Aktivis Aku Peduli Cak! Surabaya dan Mahasiswa Geomatika ITS
“Sesungguhnya sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya.”
Hasan Al Banna
Berbicara tentang pemakanaan gerakan intelektual di kampus berarti bicara juga tentang dengan metodologi (konsep dan cara) gerakan dakwah kampus dalam menyelesaikan permasalahan umat. Namun, terkadang pemahaman tentang dakwah kampus yang mengusung misi untuk mewujudkan bahwa Islam rahmatan lil 'alamin terkadang mengalami distorsi makna, sehingga dakwahkampus seringkali terbentur dengan permasalahan solidaritas gerakan. Ditambah lagi dengan wacana politisasi kampus yang membuat gerakan-gerakan dakwah kampus lemah dalam memperjuangkan isu-isu seputar kesejahteraan umat dan kemuliaan Islam itu sendiri.
Karena itu, melalui tulisan ini penulis ingin berargumen bahwa pada dasarnya gerakan dakwah di kampus harus memposisikan dirinya sebagai gerakan intelektual Islam yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan menjauhkan diri pada vested interest dalam urusan politisasi kampus, serta menghindari hubungan patronklien dengan unsur politik tertentu. Tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga bagian: Bagian Pertama akan mendiskusikan peran Gerakan Dakwah Kampus dalam memperjuangkan kaum mustadh'afin, Bagian Kedua akan mendiskusikan konsep teologi pembebasan yang perlu dibangun kembali oleh gerakan-gerakan dakwah kampus; dan Bagian Ketiga akan mencoba melakukan reposisi mengenai gagasan Gerakan Dakwah Kampus sebagai gerakan intelektual (profetik).
Peranan Kaum
Intelektual
Dalamterminologi Antonio Gramsci sejatinya “Seluruh manusia
merupakan seorang Intelektual tetapi tidak semua intelektual menjalankan fungsi
sosialnya”. Gramsci membagi dua bentuk intelektual diantaranya intelektual
tradisional yang merupakan hasil hubungan antar kelas pada masa silam yang
sekarang membentuk sebuah kelas historis tertentu (contoh : Kelas pujangga dan
rohaniawan), sedangkan intelektual organik merupakan kelas intelektual yang
terbentuk dalam kelas sosial fundamental tertentu dimana dia membawa sebuah
gagasan dari kelompoknya.[12]
Dalam hal ini mahasiswa masih belum tedefinisi
berada dalam posisi mana, kecuali jika dia membuat sebuah gerakan mahasiswa
yang mana membawa sebuah gagasan dan mengkampanyekannya maka bisa disebut
mahasiswa memiliki fungsi sosial untuk mengatur pemerintahan yang ada, jika hal
ini terealisasi bisa dikatakan mahasiswa menjadi kelas intelektual organik.
Selanjutnya peran
universitas bisa juga dikaitkan dengan peran sekolah yang dikemukakan oleh
Gramsci bahwasanya “Sekolah merupakan instrumen tempat intelektual dari
berbagai tingkatan dielaborasikan , kompleksitas kelas intelektual pada suatu
negara dapat diidentifikasikan dan diukur secara objektif dengan tingkat
ekstensif sekolah dalam wilayah cakupan pendidikannya dan wilayah tingkatan
vertikal dari sekolah tersebut, maka dunia budaya, peradaban dari sebuah negara
akan semakin kompleks sehingga muncul berbagai bentuk intelektual organik yang
dapat mengarahkan kebijakan sebuah negara”. Begitu juga dengan gerakan dakwah
kampus akan menjadi sebuah gerakan intelektual yang mampu menentukan arah
kebijakan dari sebuah negara jika mampu menempatkan posisinya terbebas dari
kepentingan politik praktis.
Maka dalam membentuk sebuah gerakan dakwah yang progresif
diperlukan sebuah rekonstruksi cara berpikir dalam metodologi dakwah. Pertama, memperkokohkaderisasi
tandzim (organisasi) agar dalam
prosesnya tidak menjadi fanatik terhadap unsur politik praktis dan harakah.
Kaderisasi sebuah gerakan harus membawa nilai-nilai universal Islam dan
kolaborasi antar harakah dakwah terntentu (misal : NU, Muhammadiyah,
PERSIS,dll). Artinya sebuah gerakan dakwah kampus dapat membuka diri terhadap
eksistensi dari variasi gerakan Islam sehingga pemahaman tentang Islam yang kaffah(menyeluruh) tidak terbentur
dengan permasalahan solidaritas gerakan Islam dan tidak pula berujung dengan
pembenaran terhadapa harakah tertentu karena sejatinya gerakan dakwah kampus
merupakan gerakan dakwah universal yang mempersatukan gerakan-gerakan Islam
yang ada pada kampus.
Sehingga, dengan cara yang demikian, tumbuh kelas Intelektual muslim yang kritis yang
mampu berpikir objektif berdasarkan fakta mampu mengelaborasikan pemikiran dari
bervariasinya gerakan mahasiswa, berlandaskan moral yang baik, tanpa
berorientasi pada patron politik tertentu.
Kedua, purifikasi
gerakan dakwah dengan pengembalian konsesus dakwah yang mengacu pada perjuangan
Nabi Muhammad SAW, dengan kembali berorientasi kepada kemaslahatan umat,
menjauhkan diri kepada vested interest, serta merajut kembali ukhuwah antar gerakan
muslim agartidak menjadi lahan politisasi dari pihak yang berkepentingan. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Prof. Tariq
Ramadhan bahwa mungkin inilah saatnya untuk mengkaji ulang
prioritas dan menggeser paradigma --bisa jadi ini saat yang tepat bagi kelompok
“Islam Politik” untuk berhenti bersikap terlalu politis.Islam Politik tidak
menawarkan sesuatu yang lebih luas signifikansinya dari sekadar reaksi terhadap
“Agresi Barat” atau “Musuh dalam Selimut”.
Padahal sekarang, kebutuhan masyarakat Islam adalah tentang
makna, kemulian, dan spritualitas Islam yang sudah jauh terlepas dari konsep
tentang iman, hukum dan agama yang menjadi roh Islam itu sendiri. [13]Maka dari
itu, purifikasi gerakan dakwah adalah proses memikirkan kembali tujuan dari
tindakan manusia dan mengembangkan watak etika sosial dan individual yang
sesuai dengan konsep Islam Rahmatanlilalamin sebagai alternatif metodologi
dakwah kampus.
Ketiga,
membumikan gagasan Islam sebagai Teologi pembebasan umat Islam dalam membela
kaum mustadh’afin agar gerakan dakwah semakin progresif, karena konsep Islam
sebagai teologi pembebasan memberikan ruh dan senjata yang ampuh dalam setiap
gerakan massa. Hal ini dibuktikan dengan kondisi masyarakat dunia timur yang
memiliki tradisi kuat bahwasanya Islam dapat memberikan sebuah perubahasn
sosial politik yang besar, karena pada dasarnya setiap bentuk tradisi harus
dipahami sebagai kesetaraan yang merupakan bagian dari peradaban universal,
tanpa dominasi dan penguasaan secara sepihak oleh tradisi lainya. Konsep ini
menawarkan sebuah kesadaran bagi pegiat dakwah kampus bahwasanya sebuah dakwah
tidak akan pernah berhenti jika tidak dapat menyentuh kaum mustadh’afin yang
tertindas oleh tradisi lain, dengan kata lain jika di dunia ini masih ada kaum
yang tertindas maka perjuangan umat Islam tak boleh berhenti.
Konsep Islam sebagai teologi pembebasan dikuatkan oleh Hassan Hanafi yang menghendaki agar pemahaman terhadap Islam dapat melahirkan suatu gerakan, hal ini juga dikehendaki oleh intelektual Islam lainnya seperti Sayyid Quthb dan Ali Syari‟ati. Mereka bertiga menginginkan Islam sebagai ideologi, yakni berupa himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan (weltanschauung) yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya, dan yang menentukan tingkah laku politiknya.[14]
Konsep Islam sebagai teologi pembebasan dikuatkan oleh Hassan Hanafi yang menghendaki agar pemahaman terhadap Islam dapat melahirkan suatu gerakan, hal ini juga dikehendaki oleh intelektual Islam lainnya seperti Sayyid Quthb dan Ali Syari‟ati. Mereka bertiga menginginkan Islam sebagai ideologi, yakni berupa himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan (weltanschauung) yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya, dan yang menentukan tingkah laku politiknya.[14]
Sehingga, hari ini sebuah gerakan dakwah kampus memerlukan sebuah landasan filosofis yang holistik tentang tujuan daripada sebuah dakwah kampus itu serta melepaskan diri dari segala bentuk eksploitasi dan unsur vested interest dari politik praktis. Secara lebih spesifik, dakwah kampus harus kembali kepada tiga tujuan penting gerakan Islam di awal kemunculannya, sebagaimana dicatat oleh Tariq Ramadan, yakni untuk (1) membebaskan masyarakat mereka dari kolonialisme; (2) untuk mengembalikan Islam dan melawan westernisasi budaya; dann (3) mewujudkan, secara terperinci, prinsip dan ajakan yang mirip dengan apa yang ada pada “teologi pembebasan” di Amerika Latin, yakni keadilan sosial dengan prioritas pada kaum miskin dan kaum tertindas. [13]
Ikhtitam
Maka dapat disimpulkan, Gerakan dakwah kampus memerlukan sebuah
revolusi Intelektual dengan kembali mencari substansi “Islam”. Bagaimana caranya? ada tigal hal yang dapat dipertimbangkan. Pertama, kembali memfungsikan
kampus fungsi untuk mengkader mahasiswanya dalam sebagai seorang
intelektual yang objektif dan tidak memiliki vested interest , serta memiliki kecakapan
mahasiswa dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, sosial, ekonomi,dan
kebudayaan. Kedua, kembali menuju
jalan yang hanif dan menhauhkan diri dari urusan politik praktis yang remeh
temeh dan para politikus oportunis dengan kembali keperadaban Islam yang
bersandar pada tujuan perdamaian keadilan kebebasan kemanusian, dan kemuliaan
ajaran.
Ketiga, memperkuat ukhuwah
dalam gerakan dakwah kampus untuk mencapai visi masyarakat madani dan
menyumbangkan pemaknaan baru terhadap dinamika masyaraka yang tidak lagi hanya
menjadi penonton pasif atau hanya bisa melakukan protes, tetapi juga secara
aktif menampilkan kemuliaan dan menawarkan jalan baru dalam tindakan-tindakannya. Keempat, gerakan dakwah kampus harus
mampu bertransformasi menjadi sebuah gerakan intelektual yang memiliki fungsi
sosial dalam menentukan masa depan masyarakat Islam dengan sebuah pemahaman
tentang urgensitas membela kaum mustadh’afin dan Islam sebagai teologi pembebasan.
Dengan cara itulah, gerakan kampus akan mampu membawa rahmatan lil 'alamin, setidaknya dalam masyarakat yang ia bangun di perguruan tinggi.
Wallahu a'lam bish shawwab.
Catatan Akhir
[1]Din
Syamsuddin. 1999. Etika Agama dalam membangun Masyarakat Madani. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
[2]Mohammad
Natsir. Kegelisahan Ruhani Di Barat, Peranan dan Tanggungjawab Civitas
Akademika dan Perguruan Tinggi
[3]Adien Jauharudin, Ahlussunnahwal Jama’ah MANHAJUL
HARAKAH, PerhimpunanMasyarakat Pesantren
Indonesia, Jakarta, 2008,hal. 172-178).
[4]Disusun dan
disampaikan dalam acara Pengajian Ramadhan 1433H/2012M PP Muhammadiyah 26-28
Juli 2012 dg Tema “Dakwah Pencerahan Untuk Kaum Mustadh’afin dari Teologi ke
Praksis Gerakan” sub-tema “Tauhid Sosial dan Teologi Al-Ma’un Untuk Pembebasan
Kaum Mustadh’afin” tanggal 26 Juli 2012 di Kampus Terpadu UM Yogyakarta
[5]H.O.S
Cokroaminoto. Islam dan Sosialisme
[6]Risalah
Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Hasan
Al Banna, ERA INTERMEDIA.
[7]
Hassan Hanafi, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, (Jakarta: P3M, 1991), hlm. 54
[8]
Teologi pembebasan merupakan sesuatu yang bekerja ke arah pembebasan agama dari
struktur serta ide sosial, politik, dan relegius yang didasarkan pada
ketundukan yang tidak kritis dan pembebasan ketundukan masyarakat dari semua
bentuk ketidakadilan ras, gender, kelas, dan agama. Teologi pembebasan mencoba
mencapai tujuannya lewat suatu proses yang bebas dan partisipasif. Sedangkan
teologi pembebasan dalam Islam terilhami dari Al Qur’an dan perjuangan para
nabi. Ini diwujudkan dengan melibatkan Al Qur;an dan teladan nabi dalam proses
refleksi teologis bersama dan berkelanjutan demi praktis liberatif yang semakin
meningkat. Al Qur’an dengan jelas menolak penindasan seperti yang tercantum
dalam QS.An Nisa’: 75 juga kecaman nabi Muhammad terhadap saudagar-saudagar
kaya Makah yang menimbun kekayaan, karena nafsu serakah ini mengacu pada
eksploitasi dan penindasan. Merujuk pada alasan diutusnya nabi kepada manusia,
pertama, untuk menyatakan kebenaran.Kedua, untuk melawan kepalsuan (batil)
serta penindasan (zulm), dan ketiga, untuk membangun komunitas yang hidup atas
dasar kesetaraan sosial, kebaikan, keadilan, dan kasih sayang. Lihat Farid
Esack, Membebaskan yang Tertindas, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 121, baca juga
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. 4, 2006), hlm. 35
[9]
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Grasindo,
1999), hlm. 74
[10]
Ubaidillah Achmad, “Agama, Keterasingan Manusia, dan Pembebasan” dalam Jurnal
Edukasi, Islam Kiri; Pendidikan dan Gerakan Sosial Volume III, Nomor 1, Juni
2006, (Semarang: Edukasi Press, 2006), hlm. 108
[11]
Ali Engineer, Asghar. 2009. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
[12]
Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebook. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
13]
Tariq Ramadhan. 2014. Jurnal KAMMI
Kultural menerjemahkan artikel dari Professor Tariq Ramadan yang diambil dari
website pribadi beliau, http:/www.tariqramadan.com/ Judul aslinya adalah
"Beyond Islamism"
[14]Afif
Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi,
Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb, (Bandung: Pena
Merah, 2004), hal. 96-97.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar