15 Februari 2015

Teologi Pembebasan untuk Gerakan Dakwah Kampus (Bagian 2)

oleh: Hilmi Bangkit
Aktivis Aku Peduli Cak! Surabaya dan Mahasiswa Geomatika ITS

“Sesungguhnya sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya.”
Hasan Al Banna

Berbicara tentang pemakanaan gerakan intelektual di kampus berarti bicara juga tentang dengan metodologi (konsep dan cara) gerakan dakwah kampus dalam menyelesaikan permasalahan umat. Namun, terkadang pemahaman tentang dakwah kampus yang mengusung misi untuk mewujudkan bahwa Islam rahmatan lil 'alamin terkadang mengalami distorsi makna, sehingga dakwahkampus seringkali terbentur dengan permasalahan solidaritas gerakan. Ditambah lagi dengan wacana politisasi kampus yang membuat gerakan-gerakan dakwah kampus lemah dalam memperjuangkan isu-isu seputar kesejahteraan umat dan kemuliaan Islam itu sendiri. 

Karena itu, melalui tulisan ini penulis ingin berargumen bahwa pada dasarnya gerakan dakwah di kampus harus memposisikan dirinya sebagai8 gerakan intelektual Islam yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan menjauhkan diri pada vested interest dalam urusan politisasi kampus, serta menghindari hubungan patronklien dengan unsur politik tertentu. Tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga bagian: Bagian Pertama akan mendiskusikan peran Gerakan Dakwah Kampus dalam memperjuangkan kaum mustadh'afin, Bagian Kedua akan mendiskusikan konsep teologi pembebasan yang perlu dibangun kembali oleh gerakan-gerakan dakwah kampus; dan Bagian Ketiga akan mencoba melakukan reposisi mengenai gagasan Gerakan Dakwah Kampus sebagai gerakan intelektual (profetik). 

Teologi Pembebasan

Secara historis-empiris, Islam hadir di tengah masyarakat yang kacau ditandai dengan menipisnya penghargaan manusia pada nilai-nilai kemanusiaan mereka sendiri. Kehadiran Islam di bumi Arab pada satu sisi merupakan risalah pertauhidan, pengesaan Allah sebagai persembahan tunggal.Risalah ini disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada masyarakat Jahiliyah yang menjadikan berhala sebagai objek sesembahan baru. Disisi lain lahirnya Islam juga membawa sebuah semangat pemberontakan terhadap penindasan, ketidakadilan, kebodohan, serta ketiadaan persamaan.

Islam bukanlah sebuah ide baku yang hanya mengatur tatacara peribadatan saja, tapi Islam mengatur segala aspek kehidupan dan tataran sosial yang ada di masyarakat sepertihalnya konsep masyarakat madani yang selama ini menjadi cita-cita kita bersama. Islam juga membawa nilai-nila kemerdekaan (virjheid-liberty), persamaan (gelijkheid-equality) dan persaudaraan (broederschap-fraternity).Musa datang menghapus tatanan sosial Nabi Ibrahim, Isa mencabut tatanan ekonomi Musa. Muhammad SAW menghapus lembaga-lembaga sosial dan ekonomi yang dibangun oleh nabi-nabi sebelumnya. 

Akan tetapi, reformasi tersebut bukannya tidak berkaitan. Justru, semuanya saling menegaskan kebenaran satu sama lain. Kebenarannya adalah bahwa semua manusia adalah setara. Mereka harus jujur, berkata benar, dan berjuang melawan kekuatan-kekuatan jahat, diskriminasi, penindasan, dan kepalsuan. Lembaga-lembaganya boleh berubah, adat-istiadatnya juga boleh bervariasi, tetapi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan tetap tinggal sebagai prinsip-prinsip masyarakat yang bebas, adil, dan egaliter.Maka dari itu Islam merupakan sebuah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan dalam hubungannya dengan Allah dan hubungan dengan makhluknya.

Al Banna mengatakan bahwa, “Islam adalah sistem yang menyeluruh, yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemrintah dan umat, akhlaq dan kekuatan, kasih kitang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tak kurang dan tak lebih”. [6]

Sedangkan di zaman sekarang, Islam ditengah kemunculan modernitas semakin tersudutkan dan menjadi sasaran kritik paling empuk.Islam di tengah-tengah masyarakat yang mengedepankan etos rasional seolah-olah dijadikan “kambing hitam” dan letakkan hingga ke pinggir-pinggir wacana modern.Islam yang selama ini tampak anggun berwibawa telah menjadi sesuatu yang tidak berguna. Islam bagi masyarakat modern tidak pantas tampil dalam ruang publik sehingga ia harus rela diasingkan dari hiruk-piruknya peradaban masyarakat.

Islam yang seharusnya memberikan penghormatan tinggi pada nilai-nilai kemanusiaan universal justru dijauhi dan mengekor pada  produk-produk pemikiran sekuler Barat, hal ini menjadikan agama tidak mampu menjangkau wilayah-wilayah problematika manusia. Dengan demikian, diperlukan upaya untuk mengembalikan peran agama dalam menjawab problematika umat. Hassan Hanafi mengungkapkan perlunya merekonstruksi tradisi keagamaan masyarakat menuju ke arah ideologi pembebasan tanpa harus kehilangan identitas ke-Islamannya.[7] Dengan demikian perlu mengadakan reinterpretasi doktrin-doktrin keagamaan dibenturkan dengan realitas yang ada, sehingga agama dapat berdialog secara langsung dengan realitas. 

Berpangkal dari pemikiran ini, umat Islam harus menjadikan Islam sebagai basis inspirasional untuk teologi pembebasan[8]. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Abdurrahman Wahid[9], bahwa Islam harus ditilik dari fungsinya sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahteraan masyarakat. Islam hanya akan dapat memberikan sumbangan bagi proses pemberdayaan masyarakat jika ia sendiri menonjolkan watak membebaskan dari struktur-struktur penindasan.

Maka dapat dikatakan, “Teologi pembebasan” merupakan sebuah pemikiran yang bekerja ke arah pembebasan agama dari struktur serta ide sosial, politik, dan relegius yang didasarkan pada ketundukan yang tidak kritis(taqlid buta)dan pembebasan ketundukan masyarakat dari semua bentuk ketidakadilan ras, gender, kelas, dan agama. Teologi pembebasan mencoba mencapai tujuannya lewat suatu proses yang bebas dan partisipasif.  

Senada dengan itu Teologi Pembebasan menurut Asghar Ali Engineer dilandaskan di atas beberapa prinsip berikut. Pertama, tidak menginginkan status-quo yang melindungi golongan kaya ketika berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata lain, Teologi Pembebasan bersifat anti kemapanan, apakah kemapanan religius ataupun kemapanan politik.

Kedua, Teologi Pembebasan memainkan peran dalam membela kelompok tertindas (kaum mustadl’afin) serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dengan cara membekali senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. [11]. Sedangkan “teologi pembebasan dalam Islam”  terilhami dari Al Qur’an dan perjuangan para nabi. Ini diwujudkan dengan melibatkan Al Qur;an dan teladan nabi dalam proses refleksi teologis bersama dan berkelanjutan demi praktis liberatif yang semakin meningkat. Al Qur’an dengan jelas menolak penindasan seperti yang tercantum dalam QS.An Nisa’: 75 juga kecaman nabi Muhammad terhadap saudagar-saudagar kaya Mekkah yang menimbun kekayaan, karena nafsu serakah ini mengacu pada eksploitasi dan penindasan. 

Konsepsi teologi pembebasan ini juga merujuk pada alasan diutusnya nabi kepada manusia.  Pertama, untuk menyatakan kebenaran.Kedua, untuk melawan kepalsuan (batil) serta penindasan (zulm), dan ketiga, untuk membangun komunitas yang hidup atas dasar kesetaraan sosial, kebaikan, keadilan, dan kasih sayang. [8] 

Sehingga, konsep teologi pembebasan dapat dimanifestasikan pada tiga landasan teologis yang efektif untuk selanjutnya dikembangkan sebagai upaya dalam melakukan perlawanan terhadap berbagai macam penindasan, berbagai bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai universal, yaitu; mengatur strategi pengembalian peran agama yang membebaskan keterasingan manusiam mendukung upaya untuk membatasi munculnya gerakan keagamaan yang menjauhkan agama dari nilai-nilai universal, serta memunculkan pemahaman yang lebih jernih terhadap ajaran agama Islam.[10]

Di titik inilah terbentang tantangan bagi Gerakan Dakwah kampus. Apa yang harus dilakukan dan bagaimana elan vital "teologi pembebasan" ini diejawantahkan secara lebih komprehensif?

(bersambung)

2 komentar: