6 Maret 2013

Membebaskan KAMMI dari Perangkap Desentralisasi

Sebelumnya dimuat di Milis KAMMI

Oleh Andri Tri Kuncoro *)

GambarKAMMI—dan juga elemen pro-demokrasi lainnya—mungkin tidak pernah berhitung dengan cermat atas tuntutan otonomi daerah yang seluas-luasnya yang mereka masukkan dalam agenda reformasi (Sidiq,2003). Bisa dipahami, bila tuntutan itu dilatarbelakangi oleh penolakan mereka terhadap pemerintahan sentralistik yang selama ini memasung prakarsa daerah dalam membangun daerahnya berdasarkan potensi dan kearifan lokal (local value) yang mereka miliki.

Banyak sekali literatur yang menyebut otonomi daerah sebagai kewenangan daerah untuk mengelola "rumah tangganya" sendiri secara administratif maupun politik. Jarang sekali kita menanyakan, kepada siapakah pelimpahan wewenang (desentralisasi) tersebut diberikan? Pemerintah daerah atau masyarakat daerah? Jika pelimpahan wewenang hanya diberikan kepada pemerintahan daerah—dan faktanya ini yang terjadi—maka kita hanya memaknai otonomi daerah sekadar sebagai proses administratif.


Sementara itu, otonomi secara politik dengan dibukanya partisipasi masyarakat lokal dalam menentukan nasibnya sendiri sama sekali tidak tersentuh (Romli,2007). Maka, yang terjadi adalah pembajakan otonomi oleh pemerintah—atau lebih tepatnya elit—daerah (Hadiz, 2004).

Akibatnya di luar dugaan. Di banyak daerah otonomi menjadikan pemerintah daerah bebas berbuat semaunya. Bukan hanya menjadikannya kehilangan kontrol dari pemerintah pusat, tapi lebih jauh lagi tingkat penyelewengan  kekuasaan (KKN) terjadi lebih luas. Malah sebagian daerah secara ambisius membuat berbagai macam perda pajak daerah yang memungkinkan mereka untuk memeras habis rakyatnya. Fenomena ini sama persis dengan apa yang ditakutkan oleh kalangan Marxis, bahwa politik lokal (local politics) tak ubahnya sebagai negara lokal (local state). Negara bagi kelompok marxis tidah lebih sekedar instrumen bagi klas borjuis untuk menindas klas proletar. Dengan begitu, negara lokal hanya memiliki perbedaan dalam ukuran saja, sedangkan tabiatnya sama persis dengan negara nasional.

Belum cukup sampai di sini. Pembajakan otonomi oleh elit lokal menjadikan masyarakat daerah tak lebih sebagai penonton berbagai pertunjukan demokrasi. Penyelenggaraan pilkada yang dimaksudkan untuk memilih kepala daerah yang representatif dan berkualitas justru menjadi kontestasi elit-elit lokal. Lebih parah lagi, dengan memanfaatkan primordialisme, para elit lokal menggiring massa akar rumput turut dalam konflik politik dan kekerasan yang mengerikan.

Para pembajak otonomi ini oleh Hadiz (2005) disebut sebagai predator. Lalu siapakah sebenarnya mereka? Mereka adalah individu-individu dan kelompok-kelompok yang sebelumnya bertindak sebagai operator dan aparat lokal Orde Baru, para usahawan kecil/menengah dengan ambisi besar yang mempunyai koneksi politik, serta sekumpulan mantan kaki tangan rezim orde baru. Berbagai kepentingan predatoris lokal tersebut—yang dulu diasuh oleh sebuah rezim yang sangat otoriter dan kemudian runtuh—kini berkembang subur dalam sistem politik baru Indonesia yang lebih terdesentralisasi dan terdemokratiskan. Mereka menyadari bahwa lembaga-lembaga pemerintahan demokratis lokal, sekali direbut, dapat memberikan perlindungan yang diperlukan lagi kepentingan-kepentingan mereka yang sebelumnya memerlukan kontrol otoriter yang terorganisasi secara terpusat melalui aparat militer yang menindas. Mereka juga mengetahui bahwa politi uang dan kekerasan politik merupakan alat manjur untuk menjamin pengaruh kekuasaan mereka.

Berbagai kepentingan ini membentuk kembali diri mereka melalui alinsi-aliansi baru, baik secara nasional maupun lokal, dan merebut lembaga-lembaga demokrasi Indonesia untuk memajukan tujuan-tujuan predatoris mereka. Melalui kontrol atas parlemen dan partai politik, dan melaui aliansi-aliansi bisnis dan beragam instrumen kekerasan politik—yang merupakan percampuran antara kelompok-kelompok para militer dan organisasi-organisasi kejahatan/'kepemudaan'—mereka membangun berbagai jaringan patronase predator baru yang terdesentralisasi, yang bersaing satu sama lai, dan terkadang tumpang tindih. Singkatnya desentralisasi memungkinkan munculnya berbagai jaringan patronase yang lebih terlokalkan yang, berbeda dari masa Soeharto, relatif otonom dari otoritas pusat negara. Dampaknya, mereka yang memperjuangkan desentralisasi di Indonesia sebagai sebuah langkah menuju suatu jenis pemerintahan 'modern' teknokratis yang arif dengan serta-merta tersingkir.

Jika demikian, adakah yang salah dalam desain desentralisasi yang kita terapkan? Harus diakui, selama ini kita belum paham benar dari mana asal ide desentralisasi yang kemudian melahirkan otonomi daerah itu berasal. Kita selama ini menerimanya sebagai sebuah kewajaran politik—atau lebih tepatnya balas dendam—atas sistem sentralistik yang selama ini diterapkan pemerintah pusat. Tapi, tahukah kita dari mana konsep otonomi diperoleh dan kepentingan apa di baliknya ?

Kritik Hadiz (2005) tentang desentralisasi yang diterapkan di Indonesia adalah perspektif yang digunakan adalah Neo-institusionalis yang sebagian besar dihasilkan oleh organisasi-organisasi pembangunan, seperti Bank Dunia atau badan bantuan Amerika, USAID (United States Aids for International Development). Neo-institusionalis dapat didefinisikan sebagai sebuah aliran pemikiran pembangunan yang bermaksud menjelaskan sejarah, keberadaan, dan fungsi dari berbagai macam institusi (pemerintah, hokum, pasar, keluarga, dan sebagaianya) berdasarkan asumsi-asumsi teori ekonomi liberal yang ide dasarnya adalah meminimalkan peran negara dan memaksimalkan peran pasar.

Perspektif ini mengistimewakan aspek non politik (teknokratik), mengabaikan pertarungan di antara berbagai kepentingan yang bersaing, kekuasaan dan konflik dalam pembuatan kebijakan. Sejauh politik dilibatkan, ia hanya dilihat sebagai penyedia rangsangan awal ke arah desentralisasi, dan setelah tahap itu terlampaui, ia justru menjadi gangguan bagi pertimbangan teknokratik saat pilihan-pilihan kebijakan dilakukan.

Faktanya, keadaan-keadaan tertentu—seperti melemahnya lembaga-lembaga pemerintahan—justru memberikan keuntungan bagi kepentingan predatoris yang kuat, atau bahwa dengan desain desentralisasi tertentu mungkin lebih mencerminkan konstelasi kekuasaan tertentu ketimbang tujuan bersama yang diharapkan.

Sementara Itu, Bagaimana KAMMI?

Gerakan mahasiswa telah terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil yang berserakan. Bukan hanya disebabkan oleh perbedaan ideologi yang akhirnya mempengaruhi haluan politik mereka, namun juga karena dinamika politik lokal membuat isu elemen gerakan—bahkan dalam satu organisasi sekalipun, sebut saja KAMMI—menjadi terpecah. Jika sebelumnya Kamda mem-back up penyikapan-penyikapan pengurus pusat, maka kini mereka lebih memilih fokus pada isu-isu lokal. Alasan bahwa isu lokal lebih populis bagi masyarakat lokal memang bisa dibenarkan. Namun langkah ini membuat pengurus pusat kehilangan daya dorong untuk menyikapi isu nasional yang bersifat supra-struktural. Inilah dilema yang dialami pengurus pusat.  Otonomi daerah yang dahulu diperjuangkan tanpa disadari mengakibatkan struktur daerah menjadi otonom pula.

Di lain sisi, interaksi Kamda  yang semakin terbuka dan intens dengan elit lokal tidak bisa dipungkiri telah menyeret mereka dalam lingkaran politik praktis. Dari sekedar memberikan dukungan sampai terlibat—secara personal--dalam tim sukses calon kepala daerah. Pragmatisme yang mungkin selama ini (dituduhkan) hanya menjangkiti pengurus pusat, kini pun menjangkiti Kamda. Teman-teman daerah sudah begitu piawainya bertransaksi politik dengan elit-elit lokal. Menerapkan who gets what a la Laswell. Fenomena ini bisa kita sebut sebagai "desentralisasi pragmatisme"  KAMMI. Sampai tahap ini otonomi daerah telah memerangkap KAMMI.

Bebaskan dari Perangkap!

Kalaupun toh otonomi daerah telah memecah konsentrasi isu gerakan KAMMI, maka sebenarnya desentralisasi isu itu turut pula mengeksiskan peran gerakan mahasiswa di daerah. Betapa banyak gerakan mahasiswa di daerah yang konsen terhadap isu lokal yang tak kalah pentingnya seperti korupsi, penganggaran pro-rakyat miskin (pro-poor budgeting), advokasi masyarakat lokal, dan konservasi sumber daya di daerah. Sebab, memfokuskan pada isu-isu nasional, pada dasarnya hanya mengakibatkan gerakan mahasiswa di daerah kehilangan akar dan konteks. Di samping jauhnya jarak ke pusat kekuasaan mengakibatkan penyikapan isu nasional menjadi tidak efektif, dengan meninggalkan isu lokal menjadikan perannya dalam penguatan demokrasi lokal menjadi bak jauh panggang dari api.

Langkah ini sebenarnya pernah pula diambil oleh gerakan mahasiswa tahun 1980-an, yang berbeda dengan era 1970-an. Mereka berkonsentrasi pada isu-isu lokal seperti advokasi terhadap rakyat miskin yang dipaksa meninggalkan tanah mereka, dan memprotes kasus-kasus lokal dalam hal korupsi dan kerusakan lingkungan (Uhlin, 1998)

Tidak bisa dihindari, desentralisasi pemerintahan harus dibarengi desentralisasi isu gerakan. Terdapat patahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang membuatnya bukan lagi sebagai pengontrol yang baik bagi pemerintah daerah.  Jika gerakan mahasiswa tetap ingin memperjuangkan  terciptanya keadilan di seluruh negeri maka kontrol yang dilakuan bukan hanya pada pemerintah pusat, namun juga pada pemerintahan daerah.

Lalu bagaimanakah gerakan pasca 1998 mampu mengawinkan strategi 1970-an yang bersifat nasional dan tahun 1980-an yang bersifat lokal ? Terlebih lagi, sebagaimana disebut Hadiz, para predator didikan Orde Baru itu semakin mengeksiskan diri di wilayah lokal. Setidaknya tiga langkah yang harus diambil untuk hal ini. Pertama, harus ada pembagian yang jelas antara KAMMI dan Kamda terutama dalam penyikapan isu. Harus dipertegas, isu-isu apa saja yang harus disikapi secara nasional, dan isu-isu apasaja yang menjadi wilayah Kamda. Jangan sampai Kamda mengambil alih isu nasional karena kelambanan KAMMI Pusat. Untuk itu, kedua, harus disepakati batasan-batasan yang jelas bagi keterlibatan KAMMI Pusat sekaligus Kamda dalam dinamika politik di wilayahnya. Bagi saya, membatasi peran KAMMI hanya pada wilayah penguatan masyarakat sipil menjadi pilihan terbaik. Keterlibatan KAMMI dalam politik transaksional saat Pemilu dan Pilkada hanya akan menghancurkan kredibilitas KAMMI sebagai gerakan sosial yang independen. Ketiga, dengan lapang dada dan penuh husnudzan, kita harus tetap memberikan wewenang kontrol antar struktur yang bersifat dua arah agar berbagai pelanggaran dan penyelewengan bisa diminimalisir. Namun, otoritas pemberian punishment harus tetap ditangan KAMMI Pusat, dan itu harus kita hormati dalam rangka soliditas organisasi dan gerakan.

Sepuluh tahun adalah waktu yang terlalu panjang untuk menyolidkan diri. Tapi, sepuluh tahun adalah waktu yang terlampau pendek untuk merubah orientasi. Selamat Milad ke-10 KAMMI!

Wallahu a'lam bish shawwab.

*) Penulis adalah Ketua Umum KAMMI Surabaya 2004-2006. Kini bekerja sebagai Widyaiswara di Kementerian Dalam Negeri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar