oleh: Ahmad Rizky M. Umar
Editor Jurnal KAMMI Kultural
Apa artinya menonton film Tjokroaminoto, di masa ketika semua orang menjadi sensitif dengan harakah atau perkumpulan lain?
Banyak catatan tentang film Tjokroaminoto yang baru-baru ini diangkat oleh sineas Garin Nugroho.Saya tidak ingin menggarami air laut dengan menambahkan catatan atas film ini. Tapi, ada sedikit hal yang mengusik saya tentang Tjokro, sisi yang sering terlupakan: sisi Tjokro sebagai seorang 'murabbi'.
courtesy of citraindonesia.com |
Bagi saya, pesan yang ditampilkan Tjokroaminoto sebetulnya sederhana: semua orang adalah murid, dan semua tempat adalah pembelajaran. Mungkin
hal ini sudah sering disebut-sebut, tapi menarik untuk diulang kembali:
ada tiga orang murid Tjokro yang di kemudian hari berselisih jalan.
Namanya Soekarno, Semaun, dan Kartosoewirjo.
Ini
menarik. Ketiganya berjalan di atas garis ideologi yang kemudian saling
berhadapan setelah kemerdekaan: nasionalis, komunis, dan Islamis.
Tjokro-lah yang memberikan dasar bagi mereka dalam membangun dan
mengembangkan garis ideologinya.
Profil Tjokroaminoto
menarik. Ia memimpin Sarekat Islam setelah menerima mandat dari
Samanhudi, seorang pengusaha batik dari Solo. Sarekat Islam awalnya
memang bukan organisasi politik. Ia adalah organisasi para pebisnis yang
agaknya resah karena pebisnis Cina menguasai pasar, dan berkehendak
untuk membangun serikat. Samanhudi mendirikan organisasi itu bersama
rekan-rekannya. Kemudian, ia serahkan pada Tjokroaminoto.
Di
tangan Tjokro, organisasi ini berubah menjadi momok menakutkan bagi
pemerintah Kolonial Belanda: radikal, militan, dan solid.
Prinsipnya memang sederhana: Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.
Pesannya yang terkenal: "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar,
menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Itu ia
sampaikan pada murid-muridnya. Alhasil, kita kenal Soekarno dengan
ketajaman pidatonya, Kartosoewirjo dengan taktik gerilyanya, dan Tan
Malaka dengan kecerdasan intelektualnya.
Tapi Tjokro
bukan seorang guru seperti Ki Hajar Dewantara atau seorang aktivis
sosial seperti Ahmad Dahlan. Ia sendiri juga bukan seorang Doktor seperti Hatta, Soemitro, atau Sjahrir. Ia tidak membangun sekolah. Ia juga tidak
membuat rumah sakit. Kecuali itu, ia menulis dengan sangat bernas dan ideologis. Tapi ini hal paling menarik yang ia lakukan, seperti kata seorang teman membuka usaha kos-kosan. Usaha yang terbukti penting dalam kaderisasi gerakan kebangsaan di Indonesia kn depannya. Sasarannya adalah mahasiswa HIS dan
MULO yang lagi belajar.
Namun, tentu bukan sekadar kos-kosan yang dibangun oleh Tjokrio. Dari sini ia menginisiasi sebuah hal yang menjadi soko guru gerakan sosial: kaderisasi.
Namun, tentu bukan sekadar kos-kosan yang dibangun oleh Tjokrio. Dari sini ia menginisiasi sebuah hal yang menjadi soko guru gerakan sosial: kaderisasi.
Ada anak muda bernama Semaun. Anak muda
cerdas yang sudah mengorganisir buruh kereta api di Semarang pada usia
17 tahun. Di usia itu, usia aktivisme saya masih aktivisme sekolah. Anak
muda itu ia didik di Surabaya. Belakangan ia kembali ke Semarang dan
aktif di Cabang Sarekat Islam kota tersebut. Lalu, mungkin gara-gara
keradikalannya, ia dicap komunis. Akhirnya Sarekat Islam Semarang pecah.
Sebagian berwarna merah, sebagian lagi tetap dengan garis Tjokro.
Kemudian muncullah anak muda bernama Soekarno. Lama di Bandung, ia tidur di rumah
Tjokro. Dari sana ia belajar. Nasionalisme dan penolakannya terhadap
kolonialisme Belanda tumbuh di sana. Lulus dari 'madrasah kecil' Tjokro,
ia mendirikan Partai Nasionalis Indonesia, yang mengantarkannya menjadi
seorang pemimpin kebangsaan Indonesia.
Ada lagi
seorang muslim taat, bernama Kartosoewirjo. Pribadi yang agak misterius,
tetapi kukuh dengan prinsip. Ia turut mendirikan Masyumi. Ketika
Belanda ingin berkuasa kembali, ia lari ke hutan dan bergerilya. Sampai
akhirnya Belanda pergi dan Soekarno memimpin. Tak puas dengan Soekarno,
ia melawan dan mendirikan Darul Islam. Konfrontasi yang mengantarkannya
pada hukuman mati di penghujung 1950an.
Tak ketinggalan dan perlu dicatat,
seorang pemuda muslim modernis bernama Fakhruddin. Murid dari KH Ahmad Dahlan,
ia turut dalam hiruk-pikuk dunia pergerakan tahun 1920an dengan menjadi
Editor Islam Bergerak, bersama Haji Misbach. Oleh Tjokro, ia diangkat
sebagai Sekretaris Sarekat Islam Yogyakarta. Ia kemudian menjadi Wakil
Ketua Muhammadiyah. Ketika SI dan Muhammadiyah berselisih, ia membela
panji-panji persyarikatan. Walau, sebagaimana catatan Alfian, identitas
Sarekat Islam juga tak kunjung pudar dari dalam dirinya, hingga akhir
hayatnya.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin dari seorang
Tjokro bisa melahirkan tiga-empat orang dengan destinasi ideologis yang
sama sekali berbeda?
Mungkin akan menarik jika ada
seorang mahasiswa Pendidikan yang mengulas hal ini dari segi metode
pedagogik. Tetapi dalam konteks pergerakan, saya melihatnya lebih
sederhana: ini soal transfer pengetahuan. Seorang 'senior' gerakan yang
baik bukanlah mereka yang ingin agar 'junior'-nya ingin agar mereka
menjadi seperti ia dulu, melainkan ia yang mampu membuat seorang
'junior' memahami siapa dirinya dan mengapa ia harus bergerak. Hal ini
yang langka. Tidak semua bisa melakukan hal ini, termasuk saya.
Belajar
dari Tjokro, penting bagi kita untuk menjadikan organisasi sebagai
tempat pembelajaran. Tempat seorang manusia bisa mengartikulasikan apa
yang ia miliki dalam tim. Mungkin, terlihat sederhana. Tetapi berat,
ketika sebagai senior kita gagal memberikan mereka tempat untuk belajar
dan mengembangkan dirinya.
Tjokro tidak selalu sepaham
dengan murid-muridnya. Ia berselisih jalan dengan Soekarno. Ia juga,
kemudian, berbeda haluan -bahkan berkonflik- dengan Fakhruddin beserta
kawan-kawannya di Muhammadiyah. Namun, dari sini juga kita bisa
mengambil hikmah: mungkin dengan jalan yang demikian kita bisa
berdinamika. Pahit, memang, rasanya. Tetapi bagi organisasi-organisasi
mahasiswa, hal ini justru penting. Organisasi mahasiswa sejatinya adalah
organisasi pembelajaran. Saya harus mengakui bahwa karakter yang saya
temui pada diri saya hari ini, sebagiannya, dibentuk dari keterlibatan
dalam organisasi mahasiswa. Itulah sebabnya, pembelajaran menjadi
sesuatu yang sangat penting dalam gerakan mahasiswa.
Mungkin, jika digubah dalam bahasa harakah, Tjokro seperti memberikan pembelajaran bersama: setiap orang adalah murabbi. Dan setiap momentum interaksi adalah halaqah. Oleh
sebab itu, jadilah seorang aktivis yang proporsional, sebagaimana juga
jadikanlah setiap orang, dengan segala bentuk keterbatasannya, sebagai
tempat menimba ilmu. Karena toh tidak ada manusia yang sempurna. Tidak
ada juga orang yang benar-benar jahat. Proporsional saja, karena ilmu
tidak mengalir dari hanya satu tempat.
Oleh sebab itu,
bagi organisasi Islam hari ini, yang semakin berat tantangannya,
menonton film Tjokro berarti menghadirkan kembali semangat pembelajaran.
Dan tentu saja semangat pengetahuan. Bukankah Allah sudah menyuruh
kita, dalam wahyu yang pertama kali Ia turunkan, untuk membaca? Bukankah
ayat-ayat Allah itu terbentang luas? Mungkin kita perlu belajar tradisi
keilmuan dari orang-orang Syiah, tradisi pengorganisasian dari
orang-orang Kiri, etika bisnis dan perjuangan hidup dari orang-orang
Liberal. Tapi, Islam juga punya basis nilai sendiri. Basis nilai itulah
yang kita jadikan prinsip dalam setiap interaksi dengan 'Yang-Lain'.
Dan
untuk itulah, mungkin saya perlu kembali menyitir firman Allah: "...Dan
janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku
adil..." Dari Tjokro, kita belajar sesuatu yang sederhana namun mungkin
relevan: Belajarlah! Karena dengan datangnya pengetahuan, perubahan itu
semakin nyata. Dan mungkin, dari orang-orang yang berbeda dari kita,
bisa jadi, pengetahuannya berakar dari pohon yang sama.
Syahdan, Rijalul Imam, mantan Ketua Umum KAMMI yang terkenal itu, pernah menulis bahwa KAMMI seyogyanya menjadi komunitas pembelajar. Dengan demikian, kader-kader KAMMI bisa menjadi kader yang berwawasan luas. Alumninya bisa berkontribusi untuk umat. Dan di tingkat internasional KAMMI bisa membawa perubahan. Ini seruan penting dan perlu diteruskan. Mungkin sudah saatnya KAMMI punya alumni-alumni yang seperti Tjokro: memberi pencerahan, menggerakkan, namun tak memaksakan. Dengan demikian, adik-adiknya bisa belajar dan menjadi diri mereka sendiri tanpa harus menanggung beban sejarah.
Di sinilah sering saya ingin tersenyum. Karena, mungkin saja, harapan saya terlalu tinggi.
Wallahu a'lam bish shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar