9 November 2014

Mendulang Nilai, Memutus Rantai: Menyingkap Tirai di Tubuh KAMMI

Pendapat untuk Diskusi tentang KAMMI dan Fahri Hamzah

oleh :
Faqih Addien Al Haq[1]
Muh. Ashim Adzorif[2]

Pengantar
Heboh dan hebring. Begitulah suhu dan kondisi obrolan di tempat-tempat para kader KAMMI biasa ngobrol, baik di warung kopi maupun di grup diskusi media sosial (kalau media sosial dianggap sebagai tempat) setelah beberapa hari yang lalu pada 18 Oktober 2014, bung Umar merilis opininya berjudul "Melupakan Fahri Hamzah dari Pikiran KAMMI". Bahkan sempat terlontar sebuah pertanyaan, “Bagaimana kita menceritakan kepada kader KAMMI yang baru dalam materi ke-KAMMI-an jika Fahri Hamzah harus dilupakan ?”.

Sentimen negatif yang dulu (atau mungkin sekarang masih) pernah dilontarkan tentang situs berbahasa Indonesia, Jurnal KAMMI Kultural (begitu mbak Tsurayya menyebutnya dalam artikelnya disini) merebak kembali. Ketidakdewasaan berfikir yang selama ini mengendap, kemudian berpendar ke permukaan hanya karena sekelebat gerakan seperti ikan di dasar kolam. Ternyata, hipotesa (karena belum diteliti lebih lanjut) yang disampaikan bung Umar tentang patronase gerakan (bahkan pemikiran) kader KAMMI kepada Fahri Hamzah, mendekati kebenaran. Karena ketidak fahaman atas sebuah gagasan, banyak yang menganggap bahwa inti gagasan bung Umar adalah tentang ‘Fahri Hamzah dan kawan-kawan’, padahal bukan.


Bahkan, mbak Tsurayya dalam sebuah gagasannya untuk menjawab tulisan bung Umar, sampai harus memberikan sebuah contoh pembelaan para aktivis HMI hari ini terhadap tersangka kasus korupsi, mas Anas Urbaningrum (mantan ketua PB HMI) sebagai rasa solidaritas kekeluargaan dan penghormatan (katanya) terhadap para seniornya. Seolah-olah secara tersirat, ia ingin  membela Fahri Hamzah dan senior-senior yang lain apabila suatu saat nanti mereka melakukan kebathilan.

Dalam Sirah Nabawiyah, yang ditulis oleh beliau As-syahid Saad Al Buthni diceritakan tentang sahabat nabi, Abu Ubaidah bin Jarrah yang membunuh ayahnya sendiri dalam perang Badar, ia membunuh garis keturunannya sendiri yang menjadi salah satu penyebab kehadirannya di dunia. Ia jatuh menangis dan bersedih, hingga kemudian turunlah ayat 22 dalam Mujadalah :

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya"

Maka terucaplah sebuah kalimat untuk Abu Ubaidah, " Sesungguhnya engkau tidak membunuh ayah kandungmu. Engkau membunuh nilai-nilai kesyirikan dan kebathilan dalam dirinya".

Ketika nilai-nilai menjadi landasan dalam gerak dan fikir, maka kebenaran yang akan dijunjung tinggi. Namun, jika kekeluargaan menjadi titik tolak gerakan dan sikap, boleh jadi Abu Ubaidah tidak akan membunuh ayahnya atau kader KAMMI nanti akan membela senior-seniornya yang (mungkin) melakukan kebathilan.

Mendudukkan Sebuah Gagasan
Kembali pada artikel bung Umar dan gagasan yang menjawabnya. Biasanya, penyebab terjadinya kesalahfahaman adalah tidak difahaminya ide dan gagasan di awal perbincangan. Sehingga yang timbul adalah impuls reaktif yang membingungkan.

Sebuah gagasan yang tidak difahami dengan baik atau dengan cara-cara yang rasional, akan melahirkan disintegrasi intelektualitas, yaitu orang tidak faham tentang apa yang orang lain bicarakan dalam satu pembicaraan. Tidak nyambung, istilahnya.

Kami menangkap apa yang dilemparkan oleh bung Umar dalam opininya dengan mendudukkan subjek dan objek gagasan dalam bingkainya masing-masing. Siapa yang sebenarnya dibicarakan dan melakukan apa kepada siapa ? Itu pertanyaan mendasar yang jika tidak dijawab, atau bahkan tidak ditanyakan akan membuat hambar diskusi tentang gagasan tersebut.

KAMMI dan kader-kadernya adalah subjek gagasan yang dituntut oleh bung Umar untuk melupakan Fahri Hamzah sebagai cara berfikir (ke masa lalu) yang merupakan objek gagasan. Jika konteksnya difahami secara demikian, maka siapapun yang menyetujui ide berfikir merdeka akan bersepakat.

Problem yang sama pernah terjadi kepada PB HMI pada akhir kepemimpinan Sulastomo pada tahun 1966 di saat pergolakan politik berada di suhu yang panas dan terjadi transisi kekuasaan dari Sukarno kepada Suharto. Kongres HMI ke VIII pada tahun 1966 di Surakarta menghasilkan beberapa keputusan dan rekomendasi untuk memuluskan langkah transisi kekuasaan kepada Orde Baru. Bahkan, Jenderal Suharto diundang, hadir dan memberikan sambutan di Kongres tersebut sembari mengajak seluruh elemen HMI untuk menjebol sisa-sisa Orde Lama dan membangun kembali Indonesia[3].

Buntut dari Kongres ke VIII HMI tersebut adalah diundangnya anggota HMI ke hearingcabinet dalam pembentukan pemerintahan Orde Baru. Dan beberapa kader HMI mendapat menduduki jabatan setingkat menteri. Merupakan hal yang lumrah munculnya sebuah otokritik berdasarkan sejarah yang pernah terjadi, agar kader-kader KAMMI kemudian menyadari keberadaannya sebagai bagian dari organisasi yang besar dan mampu menentukan sikapnya serta berfikir merdeka.

Namun, akan berbeda apabila tulisan bung Umar dianggap hasutan dan ajakan untuk melupakan, atau kasarnya tidak usah mengingat-ingat lagi siapapun yang ada di masa lalu KAMMI karena dianggap gagal melakukan Reformasi. Sudahlah, tidak usah melanjutkan diskusi jika demikian.

Membaca sebuah gagasan tidak cukup sekali baca (sejujurnya kami harus membaca 5 kali gagasan tersebut), apalagi hanya membaca judulnya dan kemudian secara sengaja mencacatkan terlebih dahulu  sebelum gagasan tersebut sampai secara menyeluruh. Barangkali, ini adalah buah dari problem besar dari punahnya budaya membaca di kalangan kaum pandai. Tidak terbiasa membaca bukan berarti tidak terbiasa menulis, namun ia akan berakibat pada terbiasa menulis asal.

Patronase Gerakan dan Pemikiran
 Ada beberapa hal yang kemudian ingin kami berikan sebagai pendapat kepada gagasan yang diangkat oleh bung Umar, bukan sebagai pelengkap namun hanya sebagai tambahan. Bukan sebuah persetujuan atau penolakan, namun untuk menghidupkan kembali apa yang disebut "gagasan harus dilawan dengan gagasan", bukan umpatan atau komentar singkat di media sosial.

Yang pertama, tentang menghilangkan figur ‘Fahri Hamzah dan kawan-kawan’ sebagai patronase gerakan dan pemikiran KAMMI kepada PKS. Jika demikian saja adanya, maka tidak perlu pertentangan, kecuali jika hal tersebut dimaknai sebagai pemaksaan untuk menghilangkan figur Fahri Hamzah dalam berfikir. Hal tersebut adalah pelecehan intelektual, mau dihilangkan atau tidak, bukankah kita mengusung kebebasan berfikir ?

Kemudian, dalam kalimat "jangan jadikan Fahri seperti 'Megawati' di PDI-Perjuangan : membuat KAMMI gagal move on dari pakem politik yang sudah seharusnya di- upgrade", sepertinya bung Umar terburu-buru mencari contoh yang tepat. Sehingga mencoba memilih contoh populis untuk memberikan gambaran sederhana kepada pembaca tentang KAMMI dan patronase gerakannya. 

Padahal keduanya berbeda. Jika yang dimaksud sebagai 'Fahri Hamzah dan kawan-kawan' adalah masa lalu, maka 'Megawati' bukanlah sebuah masa lalu, ia masih terjadi sampai hari ini. Sebuah perandaian yang kurang tepat untuk menggambarkan politik patronase gerakan kepada seorang tokohnya.

Kecuali, jika yang dimaksud oleh bung Umar sebagai ‘Fahri Hamzah dan kawan-kawan’ adalah PKS hari ini terhadap KAMMI.  Maka contoh yang diberikan dapat memberikan gambaran yang lumayan.

Sayangnya, di paragraf selanjutnya ada semacam kebimbangan atau keragu-raguan yang kami tangkap. Benarkah ada patronase ? Sehingga kemudian bung Umar menulis, " politik patronase yang terbangun secara tidak sadar antara KAMMI dengan partai berlambang padi hitam ini ". Penggunaan kata 'tidak sadar' atas politik patronase yang ditinggalkan di KAMMI sebenarnya tidak tepat, seandainya benar dugaan saya tentang maksud bung Umar bahwa 'Fahri Hamzah dan kawan-kawan' adalah PKS hari ini terhadap KAMMI.

Sesungguhnya telah dibangun secara sadar sebuah politik patronase oleh PKS maupun KAMMI. Baik secara gerakan maupun pemikiran. Melalui level personal maupun struktural, secara resmi atau obrolan di warung kopi. KAMMI yang sudah berusia 16 tahun ini didesain untuk harus terus ada dalam inkubator untuk sekedar mencapai sustainance level (bertahan hidup). Telah dibangun jalan satu arah yang menyediakan titik-titik putar balik kepada kebangkrutan gerakan.  

Diakui atau tidak, sulit menemukan dukungan untuk gerakan sosial dan politik untuk KAMMI kecuali dari para senior-seniornya yang berada di PKS. Di level komisariat sebagai aktualisasi mendasar harakatul amal wa harakatu tajnid, kader-kader KAMMI yang berusaha melepaskan diri dari patronase tersebut akan 'dihalangi' oleh kader-kader KAMMI yang terikat oleh patronase tersebut. Bagaimana mungkin hal seperti itu disebut sebagai 'ketidaksadaran' ? Dan ini harus dilawan ! 

Kemerdekaan yang Tidak Diserahkan
Kami menemukan sebuah kesimpulan dari tulisan bung Umar dengan kalimat  'saatnya KAMMI menemukan gaya dan nalar gerakannya sendiri'. Maka pertanyaan tentang model yang bagaimana dan arah yang kemana, menjadi sebuah persoalan aktual yang hendak disampaikan. Jangan terpaku dengan romantisme reformasi, karena zaman telah berubah. Rakyat sudah tidak butuh mahasiswa hanya untuk sekedar berteriak menolak kenaikan harga BBM atau mengadukan seorang hakim kepada pengadilan moral.

Semakin bebasnya demokrasi dan terbukanya informasi membuat negara sudah tidak populer. Negara kehilangan penggemar, ia tidak lagi bisa memaksakan kehendak karena resistensi masyarakat yang terbentuk sebagai akibat kecanduan keterbukaan. Maka dimana KAMMI harus menempatkan diri ? Narasi umum KAMMI yang dipelihara sampai hari ini adalah terus-menerus melahirkan pemimpin untuk masyarakat. Tapi, bagaimana mungkin KAMMI dapat melahirkan seorang pemimpin masyarakat heterogen dan penuh keterbukaan dari sebuah rahim yang tertutup dan kehilangan daya kemerdekaan?

Di sisi lain, bisakah KAMMI memiliki peran baru sebagai broker politik? Pabrik suara? Mesin ideologisasi? Butuh diskusi baru dan tambahan referensi untuk menuju kesana. Yang jelas-jelas menarik adalah kenyataan bahwa hari ini tidak akan hidup dan populer sebuah entitas gerakan tanpa sebuah kapital.

Seperti halnya kemerdekaan Indonesia, kemerdekaan berfikir kader KAMMI haruslah diawali oleh perjuangan. Bukan kemerdekaan yang diberikan karena sudah tidak kuatnya lagi para kolonial mengayomi sebuah bangsa. Kemerdekaan yang palsu akan menghadirkan sejarah yang ruwet dan sulit diuraikan, terlalu banyak rahasia yang harus disimpan dan diamankan. Kemerdekaan berfikir itu diperjuangkan lewat ‘melawan kaummu sendiri’ seperti yang Sukarno pernah katakan dan melawan hegemoni lokal yang mencengkeram sendi-sendi gerak yang sudah lupa rasa kebebasan
.
Allahu muwafiq ilaa aqwamitthariq.
Surabaya-Semarang,
22 Oktober 2014


[1] Ketua Umum KAMMI Airlangga Surabaya. Pegiat LSM Bangkit Berdiri Jawa Tengah

[2] Ketua Departemen Kebijakan Publik KAMMI Daerah Semarang. Pegiat LSM Bangkit Berdiri Jawa Tengah

[3] Firahman, Aldi. 2010. Kongres HMI Ke-VIII Tahun 1966 di Surakarta Pada Masa Transisi Pemerintahan di Indonesia. FSSR, UNS. Hal xvii. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar