5 Maret 2013

KAMMI dalam Pergulatan Politik Kampus

Catatan atas Milad KAMMI ke-10. sebelumnya dimuat via http://catatankuliahcanberra.blogspot.com/2008/02/kammi-dalam-pergulatan-poltik-kampus.html

Oleh: Budi Kurniawan, SIP, MPP *)

GambarSebagai organisasi mahasiswa termuda KAMMI adalah sebuah fenomena, KAMMI memiliki peran penting dalam setiap perubahan di negeri ini. KAMMI selalu berada di garis depan di setiap perubahan. Kelahiran KAMMI pada tanggal 29 April 1998 sebulan sebelum reformasi 1998 adalah sebuah momentum gerakan mahasiswa yang tercatat manis dalam tinta sejarah, abadi seperti kepalan tangan yang dikalungi bunga pada simbol KAMMI. Waktu itu, KAMMI adalah forum yang bisa menyatukan semua elemen komunitas Lembaga Dakwah Kampus, sebuah komunitas kampus yang lahir sebagai akibat kooptasi negara dengan kebijakan NKK/BKK.

Kiprah KAMMI tidak hanya terlepas pada reformasi 1998, KAMMI juga menjadi eleman mahasiswa penting dalam menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid, dan sampai saat ini nama KAMMI masih tetap eksis dan tetap diakui sebagai organisasi eksta kampus yang solid dan paling besar di negeri ini.


Kini satu dekade sudah KAMMI hadir di negeri ini, ada banyak masalah yang menimpanya sebagaimana lumrah menimpa sebuah organisasi. Saya mencatat ada beberapa fenomena yang menyertai KAMMI dalam usianya yang kedelapan.

Pertama, KAMMI cepat besar tetapi KAMMI juga cepat meredup seiring dengan semakin besarnya “wasilah dakwah” lain. Kedua, di level kampus KAMMI kehilangan kaki berpijak dan kehilangan tangan untuk bertindak karena ranah geraknya yang semakin dibatasi oleh LDK dalam ranah keislaman dan BEM dalam ranah politik kampus Ketiga,.KAMMI tidak pernah dapat lepas dari logika gerakan massa ke gerakan intelektual.

Metamorfosis KAMMI

Cepat Besarnya KAMMI memang agak berbeda dengan organisasi ekstra kampus yang lainnya. Jika HMI muncul sebagai anak kandung dari Masyumi karena ia muncul setalah Masyumi berdiri. Hal serupa juga dialami oleh GMNI yang dilahirkan oleh PNI dan PMII yang juga dilahirkan oleh NU. KAMMI lahir sebelum lahirnya Partai politik yang saat ini selalu membayanginya. Sebagai basis dari kaum new-Santri, KAMMI adalah alat politik kaum new-santri dalam reformasi 1998 sebelum alat politik formal seperti partai politik lahir. Ketika berdiri partai politik yang menampung aspirasi dan menjadi alat politik kaum new-santri maka KAMMI pun melemah. KAMMI tidak lagi menjadi alat satu-satunya, Ia kalah besar bila dibandingkan dengan partai. Titik lemah KAMMI semakin menurun ketika partainya New-Santri mampu menjadi partai besar dan diperhitungkan dalam kancah politik nasional. Yang membuat KAMMI semakin susah bernapas setelah partai itu dianggap lebih efektif dijadikan wasilah dakwah dalam merubah kebijakan publik ketimbang KAMMI.

Tesis diatas dapat kita lihat dan ukur relevansinya ketika melihat trend yang terjadi di KAMMI. Setidaknya ada tiga momentum Transformasi KAMMI, Pertama, era di awal berdirinya KAMMI yaitu era metamorfosis dari FSLDK ke KAMMI.[1] KAMMI begitu fenomenal di era tahun 1998-1999 ketika ia menjadi satu-satunya alat politik kaum new-santri.Fahri Hamzah dan Amien Rais adalah duet antara intelektual dan Mahasiswa yang bahu membahu menurunkan rezim fasis orde baru. Kurun waktu ini juga mencatat masih sedikit BEM yang dikuasai oleh kaum new-santri.

Kedua, era di mana munculnya Partai-partai dan mulai terhijaunya kampus-kampus sekuler di Indonesia.. Era ini berlangsung dari tahun 2000-2004, era ini KAMMI mulai meredup dan mencoba mereposisi dirinya sendiri. Era ini KAMMI kehilangan pijakannya di ranah politik Nasional karena semakin besarnya partai politik kaum new-santri dan di level kampus KAMMI yang sudah terlanjur politis terpaksa harus menjaga jarak dengan LDK dan tidak punya pijakan di ranah politik kampus yang terlanjur sudah menjadi ranah aktivitas BEM. Pada era ini KAMMI sempat berperan ketika menjadi parlemen jalanan dalam menjatuhkan Presiden Wahid berkoloberasi dengan partai-partai di parlemen sungguhan yang mempunyai kepentingan untuk merebut kekuasaan dari tangan Gus Dur.

Ketiga, Era pasca pemilu 2004, era ini KAMMI semakin tenggelam. KAMMI mengalami kelesuan di Kampus besar seperti UI,ITB dan UGM. Namun di luar Jawa KAMMI masih menggeliat. Era ini KAMMI semakin terpotong kaki dan tangannya baik di ranah politik nasional sebagai organisasi mahasiswa dan juga di ranah politik kampus. Saat ini para kader kampus New-Santri lebih memilih beraktivitas di Partai dari DPRa hingga DPP ketimbang di KAMMI. Kondisi ini sangat berbeda di awal berdirinya dimana setiap kader dakwah kampus pasti anggota KAMMI dan menyokong dengan penuh KAMMI.

Menjadi Organisasi Intelektual? (Sebuah Tawaran)
Ketika penulis masih aktif di KAMMI, penulis sempat mengkonsep tentang tawaran KAMMI jogja tentang kader siyasi. Kondisi saat itu adalah kondisi dimana KAMMI sedang mencari jati diri baru menyesuaikan dengan perubahan politik nasional dan perubahan di kampus. Konsep ini adalah konsep yang lahir dari kegelisahan dari semakin sempitnya ranah bermain KAMMI. Sampai saat ini penulis tentap konsisten berpendapat bahwa KAMMI harus mempunyai peran lebih dalam ranah intelektual. KAMMI harus berubah dari organisasi aksi ke organisasi intelektual. Sudah saatnya kader KAMMI membaca banyak buku, berdiskusi dan menulis. Masalah intelektual adalah masalah klasik di KAMMI. Rendahnya iklim ilmiah dan intelektual di KAMMI harus segera diperbaiki. Ini bisa diawali dari cara pengkaderannya. Selama ini pengkaderan di KAMMI mirip seperti pengajian. Tidak pernah ada rangsangan intelektual dan pola pengkaderan kritis yang membuat kader terpacu untuk terus membaca dan mengembangkan intelektualnya.

Permasalahan citra eksklusifitas di KAMMI dalam simbol jenggot di kader ikhwan dan Jilbab lebar di kader akhwat menurut penulis bukanlah masalah jika kader KAMMI tidak eksklusif (baca:jumud) di alam intelektualnya. Kesan eksklusif itu akan hilang dengan sendirinya jika kader KAMMI tidak jumud dalam pemikiran dan intelektualitas. Kader KAMMI sudah memiliki keunggulan dalam akhlak, loyalitas, dan solid dalam gerakan, tentu semakin indah tentunya jika dilengkapi dengan intelektual yang mumpuni dan inklusif, saya pernah mencoba dan berhasil.

Wallahu’alam bis showab

*) Aktivis KAMMI Daerah Jogjakarta 2000-2005 dan Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP UNILA. Baru menyelesaikan Master of Public Policy dari Australian National University, Canberra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar