20 Desember 2014

Kenabian dan Perlawanan atas Tirani: Refleksi untuk KAMMI


oleh: Faqih Addien Al-Haq
Ketua KAMMI Universitas Airlangga, 
Pegiat Diskusi Kultural Surabaya

Satu
Hatinya masygul. Gundah gulana. Selama ini Tuhan memberikan kabar dan perintahNya melalui lorong-lorong mimpinya. Secepat ia bangun, sekejap pula ia memahami dan mengerti tentang wahyu yang baru saja turun dari syurga.

Ismail disembelih dalam mimpi oleh dirinya sendiri. Sekejap masa, Ismail kemudian menetapkan diri sebagai golongan para penyabar dan Ibrahim bersejajar dengan para kekasih Tuhan setelah pengorbanan atas putranya digantikan biri-biri raksasa.

Cerita singkat maha legendaris ini tidak ditulis oleh Tuhan dalam bukuNya hanya sebagai hiburan dan cerita saja untuk umat manusia. Maka, Dia bertanya, " Apakah kamu tidak berpikir ? " (3 : 65)


Dua
Ibrahim adalah sebuah produk pendidikan Tuhan dengan kurikulum kenabian. Seperti halnya Yunus dalam perut ikan dan Ayyub dalam ranjang pesakitan. Kita dapat mengamati bahwa jalan para nabi yang mereka tempuh tidak hanya sekedar untuk menyelesaikan tugas sebagai utusan Tuhan semata. Kenabian mereka bukanlah kenabian struktural, melaksanakan tugas dan melaporkan pertanggung jawaban.

Kenabian adalah proses. Kenabian bukan penyelesaian tugas. Ia adalah simbol perlawanan terhadap kebodohan serta simbol perlawanan terhadap tirani, baik yang dilakukan oleh kelompok maupun seorang diri. Itulah 2 musuh abadi para nabi ; kebodohan dan tirani.

Kita semua menyebut kerabat dan leluhur Muhammad alaihi salamullah yang tidak beriman sebagai kaum yang bodoh (jahiliyah). Karena memang perlawanan Muhammad adalah perlawanan terhadap kebodohan, bukan terhadap entitas kaumnya. Semua utusan Tuhan ingin agar semua orang yang diajak agar mengerti dan memahami (berilmu), bukan untuk mengikuti. Karena mengikuti adalah bagian kecil dari efek tirani.

Sedangkan jalan para nabi juga jalan perlawanan terhadap tirani. Yang menjadi hegemoni di setiap masanya, mengungkung kebebasan dalam jeruji penjara. Entah penjara kerajaan seperti yang pernah dinikmati Yusuf atau penjara sosial yang diciptakan bangsanya Nuh. Tidak ada bedanya tirani Firaun dan tirani kaum Soleh. Firaun menyembelih bayi-bayi sebaya Musa dan kaumnya Soleh menyembelih seekor Unta. Dan perlawanan itulah yang menjadi aktualisasi kenabian.

Dan yang lebih utama adalah melawan tiran  di dalam diri sendiri. Agar raja diri kita, hati yang berkuasa tidak bertangan besi dan berkepala batu. Mau mendengar dan mau membantu, tidak hanya bertitah dan betingkah semau diri.

" Setiap kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban "

Tiga
Jika dahulu Tuhan mengutus para nabi, maka hari ini utusan itu hadir dalam bentuk nilai yang ada di dalam sanubari. Jika dahulu utusan itu menyerupai bentuk manusia pada umumnya, maka hari ini setiap orang bisa menjadi "nabi". Nabi dalam arti yang sesungguhnya. Karena yang diwariskan oleh para nabi adalah nilai, bukan gelar kenabian, itu adalah sebuah niscaya. Tapi, bukankah dahulu para nabi tidak menjadi nabi hanya karena dipanggil sebagai nabi ?

Ada sebuah gagasan dari diskusi saya dengan Fahri Hamzah di Cibubur pada bulan April yang lalu: bagaimana jika kita membuat sekolah atau universitas kenabian? Bukankah kita punya rujukan sejarah untuk membentuknya? Sejarah nabi Muhammad terlalu lengkap dan detail untuk abad 20 dan 21, ketika hari ini diversifikasi sejarah sudah jamak ditemukan. Maka kita bisa desain apa materi dan kurikulumnya, proses pendidikannya dan proses evaluasi serta ujiannya.

Sebenarnya gagasan tersebut adalah kristalisasi ekstrim dari sebuah proses yang kita kenal sekarang sebagai tarbiyah Islam. Yang  belakangan dikenal berubah menjadi sebuah gerakan yang mendunia. Awalnya berula di Mesir, dengan Ikhwanul Muslimin, dan bertransformasi di Indonesia dikenal di Indonesia sebagai gerakan Tarbiyah.

Sayangnya gagasan yang brilian tersebut kandas karena adanya proses 'strukturasi' -penmbekuan struktur makna tertentu' yang menciptakan level kenabian. Entah karena bertabrakan dengan kebutuhan pencapaian dan target pengajaran atau polarisasi gerakan di berbagai tempat di dunia. Ia berubah dari gerakan ideologisasi kembali pada Islam, menjadi gerakan komunal yang berpotensi menjadi tiran baru dalam pewarisan nilai kenabian.

Ketika setiap orang sebenarnya berhak menjadi pewaris kenabian, tetapi diharuskan untuk memiliki lisensi dan izin. Seolah-olah tanpa lisensi dan izin, tugas kenabian dianggap tidak sah dan subversif. Dan sifat tiran yang paling lalim adalah hasad terhadap perbedaan dengan mengabaikan integritas.

Padahal Musa tidak lebih bijak dan pandai dari Khidir, namun Khidir menghargai kritik dan pertanyaannya. Padahal Musa tak pandai bicara, perlu Harun mendampinginya, namun ia tetap menjadi simbol utama perlawanan terhadap tirani. Padahal Musa yang 'bodoh' dan menampar malaikat maut tidak pernah dicabut 'lisensi & izinnya'.

Inilah yang terjadi hari ini. Ketika gagasan, nilai dan ilmu pengetahuan tidak lebih berharga dari kedekatan emosional dan keramahan tata krama. Ketika integritas diletakkan di bawah kepentingan sesaat. Dan semua itu mungkin saja terjadi di semua tempat.

Empat
Bagaimana dengan KAMMI? Semoga, setelah proses selama ini, cerita tentang para Nabi di atas tak lekang dari pikiran kita -bahwa kritik, pengetahuan, bukanlah sesuatu yang harus diterjang dengan kuasa, apalagi dari para manusia yang dhaif ini. 

Surabaya,14 Oktober 2014

Alfaqir Ilallah,
Faqih Addien Al Haq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar