Oleh:
Zulfikhar1
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural, Tinggal di Maluku Utara
Pengantar
Dalam sistem perkaderan KAMMI, kita mengenal jenjang perkaderan dari Anggota Biasa I (AB-I) hingga Anggota Biasa-III (AB-III) yang merupakan jenjang perkaderan yang harus dilalui oleh kader KAMMI. Seorang kader, idealnya menempuh jenjang perkaderan hingga Daurah Marhalah III hingga menjadi Anggota Biasa III. Dengan menjadi AB-III, ia berkesempatan untuk menjadi Ketua KAMMI Daerah, Pengurus KAMMI Wilayah, atau menjadi fungsionaris di PP KAMMI.
Acap
kali kita sebagai kader KAMMI di cekoki oleh sebuah pandangan, bahwa
AB-III adalah kader yang menguasai segala sesuatu tentang KAMMI.
Suatu prototipe “Manusia KAMMI” yang memiliki keluasan ilmu
pengetahuan, baik teoritis dan praktis sekaligus. Dari fragmen-fragmen
tentang Islam, ideologi, sampai persoalan politik, terutama politik
praktis. Semua dipandang ada pada AB-III.
AB III dianggap
sebegitu mulianya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, mereka telah lama berkecimpung
dalam organisasi. Kedua, semua training yang diselenggarakan
organisasi telah mereka ikuti. Ketiga, oleh karena kedua hal
tersebut, secara otomatis mereka memiliki kadar pengetahuan yang
lebih tinggi dibanding, khususnya tentang KAMMI dari A sampai Z,
ketimbang kedua level kader di bawahnya.
Karena sederet
kelebihan-kelebihan itu, maka AB III dalam tradisi organisasi
dianggap elite. Elite dalam hal kepemilikan mereka terhadap kekuasaan
dan wewenang di organisasi. Kekuasaan mempengaruhi kader-kader di
bawahnya dan kewenangan sebagai fungsionaris organisasi untuk
menentukan laju gerak gerakan.
Proses elitisasi
kepada AB III sebenarnya sejak awal tidak benar-benar terjadi.
Setidaknya, konstitusi organisasi tidak pernah mengatakan begitu.
Sebab, meminjam pendapat Dharma Setyawan, di KAMMI tidak ada
senioritas. Tradisi ini muncul begitu saja setelah ketiga variabel di
atas berlaku. Tentu saja akibat persepsi yang keliru. Apalagi, jika
AB III bersangkutan menempati jabatan-jabatan strategis. Seperti
ketua umum, sekjen atau kaderisasi. Maka, kader-kader di bawahnya
biasanya dengan sendirinya memosisikan mereka sebagai panutan.
Begitu
khususnya status AB III, sehingga di dalam Manhaj Kaderisasi, mereka
didefinisikan sebagai ideolog-aktivis
yang memiliki syakhsiyah
qiyadiyah siyasiyah (kepribadian
pemimpin yang mampu mengambil kebijakan), memiliki
kualifikasi keilmuan yang sesuai bidangnya, pemimpin
gerakan yang menentukan arah gerak dakwah KAMMI, berdasarkan situasi
dan kondisi yang berkembang.2
Singkatnya, mereka
adalah filsuf bagi gerakan. Bertugas memikirkan dan mengembangkan
KAMMI sebagai ilmu. Sebagai ilmu murni dan terapan sekaligus.
Merevisi arah dan gerak gerakan, serta menjaganya dari
deviasi-deviasi yang datang silih berganti. Dan membantu gerakan
menjawab perubahan dan tantangan zaman.
Itulah sebabnya,
ketika DM III berlangsung, aktivitas daurah sepenuhnya
berlangsung di dalam ruangan. Tidak ada lagi kegiatan outdoor
layaknya DM I dan DM II. Materi dan diskusi berlangsung padat
hingga daurah berakhir.
Dengan padatnya DM
III, diharapkan kader-kader yang dihasilkan terjamin kualitasnya.
Mereka bukan lagi tipe kader yang identik dengan tsiqoh dan
ta’at 100% ketika diminta merespon dan melakukan sesuatu
bagi gerakan. Termasuk menyikapi sebuah taklimat. Kepahaman
menjadi standar bagi mereka menyikapi segala persoalan.
Hal ini memang bukan
sesuatu yang baru. Semua kader saya kira sudah sangat tahu tentang
prinsip pertama dari Arkanul Baiah ini. Sebagaimana tidak
habis-habisnya di-taujih-kan dalam aktivitas pekanan. Saya
tahu, setiap kader barangkali sudah melampaui prinsip ini dengan
mengamalkannya. Masalahnya, apakah kepahaman terhadap prinsip ini
adalah ketaatan tanpa reserve? Termasuk menerima pilkada tidak
langsung demi mencegah deviasi-deviasi yang bersifat sekunder?
Berpikir
Rasional
Saya sepakat dengan
Soe Hok Gie, bahwa tugas seorang pemuda adalah mencipta yang baru.
Yang lama dan usang sudah seharusnya pergi, jika tidak mampu memberi
solusi. Yang baru, yang lebih baik, sudah seharusnya dicari. Bagi
saya, yang baru itulah berpikir secara rasional.
Berpikir rasional
bukan berarti meniadakan transendensi yang menjadi falsafah gerakan.
Bukan mengajak kader berpikir liberal seliberalnya. Berpikir rasional
sebenarnya adalah transformasi dari pada makna keberislaman kader
selama ini. Perkembangan mutakhir dari paradigma Islam yang selama
ini kader anut. Yakni menempatkan sesuatu yang sakral (syar’i) dan
profan pada tempatnya masing-masing. Dimana keduanya saling
berinteraksi dan menyempurnakan. Layaknya ushul fiqh dan fiqh
membimbing syariat memecah hadirnya kebuntuan yang datang silih
berganti seiring perkembangan zaman.
Seorang AB III
mustahil dapat membawa gerakan menembus tantangan hari ini jika masih
membagi masyarakat hanya pada bandul Islam dan sekuler. Memilah
politik ke dalam dua kutub ini hanya akan menunda gerakan selangkah
untuk maju. Mengapa saya katakan begitu? Sebab, tantangan gerakan
Islam masa kini adalah sejauh mana mampu menerjemahkan kesakralan
Islam ke dalam ruang publik. Dari subyektifikasi kepada obyektifikasi
Islam.3
Memenangkan
demokrasi tidak akan mampu hanya dengan merekrut manusianya menjadi
kader KAMMI. Atau menyadarkan mereka akan mainstream hidup
yang mulai konyol ini. Apalagi bermodalkan hasrat untuk memenangkan
perebutan kursi kepemimpinan nasional. Disini, fenomena politik di
Mesir kemarin menjadi hikmah yang sangat penting.
Sudah menjadi
kebutuhan seorang AB III untuk menyerap segala sumber informasi yang
tersedia –dari mana dan siapa pun sumbernya. Baik itu dari kader
sendiri, kelompok Islam lain atau pun dari kubu sekuler dan agama
selain Islam. Hal ini penting menjadi perhatian agar wacana
pergerakan KAMMI semakin kaya. Di dunia ini tidak semua persoalan
hanya bisa diakhiri dengan solusi Islam an sich. Solusi Islam
yang tidak diperkaya unsur-unsur lain akan sangat sulit menjawab
tantangan gerakan ke depan.
Diversifikasi
Pengetahuan
Demi memenuhi
kebutuhan ini, seorang AB III seyogianya tidak hanya puas berhenti
dengan memahami seluruh buku yang patut dibaca pada silabus MK III.
Referensi bacaan AB III karenanya patut diperluas. Ini demi memenuhi
pemahaman terhadap situasi kehidupan yang terus berubah. Buku-buku
sejarah ekonomi-politik nasional, pemikiran para tokoh bangsa
kerenanya tidak boleh dilewatkan. Termasuk referensi buku-buku
liberal, Syiah, Ahmadiyah dan Kiri yang selama ini menjadi momok bagi
gerakan Islam.
Buku-buku liberal
membantu AB III menempatkan demokrasi pada kondisi asalnya. Dimana
kebebasan, keadilan, musyawarah dan persamaan berseliweran
sebebas-bebasnya. Mengajarkan kita makna mengapa dan untuk siapa
demokrasi yang kita sepakati sebagai sistem politik dilahirkan.
Sedangkan, buku-buku
Syiah dan Ahmadiyah membantu memahami sejarah Islam yang sangat
dinamis. Menyebabkan kelahiran berbagai aliran teologi di dalamnya.
Belajar membedakan Syiah dan Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan dan
teologi di sisi lain. Betapa Kebenaran Islam yang selama ini
ditafsirkan tunggal, tidak ada salahnya untuk diregangkan tanpa
mencabut esensinya dari akar. Mengaungkan pesan-pesan syariat dengan
nuansa kebersamaan dan perdamaian bukankah jauh lebih penting
ketimbang memelihara kebencian satu sama lain? Sembari merayakan
perbedaan yang sejak semula merupakan skenario yang maha kuasa.
Buku-buku kiri
menjadi santapan penutup yang memuaskan setelah lelah menyusuri
perjalanan intelektual. Mengkajinya bukan berarti berujung pada
pembenaran pelaku sejarah kiri yang banyak menyalahartikan ajaran
Marx dengan menumpahkan darah. Mengkaji kiri semata-mata untuk
mengambil yang baik dan menyisihkan yang buruk. Lagi pula bukankah
ajaran Marx sebenarnya baik? Semangat pembebasan dan metodologi
ilmiah di dalamnya bukankah harus dipelajari jika berguna bagi
gerakan?
Eksesnya, aspek
ekonomi politik turut serta menjadi kajian yang tidak boleh
dilewatkan. Bahkan, paling utama. Kostelasi politik global yang
semakin liberal mensyaratkan ekspektasi pada sikap politik nasional
yang pro rakyat rupanya tidak terjadi. Karenanya, logika politik
nasional penting untuk diperhatikan. Ketiadaaan kepahaman para
politisi terhadap orientasi politik yang lima dekade telah salah
arah, harus kritisi dan diubah.
Penting untuk
mendukung upaya itu bagi seorang AB III dilengkapi pengetahuan
filsafat yang mumpuni. Setidaknya filsafat politik dan demokrasi.
Berkenaan dengan apakah esensi kehadiran negara sesungguhnya.
Bagaimana cara negara mengatur hak dan kewajiban rakyatnya. Sudah
benarkah representasi wakil rakyat yang tersandera kepentingan partai
dan koalisi di parlemen. Sampai pada hal ihwal negara ini didirikan,
tujuaannya dan sudah benarkah orientasinya selama ini.
Oleh karena itu,
pengetahuan filsafat yang baik adalah sebuah keniscayaan bagi seorang
AB III. Sebagai filsuf bagi gerakan, mustahil mampu berdiri sendiri
tanpa penguasaan filsafat pergerakan yang memadai. Kita bisa
menyaksikan bagaimana Fahri Hamzah saban hari berdebat di layar
televisi dengan kemampuan filsafat politik yang sangat baik. Kita
menyaksikan lawan debatnya tidak jarang tergiring dan terguling
dengan retorikanya. Kemampuan seperti itulah yang seharusnya dimiliki
seorang AB III.
Diskursus
dan Tradisi Menulis
Bukan merupakan
suatu hal baru bagi seorang AB III, jika menulis di media massa.
Tidak jarang dari tangan mereka lahir karya-karya yang dibukukan.
Namun, yang saya perhatikan, mengapa masih sedikit dari mereka
menjadikan KAMMI sebagai obyek kajiannya?
Saya hitung-hitung,
kurang lebih hanya dua buku yang mendiskursuskan KAMMI secara lebih
serius. Terutama mendiskursuskan KAMMI sebagai sebuah ilmu.
Kebanyakan, buku-buku yang dilahirkan hanya menyoroti kondisi
pergerakan mahasiswa dan perannya dalam pentas kepemimpinan nasional
secara umum. Karya-karya baik itu pantas diapresiasi. Tetapi, mengapa
isu-isu tersebut yang melulu dibahas? Apakah karena tidak ada lagi
yang bisa didiskursuskan dari KAMMI?
Fenomena ini membawa
saya teringat pada Muswil KAMMI Wilayah Maluku Utara beberapa bulan
lalu. Dalam forum diskusi yang digelar sebelum persidangan, ada
seorang senior yang melempar wacana, bahwa KAMMI hari ini tidak
relevan lagi melakukan reformulasi dan rekonstruksi. Ia mengatakan,
yang perlu dilakukan kader adalah kerja untuk mengimplementasikannya.
Saya khawatir,
jangan-jangan wacana serupa telah menghinggapi paradigma berpikir
kader hari ini. Termasuk para AB III. Membuat mereka memandang KAMMI
sebagai postur gerakan yang telah final. Tidak ada lagi proses dan
perubahan-perubahan yang bisa terjadi, sampai pada tataran orientasi
perjuangan sekalipun. Tidak ada yang patut lagi didiskursuskan.
Menuliskan KAMMI tidak lagi relevan.
Sampai pada titik
ini, saya khawatir, jika kondisi KAMMI hari ini berpotensi membawa
gerakan ini di masa depan serupa filsafat moral Konfusianisme yang
berevolusi menjadi agama. Ilmu yang telah mundur dan membeku dari
lintasan rotasi sejarahnya. Yang seharusnya bergerak dialektis,
menjadi lebih baik.
Menghadapi fenomena
ini tiada jalan lain selain membumikan diskursus. KAMMI, harus
senantiasa diproduksi menjadi lebih segar dan relevan. Jalannya hanya
satu: menulis.
Mulai dari sinilah
kiprah seorang AB III seharusnya dimulai. Implementasi dari filsuf
bagi gerakan seharusnya dengan menulis. Persoalan apa saja yang
terjadi di KAMMI, apakah belum dan telah terjadi, seharusnya
diabadikan dalam larik-larik tulisan.
Penting bagi seorang
AB III untuk menjaga tradisi ini agar terus berlanjut dan berkembang.
Sebab, siapa lagi yang akan merawat KAMMI kalau bukan para
pemikir-pemikirnya. Seperti pesan Muktamar Ma’ruf, “jika kamu
bekerja untuk KAMMI, maka KAMMI akan hidup hari ini. Tapi, jika kamu
berpikir untuk KAMMI, maka KAMMI akan hidup di masa depan.”
Maka, hadirnya ruang
publik bagi kader menjadi penting disini. Hal ini merupakan sebuah
kebutuhan yang tidak lagi bisa ditunda-tunda. Mengingat, tantangan
KAMMI ke depan, tidak menunggu-nunggu kader agar lekas siap.
Kebutuhan terhadap
ruang publik, juga sekaligus menjadi rekaman sejarah perkembangan
KAMMI ke depan. Dimana, saat ini KAMMI Kultural telah
menyediakannya. Sejak 2012, puluhan tulisan telah lahir dari para
pegiat komunitas ini. Yang sayangnya, tidak banyak lahir dari
pikiran-pikiran para AB III.
Ala kulli hal,
semuanya kembali Anda, para AB III. Maukah memanfaatkannya atau
tidak. Hal ini tidak berarti, hanya melalui KAMMI Kultural saja.
Masih banyak ruang-ruang yang bisa diciptakan. Sebab, semakin banyak
ruang publik tercipta, maka KAMMI semakin siap menyongsong masa depan
yang lebih baik. Wallahu alam bis shawab.
Ternate,
27 November 2014
Catatan Kaki
1
Kader Biasa di KAMMI Wilayah Maluku Utara
2
Lihat Manhaj Kaderisasi 1432 H
3
Lihat Kuntowijoyo. 2007. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi,
Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana. Hlm. 61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar