Judul buku : Pancasila dan Islam
(Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante)
Penyuting : Erwin Kusuma dan Khairul
Cetakan : Pertama, September 2008
Jumlah halaman : xxviii + 423 halaman
Penerbit : PSP UGM dan TIFA
ISBN : 978-979-16291-0-2
Pengulas : Kuncoro Probojati *)
Dewan Konstituante dibuat untuk membentuk konstitusi
Indonesia yang baru menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia (UUDS RI). Dalam sidang Dewan Konstituante, perdebatan akan dasar
negara menjadi perdebatan yang panjang, melebihi perdebatan di tahun 1945. Tiga usulan diajukan
menjadi dasar negara, yaitu; Pancasila, Sosial-Ekonomi dan Islam. Masing-masing partai politik punya dasar falsafah dan ideologis tersendiri. Buku “Pancasila dan Islam (Perdebatan antar Parpol
dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante)” memotret perdebatan itu melalui kumpulan
beberapa naskah pidato wakil rakyat yang duduk di Dewan Konstituante yang berisi perdebatan antara Pancasila dan Islam sebagai dasar negara.
Buku ini berisi pandangan dari fraksi Partai Nasional
Indonesia (PNI) yang diwakili oleh Soewirjo, Nur Sutan Iskandar dan Roeslan
Abdoelgani. Pandangan dari fraksi
Masjumi diwakili oleh Moh. Natsir, Kasman Singodimedjo, Rusjad Nurdin,
Moh. Isa Anshary, Abdul Kahar Muzakkir dan Hamka. Pandangan dari fraksi Nahdlatul
Ulama (NU) diwakili oleh Achmad Zaini, Syarifuddin Zuhri, Zainul Arifin,
A. Wahab Chasbullah, dan Masjkur.
Pandangan dari fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI) diwakili oleh Sakirman, Dasuki Siradj, Jean Torey, Wikana dan Njoto. Pandangan fraksi
Partai Katolik diwakili oleh Soehardi, Costa dan Cunha. Pandangan dari
fraksi Partai Sosialis Indonesia (PSI) diwakili oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Soedjatmoko. Ada pula pandangan dari
IPKI yang diwakili oleh Hamara Effendy.
Berikut beberapa pandangan yang diulas dalam buku ini.
Pandangan
Fraksi PNI
Menurut Soewirjo, ajaran Sosial-Ekonomi dan ajaran negara
Islam, semuanya adalah baik. Tapi semuanya itu juga sudah tercakup dalam
Pancasila (halaman 14). Sementara Nur
Sutan Iskandar mengingatkan bahwa, hasrat, maksud, dan tujuan mengemukaan agama
itulah yang boleh dipandang sebagai perbedaan pikiran, yang mungkin menyulitkan
perundingan untuk mencapai pensesuaian. Sebab riwayat telah menunjukkan sejak
dahulu sampai sekarang, bawa suatu negara yang didasarkan kepada salah sebuah
agama jarang yang kekal, jarang sekali yang tidak menimbulkan pertikaian hebat
antara negara dengan agama di negera itu sendiri (halaman 17).
Pandangan
Fraksi Masjumi
Menurut Mohammad Natsir, jika kita menerima Islam, maka
tak ada satupun dari lima sila yang terumus dalam Pancasila yang akan luput
atau gugur. Dalam Islam terdapat kaedah-kaedah yang tentu-tentu, yaitu ketika pure concepts dari sila yang lima itu
mendapat subtansi yang rill, mendapat jiwa dan roh penggerak (halaman 75).
Lebih lanjut Kasman Singodimedjo berpendapat, Pancasila telah termuat dan ada
dalam Islam, karena Islam itu serba sila, tidak terkecuali Pancasila. Sementara
tidak mungkin serba sila sudah termasuk di dalam Pancasila (halaman 101).
Sementara
itu Rusjad Nurdin, menyampaikan kelemahan dari Pancasila yaitu, keinginan
Pancasila untuk menjadi nertral, keinginan hendak tegak berdiri di atas semua
ideologi, keinginan hendak melindungi semua ideologi dan membiarkan
masing-masing mencari wujud dan realisasi ideologi menurut cara dan irama
masing-masing, sekalipun ideologi yang ekstrim bertentangan dengan Pancasila
(113).
Dalam
pandangan Abdul Kahar Muzakkir, Pancasila sudah dirusak. Sebab prinsip-prinsip
yang mendatangkan moral yang luhur dengan adanya Pancasila-Piagam Jakarta,
telah hilang dari wujud Pancasila, yang tadinya merupakan agreement itu telah dicederai dengan sengaja. Itu pula berarti
bahwa perjanjian telah dibatalkan dengan kehendak satu pihak, yaitu pihak
kebangsaan (halaman 140). Padahal menurut Hamka, dahulu seluruh masyarakat
Indonesia adalah Islam, tetapi akibat rentetan sejarah 350 tahun Belanda
mengatur bagaimana supaya masyarakat yang kuat Islamnya ini menjadi lemah.
Sehari selembar benang, lama kelamaan menjadi selembar kain. Keterangan Snouck
Hurgronje dan Younbull, otak diisi dengan ilmu, tetapi rohani kehilangan dasar
(halaman 165).
Mohammad
Natsir berpendapat bahwa, keadaan sekulerisme yang tanpa agama, tidak mampu
memberi pegangan hidup dan keseimbangan hidup, baik bagi orang perseorangan
ataupun bagi suatu bangsa. Kehilangan keseimbangan hidup yang amat berharga itu
justru semakin kelihatan dalam arti hidup duniawi dalamalam yang dikuasai oleh
paham sekulerisme (halaman 169).
Pandangan
Fraksi NU
Menurut Achmad Zaini,
dengan dasar Islam terang dan nyatalah bahwa kedua dasar itu Pancasila
dan Sosial Ekonomi tidak akan dirugikan sedikitpun. Bahkan sebaliknya
kedua-duanya itu akan disempurnakan dan dikongkritkan dengan diberi jiwa yang
positif dan dinamis, sehingga kedua-duanya tidak lagi merupakan
semboyan-semboyan yang kosong (halaman 200).
Kemudian Syaifuddin Zuhri berpendapat, untuk memelihara
kesucian dan keutamaan ajaran Islam supaya tidak disalah-gunakan oleh para
pemeluknya, maka pelaksanaanya harus mendapat dukungan dari hukum dan UU. Maka
negara harus didirikan atas dasar Islam (halaman 214). Seperti apa yang
disampaikan oleh Zainul Arifin, Islam dan negara akan sukar sekali untuk
dipisahkan. Islam sebagai tuntunan Tuhan YME untuk hidup dan kehidupan, tidak
mengenal dalam ajaranya suatu terminologi yang biasa dipake orang dalam
menyusun negara apa yang disebut ‘pemisahan gereja dan negara’. Islam mengatur
semua sendi kehidupan manusia (halaman 219-220).
Masjkur menambahkan, unsur-unsur Islam telah menjiwai
sebagian besar daripada masyarakat bangsa Indonesia, sehingga merupakan kepribadian
bangsa. Pancasila merupakan rumusan yang kosong, kerena tidak tentu arah
tujuannya. Sementara ajaran Islam memenuhi syarat untuk mengatur hidup dan
perikehidupan manusia (halaman 253-254). Lebih lanjut Syaifuddin Zuhri
menyampaikan, paham atau ideologi manapun juga tidak pernah sanggup menandingi
kekuatan kebenarannya agama (halaman 264).
Pandangan
Fraksi PKI
Menurut Sakirman, Pancasila adalah satu-satunya dasar
yang bisa memenuhi segala logika dan konsekuensi daripada makna res publica (halaman 272). Berbeda
dengan Islam yang hanya merupakan salah satu dari banyak kepercayaan dan
keyakinan, yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka Pancasila mampu
mempertemukan keyakinan dan kepercayaan kita semua. Pancasila lebih praktis,
lebih objektif dan lebih universal daripada Islam (halaman 281).
Wikana
berpendapat, Piagam Jakarta dibuat oleh tokoh-tokoh Indonesia yang hendak
menerima kemerdekaan yang dipersiapkan bersama dengan Jepang. Disiapkan jauh
sebelum Jepang menyerah dan bermaksud untuk menambah bantuan bangsa Indonesia
kepada tenaga-tenang perang Jepang (halaman 309).
Njoto
menjelaskan, lebih dari 50% kaum pemilih di dalam pemilihan umum untuk
Konstituante memberikan suaranya untuk partai-partai yang mempertahankan
Pancasila, ini menjadi bukti bahwa Pancasila telah mengakar, karena yang
dikatakan Pancasila itu sesuatu yang bukan hanya diucapkan tetapi yang dapat
dibuktikan akan kebenarannya (halaman 321). Selain itu Njoto juga mengingatkan,
pertama, kebajikan-kebajikan yang diuraikan golongan Islam itu tidak spesifik
Islam, kedua, kenyataan Islam itu tidak khas Indonesia (halaman 322)
Pandangan
Fraksi Partai Katolik
Menurut Soehardi, sejak proklamasi negara Republik
Indonesia sampai saat ini, Islam tidak mempunyai nilai yang tingkatannya
memenuhi syarat digunakan sebagai nilai nasional dalam rangka konsepsi dan
nilai-nilai nasional (halaman 351). Lebih lanjut V.B. da Costa berpendapat,
Pancasila yang terdiri dari nilai-nilai, ide-ide, dan cita-cita yang tersusun
secara harmonis dalam kelima sila itu adalah nilai-nilai asli dari bangsa
Indonesia yang memang sudah dari dulu terdapat dalam bumi Indonesia. Pancasila
bukan rumusan kosong (halaman 356).
Pandangan
Fraksi PSI
Soedjatmoko mengingatkan kembali tugas utama dewan
Konstituante yaitu membuat konstitusi (halaman 389). Maka Soedjatmoko memberi
saran, agar segera mengesampingkan pembahasan dasar negara, hal ini bertujuan untuk
segeramemulai pembicaraan-pembicaraan mengenai persoalan lain tentang
konstitusi negara (halaman 397).
Pandangan
Fraksi IPKI
Menurut Hamara Effendy,
nasionalisme dalam Islam terbatas oleh keyakinannya, sedangkan nasionalisme
dalam Pancasila lebih luas daripada nasionalisme dalam pengertian Islam.
Pancasila asli keluar dari kandungan Ibu Pertiwi yang menjadi milik mutlak
bangsa Indonesia (halaman 403).
Tanpa
Titik Temu: Belajar dari Pengalaman
Perdebatan di Dewan
Konstituante tidak kunjung menemui titik temu hingga akhirnya Soekarno
mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk membubarkan Dewan Konstitante
dan menetapkan kembali berlakunya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Meskipun
Dewan Konstitante telah dibubarkan, kumpulan naskah pidato yang berisi
pandangan angggota Dewan Kontituante ini dapat membantu kita melihat sampai
sejauh apa perdebatan yang dulu telah dilakukan, agar Pancasila bisa dilihat dari sisi kesejarahannya dan tidak melupakan proses pembentukannya yang panjang. Sehingga, di masa depan, perdebatan yang muncul ini bisa menjadi referensi dalam pembentukan karakter dan kepemimpinan bangsa yang lebih progresif.
Buku ini memiliki kelebihan dari sisi sistematika. Format pengelompokan naskah
pidato berdasarkan fraksi di Dewan Konstituante dapat membantu kita membaca
lebih jelas pandangan suatu fraksi terkait dengan perdebatan dasar negara. Akan tetapi, format pengelompokan dengan cara ini juga sebetulnya akan mempersulit kita dalam membaca
saling jawab argumentasi yang terjadi di ruang sidang, karena tidak ada potret tanya-jawab yang ditampilkan di sini. Oleh sebab itu, akan lebih baik jika
dbuku ini juga dilengkapi dengan urutan penyampaian
pidato anggota Dewan Konstituante, sehingga konteks dan seting pidato tersebut juga bisa dipahami dengan baik.
'Ala kulli hal, buku “Pancasila dan Islam (Perdebatan antar Parpol
dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante)” hadir atas hasil
kerjasama BAUR Publishing dan Onghokham Institute. Buku ini juga dilengkapi
dengan Laporan Komisi I Konstituante Tentang Dasar Negara (Tahun 1956), serta
pengantar oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Ashiddiqie .
Untuk memahami kembali Islam dan Pancasila, ada baiknya catatan-catatan sejarah kembali kita buka. Agar ke depan, Pancasila benar-benar bisa hidup dalam keseharian kita sebagai muslim Indonesia.
*) Pengulas adalah Pegiat Diskusi Kultural Solo dan Aktivis Indonesian Students Unite!
hehehe .. bergerak tanpa nama berjuang tanpa kasta
BalasHapuskultural