15 Desember 2014

Majelis Kamisan Cangkir: "Membangun Tradisi Intelektual Kolektif itu Penting"


Beberapa waktu lalu, di Kota Metro, Lampung, berdiri sebuah Forum Diskusi bernama "Cangkir" (Berbincang dan Berpikir) yang diselenggarakan setiap malam Jumat. Forum Diskusi tersebut awalnya hanya beranggotakan beberapa orang, namun dalam waktu yang cukup singkat berhasil menarik perhatian media dan kalangan aktivis pergerakan di Kota Metro yang lebih luas. Bahkan, Komunitas ini sudah memiliki sekretariat yang dibangun sendiri secara gotong-royong untuk wadah berdiskusi, menulis, bahkan riset. Komunitas ini bukan hanya mengumpulkan aktivis mahasiswa lintas-pergerakan, tetapi juga menjadi wadah berdiskusi para pemuka agama dan aktivis pergerakan sosial. Tema-tema yang dibahas juga tidak melulu seputar keislaman, tetapi juga soal kebangsaan dan masalah-mmasalah sosial Lampung. Komunitas ini dibidani oleh beberapa orang, salah satunya Dharma Setyawan, mantan Ketua KAMMI STAIN Metro yang sekarang mengajar Ekonomi Islam di almamaternya. Dharma yang juga alumnus Sekolah Pascasarjana UGM ini pernah mendirikan dan aktif menggiatkan Forum Diskusi KAMMI Kultural di Yogyakarta. Pada kesempatan ini, Ahmad Rizky M Umar berkesempatan mewawancarai Dharma mengenai keterlibatannya dalam Forum Diskusi Cangkir ini. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana sejarah berdirinya dan siapa pendiri Forum Kamisan/Diskusi Cangkir di Metro ini?
Forum Majelis Kamisan Cangkir dimulai dari pertemuan saya pribadi dengan Oki Hajiansyah Wahab, seorang aktivis Lampung. Beliau adalah Kandidat Doktor Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro Semarang dan pernah terlibat sebagai pendiri Front Mahasiswa Nasional (FMN), seorang aktivis AGRA, dan anggota tim Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Mesuji. Sejauh yang saya kenal, beliau sering menulis di Lampung Post soal hukum, sengketa tanah dan advokasi warga moro-moro di Mesuji. Waktu itu saya baru kembali ke Metro setelah 2 tahun di Yogya. Saya baru tahu darii tulisan opini beliau di Lampung Post, bahwa ternyata beliau juga tinggal di Metro. Dengan jaringan di Bandar Lampung saya tanya ke kawan di WALHI Lampung dan menghubungi Bang Oki ini. Akhirnya kami bertemu, berdiskusi dan langsung nyambung. Beliau sangat terbuka dan mendukung gagasan tentang forum diskusi ini.

Selanjutnya saya menghubungi senior saya di KAMMI Metro, Rahmatul Ummah. Beliau adalah mantan Ketua KPUD Metro dan tercatat sebagai Deklarator sekaligus Ketua Umum KAMMI Metro yang pertama.  Seperti halnya dengan Bang Oki, beliau juga mendukung gagasan forum ini. Jadilah Cangkir (berpincang berpikir) sebagai nama forum kita. Plang dan logonya sudah saya buat lama sebelum ini. Setelah berdiskusi dengan 2 aktivis ini, akhirnya nama Cangkir disatukan dengan nama ‘Kamisan” karena diskusi pertama kali kami buat Kamis malam—malam jumat. Akhirnya, nama itu sampai sekarang melekat pada forum kita, Masyarakat mengenal kita dengan  nama“Majelis Kamisan Cangkir” atau “Diskusi Kamisan Cangkir”


Apa tujuan berdirinya Diskusi Cangkir ini?
Tujuan Diskusi Kamisan Cangkir adalah menghidupkan kota Metro dari kematian intelektualitas. Metro adalah kota kedua setelah bandar Lampung di Propinsi ini. Dan Metro adalah replikasi Jogja karena 80% masyarakatnya adalah berasal dari suku Jawa. Kawan-kawan di Bandar Lampung juga banyak yang mengatakan Metro hari ini lebih hidup diskusinya, walaupun pusat aktivitas intelektual masih berada di Kota Bandar Lampung sebagai ibukota provinsi. Tujuan kita ringan saja, sebetulnya, yakni membuat wadah untuk menampung para intelektual di kota Metro ini, sehingga kota ini terus tumbuh dan terus mengembangkan kreativitasnya.

Hal apa yang menjadi inspirasi Forum Diskusi Cangkir ini?
Kami terinspirasi dari gagasan Pierre Bordieou tentang ‘intelektual kolektif’. Kami berdikusi mengalir membicarakan banyak hal. Akan tetapi, kami juga harus memperbaharui gagasan dan mendaratkan gagasan kita pada realitas. Tantangan komunitas ini adalah selalu membuat hal-hal yang baru yang membuat kita selalu mencintai komunitas ini. Alhamdulillah, dengan hadirnya orang-orang baru makin membangun kekuatan bersama. Ada Rio Dermawan (BMT Adzkiya), M. Khoirul Amrie, Syamsul Bahri dan Komunitas sapeken (STIT Agus Salim), Husein Amrullah, Imam Mustofa (STAIN Metro), Meilinda, Uncu Tendi (PMII), Abdul Rohman Wahid, M Ridho, Lukman Hakim, Elly Agustina (KAMMI), Diyan, Renaldi, Arif, Agus Jayadi, Alan (HMI), Erik Pujianto, Elman, Elvan (Fossei), Saiful (Kronika) dan banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Semuanya lintas gerakan dan bergabung bersama Cangkir.

Bagaimana respons masyarakat Metro terhadap Forum Diskusi Cangkir ini?
Masyarakat sangat positif melihat forum ini. Bahkan sudah ada dua orang warga yang menawarkan tanah untuk diwakafkan menjadi rumah bersama. Mungkin, mereka melihat ide majelis kamisan cangkir sangat progresif. Pertama, mulai dari membangun halaman jurnalisme warga pojoksamber.com yang dibangun oleh 25 orang dengan cara koperasi. Kedua, kami membuat Sai wawai Publishing (penerbitan buku) yang sampai hari ini sudah 4 buku diterbitkan. Ketiga, kami membuat Sai Wawai Institute (lembaga riset di Lampung). Keempat, kami membuat bank sampah yang dikelola oleh warga kamisan. Dari sisi intelektual, kita juga terbuka dengan semua kalangan. Sampai hari ini ada 2 doktor yang aktif mendampingi komunitas ini Dr. Tisnanta (FH Unila) dan Dr. Bambang Suhada (FE UM Metro).

Bagaimana respons aktivis gerakan mahasiswa, terutama KAMMI, terhadap Forum Cangkir ini?
KAMMI secara struktural belum memberikan sinyal positif. Bahkan aya sebagai alumni KAMMI di kota ini merasa seperti "orang baru" semenjak pulang S2 dari Jogja. Untung ada Forum Diskusi KAMMI Kultural dan Jurnal KAMMI Kultural (dimana saya dulu aktif di dalamnya) yang  tetap memproduksi pengetahuan. Hal ini menjadi energi pribadi bagi saya untuk tetap mencintai KAMMI secara sederhana. Dan saya tetapkan semangat dengan tetap terhubung dengan jaringan Kultural di Jakarta, Jogja, Solo, Malang, Surabaya, Lampung dan bahkan Ternate yang sekarang mulai muncul. Bagi saya pribadi, saat ini saya tidak lagi bicara tentang KAMMI sebagai sesuatu yang parokial, hanya dari segi ke-jamaah-an yang eksklusif. Saya ingin berdiskusi dengan siapapun, dan berkarya dengan siapapun. Sederhana saja, bagi saya ”semua orang adalah guru, dan semua tempat adalah sekolah”. Mungkin melanjutkan tagline KAMMI KULTURAL “bergerak tanpa kasta, berjuang tanpa nama” he... he...

Apa sebetulnya pesan yang ingin dibawa/disuarakan oleh Forum Diskusi Cangkir ini? 
Pesan kami sederhana,’semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah”. Itu saja cukup kok. Kita harus menyatukan semua kebaikan yang ada. Sudah tidak zamannya lagi memainkan ego sektoral, ego golongan, dan nihil mendaratkan pemikiran. Saatnya membangun tradisi intelektual kolektif

Diskusi Cangkir sudah memiliki rumah/tempat diskusi sendiri, dibuat dengan gotong-royong, bagaimana ceritanya?
Ini semua berawal dari tanah nganggur yang dimiliki Bang Rahmatul Ummah. Kebetulan beliau manawarkan untuk dikelola. Akhirnya kami bersepakat membangun gerakan “rumah bersama”. Rumah tahap pertama  tempat diskusi sudah sukses dibangun dari honor tulisan para pegiat kamisan, para dosen, dan jaringan aktivis dan donatur di Lampung. Tahap kedua sedang berlangsung membuat 3 ruang kerja pojoksamber.com (Media Online Kooperasi yang kami buat bersama), Sai Wawai Publishing (Penerbitan alternatif Metro), dan Sai Wawai Institute (Lembaga Kajian & Riset). Kami juga turun bersama membangunnya menjadi pekerja yang dipimpin seorang ahli tukang bangunan. Rumah bersama ini tempat berdiskusi, ruang kerja, nonton film, bermain musik, melukis, membaca puisi dan sebagainya.

Apa pesan Diskusi Cangkir terhadap elemen umat Islam dan rakyat Indonesia secara lebih umum?
Saya ingin menyampaikan sesuatu tentang "pluralisme". Kami di Cangkir ingin menyatakan bahwa saat ini pluralisme tidak untuk diperdebatkan, pluralisme itu tidak penting dikampenyekan. Kami sudah mempraktikan secara nyata. Majelis Kamisan ketika baru dibangun sudah digiatkan oleh 3 orang warga Hindu. Ada pendeta Cristiyo GKKBS, ada aktivis Muhammadiyah dan NU. Mereka berdiskusi  secara terbuka, walau tetangga sebelah di Lampung Tengah, Balinuraga, Mesuji pernah terjadi bentrok dan konflik horisontal. Kami optimis memberi contoh tanpa menggurui, bahwa kita bisa saja melakukan banyak hal jika sering membangun komunikasi dengan semua kalangan umat beragama. Bahkan, saya saat ini sudah membuat 2 lagu berjudul “Cangkir” dan “Rumah bersama" sebagai ekspresi kesenian dari keberagaman itu. Rencana kami, lagu ini akan dinyanyikan oleh paduan suara gereja di GKKBS Kota Metro. 

Pesan majelis Kamisan Cangkir untuk Umat Islam sebagai umat mayoritas di negeri ini sederhana: bahwa Islam sangat berpotensi membangun kebaikan, Muhammadiyah dan NU adalah kekuatan besar yang gerakannya menjadi contoh gerakan Islam dunia. Kita harus pertahankan itu dan terus menerima pembaharuan-pembaharuan positif dengan pikiran terbuka dan hati yang lapang. Karen Amstrong saja optimis bahwa Islam bisa menjadi agama paling damai di masa depan. Kalau Karen Armstrong bisa optimis, kenapa kita tidak yakin dengan hal itu?

Apa pesan Diskusi Cangkir terhadap gerakan mahasiswa, terutama KAMMI?
Forum Diskusi Cangkir berpesan untuk semua OKP, bukan hanya KAMMI, tetapi juga HMI, PMII, IMM, FMN, LMND bahwa membangun ‘intelektual kolektif’ penting. Bukan saatnya lagi kita mempertahankan cangkang ego, berjibaku hanya dikampus soal BEM, sementara tradisi intelektual makin minim, aktivis tidak mendaratkan pemikirannya untuk lingkungan bahkan ironisnya menjadi underbow gerakan/partai politik tertentu tanpa independensi dan kritisisme terhadap senior. Saya pribadi mengajak semua OKP untuk berpincang berpikir dan tentu melahirkan karya secara terus menerus. Mari bergabung bersama Cangkir. Dan bagi yang berada di luar Lampung, mari menyebarkan semangat Cangkir dan Kultural!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar