Oleh Ahmad Rizky Mardhatillah Umar.S.IP
Pegiat KAMMI Kultural
Ada satu hal yang menarik, jika kita mencermati beberapa tahun belakangan: soal Turki.
Sejak
tahun 2003, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) memenangi Pemilu
Turki dan membentuk pemerintahan. AKP, kita tahu persis, adalah partai
dengan haluan 'Islamis'; mereka yang percaya dengan 'Islam' sebagai
referensi gerakan mereka (meminjam Bobby Sayyid). Fenomena ini agak
mengejutkan, mengingat beberapa tahun sebelumnya, eksponen-eksponen
Islamis baru saja tersungkur oleh Kudeta. Terpilih sebagai Perdana
Menteri, Recep Tayyip Erdogan, 'murid' dari Necmettin Erbakan, mantan
Perdana Menteri yang juga dikudeta oleh kekuatan Kemalis Turki.
Erdogan
segera saja mendapatkan perlawanan sengit. Sejak Ataturk menumbangkan
kekhalifahan di tahun 1924, struktur kekuasaan selama bertahun-tahun
didapuk oleh para 'Kemalis' -mereka yang loyal kepada Mustafa Kemal
Ataturk. Para Kemalis ini utamanya adalah para militer yang menjadi
'penjaga gawang' rezim politik yang ada. Mungkin mirip dengan para
Nasseris di Mesir yang baru saja melakukan kudeta terhadap Mohammad
Morsy.
Belum apa-apa, Erdogan sudah digoyang
sana-sini oleh para Kemalis. Mereka rupanya masih berkuasa di parlemen.
Namun, Erdogan tetap kuat. Pengalamannya yang cukup matang sebagai
walikota Istanbul membawanya pada popularitas yang tinggi. Tentu saja,
itu artinya dukungan massa sudah di tangan.
Namun,
yang menarik adalah: mengapa Erdogan mampu bertahan dengan goyangan para
Jenderal dan massa fanatik mereka di bawah, sementara 'saudara
kandung'-nya di Mesir, Morsy, kalah tangguh menghadapi para Jenderal itu
meskipun punya massa yang, kabarnya, jutaan?
Strategi terbukti akan sangat menentukan.
Sejak
tahun 2003, Erdogan sudah membuat manuver. Bertolak belakang dari
tradisi Kemalis yang sangat 'sosialis', ia menggebrak ekonomi Turki
dengan mencanangkan kebijakan reformasi neoliberal. Erdogan menunjuk
ekonom Ali Babacan, yang kemudian membuat strategi pembangunan
makroekonomi Turki sesuai dengan petuah-petuah Washington Consensus. Strategi Erdogan tersebut langsung ditangkap oleh para borjuis Anatolia, orang-orang Neo-Ottomanist pendukung AKP yang berada di sekitar Istanbul, untuk mengembangkan industri mereka dan bermain di pasar global.
Hasilnya,
Erdogan sukses berat: para 'kapitalis' yang di belakangnya sukses
membangun bisnis mereka, dan ekonomi tumbuh sesuai dengan ramalan
ekonom-ekonom Bank. Erdogan sukses mengawinkan 'Islamisme' yang
diajarkan Erbakan dan partai Refah, partai yang dulu dibelanya, dengan
kapitalisme yang menguntungkan para pebisnis Islamis.
Sukses meng-install
kapitalisme yang menguntungkan para pebisnis Islamis dan menumbuhkan
ekonomi (ingat: salah satu parameter penting dari pertumbuhan ekonomi
adalah investasi), Erdogan beranjak keluar. Ia dengan berani menyatakan
sikap tegas: Turki harus bergabung dengan Uni Eropa! Isu aksesi ke Uni
Eropa tidak hanya menimbulkan kegemparan di kalangan Islamis, tetapi
juga di kalangan Kemalis. Sebab, selama bertahun-tahun berada di bawah
rezim Kemalis, Turki belum bisa masuk pada 'pergaulan' yang lebih erat
di Eropa, padahal sekularisme di Turki sudah terbilang mengakar,
setidaknya secara politis.
Untuk masuk ke Uni Eropa dan
menjalankan politik luar negeri 'gaya baru'-nya, Erdogan ditopang oleh
tim 'intelektual' yang mengarsiteki kebijakan luar negerinya. Di antara
nama-nama arsitek kebijakan luar negeri itu ialah Ahmet Davutoglu,
Ibrahim Kalin, dan Egemen Bagis. Davutoglu adalah pakar Hubungan
Internasional di Universitas Bogazici. T Kalin adalah Doktor
filsafat lulusan George Washington University. Sementara Bagis
malang-melintang di Amerika Serikat sebagai diplomat dan peraih gelar
Master dari Baruch College, New York.
Jadilah kombinasi para intelektual 'kelas berat' yang menopang Erdogan.
Tim ini tidak main-main; mereka mempersiapkan sebuah blok baru yang mereka beri nama Pax Ottomana. Ketika
ditanya oleh para oposisi soal kebijakan yang dinilai 'membangkitkan'
kembali kenangan lama ini, Argumen Davutoglu sederhana saja: "tujuan
kami cuma untuk menciptakan perdamaian regional, membentuk order, dan tentu saja mendukung kepentingan nasional Turki. Jika tujuannya hanya untuk mengontrol order, apakah
ini tidak boleh dilakukan?" Dengan kapasitasnya sebagai ahli Hubungan
Internasional, Davutoglu mampu meyakinkan koalisi dan oposisi dan
bersama Erdogan, mengegolkan kebijakan luar negeri yang progresif
tersebut.
Maka, tak heran jika Turki kemudian menjadi 'singa
kecil' yang ditakuti oleh kekuatan-kekuatan lain dari Eropa hingga
Amerika Serikat. Meskipun Erdogan tak luput dari masalah, seperti
masalah mall di Gezi atau soal Kurdi, Erdogan mampu menjadikan Turki tidak lagi The Sickman of Europe. Erdogan menjadikan Turki 'garang' di luar dan 'digdaya' di dalam, dengan segala dinamikanya.
Pertanyaannya
masih sama: mengapa Erdogan sukses membangun kekuatannya dalam sepuluh
tahun terakhir ini, sementara Mursy justru tersungkur, padahal mereka
memulai dari titik yang sama dan berasal dari garis yang hampir sama?
Jawabnya
terletak pada satu hal sederhana: intelektual yang berada di
sekelilingnya. Ali Babacan, Egemen Bagis, Mevit Cavusoglu, Ahmet
Davutoglu, atau Ibrahim Kalin adalah kata kunci di balik kesuksesan
Erdogan. Mereka mungkin bukan seorang muslim yang saleh seperti Mursy
atau Al-Shater. Saya belum pernah mereka punya derajat kesalihan
beragama tertentu (seperti sering dibangga-banggakan aktivis gerakan
Islam pada Mursy).
Tapi, yang jelas, mereka punya kemampuan profesional untuk bekerja.
Inilah
yang ditangkap oleh Erdogan: mereka ditarik masuk ke lingkar inti
kepresidenan, menjadi 'arsitek' dari politik luar negeri dan kebijakan
ekonomi Erdogan, dan dengan kemampuan intelektual dan profesional
mereka, terbukti menjadi kartu truf keberhasilan Turki selama ini.
Sementara
Ikhwan justru mendepak para intelektualnya. Sejak Abdul Mun'im Abul
Futuh didepak pada bulan Mei 2011 dari Ikhwan, berbondong-bondong
aktivis-intelektual Ikhwan pergi meninggalkan 'rumah' mereka. Islam
Lotfy dkk. yang bergabung di 6 April mendirikan Altayar Al-Masry.
Mohamed Adel bertahan di 6 April bersama Ahmad Maher. Mohammad Habib dan
Al-Za'afarani mendirikan Islah wa Nahdha. Beberapa ikut Abul Futuh di Masry Qawy (partai bentukan Abul Futuh). Beberapa lagi memilih berada di luar.
Padahal,
seperti kata Maris Tadroz, merekalah yang bekerja bersama aktivis
gerakan rakyat di Mesir untuk menginisiasi revolusi di Tahrir, ketika tanzim Ikhwan berdiam di Muqattam, menunggu Mubarak jatuh.
Intelektual Ikhwan tercerai-berai. Mereka memang tidak bisa mengalahkan kekuatan raksasa Hurriyah wal 'Adalah, partai resmi tanzhim Ikhwan,
yang mengerahkan massanya untuk memenangkan Morsy sebagai Presiden,
tetapi ketiadaan mereka membuat 'taji' Ikhwan terasa tumpul.
Ikhwan
memang memiliki para teknokrat dan teknolog yang berpengalaman di
kampus, tapi kurang pengalaman dalam mengarsiteki kebijakannya.
Hasilnya, Mursy harus mempercayakan posisi menteri-menterinya pada orang
lain, yang belum tentu satu visi dengan Ikhwan. Proyek Nahdha yang
dicanangkan oleh Khairat al-Shater sebagai tonggak kebangkitan Mesir,
gagal. Morsy sibuk dengan huru-hara yang akhirnya berujung pada
kembalinya militer dan membuyarkan semua impiannya.
Seharusnya,
dari Morsy dan Erdogan, aktivis-aktivis gerakan Islam di Indonesia perlu
belajar satu hal: kalau mau memimpin negara, tidak cukup mencetak
politisi. Gerakan harus mampu mencetak intelektual dan pemikir
progresif. Biar jika suatu saat momentum kepemimpinan sudah ada, para
intelektual-lah yang bekerja. Saleh, Taat, atau pandai bermanuver saja
tidak cukup untuk membangun negara. Perlu kerja-kerja cerdas untuk
menyelesaikan 'bangunan' batu bata yang sudah disusun.
Jadi,
tidak perlu mendepak mereka yang punya pendapat berbeda dengan alasan
sepele. Atau dengan sinisnya berkomentar, "yang penting aksi, bukan
diskusi". Karena sejarah sudah membuktikan, di balik sebuah aksi besar,
terurai kerja-kerja pemikiran yang besar pula....
Mohon maaf lahir batin ya, kawan-kawan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar