oleh: Biiznilah,
Anggota Biasa KAMMI | Mahasiswa Pasca-Sarjana ICAS Jakarta
Kader adalah rahasia kehidupan dan kebangkitan –Asyahid Hasan Al Banna-
Masalah
Kita
Jika
kita melihat KAMMI secara utuh, maka kita akan dihadapkan pada cerminan sebuah
arus sejarah yang campur aduk, saling berkait, dan berkelindan. KAMMI berdiri
di atas proses panjang yang melibatkan beberapa anasir di dalamnya: gerakan Tarbiyah,
FSLDK, gerakan reformasi yang melibatkan
berbagai elemen mahasiswa, dan lain sebagainya. Maka dari itu, sepatutnya tidak ada satupun individu ataupun lingkaran
kelompok berhak mendominasi arah dan
warna gerakan KAMMI. Namun, yang terjadi sejak kemunculannya justru sebaliknya.
Harus diakui, KAMMI telah didominasi oleh sebuah pola pandang yang cenderung
kaku dan klasik. Bahkan sebagian kader KAMMI menganggap ekslusifitas KAMMI
adalah bagian dari keistimewaan organisasi ini.
Kecendrungan
ikhwanisasi dan salafisasi dalam tubuh KAMMI tak terhindarkan. Padahal, dalam
filosofi gerakan KAMMI, kita tidak akan menemukan kecendrungan mazhab atau fiqroh tertentu. Kita hanya menemukan pernyataan-pernyataan
universal yang menegaskan alasan KAMMI lahir. Kecenderungan ini mengarah pada kebudayaan
yang muncul dalam interaksi antar kader. Kesalehan skriptual dan ritus-ritus
terlanjur menjadi indikator mutlak bagi status ke-KAMMI-an seorang kader.
Tentu,
saya tidak menolak unsur-unsur kesalehan ini sebagai salah satu inti dari
kultur KAMMI. Saya hanya tidak sepakat dengan labelling jati diri kader yang cenderung skriptual dan ritus oriented, hingga berimbas pada
jati diri KAMMI secara keseluruhan. Jika demikian, KAMMI hanya menjadi gerakan
mahasiswa yang mengusung agenda-agenda keagamaan. Ttak heran akhir-akhir ini
kita banyak menemukan adanya atensi komisariat-komisariat KAMMI di indonesia
yang mengadakan tasqif tentang
kesesatan aliran ini, kesesatan mazhab anu, dan keburukun kelompok ini dan kejelekan kelompok itu.
KAMMI
berubah menjadi sebuah lembaga sertifikasi bagi keyakinan dan iman kelompok
tertentu. KAMMI melupakan prinsip utamanya untuk menjadi elemen perekat bangsa
yang meniscayakan objektivikasi terhadap cara pandang dalam melihat seluruh
elemen bangsa sebagai potensi, bukan sebagai musuh.
Selama
ini, kitab yang ditulis Sayyid Qutb yakni Ma’alim fi Thoriq menjadi
bacaan wajib di kalangan kader sebagaimana Risalah Pergerakan Hasan Al Banna.
Kita sepakat bahwa kedua referensi di atas memiliki nilai yang luar biasa bagi
kemajuan intelektual dan semangat aktivisme kader. Akan tetapi, barangkali kita
abai pada fakta bahwa kedua jenis rujukan tersebut dan buku-buku rujukan
sejenis hanyalah pustaka intelektual sebagaimana buku-buku yang dikarang oleh
para intelektual lainnya, seperti: Rekayasa
Sosial karangan Jalaluddin Rakhmat, kitab-kitab rujukan fiqh karangan Ramadhan Al Buthi, bahkan
buku-buku filsafat karya Martin Heidiger, Huserl, Tomas Khun, dan sebagainya.
Selama
ini, kader sudah terlanjur melihat berdasarkan informasi-informasi para
seniornya bahwa kitab Ma’alim Fi Thoriq karangan Sayyid Qutb adalah gambaran utuh dari apa yang sedang
diperjuangkan oleh KAMMI. In short, lahirlah sebuah paradigma liar yang
menyatakan bahwa KAMMI adalah salah satu sayap dakwah Ikhwan di indonesia.
Paradigma ini berujung pada penduplikasian secara utuh pola dan metode dakwah Ikhwan.
Maka tak heran, materi Dauroh Marhalah, Tasqif, Madrasah KAMMI, dan perangkat
kaderisasi lainnya tak jauh berbeda dengan kurikulum Ikhwan. Lebih jauh lagi, kita akan menemukan adanya kecendrungan
beberapa kader yang mengafiliasikan fiqrohnya
pada beberapa anasir gerakan Islam Radikal yang mengundang aib bagi gerakan
profetik ini. Akhirnya, KAMMI hanya menjadi gerakan yang identik dengan
kelompok tertentu, esklusif, cendrung mirip gerakan purifikasi Islam, anti
budaya, dan anti-sosial.
Lantas Bagaimana?
Sebagai
pembaca setia Jurnal KAMMI Kultural yang mengikuti perkembangan artikel dari waktu
ke waktu, saya berkeseimpulan bahwa Forum Diskusi KAMMI Kultural berkomitmen membuka
semua peluang bagi terserapnya potensi intelektual kader. Namun, perlu diingat
bahwa kemampuan bagi setiap orang untuk menelaah dan memahami subjek ilmu
pengetahuan dan memahami realitas sangat berbeda sesuai tingkatan intelektual
mereka.
Banyak
orang yang terlibat dalam aktifitas intelektual hanya melalui diskursus. Akibatnya,
pemahamannya dalam memandang realitas pun cenderung parsial. Kader KAMMI kadang
terjebak dalam suasana intelektual yang seringkali hanya menggunakan
fragmen-fragmen pikiran yang dipahami sekenanya. Tak jarang, ketika berdiskusi
dengan kader KAMMI, kita tidak pernah akan sampai pada kesimpulan. Tiba-tiba
saja seorang kader membawa diskursus fiqih
untuk menganalisis perubahan sosial (yang tentu saja sering tidak nyambung),
atau membawa jargon-jargon ketika kita sedang membahas sesuatu yang harus
diselesaikan dengan telaah dan analisa.
Untuk
itu, KAMMI harus melakukan refleksi bukan hanya terhadap sistem pengkaderan
yang masih menggunakan skema patron-klien (Qiyadah wal Jundiyah), melainkan
juga merumuskan materi atau konten ideologisasi yang bercorak rasional. Artinya
KAMMI harus berani memasukan materi seperti logika (mantiq), epistemologi,
ontologi, kosmologi, serta kajian filsafat dalam silabus pengkaderannya.
Materi-materi seperti ini dibutuhkan oleh setiap orang untuk memahami kaidah
berpikir dan hubungannya dengan memahami realitas. Saya menilai, miskonsepsi dan over-analisis yang terjadi dalam gerakan mahasiswa, (khususnya
KAMMI) adalah karena mengasingkan dasar-dasar pengetahuan ini dalam setiap
kegiatan pengkaderan atau kajian-kajian yang bersifat ilmiah.
Sebenarnya,
Forum Diskusi KAMMI Kultural memiliki peluang menjembatani kebekuan intelektual
kader dengan tidak melepaskannya dari keterlibatan secara intens dengan
media-media organisasi yang telah ada. Menghidupkan kembali tasqif, Madrasah KAMMI,
atau suplemen kaderisasi lain yang dapat memperkaya khazanah intelektual kader dengan
skema materi yang terstruktur dan bersifat tematik adalah langkah bijak bagi
KAMMI di masa yang akan datang.
Penutup
Usaha
untuk membangun kesadaran intelektual dalam jati diri KAMMI membutuhkan upaya
sistematik yang meminimalisir segala resiko. Upaya perbaikan yang dilakukan Forum
Diskusi KAMMI Kultural meniscayakan adanya sebuah desain sistematis.
Kita bukan hanya harus menganalisis masalah tapi juga membatasinya. Apa yang
menjadi bagian penting untuk diperbaiki saat ini? Apa yang menjadi orientasi
kita? Bagaimana upaya-upaya ini membuahkan hasil dimasa depan?
Aristoteles,
filosof linuhung yang faedah kehidupannya kita rasakan hingga sekarang, pernah
berkata : قوة التفكير
هي جوهر الحياة yang artinya : daya berfikir adalah esensi dari kehidupan. Ideologi
haruslah dibangun dari sesuatu yang paling esensial bagi manusia. Sesuatu yang
paling asli. Sesuatu yang membuat manusia disebut manusia, yakni akal dan kecenderungan
akal. Jika kita dapat mengoptimalkan akal sebagai neraca intelektual dalam
membangun pemahaman terhadap ideologi, maka kita akan menjadi manusia otentik.
Kita akan mampu menjadi ustadziyatul ‘alam
atau soko guru dunia.
Akhirul kalam, astaghfirullah hal ‘adzim
ijin kopas akh
BalasHapusijin kopas akh
BalasHapusakal diselaraskan rasa. intelektual diasah untuk menerjemahkan bahasa rasa. sejauh mana kita mengasah rasa dan memacu intelektual sebagai penerjemahnya.
BalasHapusarruh,annafs,al aql, al jasad.