26 Februari 2013

[IBHAR VOL. 2] Menakar Universalitas Tesis Fukuyama

oleh: Akhmad Adi Purawan, S.H.


GambarSEJAK runtuhnya sosialisme sebagai idelogi, yang ditandai dengan runtuhnya negara sosialis Uni Sovyet, masyarakat modern di seluruh penjuru dunia mengerti bahwa perekonomian dunia saat ini tengah dijerat oleh pengaruh kuat tekanan ideologi liberal, ideologi kapitalis. Indikator pertumbuhan atau pergerakan ekonomi suatu Negara saat ini ditentukan oleh pengukuran kinerja oleh panel-panel ideologi tersebut seperti IMF, IDB, World Bank dan WTO. Institusi-institusi itulah yang bertanggung jawab atas penetapan pengukuran kinerja atau pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia.


Masyarakat dunia dalam suatu kawasan kemudian dibedakan menjadi negara maju (High Productivity and Technology Countries) dan negara miskin atau sedang berkembang (Underdevelopment Countries). Negara-negara yang terakhir digolongkan demikian karena mereka dianggap tidak memiliki kemampuan sumber-sumber ekonomi, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, ataupun sumber daya kapital (modal). Sementara instrumen dan indikator yang digunakan dalam tatanan globalisasi ditetapkan menurut standar negara-negara pusat ideologi kapitalis dunia. Kesenjangan pembangunan dan pertumbuhan sosial-ekonomi yang terjadi di negara-negara di dunia didasarkan atas penilaian menggunakan parameter berupa indikator tingkat produktivitas, skill administrasi dan penggunaan teknologi pada sektor produksi.


Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal?


Salah satu tokoh yang menyambut gegap gempitanya “kekalahan sosialisme” yang secara sengaja juga disebut sebagai “kemenangan kapitalisme” adalah Francis Fukuyama. Fukuyama telah menggemparkan dunia politik internasional ketika pada akhir 1989 mendeklarasikan telah berakhirnya sejarah (the end of history). Dengan tegas ia menyatakan bahwa runtuhnya Soviet dan ambruknya tembok Berlin adalah dua dari sekian banyak sinyalemen signifikan telah terjadinya perubahan dramatis pasca Perang Dingin yang merepresentasikan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal di seluruh dunia. Apa yang disampaikan Fukuyama bukan hanya penjelasan rasional tentang berakhirnya Perang Dingin atau episode akhir peperangan, namun akhir sejarah yaitu akhir sebuah evolusi dan perkembangan hidup manusia.


Fukuyama menyatakan bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir dari “evolusi ideologis umat manusia” dan “bentuk final pemerintahan manusia”, sehingga ia bisa disebut sebagai “akhir sejarah”. Demokrasi liberal adalah yang terbaik karena mempromosikan kebebasan sedangkan sistem lain seperti monarki dan komunisme terbukti gagal karena tidak bisa memberi kebebasan apapun1. Keruntuhan bentuk-bentuk pemerintahan awal—seperti monarki dan komunisme—menurut Fukuyama ditandai dengan pelbagai kerusakan parah dan irasionalitas-irasionalitas yang menyebabkan runtuhnya jenis-jenis pemerintahan itu sekarang, sebaliknya demokrasi liberal dianggap bebas dari pelbagai konatradiksi internal yang fundamental ini.


Bagaimana dengan persoalan ketidakadilan dan permasalahan sosial yang terjadi di negara-negara yang menganut Kapitalisme dan Demokrasi Liberal? Permasalahan-permasalahan tersebut menurut Fukuyama merupakan dampak dari implementasi yang tidak lengkap dari prinsip kebebasan dan persamaan dimana demokrasi dibangun dan bukan karena kekurangan-kekurangan dalam prinsip-prinsip itu sendiri. Menurut Fukuyama beberapa negara masa kini kemungkinan gagal untuk mencapai demokrasi liberal yang stabil dan yang lainnya mungkin menyimpang ke bentuk-bentuk kekuasaan yang lebih primitif seperti teokrasi atau kediktatoran militer, sehingga cita-cita demokrasi liberal tidak bisa berkembang di dalamnya2.


Fukuyama menandai kemenangan kapitalisme dengan perkembangan sains modern. Fukuyama menggunakan sains alam modern untuk menjelaskan arah dan koherensi sejarah. Menurutnya sains alam modern menetapkan sebuah horizon yang seragam dari kemungkinan-kemungkinan produksi secara ekonomis. Dialektika kemenangan kapitalisme sebagai hasil akhir sejarah manusia dijelaskan sebagai berikut:




Teknologi memungkinkan akumulasi kekayaan secara tak terbatas dan pemuasan hasrat manusia yang lebih luas. Proses ini menjamin homogenisasi yang terus meningkat dari selurh masyarakat manusia, tanpa memperhatikan asal-usul sejarah atau warisan budaya mereka… Masyarakat ini semakin dihubungkan satu dengan lainnya melalui pasar global dan penyebaran budaya consumer universal. Lebih-lebih lagi, logika dalam sains alam modern agaknya akan menentukan evolusi universal dari arah kapitalisme. Pengalaman Soviet, Cina dan negara-negara sosialis lainnya menunjukkan bahwa sementara ekonomi yang sangat terpusat cukup untuk menjangkau tingkat industrialisasi yang dicontohkan oleh Eropa pada tahun 1950-an, tetapi tidak memadai untuk menciptakan apa yang disebut sebagai ekonomi-ekonomi “paska-industrial” yang kompleks, di mana inovasi dan informasi teknologi memainkan peranan yang jauh lebih besar.3



Dengan mendasarkan argumennya pada tulisan Hegel tentang kebutuhan manusia selain makan dan minum, tapi juga ingin “diakui” oleh orang lain dengan martabat dan penghargaan tertentu. Fukuyama ingin menunjukkan bahwa manusia juga memiliki kebanggan thymotic4, meminjam istilah Plato, atas penilaian diri mereka sendiri dan hal ini menyebabkan mereka menuntut pemerintahan demokratis yang memperlakukan mereka sebagai orang dewasa dan bukan sebagai anak-anak dengan mengakui otonomi mereka sebagai individu-individu yang bebas. Fukuyama menyatakan bahwa komunisme digantikan oleh demokrasi liberal, karena kesadaran bahwa komunisme tidak memberikan bentuk pengakuan yang sempurna.


Universalitas Tesis Fukuyama


Dengan tesisnya ini Fukuyama ingin mengkonstruksi sebuah Sejarah Universal yang koheren dan direksional tentang umat manusia. Namun apakah ini dapat diterima secara universal? Bagaimana dengan sejarah Islam?


Jika kita bandingkan dengan sejarah umat Islam, maka setidaknya ada 3 poin perbedaan pondasi peradaban yang dianut oleh masyarakat Barat dan Islam. Peradaban masyarakat Barat dilandasi oleh: (1) supremacy individual, (2) the primacy of rasionality, dan (3) freedom without limit; sedangkan peradaban Islam dibangun dengan: (1) supremacy of tauhid, (2) god is the center of life, dan (3) freedom by limit.


Dalam sejarah perkembangan filsafat dapat dikatakan bahwa selama kurang lebih seribu tahun, Gereja memiliki kekuasaan mutlak di Eropa, sebelum akhirnya kekuasaan ini terbatasi dengan munculnya gerakan renaissance pada abad kelima belas Masehi. Masa kekuasaan Gereja yang biasa disebut sebagai masa kegelapan Eropa telah melahirkan sentimen anti Gereja. Mereka menuduh Gereja telah bersikap selama seribu tahun layaknya polisi yang memeriksa keyakinan setiap orang. Lantas lahirlah teori yang menempatkan manusia sebagai segala-galanya menggantikan Tuhan.


Berdasarkan teori ini, manusialah yang menjadi tolok ukur kebaikan dan keburukan. Kondisi di masa itu yang dipenuhi dengan kegetiran abad pertengahan, telah membuat teori ini dengan cepat berkembang luas di Eropa. Era baru ini telah melahirkan teori yang mengecam segala sesuatu yang membatasi kebebasan individu manusia. Akibatnya, agama berubah peran dan menjadi sebatas masalah individu yang hanya dimanfaatkan kala seseorang memerlukan sandaran untuk mengusir kegelisahan batin dan kesendirian. Agama secara perlahan tergeser dari kehidupan masyarakat di Eropa5.


Setelah masa Renaissance, teori pemisahan agama dari kehidupan politik menjadi acuan utama rezim-rezim di Eropa. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, menyusul terjadinya transformasi politik dan sosial baru, serta berkembangnya industri dan teknologi di Barat, masalah etika lambat laun tersisihkan. Bersamaan dengan itu, berbagai faham materialisme baru bermunculan bak jamur di musim hujan. Parahnya, sebagian faham baru ini tidak memberikan sedikitpun nilai bagi masalah tata susila. Masyarakat Barat di  abad 21 tidak hanya memandang agama sebagai masalah individual, tetapi juga beranggapan bahwa tidak ada yang bisa membatasi kebebasannya, walaupun kebebasan yang ia kejar itu bertentangan dengan naluri kemanusiaannya.


Selain persoalan nilai, tesis Fukuyama juga misalnya oleh Prof. Dr. R.Z. Leirissa, guru besar ilmu sejarah UI, dianggap bersifat deterministic karena menempatkan nasib manusia dalam suatu kerangka umum yang telah ditentukan sebelumnya dan yang tidak dapat tidak harus berkembang menuju satu titik akhir yang dipatok sebelumnya. Menurut Leirissa cara interpretasi sejarah yang demikian sesungguhnya sudah banyak ditinggalkan oleh para ahli sejarah professional6. Selain itu tesis ini juga banyak dikritik ahli lain seperti Roger Kimball yang menyatakan bahwa masalah moral yang serius dalam gagasan “The End of History” adalah bahwa dia akan mengubah apapun yang ada di luar bidang teori sebagai sebuah kebetulan atau pengecualian yang mengesampingkan nilai moral7.


Kebangkrutan Peradaban Barat


Di tengah-tengah optimisme terhadap masa depan peradaban Barat, seperti yang disuarakan oleh Francis Fukuyama, sebenarnya juga banyak ilmuwan yang melihat perdaban Barat sebagai ancaman bagi umat manusia. Naquib al-Attas dalam buku Powerfull Ideas: Perspective on the Good Society (2002) menyebut problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuwan (knowledge) Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia.


Menurut al-Attas, knowledge yang disebarkan Barat pada hakikatnya telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang benar, dan lebih menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia. Bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama, dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima, tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan (Man is deified and Deity humanized). Dengan karakteristik Barat semacam itu (confusion and skepticism), maka secara konseptual antara peradaban Barat dan Islam terdapat perbedaan yang fundamental sehingga akan menimbulkan konflik yang bersifat abadi (permanent confrontation).


Tentang konflik abadi Islam-Barat ini, Naquib al-Attas dalam buku Islam, Secularism and the Philosophy of the Future menyatakan bahwa,




konfrontasi antara peradaban Barat dengan Islam telah bergerak dari level sejarah keagamaan dan militer ke level intelektual, dan bahwasannya konfrontasi itu secara historis bersifat permanen. Islam dipandang Barat sebagai tantangan terhadap prinsip yang paling asasi dari pandangan hidup Barat. Islam bukan hanya tantangan bagi kekristenan Barat tetapi juga prinsip-prinsip Aristotelianisme dan epistimologi serta dasar-dasar filosofi yang diwarisi dari pemikiran Yunani-Romawi. Unsur-unsur itulah yang membentuk komponen dominan yang mengintegrasikan elemen-elemen kunci dalam berbagai dimensi pandangan hidup Barat.”8



John Mohawk menulis dalam sebuah risalah kecil berjudul A Basic Call to Consciousness: Indigenous People’s Address to the Western World bahwa peradaban Barat telah melakukan eksploitasi yang mengerikan terhadap alam. Sehingga ia sampai pada kesimpulan, jalan yang ditempuh oleh peradaban Barat adalah jalan kematian bagi umat manusia itu sendiri. Namun jalan kematian Barat itu justru kini terus menerus dipasarkan melalui proses globalisasi.


SM. Idris dalam bukunya Globalization and the Islamic Challenge menyatakan bahwa globalization poses a serious threat to Muslim. It not only brings about economic exploitation and impoverishment, but also serious erosion of Islamic beliefs, values, culture, and tradition (globalisasi merupakan ancaman yang sangat serius bagi umat Islam, globalisasi bukan hanya menperaktikan eksploitasi ekonomi dan pemiskinan, tetapi juga mengikis keyakinan, nilai-nilai, budaya, dan tradisi Islam). Kapitalisme global mempromosikan nilai-nilai individualisme, materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Pasca Perang Dingin, menurut Idris, satu-satunya kekuatan yang tersisa yang diharapkan mampu memberikan tantangan terhadap proyek globalisasi adalah dunia Islam.


Orang-orang bijak mengatakan bahwa masa lalu adalah pelita bagi masa depan. Sejarah mencatat bahwa banyak bangsa yang besar dengan peradabannya yang agung hancur di masa keemasannya karena didera krisis moral. Kelanggengan sebuah peradaban sangat bergantung pada banyak faktor, di antaranya faktor kemanusiaan dan moral yang sedang dilupakan oleh dunia Barat. Melihat kondisi yang demikian, muncul sebuah pertanyaan, tindakan apakah yang harus dilakukan untuk mengatasi dekadensi moral di Barat pada abad 21 ini? Para pakar sosiolog dan ahli agama berpendapat bahwa krisis moral di Barat hanya bisa diatasi dengan kembalinya spiritual dan agama ke tengah kehidupan masyarakat di sana9.[]


Daftar Pustaka


Francis Fukuyama, 2004. The End of History and The Last Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Yogyakarta: Penerbit Qalam. Hlm xiii


Huijbers, Theo, 1985. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, ed 5, Yogyakarta: Penerbit Kanisius


Muhammad Naquib al-Attas, 1985. Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, Mansell, London


Roger Kimball, Francis Fukuyama & The End of History, tanpa tahun tidak diterbitkan.


*) Akhmad Adi Purawan, S.H., adalah Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum UGM; saat ini menjabat sebagai staf Divisi Penelitian dan Pengembangan [Litbang] KAMMI Daerah Istimewa Yogyakarta. Pernah menjadi Menteri Koordinator Bidang Eksternal BEM KM UGM 2004-2005



Catatan Kaki





1 Roger Kimball, Francis Fukuyama & The End of History, tanpa tahun tidak diterbitkan.




2 Lih Francis Fukuyama, 2004. The End of History and The Last Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Yogyakarta: Penerbit Qalam. hlm. 2.




3 Francis Fukuyama, 2004. Op. Cit. hlm. 9.




4 Plato dalam buku Republic menyatakan bahwa ada tiga bagian dari jiwa manusia, yaitu hasrat (nafsu), akal dan thymos (“gairah”). Lih. Fukuyama, Op. Cit. hlm. 8.




5 Huijbers, Theo, 1985. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, ed 5, Yogyakarta: Penerbit Kanisius




6 Lihat pengantar Prof. Dr. R.Z. Leirissa dalam buku Francis Fukuyama, 2004. The End of History and The Last Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Yogyakarta: Penerbit Qalam. hlm xiii




7 Roger Kimball, Loc. Cit.




8 “the confrontation between Western culture and civilization and Islam, from historical religious and military levels, has now moved on to the intellectual level; and we realize, than, that is this confrontation is by nature historically permanent one. Islam is seen bay the West as posing a challenge to its very way of life; a challenge not only to a Western Christianity, but also Aristotelians and the epistemological and philosophical principles deriving from Greco-Roman thought which forms the dominant component integrating the key elements on dimensions of the Western worldview.” Lihat Muhammad Naquib al-Attas, 1985. Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, Mansell, London.




9 Capra, Fritjof, 1997. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan, Yogyakarta: Bentang Budaya. Lihat juga Haq, Mahbubul, 1983. Tirai Kemiskinan: Tantangan-tantangan untuk Dunia Ketiga, Jakarta: Obor; Mulkan, Abdul Munir, 2005. “Ma’rifat Quetiont, Jalan Pembebasan Manusia dari Mekanisme Konflik” dalam Begawan Muhammadiyah: Bunga Rampai Pidato Pengukuhan Guru Besar Tokoh Muhammadiyah, Jakarta: PSAP Muhammadiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar