17 Desember 2014

KAMMI, “Fatwa”, dan Makna Perjuangan Kita


Oleh   : Faizal Adisurya
Anggota Biasa KAMMI di Surakarta

Dengan menyelami kematian | Manusia bisa hidup dan mati dengan indah
Komarudin Hidayat dalam Psikologi Kematian (2011)

Agak ragu sebenarnya bagi Saya menuliskan kisah jenaka ini. Keengganan ini berkaitan dengan relasi KAMMI dan Jama’ah Tarbiyah PKS— yang, menurut saya pribadi, tidak akan pernah habis dibahas ila yaumil qiyamah. Selain karena karena tidak pernah selesai, juga karena kita seperti sudah bosan sekali untuk kembali lagi memperbincangkan. Jurnal KAMMI Kultural sempat secara panjang melemparkan wacana ini ke publik dalam beberapa tulisannya agar publik menilai KAMMI dengan bingkai yang objektif, dan tentunya memberi kritikan yang membangun bagi relasi kuat ini. Namun, tidak banyak konklusi yang bisa diambil sebagai hikmah dalam tanggapan-tanggapan yang diberikan oleh anggota KAMMI.

Tempo hari, saya membaca The Death of Sukardal (1986), essay pendek bertenaga milik Goenawan Muhamad. Membaca esai ini membuat Saya ingin untuk segera mencatat dan menuliskan cerita yang tidak lebih campuran fakta dan fantasi ini. Mirip dengan apa yang terjadi di KAMMI hari ini. Kondisi KAMMI dalam cerita ini, kecil dan kalah. Seperti yang diungkapkan Goenawan dalam essaynya itu: Orang kecil adalah orang yang, pada akhirnya, terlalu sering kalah. 

Saya teringat Kredo Gerakan KAMMI yang dibacakan dalam pelantikan Anggota Biasa 1 dalam Daurah Marhalah 1 terakhir: Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak, dan seterusnya. Kredo dibacakan dengan suara cadas dan tegas. Panitia dan peserta tampak fokus mengikuti. Daurah terakhir ini lebih istimewa dari sebelumnya, karena pengelola mencoba menerapkan Manhaj Kaderisasi KAMMI secara konsekuen, terlebih dengan penerapan sistem keinstrukturan yang terkoordinasi di tingkat daerah dengan berbagai kode etiknya (misal: semua pemateri adalah instruktur yang telah mengikuti TPN/TPD sebelumnya, minimal AB2 KAMMI aktif, dan tentu saja tidak melibatkan “ustadz jama’ah”seperti biasanya).

Namun, makna kredo itu akhirnya menguap dan tidak berlaku, ketika tempo hari serombongan ustadz atau katakanlah demikian— membacakan surat keputusan bahwa untuk sementara KAMMI harus “istirahat”, demi kebaikan dakwah, karena KAMMI tidak produktif, dan alasan ajaib lainya.

Sebelumnya, memang isu KAMMI “dibekukan” oleh Jama’ah santer terdengar di telinga beberapa kader. “Mungkin rekrutan kami sedikit,” ujar seorang kader. Mungkin karena mereka tidak dilibatkan DM,” ujar yang lainya. “Setiap habis pemilu pasti kayak gini,“ ujar seorang pengurus. “Iya, tahun 2009 pun kondisinya sama,”  ia menambahkan.

Pembacaan fatwa ini berlangsung singkat, tanpa ada interupsi. Fatwa berujar KAMMI tidak lagi produktif dan harus dibekukan untuk waktu yang ditentukan. Setelah menerima SK tersebut, saya jadi tersenyum simpul. Ada beberapa hal yang bisa dicermati.

Pertama, Strukturnya terkesan “acak adul”. Diksinya puitis dan progresif, tidak seperti galibnya SK. Ada beberapa pilihan kata yang bisa cermati. Misal, pilihan kata “dibekukan”, berasal dari kata dasar beku yang ditambahi imbuhan “di-kan”, lebih merupakan proses perubahan benda cair kedalam padat. Produk Hukum Keputusan (Beschikking) menurut Jimly Ashidiqie (2011) haruslah bersifat individual dan konkrit (individual and concrete), syarat konkrit ini kiranya cukup tepat untuk menghindarkan situasi yang multitafsir.

Kedua, Konsiderans hanya berisi rapat dewan dakwah yang tidak menyebutkan rapat dengan KAMMDA, KAMWIL, maupun PP KAMMI yang menjadi garis instruksi resmi KAMMI UMS. Untuk sementara, tenaga kader difungsikan untuk wajihah dakwah yang lain. Meski demikian. Tetap saja, aktivime KAMMI harus libur sampai waktu yang tidak ditentukan. Keputusan ini seolah mengingkari program kerja yang pertama kali diteken antara kader KAMMI, yang tentunya tidak melibatkan kader yang lain. Aktivisme KAMMI disarankan untuk “numpang” di tetangga, semacam IAIN atau kampus negeri yang lain. Atau memilih beraktifitas mandiri tanpa fasilitas dan restu dari jamaah.

Selepas pembacaan fatwa, digelar tanya jawab dan debat antara pemegang otoritas dan kader-kader KAMMI. Semua menampik, berkelit, maupun membenarkan argumen masing masing. Kader lupa, mereka sebenarnya dididik untuk taat dan anti pembangkangan. Namun, kasus ini keluar dari prediksi awal. Ada dua pilihan, mengingkari SK atau mentaati.

“Kalau sesuatu tidak produktif, lebih baik dibubarkan saja, termasuk KAMMI!!!” ungkap seorang ustadz dengan tegas. Semua terdiam, melamun, marah, tenang, menangis, bingung, kecewa, sedikit yang tersenyum, itupun senyum simpul seolah menyembunyikan misi yang terlaksana.

Istilah “tidak produktif” pada dasarnya multitafsir apabila dilihat dari konteks lapangannya. Kita isa bertanya, apa parameter dari produktivitas ini. Istilah “tidak produktif” dalam standar angka, tidak pernah dilihat dari sulitnya merekrut kader di lingkup kampus Muhammadiyah. Jangan lupa, ada persoalan ‘konflik nasional’ antara Tarbiyah dan Muhammadiyah (yang sebetulnya dimulai dari politisasi elit-elit partai) yang membuat KAMMI cenderung rawan bergesekan dengan gerakan lain yang cukup sentimen dengan tarbiyah. Sebut saja, misalnya, IMM. Di kampus, Istilah rebutan kader, sudah  lazim terdengar dalam setiap pekan perekrutan.

Memang bisa dibilang jumlah kader terekrut tahun ini tidak mencapai angka 50. Akan tetapi, hal itu tentu bisa dimaklumin  melihat medan yang sulit dan resistensi yang kuat. Kaderisasi dengan orientasi massa yang subur, tanpa didukung SDM yang memadai, hanya mengarahkan kepada agenda demokrasi yang berbau politis. Terlebih ketika tidak produktif diartikan macet dalam memberi “setoran kader”.

Kisah KAMMI ini ada di lingkup kampus pergerakan.  Kampus yang mengklaim pusat pergerakan, yang terkenal dengan pertigaan jalan sebagai saksi orasi, umpatan, ban bakar, bahkan darah dari masa lalu. Kini mereka harus berduka, karena KAMMI sebagai gerakan fenomenal di kampus dan kawan perjuangan, sementara menyepi. KAMMI seakan mendapat “wahyu” untuk refleksi dan menyadari dosa kepada tuan-nya.

Komisariat yang dibekukan itu bernama Al Fath. Kata itu tertuang dalam bahasa Alqur’an, yang berarti kemenangan. What’s in a name? ujar Shakespare, nama itu kini tidak lagi penting. Kemenangan (Al Fath) adalah simbol dangkal ketika dipadukan dengan cerita ketundukan, ketaatan, tangis, dan pengkhianatan. Sangat jauh dengan makna kemenangan yang penuh perjuangan, berani berduel, ngeyel, dan tidak pernah menyerah.

Akhir cerita, para ustadz berjanji, berapologi mematikan kekhawatiran, bahwa KAMMI terancam kosong akan kegiatan. Kader KAMMI dijanjikan diberdayakan, termasuk kader kritis dan cerewet yang doyan siyasi,  “nanti akan kita rencanakan” ujar salah satu ustadz. Rupanya para ustadz itu cukup humanis. Mereka bisa tampil pemurah, marah, bercanda, tersenyum, dan (pada titik tertentu)... berkuasa.

Setelah pembacaan SK, perbincangan masih berlangsung antar kader KAMMI. “Kita ikuti saja mereka dulu”, ujar seorang pengurus. “Tidak, itu terlalu kompromis,” ujar yang lain. “Nanti bisa protes lagi,” yang lain memberikan tanggapan. Semua memberikan respons. Ada yang ingin kompromi, ada yang resah.

Namun, 'ala kulli hal, saya hanya ingin menggubah apa yang dikatakan Nyai Ontosoroh pada Minke di ujung paragraf Bumi Manusia: “Kita harus melawan, Nak. Sebaik baiknya, sehormat-hormatnya.”

Nashrun Minallah wa Fathun Qariib. 

1 komentar:

  1. Bagaimana rasanya memasuki suatu golongan untuk ditundukkan? Tentunya adik adik ini lebih paham..

    Namun saya yang pernah di KAMMI dan melahirkannya di Kampus, mendirikannya justru untuk bebas bagai merpati..

    Saya mendirikan KAMMI, dan mendirikan PII, bahkan mendirikan banyak organisasi lain di Kampus karena semuanya layak berdiri layak lahir layak dibangun demi senam otak..

    Kampus adalah pembelajaran dan jangan sampai kita berhenti belajar, jangan sampai kita menyerah untuk mengenali hal hal baru.

    Ketika di suatu organisasi dikampus, sekelasnya universitas dirimu dibuat bingung maka berhentilah untuk diam, karena diam adalah kebingungan..

    Berhenti bingung, lakukan apa hal yang kamu inginkan, lakukan hal yang kamu ingin menjadi.. semuanya penting dan layak dicatat dalam masa muda mu di Kampus.

    Itu pelajaran indah, itu pelajaran terbaik, apalagi bila pelajaran itu ternyata mendudukkan kamu melawan dunia.. you against all odds..

    anak muda saat dirimu berada dalam posisimu sebagai anak muda, maka tak ada jeruji yang berhak memenjarakanmu..

    karena suatu saat kau akan melahirkan generasi generasi penerus, yang teramat menyedihkan bila terlahir dari orang tua yang seterusnya dibelenggu

    nb

    profetik maknanya menjadikan segala hal tidak sulit, tidak membuat bingung..

    by senior

    BalasHapus