7 Februari 2015

Gerakan Islam, Globalisasi dan Tanggapan-Tanggapannya

oleh: Gading EA
Staf Kebijakan Publik PD KAMMI Surabaya

Hanya dalam satu abad Indonesia mengalami perubahan formasi sosial yang sangat cepat. Separuh pertama abad ke-20 Indonesia masih berada pada era kolonialisme sampai tahun 1945. Separuh abad kedua, Indonesia memasuki era developmentalisme yang ditandai pembangunan berbagai sektor atas dasar paham modernisasi. Belum hilang rasa kaget akibat modernisasi, Indonesia sudah harus menghadapi babak baru yang disebut globalisasi.

Perubahan-perubahan tersebut berdampak besar pada tatanan masyarakat bangsa ini. Islam sebagai salah satu komponen utama masyarakat Indonesia juga merasakan dampak perubahan tersebut. Dampaknya tidak selalu negatif. Melihatnya pun harus dari kacamata peluang dan tantangannya. Pertanyaannya, bagaimana Umat Islam merespon kondisi ini?


Globalisasi Hari Ini
Amien Rais menyebut globalisasi sebagai proses interkoneksi yang terus meningkat antar masyarakat berbagai belahan dunia dimana kejadian di satu negara mempengaruhi masyarakat negara lainnya. Semakin global pengaruh satu sama lain akan semakin erat, utamanya di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sebelum ada istilah globalisasi, proses interaksi tersebut sudah berlangsung sejak lama. Perdagangan lintas benua yang dilakukan oleh para pelaut Muslim, China, dan Eropa pada abad pertengahan adalah contohnya. Globalisasi menjadi lebih formal pasca Perang Dunia II, setelah dibentuk badan-badan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO).

Meski sudah berlangsung lama, gembar-gembor globalisasi baru santer terdengar beberapa tahun belakangan dari gencarnya promosi ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA sendiri merupakan salah satu produk globalisasi antar negara-negara ASEAN yang dideklarasikan di Bali Summit bulan Oktober 2003 bersama dengan ASEAN Political Security Community (APSC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC).

Ditinjau lebih ke belakang, Tiga Pilar ASEAN Community tersebut merupakan tindak lanjut perwujudan Visi ASEAN 2020 hasil keputusan summit di Kuala Lumpur Desember 1997. Sehingga perlu disadari, ketika baru membahasnya sekarang, semua proses menuju ke sana sudah dipersiapkan sangat lama. Meski begitu penting untuk kita ketahui dan persiapkan karena ASEAN Community adalah globalisasi kawasan yang sudah sangat dekat dengan kita.

Dari Modernisasi ke Globalisasi
Pada abad ke-15, tiga penemuan besar berupa bubuk mesiu, mesin cetak, dan kompas mengubah secara total tatanan masyarakat Eropa. Penemuan bubuk mesiu membuat rakyat Eropa mampu melepaskan diri dari feodalisme kerajaan, sedangkan keberadaan mesin cetak membuat monopoli kebenaran yang dilakukan pihak Gereja tidak lagi mendapatkan ruang. Kompas membuat orang Eropa mampu melakukan pelayaran dalam jarak yang sangat jauh untuk menemukan daerah (jajahan) baru, dimana ini adalah awal babak baru modernisasi.

Sama dengan pola di atas, globalisasi muncul karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, khususnya di bidang transportasi, telekomunikasi, dan informasi. Perkembangan teknologi membuat mobilitas dan interaksi manusia dengan dunia luar menjadi sangat tinggi. Sehingga tidak ada batas jarak (borderless) dan waktu (timeless) antar negara, dimana hal tersebut tidak ditemukan di masyarakat pra-global. Kondisi ini berdampak luas pada masyarakat dunia dan banyak mengubah tatanan yang sudah ada sebelumnya.

Membicarakan globalisasi memang tidak bisa dilepaskan dari proses modernisasi yang telah terjadi lebih dulu. Karena globalisasi akan berjalan dengan baik hanya jika masyarakat sudah modern. Dimana pandangan terhadap modernisasi secara tidak langsung akan mempengaruhi pandangan terhadap globalisasi juga. Dimana pandangan-pandangan atas modernisasi dan globalisasi sangat beragam jumlahnya. Di sini saya mengambil dua contoh pandangan.

Pandangan pertama menyebut modernitas –tujuan modernisasi- sebagai suatu dunia yang lebih stabil dan damai, dimana manusia akan merasakan keamanan dan kenyamanan, terentaskan dari kemiskinan, kepastian hukum, serta tumbuhnya rasa kebebasan individu karena mendapatkan akses dalam banyak hal. Pandangan seperti itu bisa muncul memandang kondisi pra-modern yang serba sulit, lepasnya manusia dari rezim yang sewenang-wenang, dan akrab dengan perang.

Pandangan kedua mengatakan modernisasi mengilhami teori pembangunan atau developmentalisme. Developmentalisme sendiri disebut sebagai cara para kapitalis untuk tetap menancapkan dominasinya pada negara Dunia Ketiga dengan mengontrol teori dan proses perubahan sosial mereka. Melalui diskursus pembangunan ini negara dunia ketiga disebut kekurangan teknologi dan tenaga profesional, sehingga harus didatangkan dari negara-negara Barat. Logika yang sama diterapkan dalam eksplorasi kekayaan alam, hingga pemberian utang dari IMF.

Dua sikap yang berbeda tersebut berdampak pada sikap terhadap globalisasi. Sikap yang pertama adalah mendorong seluas-luasnya terjadinya globalisasi, bahkan ekonomi pasar bebas disebut dapat mengurangi kemiskinan. Sedangkan sikap yang kedua adalah menolak globalisasi dan pasar bebas, karena keduanya merupakan cara baru kaum kapitalis untuk terus mengakumulasi kapital dari negara-negara Dunia Ketiga. Di antara keduanya tentu ada sikap pertengahan dengan argumentasi masing-masing. Lalu, dimanakah posisi Islam?

Pluralitas Respon Islam
Aspek ekonomi yang dijelaskan panjang lebar di atas hanyalah dampak yang ditimbulkan oleh modernisasi. Kemajuan dan pertumbuhan ekonomi seringkali dipersepsikan sebagai modernisasi itu sendiri, padahal bukan. Modernisasi adalah proses sosial-budaya yang menyertai pertumbuhan ekonomi tersebut. Itulah mengapa modernisasi sangat berkaitan erat dengan penerimaan sebuah ideologi terhadapnya.

Modernisasi merupakan perubahan sikap mental manusia dalam memandang dunia. Nurcholis Madjid menyebutnya identik dengan rasionalisasi, sedangkan Sudjatmoko mengartikannya sebagai proses pembebasan manusia dari paksaan adat kebiasaan. Hal tersebut dilatarbelakangi kemunculan modernisasi sendiri, di mana masyarakat pra-modern di Eropa terkungkung oleh dominasi dan ortodoksi Gereja.

Dalam perkembangannya, Islam sebagai agama sering diposisikan sama dengan Gereja (Katholik) dalam pembahasan modernisasi dan globalisasi. Agama dianggap menghambat karena doktrin-doktrin yang tidak pro-rasionalitas. Padahal Islam sebagai institusi yang memiliki ajaran sendiri tidak bisa disamakan dengan Gereja kendati digolongkan sebagai agama. Di sinilah perlunya mencari relasi antara Islam dengan modernisasi dan globalisasi.

Dalam tataran pemikiran, Nurcholis Madjid adalah salah satu tokoh muslim yang concern pada masalah modernisasi. Kesimpulan dari berbagai pemikirannya adalah perlunya sekularisasi dan liberalisasi terhadap ajaran-ajaran Islam. Namun ternyata pendapat tersebut ditentang oleh beberapa kelompok Islam. Karena sekularisasi dipandang membuat pengaruh agama semakin memudar atas rasionalisasinya pada lingkungan secara menyeluruh. Jadi, respon golongan Islam terhadap modernisasi sendiri beragam. Masing-masing memiliki dalil dan argumentasinya masing-masing.

Perbedaan pandangan itu juga terwujud dalam perbedaan gerakan. Yudi Latif menyebutkan ada dua arus utama Gerakan Islam dalam menyikapi sekularisasi: pertama, gerakan yang menekankan “modernisasi Islam”; dan kedua, gerakan yang menekankan “Islamisasi modernitas”. Gerakan pertama dapat menerima masyarakat yang sekuler-pluralis dimana Islam merupakan salah satu prinsip etika yang akan bersanding bersama dengan prinsip agama lain. Sedangkan gerakan kedua mengidealkan masyarakat neo-religius dimana Islam sebagai identitas utama yang mendominasi budaya politik negara dan masyarakat.

Selain respon terhadap sekularisasi, ada pula pengelompokan ideologi golongan Islam dalam merespon kemiskinan oleh Mansour Fakih, yakni: (1) tradisionalis, yakni mereka yang memandang kemiskinan datang dari Tuhan sehingga tidak ada kaitannya dengan globalisasi dan modernisasi meskipun dalam keseharian di antara mereka ada yang hidup modern; (2) modernis, yang berpandangan liberal bahwa orang miskin karena ada yang salah pada sikap budaya, mental, atau teologi mereka sendiri, bukan karena globalisasi atau modernisasi. Kalau perlu umat Islam harus jadi liberal agar siap bersaing; (3) revivalist, atau yang sering dilabeli dengan istilah fundamentalis, dimana mereka berpandangan bahwa kemiskinan terjadi disebabkan banyaknya umat Islam yang mulai meninggalkan ideologi Islam dan menggunakan ideologi lain sebagai dasar ketimbang Al-Qur’an; dan (4) transformatif, berpandangan bahwa kemiskinan terjadi karena ketidakadilan struktur ekonomi, politik, dan kultur. Sehingga, mereka melakukan transformasi untuk menciptakan struktur dan relasi sosial yang lebih adil.

Pembagian dua arus utama Yudi Latif dan empat pengelompokan dari Mansour Fakih tersebut menunjukkan pluralitas gerakan Islam dalam merespon modernisasi dan globalisasi. Bedanya, Yudi Latif lebih berbicara visi, Mansour Fakih menekankan pada praksis gerakan. Namun, pilihan-pilihan tersebut tetap mempengaruhi bagaimana Gerakan Islam bergerak menghadapi tantangan globalisasi.

Rethinking Globalisasi
Di titik ini kita hendak merumuskan gerakan untuk menghadapi globalisasi. Kita perlu menggali lebih dalam apa itu globalisasi dan pengaruhnya terhadap sosial-budaya masyarakat Indonesia. Selain itu diperlukan cendekiawan Muslim yang mampu mendudukkan Islam, Indonesia, dan Globalisasi di satu meja sebagaimana Nurcholis Madjid mendudukkan Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, meskipun pendapatnya menuai kontroversi.

Setelah mampu merumuskan relasi Islam, Indonesia, dan Globalisasi, kita dituntut bersikap atas isu-isu yang berkembang di medan globalisasi. Banyak isu global yang membutuhkan perhatian dan sikap dari umat Islam, seperti agresi Militer Israel atas Palestina, munculnya Islamophobia di Eropa akibat insiden Charlie Hebdo, hak beragama Muslim Xinjiang yang dicabut pemerintah, dan lain sebagainya. Termasuk konsolidasi umat Islam di bidang ekonomi, politik, budaya, dan teknologi yang sudah harus berskala global juga.

Apa yang dirumuskan Yudi Latif maupun Mansour Fakih dapat digunakan sebagai acuan untuk bergerak. Karena sikap satu kelompok berbeda dengan yang lain, tentu saja tawaran gerakan yang diberikan juga berbeda. Tetapi harapannya perbedaan sikap itu tidak menyebabkan adanya jurang pemisah antar umat Islam. Jika bisa satu sikap, tentu lebih baik.



Sumber Bacaan
1.      Mansour Fakih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
2.      ASEAN Economic Community Blueprint, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2008)
3.      Kaisar Atmaja, Soedjatmoko & Modernisme: Catatan Atas Pemikiran Kritis Soedjatmoko (Bantul: Kreasi Wacana, 2013)
4.      Kishore Mahbubani, Asia Hemisfer Baru Dunia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011)
5.      Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2008)
6.      Yudi Latif, Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis Atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia (Bandung: Jalasutra, 2007)
7.      Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta: PPSK, 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar