20 Oktober 2014

Ayu Diasti Rahmawati: UU Pilkada Menyingkirkan Rakyat secara Pelan-Pelan dari Proses Politik


UU Pemilihan Kepala Daerah yang baru saja disahkan oleh DPR-RI segera menyulut kontroversi. Aktivis-aktivis prodemokrasi menyambutnya dengan berbagai ekspresi –demonstrasi, belasungkawa, hingga uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu elemen yang menolak UU ini adalah komunitas Kawan Demokrasi, komunitas diskusi dan solidaritas yang anggotanya datang dari berbagai daerah serta mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang ada di luar negeri. Kawan Demokrasi mengelola akun media sosial (Twitter dan Facebook) untuk berjejaring, mengingat anggotanya yang datang dari berbagai belahan dunia. Ahmad Rizky M. Umar, editor Jurnal KAMMI Kultural berkesempatan mewawancarai salah satu pegiat Kawan Demokrasi, Ayu Diasti Rahmawati, untuk mencari tahu tujuan dan gerakan Kawan Demokrasi dalam merespons UU Pilkada. Mbak Ayu, panggilan akrabnya, adalah alumnus The New School University, New York, dan sehari-hari menekuni kajian konflik, perdamaian, dan HAM. Berikut wawancara yang dilakukan Umar pada Jumat (17/10).

Umar: Kawan Demokrasi telah melakukan beberapa aksi di luar negeri dan sedang memulai aksi di Yogyakarta: Kalau boleh tahu, sejarah Kawan Demokrasi ini bagaimana?
Mbak Ayu: Kawan Demokrasi muncul sebagai “reaksi” terhadap disetujuinya UU Pilkada oleh DPR-RI pada tanggal 26 September 2014. Seorang mahasiswa Indonesia di Austria yang bernama Diah Kusumaningrum mencoba menyampaikan pikirannya kepada saya dan kawankawan jejaring, lalu muncullah ide untuk membuat layatan sebagai metode nirkekerasan untuk merespons UU Pilkada. Tetapi kami tidak ingin responsnya sporadis. Harus ada kelompok yang isinya mengenai penggalangan solidaritas. Jadi perlu membuat semacam wadah dan lahirlah Kawan Demokrasi.

Umar: Siapa yang terlibat di Kawan Demokrasi selama ini?
Mbak Ayu: Banyak orang. Sebagian besar secara sukarela meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukan mereka. Mereka ada di Yogyakarta, Ambon, Perth, Canberra, Melbourne, Amsterdam, Berlin, dan kota-kota lainnya. Kami berkomunikasi dengan internet dan media sosial yang ada.

Umar: Siapa saja pegiatnya? Apakah hanya mahasiswa atau juga ada rekan-rekan yang lain?
Mbak Ayu: Ada mahasiswa aktif baik level sarjana maupun pascasarjana, wartawan, dosen, pegiat komunitas, peneliti, dan berbagai profesi lainnya. Komunitas ini lintas profesi dan lintas bidang.

Umar: Apa tuntutan yang kawan-kawan coba sampaikan melalui serangkaian aksi tersebut?
Mbak Ayu: Harus diakui bahwa Kawan Demokrasi itu organisasi yang organik dan fleksibel. Komunitas ini awalnya muncul untuk merespon sesuatu. Saat ini kita berupaya untuk menanggapi perkembangan setelah UU Pilkada. Bagaimana? Kami ingin Kawan Demokrasi menjadi semacam hub (penghubung) agar publik di dalam dan luar negeri aware/update dengan kondisi demokrasi di Indonesia. Proyek awalnya yang hingga saat ini masih berlangsung adalah “In Memoriam” di mana Kawan Demokrasi berkolaborasi dengan mahasiswa di beberapa kota di Australia dan Eropa mencoba membuat aksi layatan di mana masyarakat dapat “berbelasungkawa” atas “matinya” pemilihan pemimpin daerah secara langsung. Sebagai tindak lanjutnya, kami sedang mencoba memulai sebuah proyek yang berkolaborasi dengan kawan-kawan Dewan  Mahasiswa Fisipol UGM, bertajuk “Sudut Demokrasi”. Setelah memantik awareness dengan aksi layatan, tujuan berikutnya adalah diskusi untuk memastikan demokrasi Indonesia adalah isu bersama. Saya berterima kasih kepada Dewan Mahasiswa Fisipol UGM atas kesediaanya menjadi pelopor proyek ini di Indonesia. Kami ingin menyampaikan pesan bahwa demokrasi memerlukan warga negara yang aktif dan partisipasi tidak hanya diukur melalui kotak suara, tetapi juga perlu partisipasi aktif dalam bentuk apapun secara nirkekerasan.

Umar: Dalam berbagai pernyataan, Kawan Demokrasi tegas menyatakan menolak UU Pilkada. Kalau boleh tahu, apa alasan kawan-kawan Kawan Demokrasi menolak UU Pilkada?
Mbak Ayu: Dalam wawancara dengan salah seorang pegiat Kawan Demokrasi, Diah Kusummaningrum, yang sempat dimuat oleh Jakarta Post, UU Pilkada secara personal membuat kami marah dan merasa terkhianati karena undang-undang itu justru digolkan oleh orang yang kita pilih secara langsung (anggota DPR-red.) Tetapi, berikut argument yang sifatnya lebih sistematis: pertama demokrasi itu mensyaratkan partisipasi, pemenuhan HAM, dan representasi untuk menjamin kontestasi yang adil. Dan UU Pilkada “membunuh” 3 hal yang pertama tadi. Undang-undang tersebut meniadakan hak politik rakyat untuk memilih pemimpin lokalnya, dan dengan demikian menutup salah satu channel penting bagi rakyat untuk berpartisipasi. Undang-undang itu juga membuat sistem representasi tidak bekerja. Kita tahu, DPR sebagai lembaga yang merepresentasikan kita sebagai rakyat, tersangkut banyak kasus yang membuat legitimasinya rendah, dan mau tidak mau rakyat merepresentasikan dirinya ke pemimpin lokal yang ia pilih secara langsung. Dengan adanya UU Pilkada, ke mana lagi rakyat harus mewakilkan dirinya?

Lalu, dampak lain yang terpenting dari UU Pilkada adalah bagaimana ia “menyingkirkan rakyat secara pelan-pelan dari proses politik dan pembuatan kebijakan”. UU Pilkada bukan kemenangan koalisi tertentu. Ia kemenangan partai politik, oligarkhi atas rakyat.

Umar: Ketika di lapangan, respon publiknya seperti apa?
Mbak Ayu: Kawan Demokrasi memang pada awalnya didesain untuk mewadahi respon teman-teman di luar negeri. Pada masa itu, memang banyak sekali aksi masyarakat di luar negeri yang tidak hanya dikerjakan oleh jejaring Kawan Demokrasi, tetapi juga kawan yang lain. Mereka antusias untuk ambil bagian setidaknya untuk mengekspresikan apa yang mereka lakukan. Seperti yang sudah disebut di awal, jaringan Kawan Demokrasi sudah melakukan aksi di Perth, Canberra, Melbourne, Amsterdam, dan menyusul di Berlin. Di Indonesia kita mulai dengan Yogyakarta.

Umar: Karena ada aksi juga di luar negeri, respon masyarakat (para bule) itu seperti apa?
Mbak Ayu: Banyak orang yang menyukai fanpage KaDem di Facebook adalah warga negara asing. Kalau kita mencari reaksi seberapa banyak yang mendukung memang masih kurang karena awareness mereka masih minimal. Di luar negeri, Indonesia masih dikenal sebagai ‘negara muslim demokrasi terbesar’ di dunia, dan negara muslim moderat. Mereka tidak memperhatikan bagaimana keputusan politik akhir-akhir ini telah memutarbalikkan kondisi itu. Mungkin para Indonesianis aware. Tetapi kalau reaksi yang lebih luas, apalagi jika dibandingkan dengan kasus Hongkong atau aksi besar di Turki, mungkin belum. Justru itulah fungsi Kawan Demokrasi sekarang –menghubungkan mereka yang tinggal di dalam negeri dan luar negeri. Agar masyarakat di Indonesia bisa membangun solidaritas secara pelan-pelan dengan masyarakat dunia yang lebih luas.

Umar: Apakah Kawan Demokrasi ini punya keterkaitan dengan jejaring di Jakarta yang melakukan uji materiil di Jakarta?
Mbak Ayu: Tidak ada keterkaitan secara langsung tetapi beberapa kawan kami memang berjejaring dengan teman-teman di Jakarta. Intinya memang membuat gerakan –maka itu kami berjejaring. Selama tujuan akhirnya masih satu: mendukung demokrasi di Indonesia dan nirkekerasan kenapa tidak saling dukung? Hal paling konkret adalah beberapa aksi di luar negeri bisa diliput media lokal di Indonesia karena jejaring kami dengan wartawan. Kami juga mengumpulkan KTP di Sudut Demokrasi dan meneruskannya ke lembaga non-pemerintah yang mengajukan uji materi ke MK. Kolaborasinya tidak langsung tapi ada hubungan.

Umar: Harapan terhadap gerakan mahasiswa secara umum?
Mbak Ayu: Saya bukan orang yang aktif di gerakan mahasiswa dan mungkin bukan orang yang tepat untuk menjawab hal ini. Tetapi saya merasa bahwa selama ini gerakan mahasiswa semakin terfragmentasi. Di satu sisi, ini mungkin merupakan konsekuensi langsung dari demokrasi –dimana semua orang diizinkan punya sudut pandang sendiri untuk melihat sesuatu. Tapi, di sisi lain, bisa menjadi menyedihkan karena fragmentasi itulah yang membuat mahasiswa lamban atau bahkan tidak bergerak. Ketika pemerintah memutuskan sesuatu yang merugikan rakyatnya, mahasiswa gagap ketika menanggapi hanya karena bertengkar soal ideologi atau pendekatan tersendiri. Di situ saya agak sedih. Mungkin ideologi itu penting dan tidak bisa dikesampingkan, tapi ketika gagasan yang dibela itu lebih penting, jangan sampai ideologi membuat gerakan mahasiswa saling menihilkan satu sama lain apalagi menihilkan gerakan elemen masyarakat lainnya.

Bayangkan Indonesia tahun 1955, ketika banyak paham eksis, politik massa yang sangat kuat, tapi ketika bicara nasionalisme semua terpanggil. Seperti itu pula dengan isu demokrasi dan UU Pilkada ini.

Umar: Berarti Gerakan Mahasiswa harus lebih aktif dalam isu-isu semacam ini?
Mbak Ayu: Lebih dewasalah dalam memperjuangkan ideologinya. Tidak hanya aktif tapi juga dewasa. Demokrasi itu bukan hanya milik elit atau hanya milik kelas menengah yang bermedia sosial, demokrasi itu juga milik banyak orang, yang ada di pasar, yang bekerja di jalan, pelajar (dimanapun mereka berada), dan banyak orang lainnya. Dan oleh sebab itu, gerakan demokrasi mesti membawa nilai-nilai demokrasi ke bumi: fleksibel, terbuka, nirkekerasan, dan saya harap Kawan Demokrasi bisa menjadi wadah yang merepresentasikan semangat itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar