Ketua KAMMI Universitas Airlangga,
Pegiat Diskusi Kultural Surabaya
Satu
Hatinya
masygul. Gundah gulana. Selama ini Tuhan memberikan kabar dan perintahNya
melalui lorong-lorong mimpinya. Secepat ia bangun, sekejap pula ia memahami dan
mengerti tentang wahyu yang baru saja turun dari syurga.
Ismail
disembelih dalam mimpi oleh dirinya sendiri. Sekejap masa, Ismail kemudian
menetapkan diri sebagai golongan para penyabar dan Ibrahim bersejajar dengan
para kekasih Tuhan setelah pengorbanan atas putranya digantikan biri-biri
raksasa.
Cerita
singkat maha legendaris ini tidak ditulis oleh Tuhan dalam bukuNya hanya
sebagai hiburan dan cerita saja untuk umat manusia. Maka, Dia bertanya, "
Apakah kamu tidak berpikir ? " (3 : 65)
Dua
Ibrahim
adalah sebuah produk pendidikan Tuhan dengan kurikulum kenabian. Seperti halnya
Yunus dalam perut ikan dan Ayyub dalam ranjang pesakitan. Kita dapat mengamati
bahwa jalan para nabi yang mereka tempuh tidak hanya sekedar untuk
menyelesaikan tugas sebagai utusan Tuhan semata. Kenabian mereka bukanlah
kenabian struktural, melaksanakan tugas dan melaporkan pertanggung jawaban.
Kenabian
adalah proses. Kenabian bukan penyelesaian tugas. Ia adalah simbol perlawanan
terhadap kebodohan serta simbol perlawanan terhadap tirani, baik yang dilakukan
oleh kelompok maupun seorang diri. Itulah 2 musuh abadi para nabi ; kebodohan
dan tirani.
Kita
semua menyebut kerabat dan leluhur Muhammad alaihi
salamullah yang tidak beriman sebagai kaum yang bodoh (jahiliyah). Karena memang perlawanan Muhammad adalah perlawanan
terhadap kebodohan, bukan terhadap entitas kaumnya. Semua utusan Tuhan ingin
agar semua orang yang diajak agar mengerti dan memahami (berilmu), bukan untuk
mengikuti. Karena mengikuti adalah bagian kecil dari efek tirani.
Sedangkan
jalan para nabi juga jalan perlawanan terhadap tirani. Yang menjadi hegemoni di
setiap masanya, mengungkung kebebasan dalam jeruji penjara. Entah penjara
kerajaan seperti yang pernah dinikmati Yusuf atau penjara sosial yang
diciptakan bangsanya Nuh. Tidak ada bedanya tirani Firaun dan tirani kaum
Soleh. Firaun menyembelih bayi-bayi sebaya Musa dan kaumnya Soleh menyembelih
seekor Unta. Dan perlawanan itulah yang menjadi aktualisasi kenabian.
Dan
yang lebih utama adalah melawan tiran di
dalam diri sendiri. Agar raja diri kita, hati yang berkuasa tidak bertangan
besi dan berkepala batu. Mau mendengar dan mau membantu, tidak hanya bertitah
dan betingkah semau diri.
"
Setiap kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan diminta
pertanggungjawaban "
Tiga
Jika
dahulu Tuhan mengutus para nabi, maka hari ini utusan itu hadir dalam bentuk
nilai yang ada di dalam sanubari. Jika dahulu utusan itu menyerupai bentuk
manusia pada umumnya, maka hari ini setiap orang bisa menjadi "nabi".
Nabi dalam arti yang sesungguhnya. Karena yang diwariskan oleh para nabi adalah
nilai, bukan gelar kenabian, itu adalah sebuah niscaya. Tapi, bukankah dahulu
para nabi tidak menjadi nabi hanya karena dipanggil sebagai nabi ?
Ada
sebuah gagasan dari diskusi saya dengan Fahri Hamzah di Cibubur pada bulan
April yang lalu: bagaimana jika kita membuat sekolah atau universitas kenabian? Bukankah kita punya rujukan sejarah untuk membentuknya? Sejarah nabi
Muhammad terlalu lengkap dan detail untuk abad 20 dan 21, ketika hari ini
diversifikasi sejarah sudah jamak ditemukan. Maka kita bisa desain apa materi
dan kurikulumnya, proses pendidikannya dan proses evaluasi serta ujiannya.
Sebenarnya
gagasan tersebut adalah kristalisasi ekstrim dari sebuah proses yang kita kenal
sekarang sebagai tarbiyah Islam. Yang
belakangan dikenal berubah menjadi sebuah gerakan yang mendunia. Awalnya berula di Mesir, dengan Ikhwanul Muslimin, dan bertransformasi di Indonesia dikenal di Indonesia sebagai gerakan Tarbiyah.
Sayangnya
gagasan yang brilian tersebut kandas karena adanya proses 'strukturasi' -penmbekuan struktur makna tertentu' yang menciptakan
level kenabian. Entah karena bertabrakan dengan kebutuhan pencapaian dan target
pengajaran atau polarisasi gerakan di berbagai tempat di dunia. Ia berubah dari
gerakan ideologisasi kembali pada Islam, menjadi gerakan komunal yang
berpotensi menjadi tiran baru dalam pewarisan nilai kenabian.
Ketika
setiap orang sebenarnya berhak menjadi pewaris kenabian, tetapi diharuskan
untuk memiliki lisensi dan izin. Seolah-olah tanpa lisensi dan izin, tugas
kenabian dianggap tidak sah dan subversif. Dan sifat tiran yang paling lalim
adalah hasad terhadap perbedaan dengan mengabaikan integritas.
Padahal
Musa tidak lebih bijak dan pandai dari Khidir, namun Khidir menghargai kritik
dan pertanyaannya. Padahal Musa tak pandai bicara, perlu Harun mendampinginya,
namun ia tetap menjadi simbol utama perlawanan terhadap tirani. Padahal Musa
yang 'bodoh' dan menampar malaikat maut tidak pernah dicabut 'lisensi &
izinnya'.
Inilah
yang terjadi hari ini. Ketika gagasan, nilai dan ilmu pengetahuan tidak lebih
berharga dari kedekatan emosional dan keramahan tata krama. Ketika integritas
diletakkan di bawah kepentingan sesaat. Dan semua itu mungkin saja terjadi di
semua tempat.
Empat
Bagaimana dengan KAMMI? Semoga, setelah proses selama ini, cerita tentang para Nabi di atas tak lekang dari pikiran kita -bahwa kritik, pengetahuan, bukanlah sesuatu yang harus diterjang dengan kuasa, apalagi dari para manusia yang dhaif ini.
Surabaya,14
Oktober 2014
Alfaqir Ilallah,
Faqih
Addien Al Haq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar