19 Juli 2013

Intelektual(1)

Oleh Ahmad Rizky Mardhatillah Umar.S.IP
Pegiat KAMMI Kultural


Ada satu hal yang menarik, jika kita mencermati beberapa tahun belakangan: soal Turki.

Sejak tahun 2003, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) memenangi Pemilu Turki dan membentuk pemerintahan. AKP, kita tahu persis, adalah partai dengan haluan 'Islamis'; mereka yang percaya dengan 'Islam' sebagai referensi gerakan mereka (meminjam Bobby Sayyid). Fenomena ini agak mengejutkan, mengingat beberapa tahun sebelumnya, eksponen-eksponen Islamis baru saja tersungkur oleh Kudeta. Terpilih sebagai Perdana Menteri, Recep Tayyip Erdogan, 'murid' dari Necmettin Erbakan, mantan Perdana Menteri yang juga dikudeta oleh kekuatan Kemalis Turki.

Erdogan segera saja mendapatkan perlawanan sengit. Sejak Ataturk menumbangkan kekhalifahan di tahun 1924, struktur kekuasaan selama bertahun-tahun didapuk oleh para 'Kemalis' -mereka yang loyal kepada Mustafa Kemal Ataturk. Para Kemalis ini utamanya adalah para militer yang menjadi 'penjaga gawang' rezim politik yang ada. Mungkin mirip dengan para Nasseris di Mesir yang baru saja melakukan kudeta terhadap Mohammad Morsy.



Belum apa-apa, Erdogan sudah digoyang sana-sini oleh para Kemalis. Mereka rupanya masih berkuasa di parlemen. Namun, Erdogan tetap kuat. Pengalamannya yang cukup matang sebagai walikota Istanbul membawanya pada popularitas yang tinggi. Tentu saja, itu artinya dukungan massa sudah di tangan.

Namun, yang menarik adalah: mengapa Erdogan mampu bertahan dengan goyangan para Jenderal dan massa fanatik mereka di bawah, sementara 'saudara kandung'-nya di Mesir, Morsy, kalah tangguh menghadapi para Jenderal itu meskipun punya massa yang, kabarnya, jutaan?

Strategi terbukti akan sangat menentukan.

Sejak tahun 2003, Erdogan sudah membuat manuver. Bertolak belakang dari tradisi Kemalis yang sangat 'sosialis', ia menggebrak ekonomi Turki dengan mencanangkan kebijakan reformasi neoliberal. Erdogan menunjuk ekonom Ali Babacan, yang kemudian membuat strategi pembangunan makroekonomi Turki sesuai dengan petuah-petuah Washington Consensus. Strategi Erdogan tersebut langsung ditangkap oleh para borjuis Anatolia, orang-orang Neo-Ottomanist pendukung AKP yang berada di sekitar Istanbul, untuk mengembangkan industri mereka dan bermain di pasar global.

Hasilnya, Erdogan sukses berat: para 'kapitalis' yang di belakangnya sukses membangun bisnis mereka, dan ekonomi tumbuh sesuai dengan ramalan ekonom-ekonom Bank. Erdogan sukses mengawinkan 'Islamisme' yang diajarkan Erbakan dan partai Refah, partai yang dulu dibelanya, dengan kapitalisme yang menguntungkan para pebisnis Islamis.

Sukses meng-install kapitalisme yang menguntungkan para pebisnis Islamis dan menumbuhkan ekonomi (ingat: salah satu parameter penting dari pertumbuhan ekonomi adalah investasi), Erdogan beranjak keluar. Ia dengan berani menyatakan sikap tegas: Turki harus bergabung dengan Uni Eropa! Isu aksesi ke Uni Eropa tidak hanya menimbulkan kegemparan di kalangan Islamis, tetapi juga di kalangan Kemalis. Sebab, selama bertahun-tahun berada di bawah rezim Kemalis, Turki belum bisa masuk pada 'pergaulan' yang lebih erat di Eropa, padahal sekularisme di Turki sudah terbilang mengakar, setidaknya secara politis.

Untuk masuk ke Uni Eropa dan menjalankan politik luar negeri 'gaya baru'-nya, Erdogan ditopang oleh tim 'intelektual' yang mengarsiteki kebijakan luar negerinya. Di antara nama-nama arsitek kebijakan luar negeri itu ialah Ahmet Davutoglu, Ibrahim Kalin, dan Egemen Bagis. Davutoglu adalah pakar Hubungan Internasional di Universitas Bogazici. T Kalin adalah Doktor filsafat lulusan George Washington University. Sementara Bagis malang-melintang di Amerika Serikat sebagai diplomat dan peraih gelar Master dari Baruch College, New York.

Jadilah kombinasi para intelektual 'kelas berat' yang menopang Erdogan.

Tim ini tidak main-main; mereka mempersiapkan sebuah blok baru yang mereka beri nama Pax Ottomana. Ketika ditanya oleh para oposisi soal kebijakan yang dinilai 'membangkitkan' kembali kenangan lama ini, Argumen Davutoglu sederhana saja: "tujuan kami cuma untuk menciptakan perdamaian regional, membentuk order, dan tentu saja mendukung kepentingan nasional Turki. Jika tujuannya hanya untuk mengontrol order, apakah ini tidak boleh dilakukan?" Dengan kapasitasnya sebagai ahli Hubungan Internasional, Davutoglu mampu meyakinkan koalisi dan oposisi dan bersama Erdogan, mengegolkan kebijakan luar negeri yang progresif tersebut.

Maka, tak heran jika Turki kemudian menjadi 'singa kecil' yang ditakuti oleh kekuatan-kekuatan lain dari Eropa hingga Amerika Serikat. Meskipun Erdogan tak luput dari masalah, seperti masalah mall di Gezi atau soal Kurdi, Erdogan mampu menjadikan Turki tidak lagi The Sickman of Europe. Erdogan menjadikan Turki 'garang' di luar dan 'digdaya' di dalam, dengan segala dinamikanya.

Pertanyaannya masih sama: mengapa Erdogan sukses membangun kekuatannya dalam sepuluh tahun terakhir ini, sementara Mursy justru tersungkur, padahal mereka memulai dari titik yang sama dan berasal dari garis yang hampir sama?

Jawabnya terletak pada satu hal sederhana: intelektual yang berada di sekelilingnya. Ali Babacan, Egemen Bagis, Mevit Cavusoglu, Ahmet Davutoglu, atau Ibrahim Kalin adalah kata kunci di balik kesuksesan Erdogan. Mereka mungkin bukan seorang muslim yang saleh seperti Mursy atau Al-Shater. Saya belum pernah mereka punya derajat kesalihan beragama tertentu (seperti sering dibangga-banggakan aktivis gerakan Islam pada Mursy).
Tapi, yang jelas, mereka punya kemampuan profesional untuk bekerja.

Inilah yang ditangkap oleh Erdogan: mereka ditarik masuk ke lingkar inti kepresidenan, menjadi 'arsitek' dari politik luar negeri dan kebijakan ekonomi Erdogan, dan dengan kemampuan intelektual dan profesional mereka, terbukti menjadi kartu truf keberhasilan Turki selama ini.

Sementara Ikhwan justru mendepak para intelektualnya. Sejak Abdul Mun'im Abul Futuh didepak pada bulan Mei 2011 dari Ikhwan, berbondong-bondong aktivis-intelektual Ikhwan pergi meninggalkan 'rumah' mereka. Islam Lotfy dkk. yang bergabung di 6 April mendirikan Altayar Al-Masry. Mohamed Adel bertahan di 6 April bersama Ahmad Maher. Mohammad Habib dan Al-Za'afarani mendirikan Islah wa Nahdha. Beberapa ikut Abul Futuh di Masry Qawy (partai bentukan Abul Futuh). Beberapa lagi memilih berada di luar.

Padahal, seperti kata Maris Tadroz, merekalah yang bekerja bersama aktivis gerakan rakyat di Mesir untuk menginisiasi revolusi di Tahrir, ketika tanzim Ikhwan berdiam di Muqattam, menunggu Mubarak jatuh.

Intelektual Ikhwan tercerai-berai. Mereka memang tidak bisa mengalahkan kekuatan raksasa Hurriyah wal 'Adalah, partai resmi tanzhim Ikhwan, yang mengerahkan massanya untuk memenangkan Morsy sebagai Presiden, tetapi ketiadaan mereka membuat 'taji' Ikhwan terasa tumpul.

Ikhwan memang memiliki para teknokrat dan teknolog yang berpengalaman di kampus, tapi kurang pengalaman dalam mengarsiteki kebijakannya. Hasilnya, Mursy harus mempercayakan posisi menteri-menterinya pada orang lain, yang belum tentu satu visi dengan Ikhwan. Proyek Nahdha yang dicanangkan oleh Khairat al-Shater sebagai tonggak kebangkitan Mesir, gagal. Morsy sibuk dengan huru-hara yang akhirnya berujung pada kembalinya militer dan membuyarkan semua impiannya.

Seharusnya, dari Morsy dan Erdogan, aktivis-aktivis gerakan Islam di Indonesia perlu belajar satu hal: kalau mau memimpin negara, tidak cukup mencetak politisi. Gerakan harus mampu mencetak intelektual dan pemikir progresif. Biar jika suatu saat momentum kepemimpinan sudah ada, para intelektual-lah yang bekerja. Saleh, Taat, atau pandai bermanuver saja tidak cukup untuk membangun negara. Perlu kerja-kerja cerdas untuk menyelesaikan 'bangunan' batu bata yang sudah disusun.

Jadi, tidak perlu mendepak mereka yang punya pendapat berbeda dengan alasan sepele. Atau dengan sinisnya berkomentar, "yang penting aksi, bukan diskusi". Karena sejarah sudah membuktikan, di balik sebuah aksi besar, terurai kerja-kerja pemikiran yang besar pula....

Mohon maaf lahir batin ya, kawan-kawan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar