Kota dalam Sejarah) pada tahun 1961. Di dalam
buku tersebut Mumford menjelaskan tentang pengertian kota dengan pendekatan
metafora, setidaknya terdapat lima metafora dalam pembahasan mengenai kota,
yaitu: Kota sebagai Magnet, Kota
sebagai Kontainer, Necropolis,
Megamachine, Pentagon. Dalam penjelasan lebih jauh Mumford menjelaskan
kondisi kota; 1) Kota sebagai Magnet, yang dapat menarik orang dari segala
penjuru; 2) Kota sebagai Kontainer, ia merupakan wadah bagi apapun yang dapat
masuk didalamnya; 3) Necropolis, Kota
juga dapat mengalami kematian layaknya makhluk hidup; 4) Megamachine, Kota bisa juga berperan menjadi mesin besar yang dapat
menghancurkan segala sendi-sendi kemanusiaan; 5) Pentagon, Kota juga dapat menjadi simbol militerisme, kekuatan, dan
merusak segalanya dikarenakan obsesi besar pengelola kota demi modernisasi
disemua lini tanpa mengedepankan keseimbangan antara teknologi dengan kondisi
sosial dan daya dukung lingkungan.
Kota juga dapat mengalami kematian—atau disebut Necropolis dalam pandangan
Mumford—akibat mandegnya minoritas kreatif. Pendapat ini setidaknya menolak
pendapat Toynbee tentang ‘minoritas kreatif’. Ketika kreatifitas terhenti hal
itu menandakan kematian kota bagi Mumford. Lebih miris lagi, jamak kita menyaksikan
kota telah menghancurkan segala sendi kemanusiaan—gotong royong, sopan santun, kerifan
lokal dan local genius lainnya. Modernisme
lebih-lebih telah memusatkan energi kerusakan untuk memberi kewenangan pada
“antroposentrisme”, sehingga kerusakan yang terjadi memang ulah manusia. Karena
pada hakikatnya ketika kita mengambil sesuatu dari alam kita harus memberikan
sesuatu juga kepada alam.
Mumford juga menyatakan bahwa,"Sebelum manusia
modern dapat memenangkan kembali pengawasan dari kekuatan-kekuatan yang
sekarang mengancam keberadannya sendiri, ia harus mendapatkan kembali pengawasan
terhadap dirinya sendiri. Dan ini adalah tugas pertama dari kota masa depan
yaitu untuk menciptakan kembali struktur urban, yang tampak dan regional
berdasarkan pada citra-citra kebersamaan, mampu untuk meletakkan seseorang
dengan dirinya yang terdalam, tapi lebih pada tempat dari identitas manusia baru,
identitas dari ‘Manusia Dunia’.
Cara berfikir harus berubah, kemudian sikap akan
berubah untuk menempatkan semua sendi kehidupan dapat setara. Manusia dan Alam
adalah simbiosis mutualisme yang seharusnya bisa berdampingan bukan saling
menegasikan. Maka Pattrick Geddes (1918)[7]
menyatakan perencanaan kota harus didasarkan pada pengetahuan tentang alam dan
sumber daya suatu wilayah. Misalnya secara khusus ia memandang kawasan lembah
sungai sebagai unit alami untuk menguji berbagai aktivitas yang berbeda terkait
dengan kota. Dan juga Geddes telah meramalkan adanya pengaruh yang penting
tentang perkembangan kota yang terdesak oleh teknologi dan mode transportasi.
Ramalan ini semakin benar dengan hadirnya teknologi dan mode transportasi
modern, kota yang tidak sadar menjaga “napas alam” selalu saja menuai masalah
lingkungan yang kian parah. Modernisme teknologi bahkan tidak dapat menjamin
kenyamanan hidup sebagaimana nyamannya manusia berdampingan dengan alam.
Kata
Kita harus berfikir jauh ke depan.
Menyengaja untuk membangkitkan kesadaran bersama tentang kota. Bagaimana kita
akan memulai perubahan? Saya akan menjawab dengan ‘Kata”. Kenapa ‘kata’? karena
salah satu modal besar bangsa ini dalam demokrasi pasca-soeharto adalah ‘kata’—kebebasan
bicara dan berkembangnya media. Ia menjadi modal untuk menegakkan bandul
demokrasi yang sangat mungkin semakin kebablasan. Begitupun dengan kota yang ‘stagnan’,
atau lelah untuk kreatif selalu diawali dengan kata untuk dapat dibangkitkan
lagi.
‘Kata’ itu elastis, menyelinap di ruang berfikir yang
bengal sekalipun. ‘Kata’ menyergap mereka yang tuli dan diam atas proses
perubahan. Dengan ‘kata’, pikiran-pikiran lama yang statis diperbaharui.
Misalnya kota dengan isu yang dapat berubah seiring dengan ‘berita-berita’ di
koran. Lalu lintas ‘kata’ di ‘kota’ bertebaran seiring dengan akses teknologi
dan komunikasi yang semakin baik. ‘Kata’ itu menjadi energi untuk memproduksi
‘sastra’ lebih jauh. Disinilah ‘kata’ dan ‘kota’ menemukan titik temu. ‘Kota’
butuh ‘kata’ dan ‘kata’ menempati ruang yang disebut ‘kota’. Mereka-mereka yang
tercerahkan—Rausyan Fikr meminjam
istilah Ali Sariati—adalah mereka yang berjibaku dengan ‘kata’. Buku, film,
musik, puisi, diskusi, semuanya membutuhkan ‘kata’ untuk memunculkan esensinya.
Mandegnya lalu-lintas ‘kata’ juga akan mempengaruhi seberapa cepat perubahan
kota itu terjadi. Bukankah peradaban Yunani adalah buah dari produksi kata para
Filsuf?
Lebih jauh, peran ‘sastra’ menarik untuk
diperbincangkan. Mereka yang tidak siuman dari pingsan kedunguan dan tidak
memiliki kesadaran untuk berbudaya, lihat saja selalu dikritik oleh sastra.[8] Maka,
‘sastra’ selalu mampu mengusik kekuasaan yang tuli atas kebenaran, karena fungsi
penting sastra adalah ‘menunjukkan kebenaran’ meskipun katup-katup kebebasan,
misal kebebasan berbicara sengaja dibungkam. Bangsa yang memahami sastra tidak
pernah berucap untuk dendam. Bangsa yang mengenal sastra tidak pernah berdiri
kaku di tengah ragam perbedaan. Bangsa yang mengerti sastra akan menegakkan
harmoni di tengah permusuhan. Sebagaimana Ashadi Siregar (2013) menyatakan “Harmoni itu tidak
pernah mengenal kata krisis”.[9]
Dan Inilah bukti elan vital sastra.
Pramoedya Ananta Toer (1999) juga pernah menyebut
bahwa sastra memang tidak memiliki kemampuan bersenjata, membangun gerakan
kudeta sebagaimana dimiliki oleh aparatus negara. Akan tetapi, ‘sastra’ akan
mampu untuk mengkudeta cara berpikir ‘kerdil’ kekuasaan yang tidak berpikir benar.[10] Jadi,
seberapa penting sastra dalam kehidupan demokrasi kita? Tentu sangat penting.
Bahkan, kudeta yang melukai laku demokrasi kita membutuhkan ‘sastra’ untuk
memberi legitimasi terhadap kudeta yang mereka lakukan –sebagaimana Orde Baru
melegitimasi anti-Komunisme dalam film dan sastra yang dilukiskan oleh Wijaya
Herlambang (2013).[11]
Dan kekerasan budaya itu pernah dilakukan orde baru, untuk meneror mereka yang
melawan, mencari kebenaran dan korban tahun 65’ tidak pernah mendapat keadilan.
Jika militer melakukan kudeta-bersenjata, maka bisa
kita katakan: sastra juga melakukan kudeta senyap; yaitu kudeta dengan mengubah
jalan pikiran anak-anak bangsa, lewat sastra itu, generasi masa depan cepat
atau lambat, akan menemukan fatsoen
sejarah. Sastra hadir menempati ruang dan waktu.
Untuk itulah, kita semua mesti segera sadar untuk
memberi panggung bagi sastra hingga menjadi bagian penting berpikir membangun toleransi
dalam keberagaman lingkungan hidup kita. Kiblat politik yang semakin
menggurita, contoh nyata oligarki kekuasaan–yang tak ubahnya feodalisme berjubah
demokrasi—harus kita lawan dengan narasi sastra, sehebat apapun oligarki itu,
sekuat apapun oligarki itu, akan tumbang pada saatnya. Bukankah Soeharto
lengser setelah 32 tahun berkuasa juga ada andil sastra? Pada akhirnya lemahnya
sastra dapat berakibat pada lemahnya kesadaran–‘menjadi Indonesia’.
Kamisan
Bagian terakhir yang saya bahas adalah tentang
hadirnya Majelis Kamisan Cangkir di kota kecil ini—Kota Metro di tengah Lampung—sebagai
harapan baru khususnya para pegiatnya. Majelis ini hadir dengan keberagaman
yang nyaris sempurna penuh perbedaan. Bertemu dengan kegelisahan yang sama,
anak-anak muda yang bertindak dengan narasi yang selalu baru. Majelis ini
menolak kejenuhan dan kejumudan. Di tengah kota kecil ini, saya ingin mendukung
puisi Wiji Thukul “Kota Ini Milik Kalian” dengan menyatakan hal senada bahwa ‘Kota
ini milik kita semua’. Bukan hanya milik penguasa, pengusaha dan komprador
politik sejenisnya. Kita hadir untuk membangkitkan kreatifitas bersama dan
sejak awal telah kita mulai dengan modal luar biasa yaitu “kata”.
Berawal dengan Diskusi Kamisan Berpincang Berfikir
(CANGKIR), lalu membuat halaman portal warga www.pojoksamber.com, kemudian menghidupkan lembaga penelitian Sai Wawai Institute sekaligus penerbitan
buku pertama di kota ini Sai Wawai
Publishing. Majelis ini juga telah mendirikan Bank Sampah sebagai respon
membenahi lingkungan hidup.
Kini kita berkumpul di sini menyaksikan kehebatan
‘kata’ dan buah karya dalam narasi sastra. ‘Rumah bersama’ adalah buah gotong
royong dan budaya sama kerja. Disebut juga ‘Rumah Gagasan’ karena dibangun
dengan gagasan-gagasan yang terus mengalir. Kota kecil ini akan lebih dinamis,
dan kontribusi majelis ini untuk membangkitkan ‘orang kreatif’ adalah bukti
nyata kehebatan ‘kata’. Karena sejarah adalah akumulasi jejak manusia dari yang
terkecil, maka rumah bersama ini memulai sejarahnya dengan menghidupkan tanah
salah satu warga Majelis ini.[12]
Tanah yang kelak akan menghidupkan banyak hal dan melahirkan orang kreatif
sebagai pahlawan-pahlawan baru di masyarakat.
Romo Mangun mengingatkan kita untuk menemukan kembali
orang-orang kreatif dari rakyat. Romo mengajak kita menyelami kehidupan sejarah
manusia secara normal, memulai dari mereka yang sering tidak diperhatikan.
Beliau bertutur,“...Namun itu berarti bahwa telah tumbuhlah benih-benih
pengakuan, bahwa yang benar-benar penting dalam sejarah justru adalah yang hidup
sehari-hari, yang normal yang biasa, dan bukan pertama-tama kehidupan serba
luar biasa dari kaum ekstravagan
serba mewah tapi kosong untuk di konsumtif. Dengan kata lain, kita mulai
belajar, bahwa tokoh sejarah dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali diantara
kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang barangkali kecil dalam harta maupun
kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan.[13]
Di rumah bersama ini akan muncul orang-orang yang
menggunakan akal dan hatinya untuk terus berkarya. Buku, musik, film, puisi, lukisan,
dan karya lainnya akan lahir. Pun, saya pribadi selalu optimis karya itu akan
lahir dari tempat ini. Betul bahwa Majelis ini tidak akan bisa memperbaiki semua
permasalahan, ditambah lagi jika mejelis ini diisi oleh orang-orang yang tidak
mau melepaskan “cangkang egonya”. Dan itu juga tanda ramalan Mumford yang benar,
bahwa ‘kota’ dapat mengalami kematian—yaitu ditandai ‘hilangnya kreatifitas’.
Tapi Majelis ini dapat memberi kepastian dan akan terus berkontribusi—sekecil
apapun itu—dalam upaya menumbuhkan “orang kreatif”.
Seturut dengan hal di atas, Majelis Kamisan Cangkir
lahir dengan berbagai latar belakang mulai dari aktifis kampus, akademisi,
penulis, wartawan, bermacam lintas suku, golongan, agama dan rakyat biasa. Sikap
egaliter telah bertunas sejak awal tumbuh, saling belajar dan mengajar adalah
karakter gerakan majelis ini. Majelis ini juga punya tagline,”Semua orang adalah guru dan semua tempat
adalah sekolah”. Kita membangun majelis ini dengan kemandirian. Rumah ini
adalah bukti ‘torehan kata’ itu, dan kita melihat bersama kata itu benar-benar mengubah
lingkungan hidup kita.
Kultural
Di bagian ini saya akan sedikit berefleksi tentang Forum
Diskusi KAMMI Kultural. Bagian ini mungkin pernah saya ceritakan di tulisan
yang lain. Saya
menyebut KAMMI Kultural sebagai “upaya memenangkan kekuasaan pada tingkat berpikir kader”. Ia tentu
saja bukan sekedar alat
politik yang
tujuannya hanya bersifat pragmatis,
yaitu untuk berkuasa; KAMMI Kultural ingin menciptakan kader-kader intelektual yang progresif.
Kita tentu pernah mengingat sosok Al-Farabi. Ia adalah seorang tukang kebun dan bekerja siang hari
untuk tuannya.
Akan tetapi,
kita juga melihat sosok Al-Farabi sebagai penguasa di jagad pemikiran dan dirinya
dalam hidupnya. Sejak usia baligh, ia hanya tidak menulis saat dua hari –yaitu saat malam pertama
menikah dan saat Ayahnya meninggal. Selain dua hari itu, Al-Farabi menulis sampai akhir hayatnya. Wajar jika Muhammad Natsir dalam “Capita Selecta” menyebut
Al-Farabi sebagai “Penguasa di jagad Ruh kendati menjadi budak di jagad materi”.
Begitulah
saya menafsirkan gerakan kultural sebagai sebuah gerakan ‘kehendak bebas’ yang bertujuan memberi ruang kepada seluruh kaderKAMMI untuk memberikan sumbangsih berfikir secara dialektis melalui ruang-ruang kultural –bergerak tanpa
kasta dan berjuang tanpa nama. Bisa saja, seorang kader KAMMI dalam wilayah struktural
bukan siapa-siapa.
Ia hanya seorang jundi komisariat yang tidak menempati posisi/jabatan struktural yang strategis. Akan tetapi, di jagad pemikiran, ialah yang paling baik amal ibadahnya, lebih
luas membaca bukunya, tinggi pemahaman ilmu dan pengetahuannya, serta lebih progresif dalam berkarya.
Kultural
adalah “kata”. Dan “kata” itu tak boleh berhenti hanya dalam batas-batas yang
ditentukan oleh KAMMI sendiri. Oleh karena Kultural adalah “kata”, hendaknya ke
depan Kultural terus
berupaya memberi ruang adil. agar kader-kader KAMMI, di struktur manapun ia berkiprah, dapat mengakomodir dan mengakui proses tumbuhnya ilmu di tubuh KAMMI
sampai di tingkat komisariat.
Ikhtitam
“Rumah ini adalah rumah kata”. ‘Kata’ yang bekerja dan
menyeruak di ruang publik. Dibaca orang banyak, dimaknai dengan seksama dan
dikumpulkan menjadi kayu, bata, semen, pasir, geribik, paku dan ijuk. Dengan
kerja bermodal ‘kata’ itu kita telah menegakkan komunitas membangun social capital. “Kata” juga bekerja secara nyata mengimbangi narasi pemerintah
kerja...kerja...kerja. Tapi kerja kita harus berbeda, ini kerja baru dan ini
baru kerja. Semoga Kamisan, Kultural, atau apapun namanuya ini akan
terus bekerja, berkarya, bergotong royong, membangun kepercayaan dan menjadi
berkah bagi kota ini.
‘Ala Kulli hal, selalu saya senang menutup tulisan
dengan mengutip ungkapan-ungkapan Pramoedya Ananta Toer,“Belajar berdiri sendiri, jangan hanya jual tenaga pada siapapun, ubah
kedudukan kuli jadi pengusaha, biar kecil seperti apapun, tak ada modal?
Berserikat, bentuk modal, belajar bekerjasama, bertekun dalam pekerjaan”.[14]
Billahi fi
sabilil haq, fastabiqul
khoirot.
Referensi
Arnold
J Toynbee, 1967, (ed), Cities of Destiny,
New York: McGraw-Hill.
Ashadi
Siregar, 2013, Menuju Bangsa Tanpa Sastra.
Pidato budaya dalam peluncuran majalah
sastra “Sabana” di Rumah Budaya EAN (Emha Ainun Najib) Yogyakarta.
Dharma
Setyawan, Kata, Kota, dan Kekuasaan,
Lampung Post, 20 Agustus 2014. www.lampost.co
Dharma
Setyawan, Sastra dan Kudeta, lihat
di www.kammikultural.org
Lewis
Mumford, 1961,The City in History,
San Diego, Harcourt Inc,.
Malik
Bin Nabi, 1994, Membangun Dunia Baru
Islam, terj. Syuruth al-Nahdhah, Bandung: Mizan.
Max
Weber, The City, 1921. (tr. 1958),Translated and
edited by Don Martindale and Gertrud Neuwirth, New York.
Patrick
Geddes, 1918, Town Planning Towards City
Development: A Report to the Durbar of Indore, Holkar State Printing Press,
Indore, Vols I and II.
Pramoedya
Ananta Toer, 2010, Anak Semua Bangsa,
Jakarta: Lentera Dipantara.
____________________,1995,
Sastra, Sensor, dan Negara, lihat di http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/10/11/0024.html
Supratikno
Rahardjo, 2002, Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama, dan
Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu.
Wijaya
Herlambang, 2013, Kekerasan Budaya Pasca
1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film,
Jakarta: Marjin Kiri.
Y.B.
Mangunwijaya, 2000, Impian dari
Yogyakarta: Kumpulan Esai Masalah Pendidikan, Jakarta: Kompas.
*) Versi Awal dari Tulisan ini disampaikan sebagai Pidato Kebudayaan di
Majelis Kamisan Cangkir, Kota Metro, Lampung.
[1] Arnold J Toynbee, 1967, (ed), Cities
of Destiny, New York: McGraw-Hill.
[2] Max Weber, The City, 1921.
(tr. 1958), Translated and edited by Don Martindale and Gertrud Neuwirth, New
York.
[3] Dharma setyawan, Kata, Kota, dan
Kekuasaan, Lampung Post, 20 Agustus 2014. www.lampost.co
[4] Supratikno Rahardjo, 2002, Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno.
Jakarta: Komunitas Bambu h. 24
[5] Malik Bin Nabi, 1994, Membangun
Dunia Baru Islam, terj. Syuruth al-Nahdhah, Bandung: Mizan. h. 19
[6] Lewis Mumford, 1961,The City in
History, San Diego, Harcourt Inc,. Diterjemahkan Bahasa Indonesia “Kota
dalam sejarah”.
[7] Patrick Geddes, 1918, Town
Planning Towards City Development: A Report to the Durbar of Indore, Holkar
State Printing Press, Indore, Vols I and II.
[8] Dharma Setyawan, Sastra dan
Kudeta, lihat di www.kammikultural.org
[9] Ashadi Siregar, “Menuju Bangsa
Tanpa Sastra”.pidato budaya dalam peluncuran majalah sastra “Sabana” di Rumah Budaya EAN
(Emha Ainun Najib) Yogyakarta (25/06/13).
[10] Pramoedya Ananta Toer,1995, Sastra,
Sensor, dan Negara, pidato tertulis Pramoedya, yang disampaikan ketika ia
menerima penghargaan Magsaysay, di Manila, lihat di http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/10/11/0024.html
[11] Wijaya Herlambang,2013, Kekerasan
Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui
Sastra dan Film, Jakarta: Marjin Kiri, h. 65-66.
[12] Tanah milik Bung Rahmatul Ummah, sebuah harapan barsama membangun
peradaban kecil sebagaimana tesis yang pernah diungkapkan Malik bin Nabi
tentang unsur peradaban salah satunya adalah ‘tanah’, kelak akan menjadi cikal
bakal jejak sejarah Majelis ini di masa depan.
[13] Y.B. Mangunwijaya, 2000, Impian
dari Yogyakarta: Kumpulan Esai Masalah Pendidikan, Jakarta: Kompas, h. 38
[14] Pramoedya Ananta Toer, 2010, Anak
Semua Bangsa, Jakarta: Lentera Dipantara, hal 59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar