25 Februari 2013

Nurani Kami

Oleh: Fahri Hamzah, SE *)
GambarMUNGKIN, pertanyaan yang paling sering menghantui banyak pihak sekarang, terutama pejabat dan aparat negara adalah pertanyaan di seputar aksi mahasiswa: kapan mereka berhenti, dan siapa yang berada di belakang mereka?
Sebenarnya, masih banyak tersimpan pertanyaan lain. Sebab, siapa yang menyangka bahwa mahasiswa yang telah didepolitisasi sedemikian rupa (selama dua dekade, red), tiba-tiba bangkit kembali, menjadi semacam gerakan politik yang mengancam eksistensi banyak pihak, khususnya penguasa?

****
PERTANYAAN yang pertama, kapan mahasiswa berhenti aksi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada dua jawaban: mudah dan tidak mudah. Mudah dari perspektif mahasiswa, karena masalahnya memang dibuat sederhana, yaitu jika pemerintah sudah berubah ke arah yang lebih baik (melakukan ‘reformasi total’), mahasiswa pasti berhenti. Mahasiswa angkatan kini (1998, red) lahir dalam sebuah era yang begitu cepat berubah, sehingga asumsi-asumsi lama tentang kehidupan berjungkir-balik dan seperti selalu sementara.
Situasi inilah yang memberikan pengaruh pada kesadaran bahwa berubah itu merupakan rutinitas. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Maka, mahasiswa menuntut segera (‘reformasi total’, red), karena dampak krisis sudah nyata di mana-mana. Krisis yang disebabkan oleh kesalahan pemerintah sudah tidak terbantah.
Selama Orde Baru, negara yang dibangun adalah negara yang berbasis pada hubungan-hubungan nepotistik. Sehingga, pelaku ekonomi dan politik tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tepat. Akhirnya, kekuasaan ekonomi dan politik memusat di tangan segelintir orang (oligarki), bahkan pada segelintir etnis dan pada segelintir tempat yang eksklusif.
Hal itulah yang memunculkan jarak yang terus menganga dan dipelihara sampai sekarang, melahirkan bangun ekonomi dan politik yang rapuh. Dalam sekejap mata perekonomian kita, misalnya, ambruk ditiup badai krisis yang melanda Asia. Hal ini sekali lagi menegaskan bahwa kita tidak berdiri di atas bangun fondasi ekonomi yang kokoh. Semua bagai fatamorgana, membangun ekonomi seperti berjudi.
Utang luar negeri kita membengkak, hampir mencapai US$ 140 Miliar. Hal ini belum termasuk uang yang dipinjam dari International Monetary Fund (IMF). Hutan kita dibakar, kekayaan buminya diangkut habis ke luar negeri. Sementara itu, anak negeri kita tetap mati kelaparan.
Bagaimana mahasiswa tidak harus bicara soal perubahan jika setelah 52 tahun kemerdekaan rakyat kita masih tetap melarat? Bagaimana mahasiswa tidak bicara soal perubahan jika setelah 32 tahun Orde Baru, yang kaya semakin ugal-ugalan dengan kekayaannya dan yang miskin semakin kehilangan ruang gerak?
Sistem politik kita menyimpan budaya feudal yang akut. Semua diarahkan hanya pada satu alternative. Rakyat seperti dilarang berbeda dan berinisiatif. Akhirnya, energi kreatif masyarakat habis ditelan sistem budaya yang monolitik. Kepemimpinan politik menjadi tabu untuk dibicarakan karena seolah-olah hanya miliki seseorang yang tak bisa diganggu gugat. Keinginan untuk mempersoalkan kepemimpinan monolitik dianggap sebagai makar yang dengan mudah diseret dan dimasukkan dalam hukuman (penjara).
Bagaimana mahasiswa tidak harus bicara perubahan jika penguasa memaksa kita untuk menerima segala hal tanpa reserve, tanpa boleh menolak dan berbeda pendapat? Bagaimana mahasiswa tidak harus bicara perubahan, jika wakil rakyat tidak punya kemampuan apa-apa untuk menggunakan kedaulatan yang kita berikan untuk menegur kekuasaan?
MPR/DPR, sebuah lembaga paling tinggi secara tidak berdaulat melakukan pengawasa kepada presiden dan kabinet, bahkan justru menjadi subordinat Presiden. Sebab, mayoritas anggotanya diangkat oleh Presiden. Bagaimana mahasiswa tidak harus bicara perubahan sistem politik jika secara leluasa eksekutif mendikte seluruh proses politik?
Akan tetapi, perubahan sepertinya akan sangat sulit bagi pemerintah, karena secara psikologis orang tua sudah terlalu banyak kepentingan. Prof Emil Salim alumni Kabinet Pembangunan V, mengutip sebuah kisah anak-anak di mana seorang anak kecil secara polos berteriak di depan raja bahwa raja sedang telanjang, pada saat orang-orang tua sedang memuja-muji pakaian kebesaran raja. Demikianlah, kepolosan mahasiswa dalam melihat realitas sesunggihnya.
Saya tidak setuju dengan pendapat Prof. Emil. Orang tua justru jangan sekali-kali ingin lari dari tugas reformasi. Sebab, kunci masalah justru terletak pada mereka. Saya tidak setuju dengan Prof. Emil karena seolah-olah semua orang tua itu tidak bersih dan semua mahasiswa suci.
Saya kira Prof. Emil keliru ketika kami sangat berharap hari ini lahir orang tua yang dengan bijaksana hadir di tengah kami untuk menjaga moral dan konsistensi kami. Harapan itu pernah jatuh kepada Prof, Emil. Akan tetapi, jika beliau membatasi diri sebagai orang yang punya kepentingan, berarti dalam hal ini saya keliru.
*****
MARI beranjak pada pertanyaan kedua: siapakah yang menunggangi aksi-aksi mahasiswa?
Saya kira Saudara Rama Pratama, Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia, benar ketika menjawab bahwa hati nuranilah yang menunggangi aksi-aksi mahasiswa. Mahasiswa  didera oleh perasaan bersalah dan malu melihat nasib bangsanya saat ini. Bangsa yang dibangun dengan tetes darah para syuhada dan diproklamirkan menjadi sebuah bangsa modern berlandaskan nilai-nilai agama dan moral, akhirnya berkembang menjadi negeri antah-berantah, tidak punya arah yang jelas, prestasinya sirna, dan mengalami kebangkrutan yang menyedihkan.
Negara kita tidak berkembang menjadi seperti yang dicita-citakan. Para penguasanya masih menyimpan borok yang kini telah berkembang menjadi bencana. Krisis yang sekarang berkembang dan mengarah kepada krisis total pada bidang moneter, ekonomi, sosial, politik, dan hukum, sebenarnya dimulai dari krisis moral. Singkat kata, kita terancam. Umur bangsa ini, jika tidak diselamatkan, akan berada pada skala hitungan yang semakin pendek.
Keadaan inilah yang menunggangi mahasiswa. Lalu, mereka melakukan aksi hingga akhirnya muncul KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). KAMMI lahir dengan kesadaran penuh bahwa negeri kita butuh terobosan-terobosan besar. Kita butuh reformasi total. Kita butuh momentum untuk membuka mata tentang semua kepalsuan yang berbaris mencari muka.
KAMMI dan mahasiswa tidak punya keinginan kecuali lahirnya sebuah negara yang berlandaskan moral, jujur, adil, dan demokratis. Penguasa dan aparat jangan memandang kami sebagai musuh. KAMMI tidak mencari perkara, tidak pula memancing di air keruh. Kehadiran KAMMI jelas: untuk menegur penguasa dengan berbagai cara yang kami bisa, dengan damai tanpa kerusuhan.
KAMMI sangat berkepentingan untuk tidak menciptakan kerusuhan. Kami sadar, masyarakat sudah cukup sengsara untuk dirusuh. Oleh karena itu, KAMMI memfasilitasi sarana yang damai. Kalau kami tidak menegur penguasa dan masyarakat tidak merasa didengar, lalu saluran damai itu tersumbat, yakinlah, suatu hari jam tubuh masyarakat yang akan berbicara.
Jika tuntutan perut sudah menjadi amarah dan menyebar seperti bara api di tengah-tengah kota, nasi akan menjadi bubur. ‘Perang saudara’ takkan bisa terhindarkan. Dan KAMMI berlindung kepada Allah dari hal semacam itu.
*) Ketua Umum KAMMI dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia. Sekarang Anggota DPR-RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar