9 November 2014

Pendapat tentang KAMMI dan Fahri Hamzah

Catatan Editor: Artikel ini mula-mula dimuat di facebook pribadi beliau dan dimuat kembali untuk memperkaya diskusi tentang KAMMI dan Fahri Hamzah

oleh: Tsurayya Zahra
Pengurus PP KAMMI 2011-2013

Ahmad Rizky Mardhatilah Umar, editor Jurnal KAMMI Kultural, dengan lugas dan cerdas menulis sebuah essay berjudul “Melupakan Fahri Hamzah dari Pikiran KAMMI”  pada Sabtu, 18 Oktober 2014 yang dirilis oleh Jurnal KAMMI Kultural. Saya memutuskan untuk memberikan tanggapan atas tulisan tersebut.  

Umar mengatakan bahwa Fahri Hamzah hanyalah mewarisi patronase KAMMI pada PKS seperti yang ditulisnya pada paragraf delapan , Fahri Hamzah memang sudah tidak di KAMMI lagi, tapi ada satu warisan yang ia tinggalkan: patronase KAMMI terhadap PKS. Bergabungnya Fahri, dan aktivis-aktivis generasinya, dengan PKS, menandai satu episode baru terhadap KAMMI: politik patronase yang terbangun secara tidak sadar antara KAMMI dengan partai berlambang padi hitam ini. “ , Umar juga mengatakan bahwa apa yang dilakukan Fahri Hamzah dan eksponen 98 merupakan suatu bentuk kegagalan tersebab setelah reformas ipun , Indonesia masih juga disetir oleh anasir–anasir orba yang menurutnya masih memiliki kekuatan untuk mengendalikan Indonesia.

Sebagai akhir dari tulisan, ia mengajak kader KAMMI untuk menggunakan akal yang dianugerahkan Tuhan untuk mengelola KAMMI demi masa depannya, alias berpikir dengan cara sendiri bukan lagi dengan cara Fahri Hamzah, meskipun  cara berpikir tersebut  tidak dijelaskan oleh Umar. Dan yang paling mengejutkan adalah pada akhir tulisannya, Umar mengajak para kader KAMMI untuk melupakan Fahri Hamzah dan generasinya.

Pernyataan Umar pada tulisannya tersebut jelas menyampaikan pesan dan ajakan yang terang benderang, bahwa Patron KAMMI itu bukan hanya kepada Fahri Hamzah dan lingkarannya, tapi mungkin bisa juga pada saudara Mu’tamar Ma’ruf, saudara Amin Sudarsono dengan Pattiro nya (walaupun beliau sudah tidak lagi berada disana), ataupun pada Umar sendiri yang saya ingin memastikan siapa orang yang berada diatasnya.

Anas Urbaningrum dan Adik-Adiknya: Refleksi dari HMI
Ada seorang alumni KAMMI, saya tidak perlu menyebutkan siapa namanya, pun tidak ada yang tahu dia menjadi kader partai mana sekarang. Juga tidak ada yang tahu dia pro-KMP atau mendukung KIH. Dia memiliki sebuah media massa yang didalamnya terdapat jurnalis yang berideologi paling kiri , moderat sampai yang celananya tiga-per-empat .

Suatu saat dia berkata kepada saya dan beberapa kawan yang lain, “jika kamu melihat saya berada pada suatu klub, dikelilingi para wanita, jangan kau beritakan walaupun itu fakta. Justru, hal yang kalian harus lakukan adalah membuat perlindungan dan pembelaan dari serangan berita-berita yang bermunculan. Sebab, kita adalah satu keluarga, ini yang harus dimengerti” .

Begitu pula yang terjadi pada Anas Urbaningrum. Kita bisa lihat betapa adik – adik HMI-nya bergerak melakukan advokasi, tulisan – tulisan, forum, aksi turun ke jalan, dan sebagainya demi memberi pesan kepada masyarakat dan para pengambil keputusan bahwa Anas tak bersalah dan dia dizhalimi pada kasus yang menimpanya, bahkan sesudah terjadi putusan.  Inilah yang mungkin dinihilkan dan dilupakan oleh Umar. Saya tidak lagi bicara tentang “cara berfikir” Fahri Hamzah yang tidak dijelaskan oleh Umar, tapi saya ingin membelokan kepada item yang terlupakan, yaitu rasa solidaritas kekeluargaan yang terbentuk serta penghormatan kepada founding fathers beserta kamerad – kamerad senior yang dikenalnya.

Rasa solidaritas kekeluargaan serta penghormatan kepada Founding Fathers tidak terbentuk dari besarnya nama orang itu di media maupun dalam sejarah. Tapi ada suatu proses evolusi yang memang diturunkan dari generasi ke generasi dengan kata kunci pertemuan langsung, dialog dan transformasi pemikiran yang berlangsung dengan alami. Fahri Hamzah melakukan itu.

Adalah sangat wajar Umar melawan dan apriori kepada penghargaan kader kepada para kamerad-kamerad senior yang selama ini muncul dipermukaan (Fahri Hamzah an sich). Sederhana, Umar memiliki patronase sendiri, orang yang dikenalnya, lalu mungkin dia memperkenalkan siapa orang tersebut di akhir paragraph tulisannya. Namun sayang sekali, patronnya ini kurang memperkenalkan diri kepada kader sehingga mungkin generasinya hanya ada dilingkup terbatas, termasuk Umar.

Secara sadar atau tidak sadar, cara berpikir Umar yang mungkin dikatakannya adalah cara berpikirnya sendiri memiliki jejak berfikir senior dimana dia menyambungkan benang. Di satu titik tertentu, dia akan juga bersikap membela , melindungi jika patronasenya ini terusik. Seperti apa yang dilakukan kader HMI terhadap Anas Urbaningrum.

Apakah Umar mengenal secara pribadi orang – orang yang coba dinihilkannya ini? Pernahkah dia bertemu? Atau pernahkah berdialog dengan sangat intim dan mendalam mengenai segala sesuatunya atau hanya sekedar bicara tentang kehidupan pribadi. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Umar pernah melakukan riset, sebenarnya siapa saja patron di dalam tubuh KAMMI selain Fahri Hamzah. Apakah dia benar - benar hanya menemukan Fahri Hamzah dan Andi Rahmat saja? 

Melupakan Patronase Biologis
Adalah seorang Sri Mulyani, memiliki latar belakang keluarga batih beraliran politik nasionalis, tapi siapa menyangka orang tuanya tidak bisa mengkader sri berpikiran politik yang sama sehingga dia menjadi seorang sosialis kanan yang berasal dari PSI hasil dari pendidikan kampusnya. Kini dia sangat terbuka dengan gedung putih bahkan menjadi agennya, bersama rekan sejawat, Boediono.

Namun, sepayah apapun seorang figur Ibu Sri Mulyani, dia tetap menyajikan hikmah bahwa yang dikedepankan dalam memilih sebuah patronase bukanlah orang maupun entitas, tapi apa yang dibawa olehnya. Sri Mulyani memiliki kedekatan dengan PNI seimbang dengan kelas kampusnya. Tapi dia memilih dengan sadar, mana ideologi yang akan dijadikan landasannya dalam ber Indonesia. Bukan karena orang tuanya maupun entitas kampusnya. Walaupun sayang ideologinya selama ini hanya menguntungkan oligarki partai bahkan asing.

Kita tidak menyambungkan benang pada Fahri Hamzah, Muhammad Danial Nafis, Rahman Toha, Rijalul Imam, Mu’tamar Ma’ruf, Amin Sudarsono, atau pada entitas PKS, PSI, SI, ataupun lainnya. Akan tetapi, sambungkanlah cara berfikir kita dengan landasan –landasan berfikir orang– orang tersebut, landasan ideologinya, pasti kita akan menemukan yang sesuai. Di samping. kita juga perlu berupaya agar para kamerad tersebut memperkuat internalisasi ideologi tersebut pada adik-adiknya. Sehingga, secara sadar, kita pun juga harus terus mengasah diri.

Saya sangat yakin, dalam tubuh KAMMI, tak hanya satu pandangan cara berfikir saja, selain Pan-Islamisme yang sangat dominan, jangan dipungkiri bahwa para alumninya ada yang berpindah ke sosialis kiri, nasionalis kerakyatan, komunis, wahabi, sampai ada juga yang terindikasi neolib.

Pilihan ini penting, walaupun mungkin suatu saat akan ada perubahan, seperti tokoh ayah Allan Karlsson dalam novel The 100 Year Old Man Who Climbed Out of The Window And Disappeared , dia dari mulai kiri, lalu memuji – muji Tsar Nicholas II dan mengakhiri hidupnya dengan sengketa tanah terhadap Vladimir Ilyich Lenin. Itu bisa saja terjadi.

Maka kepada kader KAMMI, selamat memilih dengan bebas merdeka. Jika ada yang menyerangmu karena pilihanmu itu. Selesaikan saja dengan minum kopi bersama sambil menatap masa depan. Karena kita semua adalah keluarga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar