UU Pemilihan Kepala Daerah yang baru
saja disahkan oleh DPR-RI segera menyulut kontroversi. Aktivis-aktivis
prodemokrasi menyambutnya dengan berbagai ekspresi –demonstrasi, belasungkawa,
hingga uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu elemen yang menolak UU
ini adalah komunitas Kawan Demokrasi, komunitas diskusi dan solidaritas yang
anggotanya datang dari berbagai daerah serta mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang
ada di luar negeri. Kawan Demokrasi mengelola akun media sosial (Twitter dan
Facebook) untuk berjejaring, mengingat anggotanya yang datang dari berbagai belahan
dunia. Ahmad Rizky M. Umar, editor
Jurnal KAMMI Kultural berkesempatan mewawancarai salah satu pegiat Kawan
Demokrasi, Ayu Diasti Rahmawati,
untuk mencari tahu tujuan dan gerakan Kawan Demokrasi dalam merespons UU
Pilkada. Mbak Ayu, panggilan akrabnya, adalah alumnus The New School University, New York, dan sehari-hari menekuni kajian konflik, perdamaian, dan HAM. Berikut wawancara yang dilakukan Umar pada Jumat
(17/10).
Umar: Kawan Demokrasi telah
melakukan beberapa aksi di luar negeri dan sedang memulai aksi di Yogyakarta: Kalau
boleh tahu, sejarah Kawan Demokrasi ini bagaimana?
Mbak Ayu: Kawan Demokrasi muncul
sebagai “reaksi” terhadap disetujuinya UU Pilkada oleh DPR-RI pada tanggal 26
September 2014. Seorang mahasiswa Indonesia di Austria yang bernama Diah
Kusumaningrum mencoba menyampaikan pikirannya kepada saya dan kawankawan
jejaring, lalu muncullah ide untuk membuat layatan sebagai metode nirkekerasan
untuk merespons UU Pilkada. Tetapi kami tidak ingin responsnya sporadis. Harus
ada kelompok yang isinya mengenai penggalangan solidaritas. Jadi perlu membuat
semacam wadah dan lahirlah Kawan Demokrasi.
Umar: Siapa yang terlibat di Kawan
Demokrasi selama ini?
Mbak Ayu: Banyak orang. Sebagian
besar secara sukarela meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukan mereka. Mereka
ada di Yogyakarta, Ambon, Perth, Canberra, Melbourne, Amsterdam, Berlin, dan kota-kota
lainnya. Kami berkomunikasi dengan internet dan media sosial yang ada.
Umar: Siapa saja pegiatnya?
Apakah hanya mahasiswa atau juga ada rekan-rekan yang lain?
Mbak Ayu: Ada mahasiswa aktif baik
level sarjana maupun pascasarjana, wartawan, dosen, pegiat komunitas, peneliti,
dan berbagai profesi lainnya. Komunitas ini lintas profesi dan lintas bidang.
Umar: Apa tuntutan yang
kawan-kawan coba sampaikan melalui serangkaian aksi tersebut?
Mbak Ayu: Harus diakui bahwa Kawan
Demokrasi itu organisasi yang organik dan fleksibel. Komunitas ini awalnya muncul
untuk merespon sesuatu. Saat ini kita berupaya untuk menanggapi perkembangan
setelah UU Pilkada. Bagaimana? Kami ingin Kawan Demokrasi menjadi semacam hub (penghubung) agar publik di dalam
dan luar negeri aware/update dengan
kondisi demokrasi di Indonesia. Proyek awalnya yang hingga saat ini masih
berlangsung adalah “In Memoriam” di mana Kawan Demokrasi berkolaborasi dengan
mahasiswa di beberapa kota di Australia dan Eropa mencoba membuat aksi layatan
di mana masyarakat dapat “berbelasungkawa” atas “matinya” pemilihan pemimpin
daerah secara langsung. Sebagai tindak lanjutnya, kami sedang mencoba memulai
sebuah proyek yang berkolaborasi dengan kawan-kawan Dewan Mahasiswa Fisipol UGM, bertajuk “Sudut
Demokrasi”. Setelah memantik awareness
dengan aksi layatan, tujuan berikutnya adalah diskusi untuk memastikan
demokrasi Indonesia adalah isu bersama. Saya berterima kasih kepada Dewan
Mahasiswa Fisipol UGM atas kesediaanya menjadi pelopor proyek ini di Indonesia.
Kami ingin menyampaikan pesan bahwa demokrasi memerlukan warga negara yang
aktif dan partisipasi tidak hanya diukur melalui kotak suara, tetapi juga perlu partisipasi aktif
dalam bentuk apapun secara nirkekerasan.
Umar: Dalam berbagai
pernyataan, Kawan Demokrasi tegas menyatakan menolak UU Pilkada. Kalau boleh
tahu, apa alasan kawan-kawan Kawan Demokrasi menolak UU Pilkada?
Mbak Ayu: Dalam wawancara dengan
salah seorang pegiat Kawan Demokrasi, Diah Kusummaningrum, yang sempat dimuat
oleh Jakarta Post, UU Pilkada secara personal membuat kami marah dan merasa
terkhianati karena undang-undang itu justru digolkan oleh orang yang kita pilih
secara langsung (anggota DPR-red.) Tetapi, berikut argument yang sifatnya lebih
sistematis: pertama demokrasi itu mensyaratkan partisipasi, pemenuhan HAM, dan
representasi untuk menjamin kontestasi yang adil. Dan UU Pilkada “membunuh” 3
hal yang pertama tadi. Undang-undang tersebut meniadakan hak politik rakyat
untuk memilih pemimpin lokalnya, dan dengan demikian menutup salah satu channel penting bagi rakyat untuk
berpartisipasi. Undang-undang itu juga membuat sistem representasi tidak
bekerja. Kita tahu, DPR sebagai lembaga yang merepresentasikan kita sebagai
rakyat, tersangkut banyak kasus yang membuat legitimasinya rendah, dan mau
tidak mau rakyat merepresentasikan dirinya ke pemimpin lokal yang ia pilih
secara langsung. Dengan adanya UU Pilkada, ke mana lagi rakyat harus mewakilkan
dirinya?
Lalu, dampak lain yang terpenting
dari UU Pilkada adalah bagaimana ia “menyingkirkan rakyat secara pelan-pelan
dari proses politik dan pembuatan kebijakan”. UU Pilkada bukan kemenangan
koalisi tertentu. Ia kemenangan partai politik, oligarkhi atas rakyat.
Umar: Ketika di lapangan, respon
publiknya seperti apa?
Mbak Ayu: Kawan Demokrasi memang pada
awalnya didesain untuk mewadahi respon teman-teman di luar negeri. Pada masa
itu, memang banyak sekali aksi masyarakat di luar negeri yang tidak hanya dikerjakan
oleh jejaring Kawan Demokrasi, tetapi juga kawan yang lain. Mereka antusias
untuk ambil bagian setidaknya untuk mengekspresikan apa yang mereka lakukan.
Seperti yang sudah disebut di awal, jaringan Kawan Demokrasi sudah melakukan
aksi di Perth, Canberra, Melbourne, Amsterdam, dan menyusul di Berlin. Di
Indonesia kita mulai dengan Yogyakarta.
Umar: Karena ada aksi juga di
luar negeri, respon masyarakat (para bule)
itu seperti apa?
Mbak Ayu: Banyak orang yang
menyukai fanpage KaDem di Facebook adalah warga negara asing.
Kalau kita mencari reaksi seberapa banyak yang mendukung memang masih kurang
karena awareness mereka masih minimal.
Di luar negeri, Indonesia masih dikenal sebagai ‘negara muslim demokrasi
terbesar’ di dunia, dan negara muslim moderat. Mereka tidak memperhatikan
bagaimana keputusan politik akhir-akhir ini telah memutarbalikkan kondisi itu. Mungkin
para Indonesianis aware. Tetapi kalau
reaksi yang lebih luas, apalagi jika dibandingkan dengan kasus Hongkong atau
aksi besar di Turki, mungkin belum. Justru itulah fungsi Kawan Demokrasi
sekarang –menghubungkan mereka yang tinggal di dalam negeri dan luar negeri.
Agar masyarakat di Indonesia bisa membangun solidaritas secara pelan-pelan
dengan masyarakat dunia yang lebih luas.
Umar: Apakah Kawan Demokrasi
ini punya keterkaitan dengan jejaring di Jakarta yang melakukan uji materiil di
Jakarta?
Mbak Ayu: Tidak ada keterkaitan
secara langsung tetapi beberapa kawan kami memang berjejaring dengan
teman-teman di Jakarta. Intinya memang membuat gerakan –maka itu kami berjejaring.
Selama tujuan akhirnya masih satu: mendukung demokrasi di Indonesia dan
nirkekerasan kenapa tidak saling dukung? Hal paling konkret adalah beberapa
aksi di luar negeri bisa diliput media lokal di Indonesia karena jejaring kami dengan
wartawan. Kami juga mengumpulkan KTP di Sudut Demokrasi dan meneruskannya ke
lembaga non-pemerintah yang mengajukan uji materi ke MK. Kolaborasinya tidak
langsung tapi ada hubungan.
Umar: Harapan terhadap gerakan
mahasiswa secara umum?
Mbak Ayu: Saya bukan orang yang
aktif di gerakan mahasiswa dan mungkin bukan orang yang tepat untuk menjawab
hal ini. Tetapi saya merasa bahwa selama ini gerakan mahasiswa semakin
terfragmentasi. Di satu sisi, ini mungkin merupakan konsekuensi langsung dari
demokrasi –dimana semua orang diizinkan punya sudut pandang sendiri untuk
melihat sesuatu. Tapi, di sisi lain, bisa menjadi menyedihkan karena
fragmentasi itulah yang membuat mahasiswa lamban atau bahkan tidak bergerak.
Ketika pemerintah memutuskan sesuatu yang merugikan rakyatnya, mahasiswa gagap
ketika menanggapi hanya karena bertengkar soal ideologi atau pendekatan
tersendiri. Di situ saya agak sedih. Mungkin ideologi itu penting dan tidak
bisa dikesampingkan, tapi ketika gagasan yang dibela itu lebih penting, jangan
sampai ideologi membuat gerakan mahasiswa saling menihilkan satu sama lain
apalagi menihilkan gerakan elemen masyarakat lainnya.
Bayangkan Indonesia tahun 1955,
ketika banyak paham eksis, politik massa yang sangat kuat, tapi ketika bicara
nasionalisme semua terpanggil. Seperti itu pula dengan isu demokrasi dan UU
Pilkada ini.
Umar: Berarti Gerakan
Mahasiswa harus lebih aktif dalam isu-isu semacam ini?
Mbak Ayu: Lebih dewasalah dalam
memperjuangkan ideologinya. Tidak hanya aktif tapi juga dewasa. Demokrasi itu
bukan hanya milik elit atau hanya milik kelas menengah yang bermedia sosial,
demokrasi itu juga milik banyak orang, yang ada di pasar, yang bekerja di
jalan, pelajar (dimanapun mereka berada), dan banyak orang lainnya. Dan oleh
sebab itu, gerakan demokrasi mesti membawa nilai-nilai demokrasi ke bumi:
fleksibel, terbuka, nirkekerasan, dan saya harap Kawan Demokrasi bisa menjadi
wadah yang merepresentasikan semangat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar