19 Februari 2013

Kedaulatan KAMMI




*****

GambarSetiap gerakan politik di mahasiswa selalau diisi perdebatan tentang independensi. Tema itu selalu tak terhindarkan. Bahkan tak terpecahkan. Termasuk di tubuh organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Tak perlu dibantah gerakan ini lahir dari sekelompok orang yang selanjutnya mendirikan salah satu partai politik islam. Ruginya buat KAMMI, partai itu lalu menjadi induk semang kelompok orang-orang ini.

Tapi mujurnya KAMMI tak diakui secara legal formal sebagai anak, sebagai underbouw, apalagi mitra. Ini menguntungkan kammi, seharusnya. Namun ternyata tidak. Begitu pilihan politik yang dijatuhkan kammi berbeda dengan partai politik ini, mulailah hubungan ini diartikulasikan dengan terburu-buru dan merugikan kammi. Saya katakan rugi di kammi tapi belum tentu menguntungkan di partai itu.


Apa yang rugi bagi KAMMI? Kesolidan KAMMI secara organisasi tak pernah ada seutuhnya. Hanya karbitan. Kaderisasi KAMMI atau kader-kader KAMMI merasa solid bukan karena daurah marhalah (pengkaderan) satu dan seterusnya. Namun karena mereka, kader kammi, sebelumnya telah terikat dalam kelompok mengaji (baca: liqoat), atau setelah direkrut kammi diminta mengaji (liqo’). Mereka mengaji dari seorang guru atau murabbi yang jelas statusnya di partai induk semang itu. Jadi bisa dikatakan kesolidan organisasi kammi yang digembor-gemborkan oleh pengurus KAMMI di buku ‘Gerakan Perlawanan Dari Masjid Kampus’, atau di beberapa buku lainnya, jelas bukan karena kerja organisasi, namun kerja partai. (Mungkin) Ini yang membuat partai merasa punya hak menentukan arah kammi.

Bagaimanapun juga, keorganisasian KAMMI selama ini telah berjalan. Tanpa bimbingan. Juga tanpa sokongan dana yang berarti oleh partai. Lahirnya konsep kaderisasi KAMMI saat ini murni berasal dari kader kammi, bukan penjelmaan atau adopsi. Dalam materi-materi keorganisasian KAMMI juga tak berbeda dengan gerakan mahasiswa lainnya, menyelipkan doktrinasi tentang kemerdekaan, tentang independensi, dan tentang kekritisan.

Tapi yang baru berlalu tiga tahun silam ada yang melenceng. Muktamar Luar Biasa kedua dalam lintas sejarah KAMMI. Muktamar yang benar-benar luar biasa melencengnya. Bukan nilai kemerdekan yang menjadi pisau menguliti siapa penggerak MLB, siapa mendanai MLB. Bukan itu yang penting. Ini lebih dari itu. Selama tiga kali proses kaderisasi, anak-anak KAMMI dicekoki dengan kepemimpinan, kekritisan, dan kejujuran. Namun, MLB ini mencabik-cabik nilai-nilai itu. Begitu tertunduknya muka-muka yang selama ini garang di depan podium, meneriakkan kejujuran. Diam, karena partai itu menginginkan MLB, tanpa kritik, tanpa interupsi, titik.

Dimana jiwa kejujuran KAMMI melawan arogansi partai atas nama dakwah dan kesolidan itu? Dimana keteguhan perlawanan melawan orang tua yang berperilaku ingin menang sendiri atas nama kesolidan kelompok (baca: “jamaah”) itu? Begitu banyak tuduhan yang tak pernah benar logikanya dijatuhkan kepada mereka penentang MLB. Tidak legowo. Tidak ikhlas, Tidak mementingkan organisasi.

Akan tetapi, mengapa mereka yang merongrong kepengurusan lama, yang dijatuhkan MLB, tidak dituduh tidak ikhlas, tidak legowo? Mengapa tidak satu logika menghukumi kasus yang sama? Jawabnya sederhana: karena ini semua soal keberpihakan. Keberpihakan KAMMI terhadap A, B, atau C, tetap sama. Berpihak. Yang seharusnya membedakan dari semua hal itu adalah bagaimana proses KAMMI berpihak kepada A, B, atau C dan mengapa pilihan berpihak itu ia putuskan.

Begitu pula, Muktamar dengan bergelimangnya uang atau tidak, itu tidak penting. Sama saja. Mau Muktamar didanai SBY Rp 400 juta, atau Prabowo 100 juta, atau PKS 1 juta, itu tidak penting. Akan tetapi, proses Muktamar yang jauh lebih penting: apakah selama ini perhelatan dua-tahunan KAMMI di tingkat nasional tetap membuat kammi menomersatukan dan menjalankan nilai-nilai tadi atau tidak? Jadi bagi para penentang MLB, tidak terlalu penting oleh siapa MLB didanai. Apakah benar gedung tempat MLB disewa atas nama mantan ketua KAMMI yang sekarang duduk di pengurus teras salah satu partai, itu tidak penting. Yang terpenting benarkah MLB itu lahir atas keinginan kader kammi di komisariat.

Ambil contoh KAMMI Daerah Yogyakarta. Mereka adalah salah satu KAMMI Daerah yang mengeluarkan mosi tidak percaya kepada KAMMI Pusat. Namun, setelah saya konfirmasi ke Ketua Bidang Kebijakan Publik, ternyata mosi itu tak pernah dirapatkan secara organisasi. Ini baru Yogyakarta, belum KAMMI Daerah lainnya.

Sebenarnya, tak ada yang salah dengan berbagai kepentingan yang berada di KAMMI. Termasuk pula kepentingan partai di KAMMI. Asalkan bermain secara jantan, itu sah. Kader KAMMI yang membawa kepentingan apapun perlu menghargai kedaulatan organisasi.

Jadi tidak terlalu penting gontok-gontokan yang lalu, dengan mempersoalkan apakah KAMMI mendukung SBY, Mega, atau Jusuf Kalla. Mendukung salah satu tak ada nilai lebihnya dibandingkan jika memilih yang lainnya. Namanya tetap sama: memilih dan berpihak. Yang membedakan adalah bagaimana proses jatuhnya keberpihakan tersebut. Di sanalah kedaulatan KAMMI diuji. Diuji oleh sejarahnya, diuji oleh alumninya, dan diuji pula oleh uang yang akan sampai kepadanya.

Maka, dengan terancamnya kedaulatan KAMMI pasca-MLB ini, yang beberapa kali terjadi di KAMMI selama 10 tahun ini, perlu ada gerakan membangun kesadaran kedaulatan ini. Gerakan ini kami beri nama Daulat KAMMI. Daulat adalah sebuah gerakan dalam tubuh kammi. Ia membangun, bekerjasama, bahkan berkompetisi dengan kader KAMMI yang benar-benar ingin kammi di bawah partai tertentu. Tetapi Daulat tak berkeinginan memberangus kader KAMMI yang seperti itu. Biarkan itu menjadi dinamika organisasi dan berjalan secara alami. Karena Daulat yakin fatsoen KAMMI berada pada kemerdekaan atas berbagai kepentingan. Dan fatsoen politik negeri ini menghargai itu. Maka kedaulatan menjadi pilihan paling moralis, bagi kami.

Selamat Bekerja saudaraku Daulat KAMMI. Tuntaskan perjuangan kita selama ini.

*) Penulis adalah Ketua KAMMI Komisariat UGM 2004-2006 dan Anggota MPP KAMMI 2011-2013. sekarang bekerja sebagai Jurnalis di Tempo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar