oleh: Gading EA
Staf Kebijakan Publik PD KAMMI Surabaya
Hanya dalam satu abad Indonesia mengalami perubahan formasi
sosial yang sangat cepat. Separuh pertama abad ke-20 Indonesia masih berada
pada era kolonialisme sampai tahun 1945. Separuh abad kedua, Indonesia memasuki
era developmentalisme yang ditandai pembangunan berbagai sektor atas dasar
paham modernisasi. Belum hilang rasa kaget akibat modernisasi, Indonesia sudah
harus menghadapi babak baru yang disebut globalisasi.
Perubahan-perubahan tersebut berdampak besar pada tatanan
masyarakat bangsa ini. Islam sebagai salah satu komponen utama masyarakat
Indonesia juga merasakan dampak perubahan tersebut. Dampaknya tidak selalu
negatif. Melihatnya pun harus dari kacamata peluang dan tantangannya.
Pertanyaannya, bagaimana Umat Islam merespon kondisi ini?
Globalisasi Hari Ini
Amien Rais menyebut globalisasi sebagai proses interkoneksi
yang terus meningkat antar masyarakat berbagai belahan dunia dimana kejadian di
satu negara mempengaruhi masyarakat negara lainnya. Semakin global pengaruh
satu sama lain akan semakin erat, utamanya di bidang politik, ekonomi, sosial,
dan budaya.
Sebelum ada istilah globalisasi, proses interaksi tersebut
sudah berlangsung sejak lama. Perdagangan lintas benua yang dilakukan oleh para
pelaut Muslim, China, dan Eropa pada abad pertengahan adalah contohnya.
Globalisasi menjadi lebih formal pasca Perang Dunia II, setelah dibentuk
badan-badan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO).
Meski sudah berlangsung lama, gembar-gembor globalisasi baru
santer terdengar beberapa tahun belakangan dari gencarnya promosi ASEAN Economic Community (AEC) atau
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA sendiri merupakan salah satu produk
globalisasi antar negara-negara ASEAN yang dideklarasikan di Bali Summit bulan
Oktober 2003 bersama dengan ASEAN
Political Security Community (APSC) dan ASEAN
Socio-Cultural Community (ASCC).
Ditinjau lebih ke belakang, Tiga Pilar ASEAN Community tersebut merupakan tindak lanjut perwujudan Visi
ASEAN 2020 hasil keputusan summit di
Kuala Lumpur Desember 1997. Sehingga perlu disadari, ketika baru membahasnya
sekarang, semua proses menuju ke sana sudah dipersiapkan sangat lama. Meski
begitu penting untuk kita ketahui dan persiapkan karena ASEAN Community adalah globalisasi kawasan yang sudah sangat dekat
dengan kita.
Dari Modernisasi ke
Globalisasi
Pada abad ke-15, tiga penemuan besar berupa bubuk mesiu,
mesin cetak, dan kompas mengubah secara total tatanan masyarakat Eropa.
Penemuan bubuk mesiu membuat rakyat Eropa mampu melepaskan diri dari feodalisme
kerajaan, sedangkan keberadaan mesin cetak membuat monopoli kebenaran yang
dilakukan pihak Gereja tidak lagi mendapatkan ruang. Kompas membuat orang Eropa
mampu melakukan pelayaran dalam jarak yang sangat jauh untuk menemukan daerah
(jajahan) baru, dimana ini adalah awal babak baru modernisasi.
Sama dengan pola di atas, globalisasi muncul karena
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, khususnya di
bidang transportasi, telekomunikasi, dan informasi. Perkembangan teknologi
membuat mobilitas dan interaksi manusia dengan dunia luar menjadi sangat
tinggi. Sehingga tidak ada batas jarak (borderless)
dan waktu (timeless) antar negara,
dimana hal tersebut tidak ditemukan di masyarakat pra-global. Kondisi ini
berdampak luas pada masyarakat dunia dan banyak mengubah tatanan yang sudah ada
sebelumnya.
Membicarakan globalisasi memang tidak bisa dilepaskan dari
proses modernisasi yang telah terjadi lebih dulu. Karena globalisasi akan
berjalan dengan baik hanya jika masyarakat sudah modern. Dimana pandangan
terhadap modernisasi secara tidak langsung akan mempengaruhi pandangan terhadap
globalisasi juga. Dimana pandangan-pandangan atas modernisasi dan globalisasi
sangat beragam jumlahnya. Di sini saya mengambil dua contoh pandangan.
Pandangan pertama menyebut modernitas –tujuan modernisasi-
sebagai suatu dunia yang lebih stabil dan damai, dimana manusia akan merasakan
keamanan dan kenyamanan, terentaskan dari kemiskinan, kepastian hukum, serta tumbuhnya
rasa kebebasan individu karena mendapatkan akses dalam banyak hal. Pandangan
seperti itu bisa muncul memandang kondisi pra-modern yang serba sulit, lepasnya
manusia dari rezim yang sewenang-wenang, dan akrab dengan perang.
Pandangan kedua mengatakan modernisasi mengilhami teori
pembangunan atau developmentalisme. Developmentalisme sendiri disebut sebagai
cara para kapitalis untuk tetap menancapkan dominasinya pada negara Dunia
Ketiga dengan mengontrol teori dan proses perubahan sosial mereka. Melalui
diskursus pembangunan ini negara dunia ketiga disebut kekurangan teknologi dan
tenaga profesional, sehingga harus didatangkan dari negara-negara Barat. Logika
yang sama diterapkan dalam eksplorasi kekayaan alam, hingga pemberian utang
dari IMF.
Dua sikap yang berbeda tersebut berdampak pada sikap
terhadap globalisasi. Sikap yang pertama adalah mendorong seluas-luasnya
terjadinya globalisasi, bahkan ekonomi pasar bebas disebut dapat mengurangi
kemiskinan. Sedangkan sikap yang kedua adalah menolak globalisasi dan pasar
bebas, karena keduanya merupakan cara baru kaum kapitalis untuk terus
mengakumulasi kapital dari negara-negara Dunia Ketiga. Di antara keduanya tentu
ada sikap pertengahan dengan argumentasi masing-masing. Lalu, dimanakah posisi
Islam?
Pluralitas Respon
Islam
Aspek ekonomi yang dijelaskan panjang lebar di atas hanyalah
dampak yang ditimbulkan oleh modernisasi. Kemajuan dan pertumbuhan ekonomi
seringkali dipersepsikan sebagai modernisasi itu sendiri, padahal bukan.
Modernisasi adalah proses sosial-budaya yang menyertai pertumbuhan ekonomi
tersebut. Itulah mengapa modernisasi sangat berkaitan erat dengan penerimaan
sebuah ideologi terhadapnya.
Modernisasi merupakan perubahan sikap mental manusia dalam
memandang dunia. Nurcholis Madjid menyebutnya identik dengan rasionalisasi,
sedangkan Sudjatmoko mengartikannya sebagai proses pembebasan manusia dari
paksaan adat kebiasaan. Hal tersebut dilatarbelakangi kemunculan modernisasi
sendiri, di mana masyarakat pra-modern di Eropa terkungkung oleh dominasi dan
ortodoksi Gereja.
Dalam perkembangannya, Islam sebagai agama sering
diposisikan sama dengan Gereja (Katholik) dalam pembahasan modernisasi dan
globalisasi. Agama dianggap menghambat karena doktrin-doktrin yang tidak
pro-rasionalitas. Padahal Islam sebagai institusi yang memiliki ajaran sendiri
tidak bisa disamakan dengan Gereja kendati digolongkan sebagai agama. Di
sinilah perlunya mencari relasi antara Islam dengan modernisasi dan
globalisasi.
Dalam tataran pemikiran, Nurcholis Madjid adalah salah satu
tokoh muslim yang concern pada
masalah modernisasi. Kesimpulan dari berbagai pemikirannya adalah perlunya
sekularisasi dan liberalisasi terhadap ajaran-ajaran Islam. Namun ternyata
pendapat tersebut ditentang oleh beberapa kelompok Islam. Karena sekularisasi
dipandang membuat pengaruh agama semakin memudar atas rasionalisasinya pada
lingkungan secara menyeluruh. Jadi, respon golongan Islam terhadap modernisasi
sendiri beragam. Masing-masing memiliki dalil dan argumentasinya masing-masing.
Perbedaan pandangan itu juga terwujud dalam perbedaan
gerakan. Yudi Latif menyebutkan ada dua arus utama Gerakan Islam dalam
menyikapi sekularisasi: pertama, gerakan yang menekankan “modernisasi Islam”;
dan kedua, gerakan yang menekankan “Islamisasi modernitas”. Gerakan pertama
dapat menerima masyarakat yang sekuler-pluralis dimana Islam merupakan salah
satu prinsip etika yang akan bersanding bersama dengan prinsip agama lain.
Sedangkan gerakan kedua mengidealkan masyarakat neo-religius dimana Islam
sebagai identitas utama yang mendominasi budaya politik negara dan masyarakat.
Selain respon terhadap sekularisasi, ada pula pengelompokan
ideologi golongan Islam dalam merespon kemiskinan oleh Mansour Fakih, yakni: (1) tradisionalis, yakni mereka yang memandang kemiskinan datang dari
Tuhan sehingga tidak ada kaitannya dengan globalisasi dan modernisasi meskipun
dalam keseharian di antara mereka ada yang hidup modern; (2) modernis, yang berpandangan liberal bahwa orang miskin karena ada yang salah pada sikap
budaya, mental, atau teologi mereka sendiri, bukan karena globalisasi atau
modernisasi. Kalau perlu umat Islam harus jadi liberal agar siap bersaing; (3) revivalist,
atau yang sering dilabeli dengan istilah fundamentalis, dimana mereka
berpandangan bahwa kemiskinan terjadi disebabkan banyaknya umat Islam yang
mulai meninggalkan ideologi Islam dan menggunakan ideologi lain sebagai dasar
ketimbang Al-Qur’an; dan (4) transformatif, berpandangan bahwa kemiskinan
terjadi karena ketidakadilan struktur ekonomi, politik, dan kultur. Sehingga, mereka melakukan transformasi untuk menciptakan struktur dan relasi sosial yang
lebih adil.
Pembagian dua arus utama Yudi Latif dan empat pengelompokan
dari Mansour Fakih tersebut menunjukkan pluralitas gerakan Islam dalam merespon
modernisasi dan globalisasi. Bedanya, Yudi Latif lebih berbicara visi, Mansour
Fakih menekankan pada praksis gerakan. Namun, pilihan-pilihan tersebut tetap
mempengaruhi bagaimana Gerakan Islam bergerak menghadapi tantangan globalisasi.
Rethinking Globalisasi
Di titik ini kita hendak merumuskan gerakan untuk menghadapi
globalisasi. Kita perlu menggali lebih dalam apa itu globalisasi dan
pengaruhnya terhadap sosial-budaya masyarakat Indonesia. Selain itu diperlukan
cendekiawan Muslim yang mampu mendudukkan Islam, Indonesia, dan Globalisasi di
satu meja sebagaimana Nurcholis Madjid mendudukkan Islam, Kemodernan dan
Keindonesiaan, meskipun pendapatnya menuai kontroversi.
Setelah mampu merumuskan relasi Islam, Indonesia, dan
Globalisasi, kita dituntut bersikap atas isu-isu yang berkembang di medan
globalisasi. Banyak isu global yang membutuhkan perhatian dan sikap dari umat
Islam, seperti agresi Militer Israel atas Palestina, munculnya Islamophobia di
Eropa akibat insiden Charlie Hebdo, hak beragama Muslim Xinjiang yang dicabut
pemerintah, dan lain sebagainya. Termasuk konsolidasi umat Islam di bidang
ekonomi, politik, budaya, dan teknologi yang sudah harus berskala global juga.
Apa yang dirumuskan Yudi Latif maupun Mansour Fakih dapat
digunakan sebagai acuan untuk bergerak. Karena sikap satu kelompok berbeda dengan
yang lain, tentu saja tawaran gerakan yang diberikan juga berbeda. Tetapi
harapannya perbedaan sikap itu tidak menyebabkan adanya jurang pemisah antar
umat Islam. Jika bisa satu sikap, tentu lebih baik.
Sumber Bacaan
1.
Mansour Fakih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002)
2.
ASEAN
Economic Community Blueprint, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008)
3.
Kaisar Atmaja, Soedjatmoko & Modernisme: Catatan Atas Pemikiran Kritis Soedjatmoko
(Bantul: Kreasi Wacana, 2013)
4.
Kishore Mahbubani, Asia Hemisfer Baru Dunia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011)
5.
Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2008)
6.
Yudi Latif, Dialektika
Islam: Tafsir Sosiologis Atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia
(Bandung: Jalasutra, 2007)
7.
Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan
Indonesia! (Yogyakarta: PPSK, 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar