oleh: Muhammad Sadli
Aktivis KAMMI Ternate, Maluku Utara
KAMMI dalam Garis Besar Haluan
Organisasi, menuliskan dalam Karakter Organisasi, KAMMI adalah organisasi
pengkaderan (harokatut tajnid) dan
organisasi pergerakan (harokatul amal).
Bahkan mungkin KAMMI dengan segala karakter kadernya, ‘segelintir kader’ lebih
menempatkan sebagai harokatut tajnid
yang berbaur ke dalam harokatul amal.
Atau organisasi pengkaderan yang harusnya tertampak sebagai organisasi
pergerakan.
Umumnya organisasi mahasiswa atau organisasi
kepemudaan identik dengan gerakan mahasiswa. Dan ini pula yang paling diminati
oleh mahasiswa, bentuk gerakan mahasiswa seperti aksi-aksi demonstrasi atau
yang sejenisnya (defenisi secara sempit). Pertanyaan mendasarnya adalah
bolehkah ada mahasiswa yang tidak tertarik dengan aksi-aksi demonstrasi
terlibat dalam KAMMI? Atau sebaliknya bagaimana KAMMI menampung orang-orang
yang tidak terlalu tertarik dengan aksi-aksi demonstrasi?
Gerak yang Teratur
Ustad Hilmi Aminudin dalam salah
satu taujihnya mengatakan kehidupan senantiasa berbasiskan gerak (defenisi
secara luas) dan itu adalah sunatullah.
Kehidupan didasari oleh adanya gerak. Ketiadaan gerak sering kali diindikasikan
sebagai tidak adanya kehidupan dan sunatullah
gerak dalam kehidupan ini adalah sunatullah
kauniyah, yakni mencakup seluruh semesta alam dan semesta makhluk. Seluruh
makhluk bergerak, termasuk galaksi-galaksi, matahari, bintang-bintang, dan
bulan. Seluruhnya bergerak tetapi tetap dalam porosnya. Ada keseimbangan antara
keharusan bergerak dan keharusan untuk tetap terikat pada porosnya.
Dalam hal ini akan berimplikasi
dalam beberapa hal yakni, karakter kader, kepemimpinan, dan tata kelola
organisasi.
Pertama, karakter kader, menjadi jawaban agar KAMMI yang
cenderung ditempatkan sebagai organisasi pergerakan yang hanya identik dengan
‘aksi demonstrasi’ dapat menampung segala karakter pemuda. Dalam sebuah dialog
antara Yusuf Qardhawi dengan beberapa aktivis Harakah Islam, “mereka menyampaikan kritikan kepada Ikhwan,
menurut mereka Ikhwan terlalu disibukkan melakukan aktivitas yang sesungguhnya
merupakan tugas sebuah negara Islam, seperti pekerjaan sosial dan kemasyrakatan
di antaranya mendirikan klinik kesehatan dan rumah sakit serta rumah-rumah
panti asuhan, membantu masyarakat banyak serta menebar amal sosial lainnya.
Menurut mereka pekerjaan seperti ini dapat melenakan kaum muslimin dari
kewajiban mendirikan sebuah negara dan menegakkan khilafah, karena ia akan
terlalu banyak menyita waktu masyarakat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
sosial daripada tugas berdakwah”.
Mengenai ini ada sebuah jawaban
menarik dari Yusuf Qardhawi yang penulis kutip sebagai mengenai karakter kader,
“dalam setiap kelompok, kemampuan dan
sumber daya yang dimiliki biasanya sangat beragam dan berbeda-beda. Ada yang
pakar dalam bidang pemikiran, yang lainnya mahir dalam berdakwah, yang lain
tidak ahli dalam keduanya tapi sukses dalam berinteraksi sosial. Oleh sebab
itu, mengapa potensi yang sangat beragam ini tidak diikat agar semuanya dapat
dimanfaatkan untuk membantu masyarakat dan meringankan beban mereka. Sedang
Allah akan menolong seseorang, selama ia mau menolong saudaranya”.
Jadi apapun bentuk karakter kadernya ia tetap otentik dengan karakternya, tapi
akarnya tetap tarbiyah, seperti kata Ustad Hilmi, “Saya hanya ingin mengingatkan
bahwa titik tekan perjalanan kita memasuki tatanan dakwah ini adalah melalui
pintu tarbiyah dan itu adalah satu-satunya pintu masuk ke dalam dakwah ini.
Tidak ada pintu ekonomi, pintu politik, atau pintu budaya, yang ada hanya pintu
tarbiyah. Walaupun setelah masuk, bisa saja menjadi aktivis politik, pengusaha,
budayawan, seniman, ekonom, pendidik, atau apapun profesi lainnya”.
Kedua, kepemimpinan. Kesadaran akan keberagaman karakter kader
sebagai alur gerakan akan berkaitan dengan kepemimpinan. Secara mendasar Ustad
Hilmi membagi kepemimpinan dalam dua hal, yakni, pertama, kepemimpinan mauhuubah, ada proses pertumbuhan
kepemimpinan yang bersifat pemberian dari Allah SWT. Dicontohkan seperti versi
Thalut dan versi Nabi Musa, keduanya memiliki kekuatan dari segi ilmu dan fisik
serta mentalitas dan integritas pribadinya. Atau mungkin dapat disebut sebagai
kepemimpinan lahiriah. Kedua, kepemimpinan muktasabah,
jenis kepemimpinan yang dibentuk dan diusahakan. Kepemimpinan juga bisa
ditumbuhkan melalui jalur pengkaderan dan pelatihan serta pembinaan.
Dua jenis kemunculan pemimpin yakni
lahiriah dan melalui pengkaderan mempunyai karakternya masing-masing. Pada
umumnya tipe pemimpin lahiriah sejak awal telah memiliki kharisma sehingga
sosoknya merupakan pemimpin kharismatik yang memiliki aura kepemimpinan.
Sementara jenis atau tipe pemimpin (melalui pengkaderan), biasanya kharismanya
baru akan tumbuh seiring bertambahnya pengalaman dan kebijaksanaannya. Ia akan
diakui integritas kepemimpinannya karena pengalamannya selama ini. Tapi
keduanya juga memiliki kelemahan masing-masing, yakni biasanya jenis
kepemimpinan lahiriah bila tidak terus digali, dilatih, dan ditingkatkan
kemampuannya boleh jadi memiliki kelemahan dalam hal manajemen atau tata kelola
organisasi. Dan kepemimpinan (melalui pengkaderan) biasanya memiliki kelemahan
dalam keberanian moral sehingga tidak cepat dalam mengambil keputusan dan
kurang berani mengambil resiko.
Tentu saja hal yang terbaik adalah
bila tipe pemimpin lahiriah dan pemimpin (melalui pengkaderan) bisa dipadukan
yakni pemimpin lahiriah yang terlatih sehingga didapatkan kepemimpinan
pengkaderannya dalam tata kelola. Atau sebaliknya pemimpin (melalui
pengkaderan) yang meningkatkan integritasnya yang terus ditempa oleh pengalaman
dan juga pembinaan.
Hal ini agar dalam konteks
kepemimpinan KAMMI, bukan penegasan bahwa KAMMI harus dipimpin oleh ‘tipekal
karakter kader pergerakan’ tapi atas dasar kesadaran mengenai tipekal
kepemimpinan yang disesuaikan dengan keberagaman kader agar semua tetap
otentik. Dan kepemimpinan di dalam KAMMI sesuai dengan kompetensi inti atau
pusat keunggulan ketuanya dan pengurusnya.
Dengan begini peran-peran
terdistribusi dalam banyak bentuk. Begitulah Rasulullah mendistribusi
peran-peran para pahlawan (sahabat). Inilah yang menggambarkan antara Khalid
bin Walid dan Umar bin Khatab. Mereka sama-sama berasal dari klan Bani Makhzum,
memiliki postur tubuh yang tinggi dan besar, wajah yang sangat mirip, dan
bangunan karakter yang sama. Namun, keduanya memiliki perbedaan yang tipis pada
tipologi keprajuritan. Keprajuritan Khalid bersifat agresif sementara
keprajuritan Umar bersifat pembelaan. Sehingga Khalid bin Walid selalu mendapat
peran sebagai panglima perang. Adapun Umar bin Khattab, walaupun memenuhi semua
kualifikasi sebagai panglima perang tapi ia tidak pernah ditunjuk menjadi
komandan perang. Dan ternyata Umar bin Khatab ditempatkan sebagai negarawan
besar, khalifah.
Begitulah akhirnya kedua pahlawan
itu menjadi ulung pada perannya masing-masing. Khalid dikenal karena keberanian
dan kehebatan strategi perangnya sementara Umar dikenal karena kasih sayang dan
keadilannya kepada rakyatnya. Dua legenda Islam menjadi abadi dalam sejarah
karena keduanya meniti jalan kepahlawanan pada jalur kompetensi intinya
masing-masing (sebagaimana ditulis oleh Anis Matta, 2013).
Mengelola Keberagaman
Ketiga, tata kelola organisasi.
Untuk mengelola keberagaman perlu ada tata kelola organisasi. Dalam salah satu
taujih Ustad Hilmi, beliau mengkonsepkan, pertama, istiqamah, konsisten. Konsistensi ini tentu saja bukan sesuatu yang
statis karena konsisten tidak identik dengan statis melainkan dinamis.
Konsisten ini berhubungan dengan keaktifan kader dalam mensukseskan program
kerja organisasi. Kedua, memiliki orientasi yang jelas. Adanya konsep-konsep
organisasi yang memperjelas arah gerak organisasi selama kepengurusan. Dan
konsep-konsep ini harusnya dapat diukur.
Ada sebuah analogi yang cukup menarik dalam hal ini: sebuah lomba lari
atau perjalanan. Kader tidak seperti orang yang berlomba lari namun tidak tahu
startnya dimana dan tidak tahu pula akan berakhir di garis finish yang mana.
Atau seperti dalam rute perjalanan misalkan Sabia hingga Kalumata (keduanya di Maluku Utara), ada kader
yang merasa startnya di Koloncucu dan tiba-tiba merasa finishnya di Santiong, ada kader lain pula yang merasa finishnya di Bastiong sudah cukup,
dan seterusnya (beberapa daerah tersebut juga berada di Maluku Utara). Dengan kata lain, kader kehilangan alur orientasi organisasi yang terukur.
Kita sering menemukan hal ini dalam pergaulan sehari-hari. Banyak kader yang cenderung mengatakan “alhamdulillah, kita
sudah melakukan capaian sejauh ini, lumayan”. Padahal kata lumayan tidak dapat
diukur dan akan relatif. Harus ada output yang bisa diukur keberlanjutan dan efek gerakannya, terutama bagi KAMMI.
Ketiga, konsepsi tentang tawazun
(keseimbangan). Keseimbangan merupakan titik penghubung antara konsistensi dan
orientasi yang jelas. Agar kader tidak mengatakan KAMMI itu berhasil kalau
cenderung sebagai organisasi pergerakan atau KAMMI itu baik kalau
pengkaderannya berjalan lancar. Atau secara pemikiran, KAMMI itu dinilai
berhasil kalau KAMMI menjadi kanan, atau KAMMI menjadi kiri, atau KAMMI menjadi
kanannya kanan, atau kirinya kanan, atau kanannya kiri, atau kirinya kiri.
Tipekal karakter kader KAMMI. Tapi adanya titik tengah yang memperjelas
mengenai itu. Dan Rasulullah katakan “Sebaik-baik urusan adalah yang
pertengahan”.
Keempat, istimrariyah,
kontinuitas. Kontinuitas harus menjadi efek dari konsistensi, orientasi yang
jelas dan keseimbangan. Konsepsi berkelanjutan ini adalah bagian dari bentuk
kedinamisan dalam mengelola organisasi. Sesuatu yang belum dikonsepkan,
dikonsepkan tapi konsepsinya tidak menjadi baku sehingga dapat menjadi dinamis
sesuai dengan kondisi. Sehingga KAMMI tidak terkesan sebagai organisasi yang
mengkritisi aturan-aturan pemerintah (perda, undang-undang, dan
regulasi-regulasi lain) tapi tidak tuntas menyelesaikan konsep-konsep dasar
organisasinya. Disorientasi. Kontinuitas adalah bagian dari perasaan berdaya
untuk terus mewujudkan konsep-konsep organisasi dan program kerja yang
dicanangkan secara berkelanjutan.
Kelima, taurits,
pewarisan. Langkah ini dari satu generasi ke generasi berikut dapat terwariskan
alur gerakannya (konsep organisasinya) dan dapat bersifat pewarisan yang
berkelanjutan. Karena peradaban itu lahir karena akumulasi antar generasi.
Dengan demikian memaknai keberagaman
karakter kader sebagai alur gerakan merupakan gerak yang memiliki porosnya
sehingga ia menjadi amal jama’i. Dan semua itu ia memiliki orientasi yang dapat
terukur, teratur, dan terstruktur sebagai sunatullah
pergerakan. Dengan kata lain, keberagaman kader sendiri sebetulnya adalah aset, bukan penghalang bagi besarnya KAMMI. Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar