2 April 2015

[ULASAN BUKU] Memperdebatkan Kembali Islam dan Pancasila: Beberapa Catatan dari Konstituante

Judul buku                  : Pancasila dan Islam (Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante)
Penyuting                    : Erwin Kusuma dan Khairul
Cetakan                       : Pertama, September 2008
Jumlah halaman           : xxviii + 423 halaman
Penerbit                       : PSP UGM dan TIFA
ISBN                           : 978-979-16291-0-2
Pengulas                     : Kuncoro Probojati *)


Dewan Konstituante dibuat untuk membentuk konstitusi Indonesia yang baru menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS RI). Dalam sidang Dewan Konstituante, perdebatan akan dasar negara menjadi perdebatan yang panjang, melebihi perdebatan di tahun 1945. Tiga usulan diajukan menjadi dasar negara, yaitu; Pancasila, Sosial-Ekonomi dan Islam. Masing-masing partai politik punya dasar falsafah dan ideologis tersendiri.  Buku “Pancasila dan Islam (Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante)” memotret perdebatan itu melalui kumpulan beberapa naskah pidato wakil rakyat yang duduk di Dewan Konstituante yang berisi perdebatan antara Pancasila dan Islam sebagai dasar negara.

Buku ini berisi pandangan dari fraksi Partai Nasional Indonesia (PNI) yang diwakili oleh Soewirjo, Nur Sutan Iskandar dan Roeslan Abdoelgani. Pandangan dari fraksi Masjumi diwakili oleh Moh. Natsir, Kasman Singodimedjo, Rusjad Nurdin, Moh. Isa Anshary, Abdul Kahar Muzakkir dan Hamka. Pandangan dari fraksi Nahdlatul Ulama (NU) diwakili oleh Achmad Zaini, Syarifuddin Zuhri, Zainul Arifin, A. Wahab Chasbullah, dan Masjkur.

Pandangan dari fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI) diwakili oleh Sakirman, Dasuki Siradj, Jean Torey, Wikana dan Njoto. Pandangan fraksi Partai Katolik diwakili oleh Soehardi, Costa dan Cunha. Pandangan dari fraksi Partai Sosialis Indonesia (PSI)  diwakili oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Soedjatmoko. Ada pula pandangan dari IPKI yang diwakili oleh Hamara Effendy.


Berikut beberapa pandangan yang diulas dalam buku ini.

Pandangan Fraksi PNI
Menurut Soewirjo, ajaran Sosial-Ekonomi dan ajaran negara Islam, semuanya adalah baik. Tapi semuanya itu juga sudah tercakup dalam Pancasila (halaman 14).  Sementara Nur Sutan Iskandar mengingatkan bahwa, hasrat, maksud, dan tujuan mengemukaan agama itulah yang boleh dipandang sebagai perbedaan pikiran, yang mungkin menyulitkan perundingan untuk mencapai pensesuaian. Sebab riwayat telah menunjukkan sejak dahulu sampai sekarang, bawa suatu negara yang didasarkan kepada salah sebuah agama jarang yang kekal, jarang sekali yang tidak menimbulkan pertikaian hebat antara negara dengan agama di negera itu sendiri (halaman 17).

Pandangan Fraksi Masjumi 
Menurut Mohammad Natsir, jika kita menerima Islam, maka tak ada satupun dari lima sila yang terumus dalam Pancasila yang akan luput atau gugur. Dalam Islam terdapat kaedah-kaedah yang tentu-tentu, yaitu ketika pure concepts dari sila yang lima itu mendapat subtansi yang rill, mendapat jiwa dan roh penggerak (halaman 75). Lebih lanjut Kasman Singodimedjo berpendapat, Pancasila telah termuat dan ada dalam Islam, karena Islam itu serba sila, tidak terkecuali Pancasila. Sementara tidak mungkin serba sila sudah termasuk di dalam Pancasila (halaman 101).

Sementara itu Rusjad Nurdin, menyampaikan kelemahan dari Pancasila yaitu, keinginan Pancasila untuk menjadi nertral, keinginan hendak tegak berdiri di atas semua ideologi, keinginan hendak melindungi semua ideologi dan membiarkan masing-masing mencari wujud dan realisasi ideologi menurut cara dan irama masing-masing, sekalipun ideologi yang ekstrim bertentangan dengan Pancasila (113).

Dalam pandangan Abdul Kahar Muzakkir, Pancasila sudah dirusak. Sebab prinsip-prinsip yang mendatangkan moral yang luhur dengan adanya Pancasila-Piagam Jakarta, telah hilang dari wujud Pancasila, yang tadinya merupakan agreement itu telah dicederai dengan sengaja. Itu pula berarti bahwa perjanjian telah dibatalkan dengan kehendak satu pihak, yaitu pihak kebangsaan (halaman 140). Padahal menurut Hamka, dahulu seluruh masyarakat Indonesia adalah Islam, tetapi akibat rentetan sejarah 350 tahun Belanda mengatur bagaimana supaya masyarakat yang kuat Islamnya ini menjadi lemah. Sehari selembar benang, lama kelamaan menjadi selembar kain. Keterangan Snouck Hurgronje dan Younbull, otak diisi dengan ilmu, tetapi rohani kehilangan dasar (halaman 165).

Mohammad Natsir berpendapat bahwa, keadaan sekulerisme yang tanpa agama, tidak mampu memberi pegangan hidup dan keseimbangan hidup, baik bagi orang perseorangan ataupun bagi suatu bangsa. Kehilangan keseimbangan hidup yang amat berharga itu justru semakin kelihatan dalam arti hidup duniawi dalamalam yang dikuasai oleh paham sekulerisme (halaman 169).

Pandangan Fraksi NU
Menurut Achmad Zaini,  dengan dasar Islam terang dan nyatalah bahwa kedua dasar itu Pancasila dan Sosial Ekonomi tidak akan dirugikan sedikitpun. Bahkan sebaliknya kedua-duanya itu akan disempurnakan dan dikongkritkan dengan diberi jiwa yang positif dan dinamis, sehingga kedua-duanya tidak lagi merupakan semboyan-semboyan yang kosong (halaman 200).

Kemudian Syaifuddin Zuhri berpendapat, untuk memelihara kesucian dan keutamaan ajaran Islam supaya tidak disalah-gunakan oleh para pemeluknya, maka pelaksanaanya harus mendapat dukungan dari hukum dan UU. Maka negara harus didirikan atas dasar Islam (halaman 214). Seperti apa yang disampaikan oleh Zainul Arifin, Islam dan negara akan sukar sekali untuk dipisahkan. Islam sebagai tuntunan Tuhan YME untuk hidup dan kehidupan, tidak mengenal dalam ajaranya suatu terminologi yang biasa dipake orang dalam menyusun negara apa yang disebut ‘pemisahan gereja dan negara’. Islam mengatur semua sendi kehidupan manusia (halaman 219-220).

Masjkur menambahkan, unsur-unsur Islam telah menjiwai sebagian besar daripada masyarakat bangsa Indonesia, sehingga merupakan kepribadian bangsa. Pancasila merupakan rumusan yang kosong, kerena tidak tentu arah tujuannya. Sementara ajaran Islam memenuhi syarat untuk mengatur hidup dan perikehidupan manusia (halaman 253-254). Lebih lanjut Syaifuddin Zuhri menyampaikan, paham atau ideologi manapun juga tidak pernah sanggup menandingi kekuatan kebenarannya agama (halaman 264).

Pandangan Fraksi PKI
Menurut Sakirman, Pancasila adalah satu-satunya dasar yang bisa memenuhi segala logika dan konsekuensi daripada makna res publica (halaman 272). Berbeda dengan Islam yang hanya merupakan salah satu dari banyak kepercayaan dan keyakinan, yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka Pancasila mampu mempertemukan keyakinan dan kepercayaan kita semua. Pancasila lebih praktis, lebih objektif dan lebih universal daripada Islam (halaman 281).

Wikana berpendapat, Piagam Jakarta dibuat oleh tokoh-tokoh Indonesia yang hendak menerima kemerdekaan yang dipersiapkan bersama dengan Jepang. Disiapkan jauh sebelum Jepang menyerah dan bermaksud untuk menambah bantuan bangsa Indonesia kepada tenaga-tenang perang Jepang (halaman 309).

Njoto menjelaskan, lebih dari 50% kaum pemilih di dalam pemilihan umum untuk Konstituante memberikan suaranya untuk partai-partai yang mempertahankan Pancasila, ini menjadi bukti bahwa Pancasila telah mengakar, karena yang dikatakan Pancasila itu sesuatu yang bukan hanya diucapkan tetapi yang dapat dibuktikan akan kebenarannya (halaman 321). Selain itu Njoto juga mengingatkan, pertama, kebajikan-kebajikan yang diuraikan golongan Islam itu tidak spesifik Islam, kedua, kenyataan Islam itu tidak khas Indonesia (halaman 322)

Pandangan Fraksi Partai Katolik
Menurut Soehardi, sejak proklamasi negara Republik Indonesia sampai saat ini, Islam tidak mempunyai nilai yang tingkatannya memenuhi syarat digunakan sebagai nilai nasional dalam rangka konsepsi dan nilai-nilai nasional (halaman 351). Lebih lanjut V.B. da Costa berpendapat, Pancasila yang terdiri dari nilai-nilai, ide-ide, dan cita-cita yang tersusun secara harmonis dalam kelima sila itu adalah nilai-nilai asli dari bangsa Indonesia yang memang sudah dari dulu terdapat dalam bumi Indonesia. Pancasila bukan rumusan kosong (halaman 356).

Pandangan Fraksi PSI
Soedjatmoko mengingatkan kembali tugas utama dewan Konstituante yaitu membuat konstitusi (halaman 389). Maka Soedjatmoko memberi saran, agar segera mengesampingkan pembahasan dasar negara, hal ini bertujuan untuk segeramemulai pembicaraan-pembicaraan mengenai persoalan lain tentang konstitusi negara (halaman 397).

Pandangan Fraksi IPKI
Menurut Hamara Effendy, nasionalisme dalam Islam terbatas oleh keyakinannya, sedangkan nasionalisme dalam Pancasila lebih luas daripada nasionalisme dalam pengertian Islam. Pancasila asli keluar dari kandungan Ibu Pertiwi yang menjadi milik mutlak bangsa Indonesia (halaman 403).

Tanpa Titik Temu: Belajar dari Pengalaman
Perdebatan di Dewan Konstituante tidak kunjung menemui titik temu hingga akhirnya Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk membubarkan Dewan Konstitante dan menetapkan kembali berlakunya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Meskipun Dewan Konstitante telah dibubarkan, kumpulan naskah pidato yang berisi pandangan angggota Dewan Kontituante ini dapat membantu kita melihat sampai sejauh apa perdebatan yang dulu telah dilakukan, agar Pancasila bisa dilihat dari sisi kesejarahannya dan tidak melupakan proses pembentukannya yang panjang. Sehingga, di masa depan, perdebatan yang muncul ini bisa menjadi referensi dalam pembentukan karakter dan kepemimpinan bangsa yang lebih progresif. 

Buku ini memiliki kelebihan dari sisi sistematika. Format pengelompokan naskah pidato berdasarkan fraksi di Dewan Konstituante dapat membantu kita membaca lebih jelas pandangan suatu fraksi terkait dengan perdebatan dasar negara. Akan tetapi, format pengelompokan dengan cara ini juga sebetulnya akan mempersulit kita dalam membaca saling jawab argumentasi yang terjadi di ruang sidang, karena tidak ada potret tanya-jawab yang ditampilkan di sini. Oleh sebab itu, akan lebih baik jika dbuku ini juga dilengkapi dengan urutan penyampaian pidato anggota Dewan Konstituante, sehingga konteks dan seting pidato tersebut juga bisa dipahami dengan baik. 

'Ala kulli hal, buku “Pancasila dan Islam (Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante)” hadir atas hasil kerjasama BAUR Publishing dan Onghokham Institute. Buku ini juga dilengkapi dengan Laporan Komisi I Konstituante Tentang Dasar Negara (Tahun 1956), serta pengantar oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Ashiddiqie .

Untuk memahami kembali Islam dan Pancasila, ada baiknya catatan-catatan sejarah kembali kita buka. Agar ke depan, Pancasila benar-benar bisa hidup dalam keseharian kita sebagai muslim Indonesia. 

*) Pengulas adalah Pegiat Diskusi Kultural Solo dan Aktivis Indonesian Students Unite!

1 komentar: