14 Desember 2014

Tugas Seorang Anggota Biasa KAMMI (AB-III)

Oleh: Zulfikhar1 
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural, Tinggal di Maluku Utara 

Pengantar
Dalam sistem perkaderan KAMMI, kita mengenal jenjang perkaderan dari Anggota Biasa I (AB-I) hingga Anggota Biasa-III (AB-III) yang merupakan jenjang perkaderan yang harus dilalui oleh kader KAMMI. Seorang kader, idealnya menempuh jenjang perkaderan hingga Daurah Marhalah III hingga menjadi Anggota Biasa III. Dengan menjadi AB-III, ia berkesempatan untuk menjadi Ketua KAMMI Daerah, Pengurus KAMMI Wilayah, atau menjadi fungsionaris di PP KAMMI.  
Acap kali kita sebagai kader KAMMI di cekoki oleh sebuah pandangan, bahwa AB-III adalah kader yang menguasai segala sesuatu tentang KAMMI. Suatu prototipe “Manusia KAMMI” yang memiliki keluasan ilmu pengetahuan, baik teoritis dan praktis sekaligus. Dari fragmen-fragmen tentang Islam, ideologi, sampai persoalan politik, terutama politik praktis. Semua dipandang ada pada AB-III.
AB III dianggap sebegitu mulianya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, mereka telah lama berkecimpung dalam organisasi. Kedua, semua training yang diselenggarakan organisasi telah mereka ikuti. Ketiga, oleh karena kedua hal tersebut, secara otomatis mereka memiliki kadar pengetahuan yang lebih tinggi dibanding, khususnya tentang KAMMI dari A sampai Z, ketimbang kedua level kader di bawahnya.
Karena sederet kelebihan-kelebihan itu, maka AB III dalam tradisi organisasi dianggap elite. Elite dalam hal kepemilikan mereka terhadap kekuasaan dan wewenang di organisasi. Kekuasaan mempengaruhi kader-kader di bawahnya dan kewenangan sebagai fungsionaris organisasi untuk menentukan laju gerak gerakan. 

Proses elitisasi kepada AB III sebenarnya sejak awal tidak benar-benar terjadi. Setidaknya, konstitusi organisasi tidak pernah mengatakan begitu. Sebab, meminjam pendapat Dharma Setyawan, di KAMMI tidak ada senioritas. Tradisi ini muncul begitu saja setelah ketiga variabel di atas berlaku. Tentu saja akibat persepsi yang keliru. Apalagi, jika AB III bersangkutan menempati jabatan-jabatan strategis. Seperti ketua umum, sekjen atau kaderisasi. Maka, kader-kader di bawahnya biasanya dengan sendirinya memosisikan mereka sebagai panutan.
Begitu khususnya status AB III, sehingga di dalam Manhaj Kaderisasi, mereka didefinisikan sebagai ideolog-aktivis yang memiliki syakhsiyah qiyadiyah siyasiyah (kepribadian pemimpin yang mampu mengambil kebijakan), memiliki kualifikasi keilmuan yang sesuai bidangnya, pemimpin gerakan yang menentukan arah gerak dakwah KAMMI, berdasarkan situasi dan kondisi yang berkembang.2 Singkatnya, mereka adalah filsuf bagi gerakan. Bertugas memikirkan dan mengembangkan KAMMI sebagai ilmu. Sebagai ilmu murni dan terapan sekaligus. Merevisi arah dan gerak gerakan, serta menjaganya dari deviasi-deviasi yang datang silih berganti. Dan membantu gerakan menjawab perubahan dan tantangan zaman. 
Itulah sebabnya, ketika DM III berlangsung, aktivitas daurah sepenuhnya berlangsung di dalam ruangan. Tidak ada lagi kegiatan outdoor layaknya DM I dan DM II. Materi dan diskusi berlangsung padat hingga daurah berakhir.
Dengan padatnya DM III, diharapkan kader-kader yang dihasilkan terjamin kualitasnya. Mereka bukan lagi tipe kader yang identik dengan tsiqoh dan ta’at 100% ketika diminta merespon dan melakukan sesuatu bagi gerakan. Termasuk menyikapi sebuah taklimat. Kepahaman menjadi standar bagi mereka menyikapi segala persoalan.
Hal ini memang bukan sesuatu yang baru. Semua kader saya kira sudah sangat tahu tentang prinsip pertama dari Arkanul Baiah ini. Sebagaimana tidak habis-habisnya di-taujih-kan dalam aktivitas pekanan. Saya tahu, setiap kader barangkali sudah melampaui prinsip ini dengan mengamalkannya. Masalahnya, apakah kepahaman terhadap prinsip ini adalah ketaatan tanpa reserve? Termasuk menerima pilkada tidak langsung demi mencegah deviasi-deviasi yang bersifat sekunder?
Berpikir Rasional
Saya sepakat dengan Soe Hok Gie, bahwa tugas seorang pemuda adalah mencipta yang baru. Yang lama dan usang sudah seharusnya pergi, jika tidak mampu memberi solusi. Yang baru, yang lebih baik, sudah seharusnya dicari. Bagi saya, yang baru itulah berpikir secara rasional.
Berpikir rasional bukan berarti meniadakan transendensi yang menjadi falsafah gerakan. Bukan mengajak kader berpikir liberal seliberalnya. Berpikir rasional sebenarnya adalah transformasi dari pada makna keberislaman kader selama ini. Perkembangan mutakhir dari paradigma Islam yang selama ini kader anut. Yakni menempatkan sesuatu yang sakral (syar’i) dan profan pada tempatnya masing-masing. Dimana keduanya saling berinteraksi dan menyempurnakan. Layaknya ushul fiqh dan fiqh membimbing syariat memecah hadirnya kebuntuan yang datang silih berganti seiring perkembangan zaman.
Seorang AB III mustahil dapat membawa gerakan menembus tantangan hari ini jika masih membagi masyarakat hanya pada bandul Islam dan sekuler. Memilah politik ke dalam dua kutub ini hanya akan menunda gerakan selangkah untuk maju. Mengapa saya katakan begitu? Sebab, tantangan gerakan Islam masa kini adalah sejauh mana mampu menerjemahkan kesakralan Islam ke dalam ruang publik. Dari subyektifikasi kepada obyektifikasi Islam.3
Memenangkan demokrasi tidak akan mampu hanya dengan merekrut manusianya menjadi kader KAMMI. Atau menyadarkan mereka akan mainstream hidup yang mulai konyol ini. Apalagi bermodalkan hasrat untuk memenangkan perebutan kursi kepemimpinan nasional. Disini, fenomena politik di Mesir kemarin menjadi hikmah yang sangat penting.
Sudah menjadi kebutuhan seorang AB III untuk menyerap segala sumber informasi yang tersedia –dari mana dan siapa pun sumbernya. Baik itu dari kader sendiri, kelompok Islam lain atau pun dari kubu sekuler dan agama selain Islam. Hal ini penting menjadi perhatian agar wacana pergerakan KAMMI semakin kaya. Di dunia ini tidak semua persoalan hanya bisa diakhiri dengan solusi Islam an sich. Solusi Islam yang tidak diperkaya unsur-unsur lain akan sangat sulit menjawab tantangan gerakan ke depan.
Diversifikasi Pengetahuan
Demi memenuhi kebutuhan ini, seorang AB III seyogianya tidak hanya puas berhenti dengan memahami seluruh buku yang patut dibaca pada silabus MK III. Referensi bacaan AB III karenanya patut diperluas. Ini demi memenuhi pemahaman terhadap situasi kehidupan yang terus berubah. Buku-buku sejarah ekonomi-politik nasional, pemikiran para tokoh bangsa kerenanya tidak boleh dilewatkan. Termasuk referensi buku-buku liberal, Syiah, Ahmadiyah dan Kiri yang selama ini menjadi momok bagi gerakan Islam.
Buku-buku liberal membantu AB III menempatkan demokrasi pada kondisi asalnya. Dimana kebebasan, keadilan, musyawarah dan persamaan berseliweran sebebas-bebasnya. Mengajarkan kita makna mengapa dan untuk siapa demokrasi yang kita sepakati sebagai sistem politik dilahirkan.
Sedangkan, buku-buku Syiah dan Ahmadiyah membantu memahami sejarah Islam yang sangat dinamis. Menyebabkan kelahiran berbagai aliran teologi di dalamnya. Belajar membedakan Syiah dan Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan dan teologi di sisi lain. Betapa Kebenaran Islam yang selama ini ditafsirkan tunggal, tidak ada salahnya untuk diregangkan tanpa mencabut esensinya dari akar. Mengaungkan pesan-pesan syariat dengan nuansa kebersamaan dan perdamaian bukankah jauh lebih penting ketimbang memelihara kebencian satu sama lain? Sembari merayakan perbedaan yang sejak semula merupakan skenario yang maha kuasa.
Buku-buku kiri menjadi santapan penutup yang memuaskan setelah lelah menyusuri perjalanan intelektual. Mengkajinya bukan berarti berujung pada pembenaran pelaku sejarah kiri yang banyak menyalahartikan ajaran Marx dengan menumpahkan darah. Mengkaji kiri semata-mata untuk mengambil yang baik dan menyisihkan yang buruk. Lagi pula bukankah ajaran Marx sebenarnya baik? Semangat pembebasan dan metodologi ilmiah di dalamnya bukankah harus dipelajari jika berguna bagi gerakan?
Eksesnya, aspek ekonomi politik turut serta menjadi kajian yang tidak boleh dilewatkan. Bahkan, paling utama. Kostelasi politik global yang semakin liberal mensyaratkan ekspektasi pada sikap politik nasional yang pro rakyat rupanya tidak terjadi. Karenanya, logika politik nasional penting untuk diperhatikan. Ketiadaaan kepahaman para politisi terhadap orientasi politik yang lima dekade telah salah arah, harus kritisi dan diubah.
Penting untuk mendukung upaya itu bagi seorang AB III dilengkapi pengetahuan filsafat yang mumpuni. Setidaknya filsafat politik dan demokrasi. Berkenaan dengan apakah esensi kehadiran negara sesungguhnya. Bagaimana cara negara mengatur hak dan kewajiban rakyatnya. Sudah benarkah representasi wakil rakyat yang tersandera kepentingan partai dan koalisi di parlemen. Sampai pada hal ihwal negara ini didirikan, tujuaannya dan sudah benarkah orientasinya selama ini.
Oleh karena itu, pengetahuan filsafat yang baik adalah sebuah keniscayaan bagi seorang AB III. Sebagai filsuf bagi gerakan, mustahil mampu berdiri sendiri tanpa penguasaan filsafat pergerakan yang memadai. Kita bisa menyaksikan bagaimana Fahri Hamzah saban hari berdebat di layar televisi dengan kemampuan filsafat politik yang sangat baik. Kita menyaksikan lawan debatnya tidak jarang tergiring dan terguling dengan retorikanya. Kemampuan seperti itulah yang seharusnya dimiliki seorang AB III. 
Diskursus dan Tradisi Menulis
Bukan merupakan suatu hal baru bagi seorang AB III, jika menulis di media massa. Tidak jarang dari tangan mereka lahir karya-karya yang dibukukan. Namun, yang saya perhatikan, mengapa masih sedikit dari mereka menjadikan KAMMI sebagai obyek kajiannya?
Saya hitung-hitung, kurang lebih hanya dua buku yang mendiskursuskan KAMMI secara lebih serius. Terutama mendiskursuskan KAMMI sebagai sebuah ilmu. Kebanyakan, buku-buku yang dilahirkan hanya menyoroti kondisi pergerakan mahasiswa dan perannya dalam pentas kepemimpinan nasional secara umum. Karya-karya baik itu pantas diapresiasi. Tetapi, mengapa isu-isu tersebut yang melulu dibahas? Apakah karena tidak ada lagi yang bisa didiskursuskan dari KAMMI?
Fenomena ini membawa saya teringat pada Muswil KAMMI Wilayah Maluku Utara beberapa bulan lalu. Dalam forum diskusi yang digelar sebelum persidangan, ada seorang senior yang melempar wacana, bahwa KAMMI hari ini tidak relevan lagi melakukan reformulasi dan rekonstruksi. Ia mengatakan, yang perlu dilakukan kader adalah kerja untuk mengimplementasikannya.
Saya khawatir, jangan-jangan wacana serupa telah menghinggapi paradigma berpikir kader hari ini. Termasuk para AB III. Membuat mereka memandang KAMMI sebagai postur gerakan yang telah final. Tidak ada lagi proses dan perubahan-perubahan yang bisa terjadi, sampai pada tataran orientasi perjuangan sekalipun. Tidak ada yang patut lagi didiskursuskan. Menuliskan KAMMI tidak lagi relevan.
Sampai pada titik ini, saya khawatir, jika kondisi KAMMI hari ini berpotensi membawa gerakan ini di masa depan serupa filsafat moral Konfusianisme yang berevolusi menjadi agama. Ilmu yang telah mundur dan membeku dari lintasan rotasi sejarahnya. Yang seharusnya bergerak dialektis, menjadi lebih baik.
Menghadapi fenomena ini tiada jalan lain selain membumikan diskursus. KAMMI, harus senantiasa diproduksi menjadi lebih segar dan relevan. Jalannya hanya satu: menulis.
Mulai dari sinilah kiprah seorang AB III seharusnya dimulai. Implementasi dari filsuf bagi gerakan seharusnya dengan menulis. Persoalan apa saja yang terjadi di KAMMI, apakah belum dan telah terjadi, seharusnya diabadikan dalam larik-larik tulisan.
Penting bagi seorang AB III untuk menjaga tradisi ini agar terus berlanjut dan berkembang. Sebab, siapa lagi yang akan merawat KAMMI kalau bukan para pemikir-pemikirnya. Seperti pesan Muktamar Ma’ruf, “jika kamu bekerja untuk KAMMI, maka KAMMI akan hidup hari ini. Tapi, jika kamu berpikir untuk KAMMI, maka KAMMI akan hidup di masa depan.”
Maka, hadirnya ruang publik bagi kader menjadi penting disini. Hal ini merupakan sebuah kebutuhan yang tidak lagi bisa ditunda-tunda. Mengingat, tantangan KAMMI ke depan, tidak menunggu-nunggu kader agar lekas siap.
Kebutuhan terhadap ruang publik, juga sekaligus menjadi rekaman sejarah perkembangan KAMMI ke depan. Dimana, saat ini KAMMI Kultural telah menyediakannya. Sejak 2012, puluhan tulisan telah lahir dari para pegiat komunitas ini. Yang sayangnya, tidak banyak lahir dari pikiran-pikiran para AB III.
Ala kulli hal, semuanya kembali Anda, para AB III. Maukah memanfaatkannya atau tidak. Hal ini tidak berarti, hanya melalui KAMMI Kultural saja. Masih banyak ruang-ruang yang bisa diciptakan. Sebab, semakin banyak ruang publik tercipta, maka KAMMI semakin siap menyongsong masa depan yang lebih baik. Wallahu alam bis shawab.

Ternate, 27 November 2014
Catatan Kaki
1 Kader Biasa di KAMMI Wilayah Maluku Utara
2 Lihat Manhaj Kaderisasi 1432 H
3 Lihat Kuntowijoyo. 2007. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana. Hlm. 61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar