24 April 2015

KAMMI, Muslim dan Demokrasi: Refleksi 17 Tahun KAMMI

Oleh:  Dharma Setyawan
Direktur Sai Wawai Institute

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) telah berusia 17 Tahun. Perjalanan usia yang bisa dikatakan romantik dalam gerakan. Lahir 29 Maret 1988 dalam suasana politik yang sangat mendidih menuju orde reformasi. Berawal dari semangat gerakan masjid dan kampus (Andi Rahmat & M Najib, 2007), KAMMI memantapkan diri sebagai bagian rakyat dan bergerak bersama rakyat di lingkar gerakan ekstra-kampus. 

Sebagai sebuah kesungguhan tekad, gerakan KAMMI memberi mimpi segar bagi anak-anak muda pasca-Soeharto untuk memantapkan gerakan mahasiswa dalam semangat reformasi total. Sebagai gerakan ‘Muslim Negarawan’, KAMMI menarasikan paradigma gerakannya sebagai gerakan Tauhid, Intelektual Profetik, Sosial Independent dan Ekstra-parlementer. Paradigma ini menuntut konsistensi KAMMI dalam perjalanannya. Menyandang diri sebagai gerakan Islam, KAMMI acapkali menuai kritik—misal soal independensi—yang jelas menjadi basis gerakan yang dipertaruhkan dimuka publik.


Muslim: Bingkai Gerakan KAMMI.
KAMMI memang tidak menyebut nama Islam dalam tubuh namanya. Kata ‘muslim’ menjadi penanda kefahaman umum dialektika penganut Islam dalam sejarah agama samawi. Muslim—berserah diri—mengandung sikap egaliter untuk maksud yang lebih global dalam logika sosial profetik Kuntowijoyo yaitu humanisasi, liberasi, transedensi (Q.S. Ali Imron/3:110). Humanisme berarti ukhrijat linnas yang berjuang dan bergerak ditengah-tengah manusia. Liberasi berarti ta'muruna bil makruf--memerdekakan manusia dari segala bentuk kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan. Karena semua itu bertentangan dengan perikemanusiaan dan akal nurani sehat. Transedensi tu’minunabillah mengajak manusia dari penghambaan benda ke tauhid ilahhi.

Makna muslim lebih diperluas sebagai sikap ‘manusia bekerja’. Dengan kata lain KAMMI bukanlah Islam yang eksklusif (tertutup) tapi inklusif (terbuka) sebagaimana Nabi Ibrahim—bapak para nabi yahudi, nasrani— seorang muslim ‘berserah diri’ sebenarnya. Dan ‘Islam’ sendiri sebagai nilai yang terus diperjuangan oleh seorang muslim.  Muslim dalam tubuh KAMMI adalah sikap manusia Islam yang menjalankan peran maraih nilai Islam. 

Maka KAMMI seharusnya menjadi jembatan ide dan gagasan yang lebih ramah membawa Islam dalam bingkai KAMMI itu sendiri. Muslim yang menolak ber-asobiyah—bergolongan—dengan sekte-sekte gerakan Islam. Tapi muslim yang mendialektikan Islam dengan sadar, rasa persaudaraan dan anti-parokialisme (pandangan pribadi terhadap dunia hanya didasarkan pada perspektif dan nilai-nilai sendiri).

"Muslim Demokrasi": Dari Hatta ke Reformasi Indonesia
Saat terjadi perdebatan sengit tentang demokratisasi Indonesia, Soekarno dan Hatta beradu pendapat soal kedaulatan rakyat dan keadilan sosial. Usul  Hatta, M. Yamin dan lainnya tentang kebebasan-kebebasan demokratis, hak menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tertulis, hak berkumpul dan hak berserikat agar ditetapkan dalam undang-undang sempat ditolak oleh Sokarno dan Supomo. Alasan bagi golongan yang menolak bahwa warga negara secara individual memiliki hak-hak dasar tertentu sama dengan membuka pintu bagi individualisme: "Kita rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan individu" (Risalah 207). 

Sebaliknya, Sukarno menyatakan rakyat memerlukan keadilan sosial, padahal kebebasan "tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan". Pun begitu Hatta menolak liberalisme. "Janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara kekuasaan" (Risalah 209).

Jauh hari Bung Hatta telah berpikir begitu dalam soal demokrasi di Indonesia. Menurut Hatta, semangat demokratis para pendiri Republik mempunyai tiga sumber. pertama, paham sosialisme barat yang menjunjung tinggi perikemanusiaan; kedua, ajaran Islam; ketiga, kolektivisme masyarakat Indonesia sebagaimana kelihatan di desa (Hatta: 1960). Hatta menolak kekuasaan absolut pada negara atau orang per orang. Hatta secara jernih sadar kedaulatan rakyat dimunculkan dengan demokrasi, dan demokrasi politik mustahil dilakukan tanpa demokrasi ekonomi.

Point penting yang harus menjadi acuan KAMMI dalam memaknai demokrasi adalah semangat gotong royong untuk membangun kedaulatan rakyat bukan pemihakan golongan, agama, partai, suku,dan lainnya. Ajaran Islam yang selama ini selalu dipertanyakan sejalan tidak dengan demokrasi, telah lama dipikirkan oleh Hatta sebagai sebuah warisan teologi yang positif. Seturut dengan itu sikap kolektivisme rakyat telah lahir secara ‘genuin’ untuk membangun kemanusiaan seutuhnya. Dalam arti lain kita semua butuh memenuhi isi perut tapi kita juga dilarang mengekang kebebasan individu-individu yang bebas menyatakan pendapat, berserikat dan memilih demokratisasi. Namun tetap dengan catatan kebebasan yang bertanggung jawab. 

Pikiran modern Hatta inilah yang hari ini masih relevan  menyatukan ide sosialisme barat, Islam dan kolektivisme lokal. Maka wajar jika sikap diktator Orde Baru tidak mengizinkan sikap demokratis Hatta untuk mendirikan sebuah Partai Demokrasi Islam Indonesia yang mungkin jika bediri menjadi contoh relevansi Islam dan Demokrasi. 

Muslim demokrasi yang harus dipijak KAMMI untuk masa depan Indonesia setidaknya ikut menjaga nilai sejarah yang diwariskan Hatta ini tetap terpelihara. Sehingga, KAMMI ikut andil menjelaskan secara baik, jika ada pihak golongan Islam lain yang masih menyalahkan sistem demokrasi yang tidak berjalan linier dengan nilai demokrasi. Sebab, suka atau tidak suka, sikap mempertentangkan pancasila dan membenturkan dengan ide khilafah—misalnya—sesuatu yang jelas terburu-buru. 

Kita tidak bisa memungkiri bahwa Pancasila penuh dengan nilai Islam—tauhid (ketuhanan), al-insan (kemanusiaan) ,al-ukhuwah (persatuan), musyawarah, al-adalah (keadilan).  Sedangkan Bung Hatta sudah lama berkeringat bicara Islam dan demokrasi sejak awal, dengan rentetan kegagalannya yang lain untuk mendirikan Partai demokrasi Islam Indonesia. Ini yang patut dibaca dalam konteks demokrasi Indonesia.

Dengan membaca trayektori sejarah ini, penting bagi KAMMI untuk mengembangkan sebuah sikap “muslim demokrasi” yang matang. Hal ini antara lain dengan menjadikan gerakan KAMMI benar-benar nyata yaitu KAMMI untuk Indonesia. Bukan KAMMI yang dicap tidak konsisten karena telah berkhianat dengan janji gerakannya sebagai gerakan sosial independent dan gerakan ekstra-parlementer, atau manis di kredo nihil realitas.

Jadi, peran KAMMI di masa depan akan sangat mulia, dengan catatan ia mampu jika menjaga demokrasi dalam bingkai muslim yang notabene rakyat terbanyak di negeri ini. 

Jika menakar positif narasi bung Hatta dengan kekinian, Timur Tengah yang tidak demokratis dan Barat yang makin liberal adalah kegagalan keduanya dalam membangun semangat kolektivisme lokal di negara-negara mereka. Di Indonesia semangat ini tetap kita rasakan di desa sebagaimana Bung Hatta jauh-jauh hari telah rasakan. Peran KAMMI yang paling penting berikutnya adalah mengawal demokrasi politik menuju demokrasi ekonomi. Dengan sebenar-benarnya sikap independent sebagai gerakan mahasiswa.

Peran demokrasi ekonomi ini lebih luas, dari demokrasi politik yang pusarannya pada elit partai politik. KAMMI harus melampaui partai politik dalam keterlibatannya meningkatkan kualitas demokrasi.  Partai politik bagi KAMMI hanya bagaian dari alat demokrasi prosedural, yang paling subtansial yaitu bagaimana rakyat memiliki kedaulatan menolak oligarki elit dalam menguasai partai, media dan sumber daya alam.  Meskipun alumni KAMMI masuk dalam bingkai partai politik itu bukan berarti struktur KAMMI berubah sikap dan nilai gerakan. KAMMI tetap konsisten dengan posisinya sebagai "Gerakan Mahasiswa".

Independensi sosial dan politik ekstra-parlementer adalah pilihan genuin KAMMI sejak awal berdiri, yaitu sikap mahasiswa yang berjuang bersama rakyat dan berdampak secerdas-cerdasnya untuk rakyat. Bukan berjuang untuk kepentingan partai yang hanya sesaat dan tak berjangka panjang.

Selamat milad untuk KAMMI yang ke-17, tetaplah bergerak tuntaskan perubahan, KAMMI untuk Indonesia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar