Aktivis Aku Peduli Cak! Surabaya dan Mahasiswa Geomatika ITS
“Sesungguhnya sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya.”
Hasan Al Banna
Berbicara tentang pemakanaan gerakan intelektual di kampus berarti bicara juga tentang dengan metodologi (konsep dan cara) gerakan dakwah kampus dalam menyelesaikan permasalahan umat. Namun, terkadang pemahaman tentang dakwah kampus yang mengusung misi untuk mewujudkan bahwa Islam rahmatan lil 'alamin terkadang mengalami distorsi makna, sehingga dakwahkampus seringkali terbentur dengan permasalahan solidaritas gerakan. Ditambah lagi dengan wacana politisasi kampus yang membuat gerakan-gerakan dakwah kampus lemah dalam memperjuangkan isu-isu seputar kesejahteraan umat dan kemuliaan Islam itu sendiri.
Karena itu, melalui tulisan ini penulis ingin berargumen bahwa pada dasarnya gerakan dakwah di kampus harus memposisikan dirinya sebagai8 gerakan intelektual Islam yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan menjauhkan diri pada vested interest dalam urusan politisasi kampus, serta menghindari hubungan patronklien dengan unsur politik tertentu. Tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga bagian: Bagian Pertama akan mendiskusikan peran Gerakan Dakwah Kampus dalam memperjuangkan kaum mustadh'afin, Bagian Kedua akan mendiskusikan konsep teologi pembebasan yang perlu dibangun kembali oleh gerakan-gerakan dakwah kampus; dan Bagian Ketiga akan mencoba melakukan reposisi mengenai gagasan Gerakan Dakwah Kampus sebagai gerakan intelektual (profetik).
Teologi Pembebasan
Secara historis-empiris, Islam hadir di tengah masyarakat
yang kacau ditandai dengan menipisnya penghargaan manusia pada nilai-nilai
kemanusiaan mereka sendiri. Kehadiran Islam di bumi Arab pada satu sisi
merupakan risalah pertauhidan, pengesaan Allah sebagai persembahan
tunggal.Risalah ini disampaikan oleh Nabi Muhammad kepada masyarakat Jahiliyah
yang menjadikan berhala sebagai objek sesembahan baru. Disisi lain lahirnya
Islam juga membawa sebuah semangat pemberontakan terhadap penindasan,
ketidakadilan, kebodohan, serta ketiadaan persamaan.
Islam bukanlah sebuah ide baku yang hanya mengatur tatacara
peribadatan saja, tapi Islam mengatur segala aspek kehidupan dan tataran sosial
yang ada di masyarakat sepertihalnya konsep masyarakat madani yang selama ini
menjadi cita-cita kita bersama. Islam juga membawa nilai-nila kemerdekaan
(virjheid-liberty), persamaan (gelijkheid-equality) dan persaudaraan
(broederschap-fraternity).Musa datang menghapus tatanan sosial Nabi Ibrahim,
Isa mencabut tatanan ekonomi Musa. Muhammad SAW menghapus lembaga-lembaga sosial
dan ekonomi yang dibangun oleh nabi-nabi sebelumnya.
Akan tetapi, reformasi tersebut bukannya tidak berkaitan. Justru, semuanya saling menegaskan
kebenaran satu sama lain. Kebenarannya adalah bahwa semua manusia adalah
setara. Mereka harus jujur, berkata benar, dan berjuang melawan
kekuatan-kekuatan jahat, diskriminasi, penindasan, dan
kepalsuan. Lembaga-lembaganya boleh berubah, adat-istiadatnya juga boleh
bervariasi, tetapi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan tetap tinggal sebagai
prinsip-prinsip masyarakat yang bebas, adil, dan egaliter.Maka dari itu Islam
merupakan sebuah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan dalam hubungannya dengan
Allah dan hubungan dengan makhluknya.
Al Banna mengatakan bahwa, “Islam adalah sistem yang menyeluruh, yang menyentuh
seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemrintah dan umat,
akhlaq dan kekuatan, kasih kitang dan keadilan, peradaban dan undang-undang,
ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan,
jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang
lurus dan ibadah yang benar, tak kurang dan tak lebih”. [6]
Sedangkan di zaman sekarang, Islam ditengah kemunculan
modernitas semakin tersudutkan dan menjadi sasaran kritik paling empuk.Islam di
tengah-tengah masyarakat yang mengedepankan etos rasional seolah-olah dijadikan
“kambing hitam” dan letakkan hingga ke pinggir-pinggir wacana modern.Islam yang
selama ini tampak anggun berwibawa telah menjadi sesuatu yang tidak berguna.
Islam bagi masyarakat modern tidak pantas tampil dalam ruang publik sehingga ia
harus rela diasingkan dari hiruk-piruknya peradaban masyarakat.
Islam yang seharusnya memberikan penghormatan tinggi pada
nilai-nilai kemanusiaan universal justru dijauhi dan mengekor pada produk-produk pemikiran sekuler Barat, hal
ini menjadikan agama tidak mampu menjangkau wilayah-wilayah problematika
manusia. Dengan demikian, diperlukan upaya untuk mengembalikan peran agama
dalam menjawab problematika umat. Hassan Hanafi mengungkapkan perlunya
merekonstruksi tradisi keagamaan masyarakat menuju ke arah ideologi pembebasan
tanpa harus kehilangan identitas ke-Islamannya.[7] Dengan demikian perlu
mengadakan reinterpretasi doktrin-doktrin keagamaan dibenturkan dengan realitas
yang ada, sehingga agama dapat berdialog secara langsung dengan realitas.
Berpangkal dari pemikiran ini, umat Islam harus menjadikan Islam sebagai basis
inspirasional untuk teologi pembebasan[8]. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan Abdurrahman Wahid[9], bahwa Islam harus ditilik dari fungsinya
sebagai pandangan hidup yang mementingkan kesejahteraan masyarakat. Islam hanya
akan dapat memberikan sumbangan bagi proses pemberdayaan masyarakat jika ia
sendiri menonjolkan watak membebaskan dari struktur-struktur penindasan.
Maka dapat dikatakan, “Teologi pembebasan” merupakan sebuah
pemikiran yang bekerja ke arah pembebasan agama dari struktur serta ide sosial,
politik, dan relegius yang didasarkan pada ketundukan yang tidak kritis(taqlid buta)dan pembebasan ketundukan
masyarakat dari semua bentuk ketidakadilan ras, gender, kelas, dan agama.
Teologi pembebasan mencoba mencapai tujuannya lewat suatu proses yang bebas dan
partisipasif.
Senada dengan itu Teologi
Pembebasan menurut Asghar Ali Engineer dilandaskan di atas beberapa prinsip berikut. Pertama,
tidak menginginkan status-quo yang melindungi golongan kaya ketika berhadapan
dengan golongan miskin. Dengan kata lain, Teologi Pembebasan bersifat anti
kemapanan, apakah kemapanan religius ataupun kemapanan politik.
Kedua,
Teologi Pembebasan memainkan peran dalam membela kelompok tertindas (kaum
mustadl’afin) serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dengan cara
membekali senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya.
[11]. Sedangkan “teologi
pembebasan dalam Islam” terilhami
dari Al Qur’an dan perjuangan para nabi. Ini diwujudkan dengan melibatkan Al
Qur;an dan teladan nabi dalam proses refleksi teologis bersama dan
berkelanjutan demi praktis liberatif yang semakin meningkat. Al Qur’an dengan
jelas menolak penindasan seperti yang tercantum dalam QS.An Nisa’: 75 juga
kecaman nabi Muhammad terhadap saudagar-saudagar kaya Mekkah yang menimbun
kekayaan, karena nafsu serakah ini mengacu pada eksploitasi dan penindasan.
Konsepsi teologi pembebasan ini juga merujuk pada alasan diutusnya nabi kepada manusia. Pertama, untuk menyatakan kebenaran.Kedua, untuk melawan kepalsuan (batil) serta penindasan (zulm), dan
ketiga, untuk membangun komunitas yang hidup atas dasar kesetaraan sosial,
kebaikan, keadilan, dan kasih sayang. [8]
Sehingga, konsep teologi pembebasan dapat dimanifestasikan
pada tiga landasan teologis yang efektif untuk selanjutnya dikembangkan sebagai
upaya dalam melakukan perlawanan terhadap berbagai macam penindasan, berbagai
bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai universal, yaitu; mengatur
strategi pengembalian peran agama yang membebaskan keterasingan manusiam mendukung upaya untuk membatasi munculnya gerakan keagamaan yang menjauhkan
agama dari nilai-nilai universal, serta memunculkan pemahaman yang lebih
jernih terhadap ajaran agama Islam.[10]
Di titik inilah terbentang tantangan bagi Gerakan Dakwah kampus. Apa yang harus dilakukan dan bagaimana elan vital "teologi pembebasan" ini diejawantahkan secara lebih komprehensif?
(bersambung)
SAMPAH !
BalasHapusMantab mas Hilmi, lanjut!
BalasHapus