25 April 2015

Menjadi Tjokro, Menjadi Guru untuk Semua

oleh: Ahmad Rizky M. Umar
Editor Jurnal KAMMI Kultural 

Apa artinya menonton film Tjokroaminoto, di masa ketika semua orang menjadi sensitif  dengan harakah atau perkumpulan lain?

Banyak catatan tentang film Tjokroaminoto yang baru-baru ini diangkat oleh sineas Garin Nugroho.Saya tidak ingin menggarami air laut dengan menambahkan catatan atas film ini. Tapi, ada sedikit hal yang mengusik saya tentang Tjokro, sisi yang sering terlupakan: sisi Tjokro sebagai seorang 'murabbi'.
courtesy of citraindonesia.com

Bagi saya, pesan yang ditampilkan Tjokroaminoto sebetulnya sederhana: semua orang adalah murid, dan semua tempat adalah pembelajaran. Mungkin hal ini sudah sering disebut-sebut, tapi menarik untuk diulang kembali: ada tiga orang murid Tjokro yang di kemudian hari berselisih jalan. Namanya Soekarno, Semaun, dan Kartosoewirjo.

Ini menarik. Ketiganya berjalan di atas garis ideologi yang kemudian saling berhadapan setelah kemerdekaan: nasionalis, komunis, dan Islamis. Tjokro-lah yang memberikan dasar bagi mereka dalam membangun dan mengembangkan garis ideologinya.


Profil Tjokroaminoto menarik. Ia memimpin Sarekat Islam setelah menerima mandat dari Samanhudi, seorang pengusaha batik dari Solo. Sarekat Islam awalnya memang bukan organisasi politik. Ia adalah organisasi para pebisnis yang agaknya resah karena pebisnis Cina menguasai pasar, dan berkehendak untuk membangun serikat. Samanhudi mendirikan organisasi itu bersama rekan-rekannya. Kemudian, ia serahkan pada Tjokroaminoto. 

Di tangan Tjokro, organisasi ini berubah menjadi momok menakutkan bagi pemerintah Kolonial Belanda: radikal, militan, dan solid. 

Prinsipnya memang sederhana: Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.  Pesannya yang terkenal: "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator". Itu ia sampaikan pada murid-muridnya. Alhasil, kita kenal Soekarno dengan ketajaman pidatonya, Kartosoewirjo dengan taktik gerilyanya, dan Tan Malaka dengan kecerdasan intelektualnya. 

Tapi Tjokro bukan seorang guru seperti Ki Hajar Dewantara atau seorang aktivis sosial seperti Ahmad Dahlan. Ia sendiri juga bukan seorang Doktor seperti Hatta, Soemitro, atau Sjahrir. Ia tidak membangun sekolah. Ia juga tidak membuat rumah sakit. Kecuali itu, ia menulis dengan sangat bernas dan ideologis. Tapi ini hal paling menarik yang ia lakukan, seperti kata seorang teman membuka usaha kos-kosan. Usaha yang terbukti penting dalam kaderisasi gerakan kebangsaan di Indonesia kn depannya. Sasarannya adalah mahasiswa HIS dan MULO yang lagi belajar. 

Namun, tentu bukan sekadar kos-kosan yang dibangun oleh Tjokrio. Dari sini ia menginisiasi sebuah hal yang menjadi soko guru gerakan sosial: kaderisasi.

Ada anak muda bernama Semaun. Anak muda cerdas yang sudah mengorganisir buruh kereta api di Semarang pada usia 17 tahun. Di usia itu, usia aktivisme saya masih aktivisme sekolah. Anak muda itu ia didik di Surabaya. Belakangan ia kembali ke Semarang dan aktif di Cabang Sarekat Islam kota tersebut. Lalu, mungkin gara-gara keradikalannya, ia dicap komunis. Akhirnya Sarekat Islam Semarang pecah. Sebagian berwarna merah, sebagian lagi tetap dengan garis Tjokro.

Kemudian muncullah anak muda bernama Soekarno. Lama di Bandung, ia tidur di rumah Tjokro. Dari sana ia belajar. Nasionalisme dan penolakannya terhadap kolonialisme Belanda tumbuh di sana. Lulus dari 'madrasah kecil' Tjokro, ia mendirikan Partai Nasionalis Indonesia, yang mengantarkannya menjadi seorang pemimpin kebangsaan Indonesia. 

Ada lagi seorang muslim taat, bernama Kartosoewirjo. Pribadi yang agak misterius, tetapi kukuh dengan prinsip. Ia turut mendirikan Masyumi. Ketika Belanda ingin berkuasa kembali, ia lari ke hutan dan bergerilya. Sampai akhirnya Belanda pergi dan Soekarno memimpin. Tak puas dengan Soekarno, ia melawan dan mendirikan Darul Islam. Konfrontasi yang mengantarkannya pada hukuman mati di penghujung 1950an.

Tak ketinggalan dan perlu dicatat, seorang pemuda muslim modernis bernama Fakhruddin. Murid dari KH Ahmad Dahlan, ia turut dalam hiruk-pikuk dunia pergerakan tahun 1920an dengan menjadi Editor Islam Bergerak, bersama Haji Misbach. Oleh Tjokro, ia diangkat sebagai Sekretaris Sarekat Islam Yogyakarta. Ia kemudian menjadi Wakil Ketua Muhammadiyah. Ketika SI dan Muhammadiyah berselisih, ia membela panji-panji persyarikatan. Walau, sebagaimana catatan Alfian, identitas Sarekat Islam juga tak kunjung pudar dari dalam dirinya, hingga akhir hayatnya.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin dari seorang Tjokro bisa melahirkan tiga-empat orang dengan destinasi ideologis yang sama sekali berbeda?

Mungkin akan menarik jika ada seorang mahasiswa Pendidikan yang mengulas hal ini dari segi metode pedagogik. Tetapi dalam konteks pergerakan, saya melihatnya lebih sederhana: ini soal transfer pengetahuan. Seorang 'senior' gerakan yang baik bukanlah mereka yang ingin agar 'junior'-nya ingin agar mereka menjadi seperti ia dulu, melainkan ia yang mampu membuat seorang 'junior' memahami siapa dirinya dan mengapa ia harus bergerak. Hal ini yang langka. Tidak semua bisa melakukan hal ini, termasuk saya. 

Belajar dari Tjokro, penting bagi kita untuk menjadikan organisasi sebagai tempat pembelajaran. Tempat seorang manusia bisa mengartikulasikan apa yang ia miliki dalam tim. Mungkin, terlihat sederhana. Tetapi berat, ketika sebagai senior kita gagal memberikan mereka tempat untuk belajar dan mengembangkan dirinya. 

Tjokro tidak selalu sepaham dengan murid-muridnya. Ia berselisih jalan dengan Soekarno. Ia juga, kemudian, berbeda haluan -bahkan berkonflik- dengan Fakhruddin beserta kawan-kawannya di Muhammadiyah. Namun, dari sini juga kita bisa mengambil hikmah: mungkin dengan jalan yang demikian kita bisa berdinamika. Pahit, memang, rasanya. Tetapi bagi organisasi-organisasi mahasiswa, hal ini justru penting. Organisasi mahasiswa sejatinya adalah organisasi pembelajaran. Saya harus mengakui bahwa karakter yang saya temui pada diri saya hari ini, sebagiannya, dibentuk dari keterlibatan dalam organisasi mahasiswa. Itulah sebabnya, pembelajaran menjadi sesuatu yang sangat penting dalam gerakan mahasiswa. 

Mungkin, jika digubah dalam bahasa harakah, Tjokro seperti memberikan pembelajaran bersama: setiap orang adalah murabbi. Dan setiap momentum interaksi adalah halaqah. Oleh sebab itu, jadilah seorang aktivis yang proporsional, sebagaimana juga jadikanlah setiap orang, dengan segala bentuk keterbatasannya, sebagai tempat menimba ilmu. Karena toh tidak ada manusia yang sempurna. Tidak ada juga orang yang benar-benar jahat. Proporsional saja, karena ilmu tidak mengalir dari hanya satu tempat. 

Oleh sebab itu, bagi organisasi Islam hari ini, yang semakin berat tantangannya, menonton film Tjokro berarti menghadirkan kembali semangat pembelajaran. Dan tentu saja semangat pengetahuan. Bukankah Allah sudah menyuruh kita, dalam wahyu yang pertama kali Ia turunkan, untuk membaca? Bukankah ayat-ayat Allah itu terbentang luas? Mungkin kita perlu belajar tradisi keilmuan dari orang-orang Syiah, tradisi pengorganisasian dari orang-orang Kiri, etika bisnis dan perjuangan hidup dari orang-orang Liberal. Tapi, Islam juga punya basis nilai sendiri. Basis nilai itulah yang kita jadikan prinsip dalam setiap interaksi dengan 'Yang-Lain'.

Dan untuk itulah, mungkin saya perlu kembali menyitir firman Allah: "...Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil..." Dari Tjokro, kita belajar sesuatu yang sederhana namun mungkin relevan: Belajarlah! Karena dengan datangnya pengetahuan, perubahan itu semakin nyata. Dan mungkin, dari orang-orang yang berbeda dari kita, bisa jadi, pengetahuannya berakar dari pohon yang sama.

Syahdan, Rijalul Imam, mantan Ketua Umum KAMMI yang terkenal itu, pernah menulis bahwa KAMMI seyogyanya menjadi komunitas pembelajar. Dengan demikian, kader-kader KAMMI bisa menjadi kader yang berwawasan luas. Alumninya bisa berkontribusi untuk umat. Dan di tingkat internasional KAMMI bisa membawa perubahan. Ini seruan penting dan perlu diteruskan. Mungkin sudah saatnya KAMMI punya alumni-alumni yang seperti Tjokro: memberi pencerahan, menggerakkan, namun tak memaksakan. Dengan demikian, adik-adiknya bisa belajar dan menjadi diri mereka sendiri tanpa harus menanggung beban sejarah. 

Di sinilah sering saya ingin tersenyum. Karena, mungkin saja, harapan saya terlalu tinggi.

Wallahu a'lam bish shawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar