26 April 2015

Keberagaman adalah Aset! Lima Catatan tentang Alur Gerakan KAMMI


oleh: Muhammad Sadli
Aktivis KAMMI Ternate, Maluku Utara 
KAMMI dalam Garis Besar Haluan Organisasi, menuliskan dalam Karakter Organisasi, KAMMI adalah organisasi pengkaderan (harokatut tajnid) dan organisasi pergerakan (harokatul amal). Bahkan mungkin KAMMI dengan segala karakter kadernya, ‘segelintir kader’ lebih menempatkan sebagai harokatut tajnid yang berbaur ke dalam harokatul amal. Atau organisasi pengkaderan yang harusnya tertampak sebagai organisasi pergerakan.
Umumnya organisasi mahasiswa atau organisasi kepemudaan identik dengan gerakan mahasiswa. Dan ini pula yang paling diminati oleh mahasiswa, bentuk gerakan mahasiswa seperti aksi-aksi demonstrasi atau yang sejenisnya (defenisi secara sempit). Pertanyaan mendasarnya adalah bolehkah ada mahasiswa yang tidak tertarik dengan aksi-aksi demonstrasi terlibat dalam KAMMI? Atau sebaliknya bagaimana KAMMI menampung orang-orang yang tidak terlalu tertarik dengan aksi-aksi demonstrasi?


Gerak yang Teratur
Ustad Hilmi Aminudin dalam salah satu taujihnya mengatakan kehidupan senantiasa berbasiskan gerak (defenisi secara luas) dan itu adalah sunatullah. Kehidupan didasari oleh adanya gerak. Ketiadaan gerak sering kali diindikasikan sebagai tidak adanya kehidupan dan sunatullah gerak dalam kehidupan ini adalah sunatullah kauniyah, yakni mencakup seluruh semesta alam dan semesta makhluk. Seluruh makhluk bergerak, termasuk galaksi-galaksi, matahari, bintang-bintang, dan bulan. Seluruhnya bergerak tetapi tetap dalam porosnya. Ada keseimbangan antara keharusan bergerak dan keharusan untuk tetap terikat pada porosnya.
Dalam hal ini akan berimplikasi dalam beberapa hal yakni, karakter kader, kepemimpinan, dan tata kelola organisasi.  
Pertama, karakter kader, menjadi jawaban agar KAMMI yang cenderung ditempatkan sebagai organisasi pergerakan yang hanya identik dengan ‘aksi demonstrasi’ dapat menampung segala karakter pemuda. Dalam sebuah dialog antara Yusuf Qardhawi dengan beberapa aktivis Harakah Islam, “mereka menyampaikan kritikan kepada Ikhwan, menurut mereka Ikhwan terlalu disibukkan melakukan aktivitas yang sesungguhnya merupakan tugas sebuah negara Islam, seperti pekerjaan sosial dan kemasyrakatan di antaranya mendirikan klinik kesehatan dan rumah sakit serta rumah-rumah panti asuhan, membantu masyarakat banyak serta menebar amal sosial lainnya. Menurut mereka pekerjaan seperti ini dapat melenakan kaum muslimin dari kewajiban mendirikan sebuah negara dan menegakkan khilafah, karena ia akan terlalu banyak menyita waktu masyarakat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial daripada tugas berdakwah”.
Mengenai ini ada sebuah jawaban menarik dari Yusuf Qardhawi yang penulis kutip sebagai mengenai karakter kader, “dalam setiap kelompok, kemampuan dan sumber daya yang dimiliki biasanya sangat beragam dan berbeda-beda. Ada yang pakar dalam bidang pemikiran, yang lainnya mahir dalam berdakwah, yang lain tidak ahli dalam keduanya tapi sukses dalam berinteraksi sosial. Oleh sebab itu, mengapa potensi yang sangat beragam ini tidak diikat agar semuanya dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat dan meringankan beban mereka. Sedang Allah akan menolong seseorang, selama ia mau menolong saudaranya”. Jadi apapun bentuk karakter kadernya ia tetap otentik dengan karakternya, tapi akarnya tetap tarbiyah, seperti kata Ustad Hilmi, “Saya hanya ingin mengingatkan bahwa titik tekan perjalanan kita memasuki tatanan dakwah ini adalah melalui pintu tarbiyah dan itu adalah satu-satunya pintu masuk ke dalam dakwah ini. Tidak ada pintu ekonomi, pintu politik, atau pintu budaya, yang ada hanya pintu tarbiyah. Walaupun setelah masuk, bisa saja menjadi aktivis politik, pengusaha, budayawan, seniman, ekonom, pendidik, atau apapun profesi lainnya”.
Kedua, kepemimpinan. Kesadaran akan keberagaman karakter kader sebagai alur gerakan akan berkaitan dengan kepemimpinan. Secara mendasar Ustad Hilmi membagi kepemimpinan dalam dua hal, yakni, pertama, kepemimpinan mauhuubah, ada proses pertumbuhan kepemimpinan yang bersifat pemberian dari Allah SWT. Dicontohkan seperti versi Thalut dan versi Nabi Musa, keduanya memiliki kekuatan dari segi ilmu dan fisik serta mentalitas dan integritas pribadinya. Atau mungkin dapat disebut sebagai kepemimpinan lahiriah. Kedua, kepemimpinan muktasabah, jenis kepemimpinan yang dibentuk dan diusahakan. Kepemimpinan juga bisa ditumbuhkan melalui jalur pengkaderan dan pelatihan serta pembinaan.
Dua jenis kemunculan pemimpin yakni lahiriah dan melalui pengkaderan mempunyai karakternya masing-masing. Pada umumnya tipe pemimpin lahiriah sejak awal telah memiliki kharisma sehingga sosoknya merupakan pemimpin kharismatik yang memiliki aura kepemimpinan. Sementara jenis atau tipe pemimpin (melalui pengkaderan), biasanya kharismanya baru akan tumbuh seiring bertambahnya pengalaman dan kebijaksanaannya. Ia akan diakui integritas kepemimpinannya karena pengalamannya selama ini. Tapi keduanya juga memiliki kelemahan masing-masing, yakni biasanya jenis kepemimpinan lahiriah bila tidak terus digali, dilatih, dan ditingkatkan kemampuannya boleh jadi memiliki kelemahan dalam hal manajemen atau tata kelola organisasi. Dan kepemimpinan (melalui pengkaderan) biasanya memiliki kelemahan dalam keberanian moral sehingga tidak cepat dalam mengambil keputusan dan kurang berani mengambil resiko.
Tentu saja hal yang terbaik adalah bila tipe pemimpin lahiriah dan pemimpin (melalui pengkaderan) bisa dipadukan yakni pemimpin lahiriah yang terlatih sehingga didapatkan kepemimpinan pengkaderannya dalam tata kelola. Atau sebaliknya pemimpin (melalui pengkaderan) yang meningkatkan integritasnya yang terus ditempa oleh pengalaman dan juga pembinaan.
Hal ini agar dalam konteks kepemimpinan KAMMI, bukan penegasan bahwa KAMMI harus dipimpin oleh ‘tipekal karakter kader pergerakan’ tapi atas dasar kesadaran mengenai tipekal kepemimpinan yang disesuaikan dengan keberagaman kader agar semua tetap otentik. Dan kepemimpinan di dalam KAMMI sesuai dengan kompetensi inti atau pusat keunggulan ketuanya dan pengurusnya.
Dengan begini peran-peran terdistribusi dalam banyak bentuk. Begitulah Rasulullah mendistribusi peran-peran para pahlawan (sahabat). Inilah yang menggambarkan antara Khalid bin Walid dan Umar bin Khatab. Mereka sama-sama berasal dari klan Bani Makhzum, memiliki postur tubuh yang tinggi dan besar, wajah yang sangat mirip, dan bangunan karakter yang sama. Namun, keduanya memiliki perbedaan yang tipis pada tipologi keprajuritan. Keprajuritan Khalid bersifat agresif sementara keprajuritan Umar bersifat pembelaan. Sehingga Khalid bin Walid selalu mendapat peran sebagai panglima perang. Adapun Umar bin Khattab, walaupun memenuhi semua kualifikasi sebagai panglima perang tapi ia tidak pernah ditunjuk menjadi komandan perang. Dan ternyata Umar bin Khatab ditempatkan sebagai negarawan besar, khalifah.
Begitulah akhirnya kedua pahlawan itu menjadi ulung pada perannya masing-masing. Khalid dikenal karena keberanian dan kehebatan strategi perangnya sementara Umar dikenal karena kasih sayang dan keadilannya kepada rakyatnya. Dua legenda Islam menjadi abadi dalam sejarah karena keduanya meniti jalan kepahlawanan pada jalur kompetensi intinya masing-masing (sebagaimana ditulis oleh Anis Matta, 2013).
Mengelola Keberagaman
Ketiga, tata kelola organisasi. Untuk mengelola keberagaman perlu ada tata kelola organisasi. Dalam salah satu taujih Ustad Hilmi, beliau mengkonsepkan, pertama, istiqamah, konsisten. Konsistensi ini tentu saja bukan sesuatu yang statis karena konsisten tidak identik dengan statis melainkan dinamis. Konsisten ini berhubungan dengan keaktifan kader dalam mensukseskan program kerja organisasi. Kedua, memiliki orientasi yang jelas. Adanya konsep-konsep organisasi yang memperjelas arah gerak organisasi selama kepengurusan. Dan konsep-konsep ini harusnya dapat diukur. 
Ada sebuah analogi yang cukup menarik dalam hal ini: sebuah lomba lari atau perjalanan. Kader tidak seperti orang yang berlomba lari namun tidak tahu startnya dimana dan tidak tahu pula akan berakhir di garis finish yang mana. Atau seperti dalam rute perjalanan misalkan Sabia hingga Kalumata (keduanya di Maluku Utara), ada kader yang merasa startnya di Koloncucu dan tiba-tiba merasa finishnya di Santiong, ada kader lain pula yang merasa finishnya di Bastiong sudah cukup, dan seterusnya (beberapa daerah tersebut juga berada di Maluku Utara). Dengan kata lain, kader kehilangan alur orientasi organisasi yang terukur. 
Kita sering menemukan hal ini dalam pergaulan sehari-hari. Banyak kader yang cenderung mengatakan “alhamdulillah, kita sudah melakukan capaian sejauh ini, lumayan”. Padahal kata lumayan tidak dapat diukur dan akan relatif. Harus ada output yang bisa diukur keberlanjutan dan efek gerakannya, terutama bagi KAMMI.
Ketiga, konsepsi tentang tawazun (keseimbangan). Keseimbangan merupakan titik penghubung antara konsistensi dan orientasi yang jelas. Agar kader tidak mengatakan KAMMI itu berhasil kalau cenderung sebagai organisasi pergerakan atau KAMMI itu baik kalau pengkaderannya berjalan lancar. Atau secara pemikiran, KAMMI itu dinilai berhasil kalau KAMMI menjadi kanan, atau KAMMI menjadi kiri, atau KAMMI menjadi kanannya kanan, atau kirinya kanan, atau kanannya kiri, atau kirinya kiri. Tipekal karakter kader KAMMI. Tapi adanya titik tengah yang memperjelas mengenai itu. Dan Rasulullah katakan “Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan”.
Keempat, istimrariyah, kontinuitas. Kontinuitas harus menjadi efek dari konsistensi, orientasi yang jelas dan keseimbangan. Konsepsi berkelanjutan ini adalah bagian dari bentuk kedinamisan dalam mengelola organisasi. Sesuatu yang belum dikonsepkan, dikonsepkan tapi konsepsinya tidak menjadi baku sehingga dapat menjadi dinamis sesuai dengan kondisi. Sehingga KAMMI tidak terkesan sebagai organisasi yang mengkritisi aturan-aturan pemerintah (perda, undang-undang, dan regulasi-regulasi lain) tapi tidak tuntas menyelesaikan konsep-konsep dasar organisasinya. Disorientasi. Kontinuitas adalah bagian dari perasaan berdaya untuk terus mewujudkan konsep-konsep organisasi dan program kerja yang dicanangkan secara berkelanjutan.
Kelima, taurits, pewarisan. Langkah ini dari satu generasi ke generasi berikut dapat terwariskan alur gerakannya (konsep organisasinya) dan dapat bersifat pewarisan yang berkelanjutan. Karena peradaban itu lahir karena akumulasi antar generasi.
Dengan demikian memaknai keberagaman karakter kader sebagai alur gerakan merupakan gerak yang memiliki porosnya sehingga ia menjadi amal jama’i. Dan semua itu ia memiliki orientasi yang dapat terukur, teratur, dan terstruktur sebagai sunatullah pergerakan. Dengan kata lain, keberagaman kader sendiri sebetulnya adalah aset, bukan penghalang bagi besarnya KAMMI. Wallahu’alam.
Ilustrasi: Sebuah Diskusi Kultural di Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar