oleh: Alikta HS.
Aktivis KAMMI Solo, Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural
Telah menjadi kesepakatan bersama bahwa
kaderisasi dan pembinaan adalah merupakan napas utama dari pergerakan.
Apabila sebuah pergerakan ingin tetap terus bertahan, eksis, berupaya
memberikan kontribusi terbaiknya bagi ummat, maka parameter mutlak yang menjadi syarat utama adalah bagaimana keberjalanan proses kaderisasinya. Karakter KAMMI sebagai harokatu tajnid menuntut
konsekuensi logis akan kebutuhan proses pembinaan yang berjalan secara
sistemik dan berkesinambungan demi mewujudkan cita-cita bersama
organisasi, yakni: bangsa dan negara Indonesia yang Islami.
Refleksi Sederhana
Namun, hal yang bertolak belakang dengan
idealita itu terjadi di tubuh KAMMI selama kurun waktu 15 tahun lebih ia
mengada di Indonesia. Kaderisasi yang carut marut dari tingkat pusat
hingga komisariat terjadi di depan mata tanpa penganganan yang berarti.
Setiap pleno/evaluasi diadakan di komisariat maupun tingkat daerah,
kritik terhadap kaderisasi selalu menguar ke permukaan, gagasan dan
terobosan baru diungkapkan untuk membedah akar permasalahan kaderisasi.
Akan tetapi, solusi yang ditawarkan tak kunjung membawa perubahan
berarti, stagnan berdiam dalam notulensi acara, mandul dalam praksis di
lapangan.
Beberapa kali saya sempatkan membahas
persoalan kaderisasi dengan rekan saya di komisariat, jawaban seragam
yang muncul membawa saya pada satu kesimpulan, yakni kegagalan KAMMI
melakukan proses kaderisasi mandiri. Memang, tak bisa dipungkiri, relasi
kekuasaan dan politik praktis telah membawa KAMMI dalam dilema
berkepanjangan dalam merumuskan ideologinya, yang pada akhirnya
berimplikasi pada aksiologis gerak KAMMI secara taktis di lapangan.
KAMMI sebagai organisasi pengkaderan
memiliki instrumen kaderisasi yang terbingkai dalam Manhaj Kaderisasi
1432 H. Turunan dari penjabaran Manhaj tersebut adalah terbinanya kader
KAMMI yang secara konseptual membentuk Muslim Negarawan, yang
pada gilirannya mampu memimpin di berbagai sektor kehidupan dalam fase
mihwar daulah dalam kontribusinya di ranah publik kenegaraan. Demi
menunjang hal tersebut, setiap kader KAMMI diharuskan memiliki
kompetensi wajib di bidang aqidah, fikrah dan manhaj perjuangan, akhlak,
ibadah, tsaqofah keislamanan, wawasan ke-Indoneisaan, kepakaran dan
profesionalitas, kemampuan sosial politik, pergerakan dan kepemimpinan,
serta pengembangan diri. Dengan segala macam tata ukur tersebut, saya
sering membayangkan bahwa seorang Muslim Negarawan pada haikatnya adalah
manusia super yang tanpa cela dan cacat, sebuah terminologi alay
yang justru menjadi kebanggaan organisasi bernama KAMMI. Tak masalah.
Meski paradoks dengan yang saya yakini, saya cukup bangga membawa label
ini kemana-mana.
Pada kenyataannya, KAMMI mengakomodir dua
sistem pengkaderan di waktu yang sama, diterapkan pada kader yang sama,
dalam kurun waktu yang juga sama. Hal ini tentu membawa problema
dilematis bagi KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa yang
independen. Di satu sisi, ia ingin melaksanakan secara total aplikasi
manhaj KAMMI yang telah disusun sedemikian rupa, disisi lain ia memiliki
posisi sebagai wajihah dakwah jama’ah Tarbiyah yang juga memberlakukan
manhaj-nya sendiri.
Akibatnya, kader KAMMI terjebak dalam
pembenaran bernama efektifitas dan efisiensi. Instrumen pengkaderan
berupa tasqif, dauroh, kajian, telah dilaksanakan oleh jama’ah, jadi
buat apa lagi KAMMI kembali mengadakan? Bukankah itu pemborosan waktu,
tenaga, dan biaya?
Awalnya, saya mengamini kalimat diatas.
Namun, kemudian sesuatu yang jauh lebih besar menggelitik dalam diri
saya. Nah, jika demikian kenyataannya, artinya KAMMI belum mandiri
secara ideologi. Apakah sama karakteristik gerak sebuah organisasi
mahasiswa independen yang memiliki nalar berpikir gerakan mahasiswa
dengan organisasi politik-keagamaan yang menekankan pada politik
praktis?
Bagi saya, kader KAMMI pun akan canggung
menjawab pertanyaan diatas. Hal ini dilatarbelakangi oleh dualitasnya
sebagai kader KAMMI sekaligus kader jama’ah, sekaligus dualitas KAMMI
sebagai organisasi mahasiswa independen dan hubungan patron-client
nya dengan PKS. Bagi saya, pembongkaran dualitas peran ini harus tuntas
sebelum seorang kader dilantik menjadi Anggota Biasa1 KAMMI paska
mengikuti Dauroh Marhalah1.
Menyoal Dauroh Marhalah1
Berpedoman pada Manhaj Kaderisasi KAMMI
1432 H, ada lima materi wajib dalam penyelenggaraan Dauroh Marhalah1.
Kelima materi itu antara lain: Aqidah Islam, Syumuliyatul Islam,
Problematika Umat Islam, Islam Pemuda dan Perubahan Sosial, serta
Sejarah dan Filosofi Gerakan KAMMI[3].
Selain lima materi wajib ini, pengelola Dauroh Marhalah 1 KAMMI UNS
menyisipkan tiga materi tambahan, yakni Fiqh Demonstrasi, Pengembangan
Diri, serta setting dan Simulasi Aksi.
Materi tersebut semestinya diberikan oleh
Instruktur yang telah mengikuti TFI, akan tetapi KIDS (Korps Instruktur
Daerah Solo) selama ini belum menjalankan fungsinya sebagai pemandu maupun pengelola Dauroh. Materi pertama dan kedua biasanya disampaikan oleh ustadz terpilih,
materi ketiga dan selanjutnya oleh instruktur (kader KAMMI yang
berkompeten), sedang materi Pengembangan Diri yang baru sekali diuji
cobakan dalam Dauroh Marhalah1 bulan Oktober 2013 menghadirkan trainer
dari luar kader KAMMI.
Sangat disayangkan bahwa KIDS belum
menjalankan perannya sebagai elemen pengawal kaderisasi KAMMI yang
secara struktural berada di bawah Departemen Kaderisasi KAMMI Jawa
Tengah. KIDS juga belum secara konsisten melakukan pengelolaan proses
pendidikan dan pelatihan kader agar mampu menghasilkan kader yang
berkualitas secara moral, spiritual, maupun intelektual. Dalih yang
sekali lagi muncul adalah: tujuan menghasilkan kader yang demikian sudah
diemban oleh manhaj jama’ah, melakukan hal yang sama persis merupakan
pemborosan!
Namun, saya tidak ingin memperlebar
pembahasan mengenai pembenaran yang terus menjadi dalih tersebut.
Disini, saya akan memulai menyoal Dauroh Marhalah 1 sebagai pintu
gerbang pertama bagi seorang mahasiswa memasuki organisasi bernama
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.
Proses pengkaderan kader KAMMI dimulai
dengan diadakannya screening berupa wawancara dan tes tertulis bagi
mahasiswa yang berniat mendaftar mengikuti Dauroh Marhalah1. Dalam
pengelolaan Dauroh Marhalah 1 KAMMI UNS pada Oktober 2013, peserta
diwajibkan mengikuti screening berupa tes tertulis dan wawancara.
Selain mengetahui data diri peserta, pengelola juga memberikan soal
sebagai tes tertulis. Tes berupa soal essay yang dikerjakan secara
individu dan open source. Berikut soal tes tersebut:
- Sejauh mana anda mengetahui Aqidah Islamiyah? Bagaimana implikasinya dalam kehidupan sehari-hari?
- Sejauh apa anda mengetahui tentang KAMMI? Mengapa anda ikut DM1?
- Menurut anda permasalahan apa yang paling krusial di Indonesia? Peran apa yang bisa anda berikan untuk mengatasi permasalahan tersebut?
Selain tes tertulis, pengelola juga
melakukan wawancara dengan tujuan menngetahui pemahaman peserta mengenai
kondisi aqidah, pengetahuannya tentang gerakan mahasiswa di Indonesia,
kondisi sosio-politik-budaya Negara Indonesia, pemahaman peserta
terhadap ajaran Islam, serta pengetahuannya mengenai KAMMI dan alasan
peserta mengikuti Dauroh Marhalah 1.
- Peserta lurus aqidahnya, tidak percaya tahayul, dll.
- Peserta mengetahui semua gerakan mahasiswa yang ada di Indonesia dan mengetahui perbedaan masing-masing.
- Peserta memahami kondisi di Indonesia.
- Mengetahui pemahaman peserta terhadap islam (apakah liberal, fundamentalis).
- Mengetahui tentang KAMMI dan tahu alasan mengapa ikut DM1.
Secara teknis, saya tidak begitu
mempersoalkan mengenai isi dari wawancara tersebut meskipun saya merasa
janggal dengan instrumen wawancara yang memuat mengenai pengetahuan
peserta mengenai gerakan mahasiswa di Indonesia. Menurut saya pribadi,
tiga hal yang mestinya menjadi titik tekan dalam pelaksanaan wawancara
(tanpa menafikan hal yang lain) adalah: (1) Pengetahuan ke-Islam-an yang
telah tercakup dalam tes tertulis di poin 1 dan wawancara di poin 1 dan
4, (2) Wawasan ke-Indonesia-an, yang telah tercakup dalam soal tertulis
poin 3 dan wawancara poin 2, (3) Organisasi dan Kemahasiswaan yang
tercakup dalam lembar biodata peserta.
Dua poin mengenai pengetahuan peserta tentang KAMMI, selain menunjukkan betapa narsisnya
KAMMI, juga mampu memberikan gambaran awal tentang segmentasi peserta
Dauroh Marhalah 1. Seperti yang telah saya singgung di muka, dualitas
kaderisasi yang melanda KAMMI sebagai organisasi maupun yang dialami
oleh kader KAMMI sendiri semestinya membuat kita melakukan refleksi
kritis terhadap segmentasi peserta DM1.
Saya yakin, peserta Dauroh Marhalah 1
akan memberikan jawaban beragam mengenai motifnya mengikuti DM1. Ada
yang menganggap bahwa mengikuti DM1 merupakan kewajiban bagi kader
Tarbiyah, ada yang karena desakan/ paksaan murobbi, ada yang hanya
sekedar ikut-ikutan, mencari pengalaman, dan lain sebagainya. Motif awal
ini semestinya menjadi data berharga bagi pengelola dalam melakukan
proses pengelolaan data base calon peserta DM1.
Motif yang berbeda membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Seorang peserta yang memiliki kepahaman saklek
bahwa DM1 adalah kewajiban yang mesti diikuti oleh kader Tarbiyah
membutuhkan penanganan yang berbeda dengan peserta lain yang menganggap
bahwa KAMMI adalah sebuah entitas pergerakan mahasiswa ekstra kampus
yang independen dan bebas kepentingan golongan/partai manapun.
Ini merupakan tantangan awal yang harus
dijawab oleh pengelola sebelum melangkah ke proses pengkaderan
selanjutnya. Apakah data ini semacam menjadi arsip dan onggokan kertas
belaka, atau menjadi instrumen pendukung vital dalam pengelolaan dauroh
yang sebenarnya.
Tak lupa, seperti yang sudah-sudah, paska
screening dilakukan, peserta akan diberikan tugas untuk membuat essay
dan membaca buku tertentu. Essay biasanya berkisar soal problematika
umat, sedang buku bacaan wajib di KAMMI UNS adalah Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus dan Dari Gerakan ke Negara.
Evaluasi dari penugasan ini, sekali lagi, hanya menjadi onggokan kertas
yang tertumpuk, tanpa evaluasi bahwa essay tersebut merupakan plagiasi
dari tulisan yang dengan mudah didapat di internet, tanpa penghargaan
bahwa tulisan tersebut bisa jadi dibuat dengan kesungguhan dan semangat
yang luar biasa. Buku referensi yang diwajibkan pun hanya menjadi bacaan
yang mengawang di angan-angan, tak ada pembacaan kritis mengenai
buku-buku tersebut. Ya, kita baru sampai sebatas itu.
Pasca pengelola melakukan screening,
selanjutnya diadakanlah Pra-DM1. Ini adalah agenda rutin yang
dilaksanakan sebelum dimulainya Dauroh Marhalah 1, tujuan praktisnya
adalah mengenalkan KAMMI pada mahasiswa sekaligus meyakinkan mereka
bahwa mengikuti Dauroh Marhalah1 merupakan hal yang benar, tepat, dan
memang seharusnya mereka lakukan. Tidak ada kritik mendasar mengenai
pengelolaan Pra-DM1 sampai sejauh ini oleh saya.
Pada akhirnya, Dauroh Marhalah 1 yang
selalu dirayakan dengan suka cita oleh setiap kader KAMMI terwujud di
depan mata, dengan sejumlah peserta yang datang dengan antusias (mungkin
ditambah ekspektasi berlebih). Hal ini membuat perasaan saya sebagai OC
dalam empat Dauroh Marhalah 1 terakhir di UNS berdebar. Apakah KAMMI
mampu menjawab ekspektasi mereka saat dengan antusias mereka hadir di
hari pertama Dauroh? Ataukah, hanya kekecewaan yang akan mereka dapat
karena dauroh KAMMI yang begitu-begitu saja?
Saya belum mampu menjawab pertanyaan ini. Sebab, tak ada yang benar-benar pernah mengatakan pada saya bahwa DM1 itu payah dan begitu-begitu saja.
Mungkinkah pengelolaan DM1 selama ini memang luar bisa sempurna, atau
kader KAMMI yang begitu latah dengan euforia dan penilaian hati atas
dasar ikut-ikutan?
Bagi saya pribadi, Dauroh Marhalah 1
adalah agenda yang sangat vital dalam proses kaderisasi di KAMMI.
Disinilah, untuk kali pertama, para calon kader mengenal KAMMI. Dari
mulai sejarah, tafsir asas dan tujuan, paradigma, ideologi KAMMI dan
bagaimana KAMMI memandang berbagai fenomena yang berkembang di
masyarakat, termasuk bagaimana KAMMI mengejawantahkan nilai-nilai syahadatain dan syumuliyatul Islam dalam langkah gerak organisasinya.
Berkaca pada Latihan Kader 1 (Basic
Training) Himpunan Mahasiswa Islam, penulis membangun argumen mengenai
bagaimana pengelolaan Dauroh Marhalah ideal di KAMMI. Tanpa menafikan
bahwa kultur yang dibangun di HMI tak selalu tepat dan relevan untuk
diterapkan juga di KAMMI. Bahwa KAMMI pun memiliki karakter khas yang
harus selalu dipertahankan. Namun demikian, penulis berusaha mensarikan
kritik mendasar terhadap pola Dauroh Marhalah1 di KAMMI.
Pertama, Segi Peserta
Sesuai dengan Panduan Kerja Nasional yang
digelontorkan PP KAMMI, KAMMI memiliki target pengkaderan yang secara
nasional dijadikan parameter dalam mengukur keberhasilan kaderisasi.
Efeknya, di tingkat komisariat pengejaran kuantitas menjadi hal yang
otomatis dominan terasa. Dalam empat DM1 yang penulis ketahui di UNS,
jumlah peserta DM1 selalu lebih dari 40 orang, sehingga kelas/ ruang
sesi selalu mengambil pola kelas klasikal. Pola klasikal bukanlah pola
yang efektif dalam rangka ideologisasi kader. Maka, dauroh pun sama
kondisinya dengan penyampaian materi di kuliah umum, apabila jumlah
peserta membludak, tak akan jauh beda dengan seminar.
Bagi saya, permasalahan ini membutuhkan
penanganan serius. Apabila instruktur memang menginginkan keidealan dan
kualitas dauroh. Ada dua pilihan yang mungkin: mengurangi jumlah peserta
atau membuat kelas-kelas tersendiri yang maksimal hanya diperuntukkan
untuk 20-25 orang.
Kedua, Metode Penyampaian
Metode penyampaian materi pun terkesan
indoktrinatif. Peserta masuk ruang sesi, moderator memberikan pengantar,
waktu diberikan pada moderator, moderator menyampaikan, peserta
berbicara saat sesi tanya jawab. Ini menyebabkan peserta sebatas tahu
dan paham, akan tetapi gagal dalam mewacanakan hal tersebut dalam sebuah
metodologi pikir yang utuh dan integral.
Dampaknya, peserta akan gagap menarik
benang merah yang menghubungkan antara satu materi ke materi lainnya,
sehingga kepahaman yang terbentuk pun pada akhirnya adalah kepahaman
yang parsial, tidak utuh dan padu.
Ketiga, Gagalnya Ideologisasi
Yang terparah dari semua permasalahan
yang saya kemukakan diatas adalah kegagalan Dauroh Marhalah 1 mencetak
kader-kader ideologis yang siap bertarung di tataran wacana, utamanya
terkait dengan tafsir paradigma gerakan KAMMI. Dauroh Marhalah 1
mestinya menjadi gerbang utama bagi kader untuk mengenal KAMMI, akan
tetapi tidak ada materi ideologisasi yang cukup relevan didalamnya.
Peserta hanya dituntut untuk tahu dan paham dengan sejarah gerakan
KAMMI. Padahal, perlu ada pendalaman yang lebih komprehensif mengenai
ideologi KAMMI.
Dalam Latihan Kader 1 Himpunan Mahasiswa
Islam, materi LK1 meliputi: Metodologi Diskusi (Pengantar), Sejarah
Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam, Konstitusi HMI (Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga, Struktur Organisasi, Pedoman Atribut, Memori
Penjelasan tentang Islam sebagai Azas HMI, Tafsir Tujuan serta Tafsir
Independensi), kemudian porsi pemberian materi terbanyak adalah pada
saat dipaparkan mengenai ideologi HMI yang terbingkai dalam Nilai Dasar
Perjuangan.
Namun, porsi materi ideologi KAMMI yang
mencakup banyak hal termasuk sejarah, visi, misi, prinsip, karakter,
unsur-unsur perjuangan, paradigma, serta kredo mendapat porsi
penyampaian materi yang sama dengan materi lainnya. Menurut hemat saya,
porsi penyampaian materi ini harus diperpanjang, karena disinilah kader
bisa mengkontruksi pemikirannya sebagai kader KAMMI yang memiliki
identitas jelas, jelas dalam platform gerakan maupun karakter pribadi.
Manhaj Filosofi Gerakan KAMMI
Adalah hal yang sangat wajar, manakala
penulis berpendapat bahwa pembuatan modul berisi literatur teks materi
DM1 oleh instruktur adalah kebutuhan mendesak sekaligus merupakan
perangkat utama dalam pelaksanaan Dauroh Marhalah 1. Setidaknya dengan
modul tersebut, kita berharap peserta memiliki kesiapan dalam menghadapi
materi yang akan diberikan. Ia bisa menyiapkan tesis atau antitesis
sebelum materi, artinya ia tidak datang dari suatu ruang kosong,
melainkan dari argumen teoritis berdasar kajian pustaka maupun
pengalaman empiris yang pernah dilaluinya.
Modul tersebut akan memuat materi Dauroh
Marhalah 1 yang semuanya terbingkai dalam analisa ideologi KAMMI atau
tafsir filosofi gerakan. Materi yang berkaitan dengan syahadatain dan syumuliyatul Islam
akan menjadi bab awal di modul ini dengan judul Tafsir Paradigma Islam
KAMMI. Disini, KAMMI akan melakukan penafsiran secara qur’ani dengan
dilengkapi pisau analisis sosial sehingga akan didapatkan tafsir utuh
mengenai bagaimana syahadatain dan syumuliyatul Islam
menjadi muara dari semangat penggerak yang dijiwai kader KAMMI dalam
setiap aktivitasnya secara individu maupun organisasional dalam
melakukan perubahan sosial.
Materi ketiga mengenai Problematika Umat
Islam tidak akan dibahas di modul ini, melainkan menjadi sesi wajib
diskusi. Disinilah instruktur mereview ulang tugas yang pada saat
screening diberikan pada kader KAMMI. Tugas tersebut berupa analisa
kritis peserta DM1 terhadap kondisi umat dewasa ini. Bisa berupa isu
kontemporer, isu strategis, maupun lewat fenomena sosial yang peserta
lihat di kesehariannya. Disini, instruktur dapat mulai memahami
bagaimana peserta memposisikan dirinya dalam dinamika kelompok, pola
pikir, serta pandangannya akan hal-hal keumatan. Pada tahap selanjutnya,
ini akan menjadi data awal dalam pengelolaan kaderisasi saat mereka
dikelompokkan dalam kelompok diskusi.
Materi keempat mengenai Islam, Pemuda,
dan Perubahan Sosial akan dijabarkan dalam buku ini dengan judul KAMMI
dan Perubahan Sosial. Disini akan dibahas mengenai perubahan sosial
macam apa yang akan dilakukan KAMMI sebagai entitas yang lahir dari
rahim pergerakan dakwah sekaligus kelompok organisasi kepemudaan milik
Bangsa Indonesia. Dalam kerangka tersebut, instruktur akan mengambil
benang merah dari problematika umat serta paradigma Islam yang KAMMI
tawarkan sebagai solusi. Sehingga, tidak ada lagi dikotomi bagi kader
KAMMI untuk menjadi bagian dari kader umat sekaligus kader bangsa. Akan
dibahas pula Sejarah KAMMI sebagai aktualisasi riil dari perubahan
sosial yang coba dilakukan oleh kalangan mahasiswa muslim di Indonesia
dalam perannya sebagai kader bangsa Indonesia.
Materi kelima mengenai Ideologi KAMMI
akan dibahas dalam Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI yang dirumuskan secara
nasional dan menjadi rujukan bagi kader KAMMI dalam menjelaskan tafsir
paradigmatik ideologi KAMMI. Tafsir Filosofi Gerakan ini akan mirip
dengan teks Nilai Dasar Perjuangan HMI yang menjadi dasar teoritis
penjelasan ideologi HMI. Jika dalam Nilai Dasar Perjuangan terdapat
tujuh bab berisi : Dasar-Dasar Kepercayaan, Pengertian-Pengertian
tentang Dasar Kemanusiaan, Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan
Universal (Takdir), Ketuhanan yang Maha Esa dan Perikemanusiaan,
Individu dan Masyarakat, Keadilan Sosial dan Ekonomi, Kemanusiaan dan
Ilmu Pengetahuan serta Kesimpulan dan Penutup.
Dalam benak saya, tafsir filosofi gerakan
KAMMI nantinya akan dibahas mengenai : Visi Gerakan, Misi Gerakan,
Prinsip Gerakan, Karakter Organisasi, Paradigma Gerakan, Unsur-Unsur
Perjuangan, serta Kredo Gerakan.
Sementara, materi-materi yang merupakan
inisiasi dari tiap instruktur daerah akan dituliskan dalam bagian
tersendiri dalam buku ini. Tulisan tersebut merupakan tulisan dari
instruktur sendiri, bukan saduran atau plagiasi. Keseriusan instruktur
untuk menggarap DM1 ini baiknya tercermin juga dari i’tikad baiknya
menuliskan tujuan dari penyampaian materi pada peserta Dm1.
Tafsir dan Kemandirian
Merumuskan Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI
adalah PR besar bagi Pengurus Pusat. PP mestinya dalam waktu dekat ini
membentuk suatu tim Dewan Pakar guna merumuskan tema besar itu. Sebab,
dalam tingkat yang paling sederhana Tafsir Filosofi Gerakan KAMMI
merupakan landasan normatif dalam perjuangan organisasi. Ia merupakan
etos yang menjiwai spirit perjuangan kader yang dimanifestasikan dalam
aksiologisnya, ketiadaan tafsir pasti yang komprehensif akan menyebabkan
kerancuan pikir kader dari tingkat nasional hingga komisariat.
Yang jadi persoalan adalah bagaimana
mungkin dibentuk Tim Dewan Pakar yang merumuskan Tafsir Filosofi Gerakan
apabila kaderisasi KAMMI pun selalu dibayang-bayangi kaderisasi Jama’ah
yang menancapkan pengaruhnya dengan begitu kuat. Pada akhirnya, tafsir
hanyalah sekedar tafsir, berhenti di ruang-ruang diskusi dalam dauroh
maupun diskusi. Setelah itu, kita akan kembali terbelit dalam dalih dan
pembenaran atas nama efisiensi dan efektifitas.
Ya, mau bagaimana lagi?
Menarik,terima kasih atas poencerahannya.insya allah saya akan seriuskan pembahasan mengenai idelogisasi dalam daurah marhalah kammi.
BalasHapusSalam hormat
Andriyans elqassam
yang masih menjadi pertanyaan bagi saya sebagai ab1, apakah menjadi kader kammi itu berarti harus/wajib mengikuti/menjadi kader jamah tarbiyah juga?
BalasHapusterimakasih
fadli.a.a
SANGAT MENGESANKAN, SAYA SEMAKIN TERCERAHKAN SETELAH MEMBACA ARTIKEL DARI MBAK ALIKTA. TERIMAKASIH MBAK
BalasHapus