9 November 2014

KAMMI Merdeka dan Metafor Fahri Hamzah

(Tanggapan terhadap Umar dan Zahra)

oleh: Dharma Setyawan
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural, Sekarang tinggal di Lampung

Semakin menarik ketika Ahmad Rizky Mardhatillah Umar (kemudian disebut Umar) menulis tentang Fahri Hamzah dan ditanggapi melalui sebuah tulisan oleh Tsurayya Zahra, mantan pengurus pusat KAMMI yang kini bergiat bersama Presidium Nasional KAMMI. Melalui tulisan tersebut, Zahra ingin mengingatkan pada kita bahwa sejatinya Fahri adalah bagian dari keluarga KAMMI dan tugas anggota KAMMI untuk membela dan mengingat perjuangannya.

Saya ingin memberikan semacam 'tanggapan atas tanggapan' terhadap tulisan menarik dari Saudari Zahra itu.

Dari apa yang saya baca, sebetulnya, apa yang ditulis Umar untuk melupakan Fahri Hamzah bukanlah maksud sebenarnya. Umar ingin menggambarkan Fahri adalah sebuah romantisme sejarah 98’. Tanpa bermaksud meniadakan peran Fahri Hamzah. Umar mengajak KAMMI hari ini untuk kembali berpikir kembali tentang masa depan KAMMI yang jelas tidak sama dengan masa 98. Pola gerakan sebagai palu godam partai Politik sebagaimana pernah diungkapkan Mu’tamar Ma’ruf saat sarasehan KAMMI lintas Generasi di Jakarta (lihat reportasenya disini). KAMMI belum menempatkan diri sebagai organisasi yang memunculkan ide-ide pemikiran. Jika pun ada penghargaan terhadap mereka-mereka yang menjadi peneliti—misal Umar sendiri—tidak dihargai sebagai bagian dari kerja-kerja gerakan KAMMI. 

Bukankah selama ini KAMMI menutup telinga jika ada kritik-kritik dari dalam, atau KAMMI malah merasa tersakiti saat PKS di kritik oleh berbagai kalangan? Menurut saya, hal ini menandakan KAMMI memang belum pernah menjadi diri sendiri. KAMMI tidak miliki narasi yang mapan tentang penjelasan siapa dirinya dan siapa itu orang lain.  

KAMMI MERDEKA 100%
KAMMI untuk Indonesia adalah tagline yang menarik. Tapi sangat diyangkan bahwa tagline yang sudah sukses digaungkan oleh Arief Susanto Kadept kebijakan Publik PP KAMMI tidak direspon secara intelektual. Tagline itu adalah proses panjang dimana wawasan sejarah kader-kader KAMMI missal tentang sejarah Indonesia sangat minim. Bahkan hampir tokoh-tokoh sejarah Indonesia sangat kerdil dalam kacamata “Hasan Al-Bannaisme”. Sehingga yang terjadi adalah pemikiran KAMMI sangat dipengaruhi oleh gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) itupun wacana tahun 1950 an. Kader KAMMI jika ditanya tentang pemikiran IM tahun 1950 an ke atas insyallah masih banyak yang bengong. 

Paradoks memang,  ‘ikhwancentrism’ juga tidak dirasakan sebagai sebuah quo vadis berfikir KAMMI. Bagaimana tidak, asal mengutip kata-kata Hasan al Banna, kader KAMMI merasa sudah selesai dan tidak lagi membaca hal-hal baru yang ada pada Ikhwan. Untuk itu saat terjadi perdebatan-perdebatan 23 Desember 2012 di Jogja mayoritas kader KAMMI buntu berhadapan dengan mereka yang meneliti Ikhwan lebih jauh seperti Adhe Nusansa Wibisono, Amin Sudarsono, dan Umar sendiri sekaligus pemicu tulisan ini. Bahkan mayoritas kader KAMMI mungkin lebih tidak mengerti siapa Jamaluddin al Afghani, Muhammad Abduh, M. Rasyd Ridho dalam pengaruh gerakan Ikhwan itu sendiri. Bagaimana juga pengaruhnya Pan-Islamisme di Indonesia?

KAMMI untuk Indonesia adalah wajah baru KAMMI untuk kembali melihat KAMMI dalam wadah pemikiran Indonesia, Tanpa bermaksud menegasikan pemikiran Ikhwan yang sudah lama mapan. Tagline itu adalah semangat untuk mencintai KAMMI secara Indonesia. Meminjam istilah Gusdurian KAMMI ingin “Meneguhkan Indonesia”. KAMMI punya pekerjaan rumah untuk menggali kembali tokoh negeri ini seperti Hos Tjokroaminoto, H Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, KH Hasym Ashari, M Natsir, Hamka, Soekarno, M Hatta, Sutan Sjahrir dan masih banyak lagi.

Dalam wacana yang dibangun Umar untuk melupakan Fahri, bukanlah suatu yang sederhana. Hegemoni cara berfikir “Fahri Hamzah” ditubuh KAMMI perlu untuk mendapat respon dari semua pihak. Karena nalar gerakan KAMMI saat Fahri Hamzah memimpin masih dirasakan sama dengan cara berfikir KAMMI hari ini. Artinya tidak ada yang baru dala pandangan Umar. Apalagi Fahri Hamzah juga tidak meninggalkan pemikiran terbaru kecuali struktur KAMMI yang pada awal dibentuk. 

Jika melihat kata “Intelektual Profetik” misalnya mayoritas kader KAMMI banyak yang tidak mengetahui siapa dibalik kata tersebut. Yang jelas bukan Fahri Hamzah yang selama ini menjadi selebritis di tubuh KAMMI. “Intelektual Profetik” adalah narasi Kuntowijoyo Sosial profetik yang dicetus oleh Mu’tamar Ma’ruf sebagai buah persentuhan terhadap organisasi Muhammadiyah. Mu’tamar Ma’ruf setidaknya berkontribusi dalam mengisi narasi-narasi di KAMMI yang selama ini telah lantang diucapkan saat-saat Dauroh Marhalah. Pun, peran pemikiran alumni lain yang tidak bisa dibahas di tulisan ini.

Solidaritas Keluarga
Fahri yang dimaksud Umar bukanlah sosok Fahri dalam individunya, terlalu kecil Umar ingin membahas sosok yang menjadi patron alumni KAMMI tersebut. Fahri Hamzah akan mendapatkan tempat tersendiri di KAMMI sebagaimana jasa-jasanya. Fahri Hamzah hari ini sebagai wakil ketua DPR dan Politisi PKS adalah wajah lain dalam kontribusinya dengan wadah lain yang berbeda. Dan KAMMI tetap akan berjalan sebagaimana adanya. Namun wacana Umar ingin membangun KAMMI dengan tradisi berfikir bukan bekerja perlu direspon dengan baik. 

Umar adalah segelintir orang yang mau mencurahkan waktu berfikir untuk KAMMI dan belum tentu Fahri Hamzah lakukan sebagaimana kesibukannya menjadi politisi. Bekerja di sini dilihat Umar karena KAMMI bukan tempat cari uang. Di KAMMI orang-orang penuh kreatifitas tempat orang-orang yang survive. Mungkin persis syair Slank. Sebagaimana pendapat Mu’tamar Ma’ruf,”Jika kamu bekerja untuk KAMMI, maka KAMMI akan hidup hari ini, tapi jika kamu berfikir untuk KAMMI, maka KAMMI akan hidup di masa depan”.

Lebih-lebih lagi tanggapan atas tulisan Umar yang ditulis oleh saudari Tsuraza Zahra, menjadikan dialektika tulisan jadi tidak nyambung. Zahra membangun narasi tentang KAMMI sebagai sebuah keluarga. Dengan begitu setiap kader KAMMI memiliki loyalitas terhadap solidaritas keluarga. Bahkan mencontohkan Anas Urbaningrum yang selama ini banyak di bela oleh kader-kader di HMI. 

Pertanyaannya apakah KAMMI juga harus membela Fahri Hamzah jika saat nanti tersandung korupsi? Apakah demikian dibenarkan organisasi sebesar KAMMI hanya untuk melegitimasi tindakan politik alumninya yang kemungkinan beberapa kali pemilu lagi akan menjadi politisi-politisi baru? Penulis tidak akan menganggapi tulisan Zahra dengan panjang lebar. Penulis ingin menyatakan bahwa,” Loyalitas KAMMI bukan pada alumni atau solidaritas keluarga, tapi Loyalitas KAMMI dalah pada nilai-nilai kebaikan”.Billahi fi sabililhaq fastabikul khoirot

Salam Kultural, bergerak tanpa nama dan berjuang tanpa kasta!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar