9 Februari 2015

Jalan yang Bersimpang: Dua Kutub dari Rahim Ikhwan

Artikel ini ditulis pertama kali pada bulan September 2012. 

oleh: Ahmad Rizky M. Umar

Di tahun 1960an, ketika masa-masa petinggi Ikhwanul Muslimin dipenjara, terbit dua buku penting: "Du'at Laa Qudhat" dari Hassan Hudaiby dan "Ma'alim fith Thariq" dari Sayyid Qutb. Yang disebut kedua terbit lebih dulu.

Masa-masa itu adalah masa yang berat bagi Ikhwan. Mereka dikhianati oleh orang yang justru mereka dorong untuk tampil sebagai pemimpin Mesir waktu itu, Gamal Abdel Nasser. Nasser adalah mantan anggota Nizham Khas, satuan paramiliter Ikhwan. Bersama Sadat dan beberapa perwira lain waktu itu, dan dengan dukungan penuh dari Ikhwan (yang baru saja kehilangan pemimpin besarnya Hassan Al-Banna), ia menggulingkan Raja Farouk dan mendeklarasikan pemerintahan baru. Setelah krisis politik era Naguib, Nasser tampil sebagai pemimpin baru. Ia mulai membangun front baru, mengeksklusi Ikhwan secara politik, dan akhirnya, setelah insiden percobaan pembunuhan oleh delapan aktivis Ikhwan di Al-Manshiya tahun 1954, Nasser memerintahkan penangkapan besar-besaran terhadap tokoh-tokoh Ikhwan.


Al-Hudaiby dan Qutb tentu saja berada di antara daftar pertama dari mereka yang ditangkap.

Penjara menjadi tempat mempersatukan aktivis-aktivis Ikhwan. Tapi, penjara jualah yang menjadi tempat 'berpisah'-nya mereka. Pada tahun 1964, Qutb menulis buku berjudul "Ma'alim fi Thariq" (bahasa Inggris: Milestone) yang intinya menegaskan jalan juang Jihad Islam. Kehidupan yang keras di penjara semakin meradikalkan pemikiran Qutb. Namun, setahun sesudahnya, muncul sebuah buku lain yang secara tidak langsung 'menyanggah' buku Qutb ini, ditulis oleh Mursyid 'Am Ikhwan saat itu, Hasan Hudaybi, berjudul "Du'at Laa Qudhat". Ia menjadi terkenal dengan pernyataan itu (Nahnu Du'at wa Lasna Qudhaat) dan sering dikutip oleh ilmuwan yang mempelajari Ikhwan sebagai awal mula Moderate Islamism.

Perdebatan dari balik jeruji penjara Mesir itulah yang menjadi cikal bakal persimpangan dua jalan besar gerakan Islam: Ikhwan dan Jihadi.

Pada awal 1970an, Mesir mengalami pergantian rezim. Kematian Nasser disusul oleh pengangkatan Anwar Sadat -yang lebih moderat- sebagai Presiden Mesir. Di saat yang bersamaan, Hassan Al-Hudaybi meninggal dan mengakibatkan perpindahan tampuk kepemimpinan Ikhwan ke Umar Tilmisani. Warisan yang diberikan oleh Al-Hudaybi memberikan "warna" tersendiri bagi moderasi Ikhwanul Muslimin di masa kepemimpinannya. Tilmisani adalah seorang putera dari tuan tanah di Mesir. Untuk ukuran aktivis Ikhwan saat itu, ia tergolong berada. Tilmisani mulai merancang perubahan strategi dakwah Ikhwan: dari perebutan kekuasaan, menjadi okupasi ruang-ruang publik di masyarakat. 

Dibantu oleh seorang pendakwah terkenal bernama Abbas as-Siisi, ia mulai merekrut banyak aktivis mahasiswa yang di kemudian hari menjadi tokoh intelektual yang menguasai sindikat-sindikat profesional di Mesir. Di antara aktivis mahasiswa yang 'terjaring' itu adalah Essam Al-Erian, Abdul Mun'im Abul Futuh, Muhammad Habib, Ibrahim Al-Za'farany, Issam Sultan, dan Abul A'la Al-Mady. Hampir semua nama tersebut (kecuali Al-Erian) dikeluarkan dari Ikhwan setelah revolusi Mesir karena menyelisihi pendapat Maktab Irsyad soal calon presiden.

Momentum ini disebut-sebut oleh pengamat gerakan Islam sebagai titik balik gerakan Ikhwanul Muslimin. Hezam Kandil menyebutnya sebagai "counter-hegemonic strategy", yang mengingatkan kita pada konsep "perang posisi" a la Gramscian. Di saat inilah Ikhwan mulai berkenalan dengan kapitalisme, sindikat profesional, hingga bisnis-bisnis yang punyalinkage dengan Barat. Generasi Ikhwan pada masa ini adalah generasi yang tidak lagi mempersoalkan "Barat" sebagai lawan -sebagaimana dipahami dulu oleh Al-Banna dan sangat didengungkan oleh Qutb- tetapi menjadikan ajaran dan ilmu-ilmu Barat sebagai ajang untuk mengonsolidasikan kekuatan. Ikhwan tumbuh menjadi oposisi yang kuat, bukan dari dalam gedung parlemen, tetapi dari kampus, mesjid, dan pasar.

Tapi dari sini jua, muncul persimpangan jalan. Digantungnya Qutb bukan berarti ide-idenya mati. Justru, dengan Ma'alim fi Thariq, ia membangkitkan gelora gerakan-gerakan jihad yang oleh ilmuwan liberal disebut "Islamic Fundamentalism". Pemikirannya mula-mula diterima luas oleh aktivis mahasiswa Ikhwan di Mesir yang kemudian memisahkan diri dari induknya, kemudian membentuk perkumpulan baru bernama Jama'ah Islamiyah. Perkumpulan ini dipimpin oleh seorang Syaikh tunanetra yang sangat kharismatik, Omar Abdul Rahman. Salah satu faksi lain yang lebih radikal, kemudian terlibat pembunuhan Sadat, menamakan diri mereka Al-Jihad. Nama yang sangat terkenal dari kelompok ini adalah Ayman Al-Zawahiri. Dua faksi ini menjadi kelompok pertama yang mengembangkan ide-ide Qutb pada basis ideologi gerakan mereka. Yang lebih minoritas, tapi juga menyebar ke seluruh dunia, ada Hizb at-Tahrir, pimpinan Abdul Qadim Zallum dan Taqiyuddin Nabhani.

Sudah tentu, kelompok ini sangat berseberangan dengan ide-ide "moderat" Hudaybi dan menarik garis batas dengan kelompok Tilmisani.

Di kemudian hari, Sayyid Qutb benar-benar "hidup" dalam serangkaian gerakan. Di Afghanistan, seorang aktivis  ituIkhwan pengagum Qutb yang bernama Abdullah Azzam mengorganisir perlawanan Jihad Global melawan pendudukan Sovyet. Seruannya segera diikuti oleh seorang milyarder Arab Saudi bernama Usamah bin Laden yang kelak akan menjadi "teroris nomor satu" di Amerika Serikat. Menurut pengakuan jurnalis Lawrence Wright, Bin Laden sempat bergabung dengan Ikhwan di masa mudanya dan membaca buku Hudaybi. Ia segera tertarik dengan Qutb. Seruan Qutb menjadi penyemangat para mujahidin, hingga akhirnya Sovyet diusir, pemerintahan baru terbentuk, dan jihad menjadi gerakan yang sangat berbahaya bagi "negara kafir".

Seruan Qutb ditafsir dengan sangat sederhana -tapi kemudian terbukti sangat berbahaya bagi kekuatan politik global: Mereka (yang beragama lain) yang menindas umat Islam, adalah Kafir dan harus diperangi. Menggelora bukan? Qutb menjadi father of Islamic Radicalism, kata majalah Foreign Affairs, dan menjadi semacam "Lenin" bagi gerakan jihad Islam.

Sehingga, ketika Ikhwan mulai berkenalan dengan kapitalisme dan membangun basis kekuatan dari jalan yang moderat dan demokratis, Jihadi juga berkembang dari sisi jalan yang sangat berlawanan. Wacana Ikhwan kemudian diambil dengan sangat cantik oleh orang-orang Turki, yang dengan sukses menggeser hegemoni Kemalis dengan jejaring bisnis dan "borjuis Anatolia", menjadikan partai Ikhwan yang dipimpin oleh Recep Erdogan sebagai partai berkuasa. Di Turki, partai AKP pimpinan Erdogan justru menjadi yang terdepan dalam aksesi ke Uni Eropa, membuka pintu investasi seluas-luasnya, dan menjadi partai yang sangat terbuka bagi kapitalisme Barat.

Sementara di sisi seberang jalan, kaum Jihadi menjadi yang terdepan dalam gerakan melawan kapitalisme global yang dipimpin Amerika Serikat. Mereka berjihad dari Afghanistan ke Somalia, Chechnya, Iraq, sampai terlibat dalam global war on terrorism.Mereka mengharamkan demokrasi dan memboikot produk-produk Amerika. Mereka bahkan tak jarang "berseteru" dengan saudara kandung mereka yang berjalan di atas jalur demokratis.

Dua sisi ini menjadi fakta yang menarik bagi para penstudi Timur Tengah, wa bil khusus gerakan-gerakan Islam. Sudah barang tentu, tak bisa melihat Islam hanya dengan kacamata "benturan peradaban" model Huntington atau "global war on terror" model Zachary Abuza atau Sidney Jones. Bahkan, bagi gerakan-gerakan Islamis sendiri, Islam tak bisa ditafsiri secara tunggal. Interpretasi dan latar belakang historis menjadi variabel yang sangat penting. Dan artinya, analisis yang sangat esensialis model Roy, Huntington, Tibi, atau Abdullahi An-Na'im menjadi ketinggalan zaman.

Di kemudian hari, Ikhwan sendiri mulai mengalami persimpangan jalan. Kaum-kaum muda hasil didikan As-Siisii, Tilmisani, dan Masyhur mulai mengambil jalan non-mainstream,menantang "faksi tua" di Ikhwan, membentuk poros sendiri. Lahirlah Partai Wasat dan, di kemudian hari, Al-Tayar Al-Masry atau Gerakan Pemuda 6 April. Di sisi yang lain, ada orang-orang tua seperti Al-Beltagy, Khairat Al-Shater, Muhammad Badie, dan Mahmoud Ghozlan (saudara ipar Al-Shater) yang menguasai Maktab Irsyad, berpikir dengan percampuran Al-Banna dan separoh Qutb soal Mesir masa depan. Dan Sampai hari ini, dinamika internal di tubuh Ikhwan masih terus terjadi, dengan segala kerumitannya.

Dinamika tak hanya berjalan di negeri Firaun. Bahkan di luar, dinamika serupa juga berlangsung. Antara Erdogan dan Erbakan, Nik Aziz dan Anwar Ibrahim, hingga Ghoul dan kompatriotnya di Aljazair. Generasi ini bukan lahir begitu saja. Mereka lahir dari persilangan antara didikan agama dengan modernitas yang dihadapidi luar sana. Generasi ini adalah generasi 'perjumpaan' Islam dan Modernitas, yang tentu saja menawarkan beragam respons dan proses. 

Tapi ada satu hal yang pasti: bahkan di Ikhwanul Muslimin sendiri, perbedaan pendapat dan faksionalisasi itu adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Jadi, bagi para aktivis Islam, tentu tak perlu 'membunuh' mereka yang berbeda, hanya karena doktrin dari pimpinan, bukan?

Wallahu A'lam bish Shawwab.


*) Penulis berterima kasih kepada mas Akbar Tri Kurniawan (Jurnalis Tempo) atas usulan judulnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar