Oleh:
Ibnu Tsani Rosyada
Pegiat
Forum Diskusi Kultural Surabaya | Aktivis PMII Universitas Airlangga
Beberapa waktu yang
lalu, ada sebuah polemik yang menghangat: munculnya stigma “berhala” terhadap
makam para wali yang tercetak di buku pegangan guru Sejarah Kebudayaan Islam (Kurikulum 2013) untuk kelas VII Madrasah
Tsanawiyah. Ironisnya, buku ituditerbitkan oleh Dirjen Pendidikan Islam
Kementerian Agama. Jelas hal tersebut kemudian menjadi isu hangat, terutama di kalangan
pengguna media sosial.
Tentunya penulisan
makam wali sebagai representasi dari bentuk “berhala”tidak bisa hanya dianggap
sebagai kesalahan ringan yang dianulir begitu saja. Selain mengandung unsur
SARA dan juga mengganggu keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia,
sebagaimana yang dilontarkan oleh PBNU dalam situs resminya NU Online, hal ini
juga bisa dilihat lebih seksama sebagai upaya untuk mendelegitimasi akan
eksistensi wali. Terutama akan keberadaan Wali Songo beserta peranannya.
Wali secara etimologi
berasal dari bahasa Arab ‘wali’ yang
berupa fail (subyek) dengan makna maf’ul (obyek) yang berarti ‘melindungi’
(QS.7:196). Adapula yang bermakna fa’il
yang setara dengan makna fail, dengan
tekanan bahwa manusia itu menjaga diri (tawalli).
Dengan demikian kata wali secara pasif adalah orang yang diinginkan Tuhan (murad), sedangkan secara aktif adalah
orang yang menginginkan Tuhan (murid).
Hal ini sebagaimana firman Allah: “Dia
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS 5:54). Dengan demikian,
Allah adalah sahabat (wali) mereka, dan mereka adalah sahabat-sahabat Allah (awliya’). Mereka adalah orang-orang yang
dilindungi Allah (QS. 2:257).
Dengan uraian beberapa
ayat di atas, terlihat sebuah indikasi bahwa Allah mempunyai hamba-hamba khusus
yang dilindungi (awliya) yang
dicirikan denan persahabatan-Nya dan dengan anugerah-Nya yang berupa karamah (Agus Sunyoto:39-41:2012).
Landasan syar’i yang menjamin eksistensi Wali
dihadapan Allah menjadi basis legetemasi tersendiri untuk menghormatinya,
misalnya dengan menziarahi makam para Wali. Adapun terkait dengan ziarah kubur,
terutama kepada makam para Wali, tidak cukup dipandang secara sempit lantas
menstigma sebagai perbuatan syirik dan bentuk penyembahan terhadap kuburan
(baca:berhala).
Di kalangan umat Islam
hal tersebut menjadi perkara khilafiyah
(perselisihan) akan status hukumnya. Kalangan yang memperbolehkan ziarah kubur
menganggap hal terebut sebagai bentuk kesunahan sebagaimana yang dicontohkan
oleh Rosulullah. Landasan argumentatifnya adalah sebuah hadist yang
diriwayatkan oleh Muslim, Rosulullah
bersabda: “(Dulu) Aku (Nabi Muhammad) telah melarangkalian emua erziarah ke
kuburan, (tetapi sekarang) berziaralah kalian semua ke kuburan. Sesungguhnya
hal ini akan mengingatkan kalian pada akhirat.”
Kesunnahan akan ziarah
kubur juga telah menjadi kesepakatan (ijma’)
para ulama sebagamana yang ditulis oleh Imam Nawawi dalam Maj’mu Syarh Muhadzab (5/310),
“Mengenai hukum ziarah, semua nash dari Imam Syafi’i dan Ashab (sahabat/pengikut)
telah sepakat dengan hukum sunnah agi orang laki-laki. Ini adalah pendapat para
ulama. Al-Abdary menyampaikan bahwa hukum sunnah ziarah tersebut adalah
konsensus ulama yang dalilnya adalah hadist shohih yang telah masyhur.”
Adapun kesan
“menyembah” terhadap makam para wali yang dilakukan oleh para peziarah
sebenarnya merupakan prasangka buruk saja. Karena pada hakikatnya ziarah kubur
memliki nilai-nilai positif yang berlandaskan tuntunan agama, seperti halnya
mengingat mati, tabaruk, mengirim doa, dan lain sebagainya.
Dengan landasan
argumentatif dan otoritatif dari sudut pandang yurespudensi Islam (fiqh), maupun teologi (tauhid) sebenarnya polemik akan status
hukum ziarah kubur harus segera diakhiri dan tak perlu lagi untuk dipermasalahkan.
Maka, ketika ada upaya-upaya untuk mempermasalahkan ziarah kubur kepada makam
para Wali perlu ditinjau dari sudut pandang lain.
Dalam benak penulis,
upaya mempersoalkan makam Wali dapat ditengarai sebagai upaya untuk mendelegitimasi
akan eksistensi dan peranan wali, dalam hal ini Wali Songo. Pandangan ini
terkesan konspiratif dan mengada-ada, namun jika dirunut lebih ke belakang,
upaya untuk menghilangkan eksistensi Wali Songo dan peranannya sebagai penyebar
Islam di Indonesia telah dilakukan secara sistematis dengan berkedok
“penelitian ilmiah”
Buku yang dikarang oleh
Sjamsudduha yang berjudul Walisanga Tidak
Pernah Ada? yang berisi asumsi-asumsi argumentatif bahwa Wali Songo itu
tidak pernah ada. Begitu pula buku-buku tulisan MC. Ricklef yang berpendapat
bahwa Wali Songo sebagai sebuah mitos. Hal senada juga termaktub dalam Ensiklopedi Islam terbitan Ikhtiar Baru
Van Hoeve yang tidak memuat sama sekali entri tentang Wali Songo. Bahkan
anggapan yang membawa Islam pertama kali ke Indonesia adalah tiga orang haji
asal Sumantera Barat yakni Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang yang
pembawa ajaran Wahabi pada tahun 1803 M. Tentunya, hal tersebut sebagai
perbuatan naïf yang ahistoris.
Dari serangkaian
peristiwa tersebut terindikasi kuat adanya gerakan untuk menghilangkan
eksistensi Wali Songo atau dengan kata lain yang lebih vulgar sebagai upaya
untuk “membasmi” paham mainstream
Islam Nusantara – paham Ahlussunnah wal
Jama’ah yang secara sosiokultural-religius dianut oleh varian sosial
santri, priyayi, dan abangan.
Dengan cara menghapus
keberadaan Wali Songo dari konteks sejarah penyebaran dakwah Islam di
Nusanatara, kelak secara akademis keberadaan Wali Songo beserta ajarannya akan
terpinggirkan dari ranah sejarah dan tinggal menjadi sekedar dongeng, mitos dan
legenda.
Upaya penghilangan dan
pemutarbalikan sejarah sebagaimana diatas mengingatkan akan sebuah strategi
perang dari Sun Tzu (Pakar perang China kuno), “Untuk menghancurkan sebuah bangsa, tak perlu kau kirim ratusan ribu prajurit, cukup kau hapus ingatan generasi
mudanya dari kebesaran nenek moyangnya….” Tentunya umat Islam Indonesia
bukanlah umat yang lupa dengan sejarahnya, dan kemudian lupa bahwa nenek
moyangnya punya akar pemikiran Islam yang luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar