7 Maret 2013

Menghitung Kembali Peran Gerakan Mahasiswa

oleh: Edo Segara, SE

edosegarDinamika pergerakan mahasiswa memang selalu menarik untuk kita bahas dan kita diskusikan. Mengapa? Karena kemerdekaan Indonesia dari penjajahan tidak lepas dari perjuangan mahasiswa pula. Lahirnya gerakan pemuda dan mahasiswa bernama Budi Utomo turut membidani kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang pada beberapa hari lagi, tanggal 17 Agustus 2009 kita akan memperingatinya hari lahir kemerdekaan Indonesia yang ke-64. Kemerdekaan ini tentu tidak kita raih dengan mudah, sehingga kita tetap harus mempertahankannya.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan organisasi mahasiswa pertama. Mereka menyatakan organisasi ini independen terhadap partai Islam dan organisasi keagamaan besar Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Sebagai organisasi mahasiswa, HMI tidak bercorak politik melainkan suatu organisasi kader yang bersifat intelektual, walaupun dalam perang kemerdekaan, banyak diantara anggotanya, seperti Ahmad Tirtosudiro, melibatkan diri dalam perjuangan bersenjata.


Berkembangnya organisasi dan gerakan mahasiswa baru terus terjadi, ketika telah terbentuk basis sosial yang cukup luas. Setelah HMI, muncul organisasi-organisasi mahasiswa ekstra kampus yang mengikuti pola ideologis, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), yang berpaham nasionalisme, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (SGMI) yang berhaluan komunis, Pergerakan Mahasiswa Muslimin Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Perkumpulan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS), dan terakhir Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang lahir pada era reformasi tahun 1998.

Apa sesungguhnya peran Mahasiswa? Jack Newfield, pada waktu membahas fenomena gerakan mahasiswa '60-an, menyebut kelompok minoritas mahasiswa tersebut sebagai kelompok "a prophetic minority". Mahasiswa adalah kelompok minoritas dalam masyarakat bangsa. Bahkan para aktivis yang disebut kaum radikal baru itu hanyalah minoritas juga dalam populasi mahasiswa. Tetapi mereka memainkan peranan yang profetik. Mereka melihat jauh ke depan dan memikirkan apa yang tidak atau dipikirkan masyarakat umumnya. Dalam visi mereka, nampak suatu kesalahan mendasar dalam masyarakat dan mereka menginginkan sebuah perubahan.

Jika kita melihat keadaan gerakan mahasiswa saat ini sudah kehilangan pamor. Ditambah kondisi sebagian besar mahasiswa yang berfikir mengenai kesempatan kerja mereka sendiri dimasa depan yang tidak mudah diperoleh dan mungkin juga tidak menentu. Menghadapi masalah ini, mereka berfikir pragmatis dan berfikir apolitis. Apabila mereka berfikir pragmatis, maka mereka enggan melakukan kegiatan intelektual atau aksi sosial, baik didalam, apalagi diluar kampus.

Kondisi gerakan mahasiswa saat ini sudah diprediksi jauh-jauh hari oleh Denny JA. Dalam bukunya "Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an", bahwa gerakan mahasiswa akan berakhir ketika sistem politik dalam negeri dibuat semakin terlembaga dengan mekanisme kontrol yang berjalan dengan baik. Kontrol tersebut dilakukan baik melalui kontrol internal oleh sesama lembaga resmi, maupun kontrol eksternal oleh berbagai kekuatan masyarakat seperti pers.

Dalam sistem yang terlembaga di atas, gerakan mahasiswa niscaya kehilangan konteksnya. Jika konteks itu hilang, sekeras apapun doktrin politik yang dilakukan untuk membangkitkan gerakan mahasiswa, gerakan mahasiwa pun hanya akan mengambang. Fungsi kritik sosial sudah diambil oleh DPR, Pers, LSM-LSM yang memonitor kinerja pemerintah seperti: Indonesian Corruption Watch (ICW), Koalisi Anti Utang (KAU) dll.

Lalu peran apa yang harus diambil ketika gerakan mahasiswa tidak lagi menjadi penentu? Kita perlu elaborasi lebih dalam.

Rekonstruksi Gagasan Reformasi

Menyadari peralihan kekuasaan dari Soeharto kepada Habibie menandai dimulainya masa transisi menuju demokrasi, dan sepanjang proses itu harus ada kejelasan agenda reformasi dan indikator pencapaiannya, Gerakan mahasiswa kemudai merumuskan visi reformasi. Visi reformasi ini merupakan kondisi-kondisi ideal yang ingin diperjuangkan mahasiswa untuk dilaksanakan oleh pemerintahan yang berkuasa. Pada saat yang sama visi ini menjadi indikator kritis untuk menilai apakah proses reformasi telah berjalan efektif atau tidak.

Setelah dirumuskan, indikator-indikator utama itu kemudian diberi nama Enam Visi Reformasi, karena berisi enam poin pandangan gerakan mahasiswa era Reformasi tentang kondisi yang harus dicapai dalam proses reformasi berlangsung. Keenam visi reformasi itu adalah:

Pertama, Penegakkan supremasi hukum, dengan tuntutan pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto dan Pertanggungjawaban Golkar. Kedua, Pemberantasan budaya KKN, dengan menciptakan pemerintahan yang bersih dan menuntut pengembalian harta negara yang dikorupsi oleh mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya. Ketiga, Amandemen UUD 1945, dengan fokus penciptaan sistem bernegara yang demokratis dan bertanggungjawab. Keempat, Pencabutan Dwi Fungsi ABRI, diantaranya dengan mencabut keberadaan anggota ABRI yang diangkat di DPR/MPR dan keberadaan militer aktif di birokrasi pemerintahan. Kelima, Otonomi Daerah yang seluas-luasnya, yang akan menjamin pemerataan proses pembangunan dan kesejahteraan rakyat secara adil. Keenam, Penegakan budaya demokrasi yang rasional dan egaliter, yang jauh dari budaya paternalistik dan berbagai sentimen primordial.

Dari keenam Visi Reformasi nampaknya perlu kita evalusi satu-persatu apakah keenam visi diatas sudah dilaksanakan oleh pemerintahan saat ini (red. SBY-JK). Pertama, mengenai penegakan supremasi hukum kita maknai sebagai penegakan hukum dalam arti luas, bagaimana pemerintah menghormati ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam praktik penyelenggaraan negara. Kita melihat bagaimana SBY tidak tegas terhadap mantan penguasa Orba, Soeharto yang akhirnya wafat tanpa dieksekusi sedikitpun bahkan oleh Negara akan diberi gelar sebagai Pahlawan. Pemutus pemberian release dan discharge kepada pengemplang dana BLBI, Mantan Presiden Ibu Megawati juga dibiarkan saja oleh SBY bahkan saat ini kasus BLBI tidak jelas arah penyelesainnya.

Kedua, pemberantasan budaya KKN dalam pemerintahan masih belum berjalan efektif. Meskipun sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun belakangan ini lembaga ini dikerdilkan oleh pihak-pihak yang korup. Ketua KPK bahkan ditahan oleh pihak Kepolisian karena tuduhan pembunuhan dan cinta segitiga. Kita juga melihat dengan jelas persidangan besan SBY, Aulia Pohan terkesan bertele-tele yang telah didakwa bersalah dalam kasus penyaluran dana BI ke angota-anggota DPR. Bahkan Mantan Gubernur Bank Indonesia, Miranda Goeltom tidak tersentuh sama sekali.

Ketiga, Amandemen UUD 1945 selama era reformasi telah dilakukan empat kali perubahan UUD 1945. Meskipun telah dilakukan perubahan `mendasar' terhadap beberapa struktur ketatanegaraan, amandemen yang dilakukan masih jauh dari upaya menciptakan mekanisme checks and balances dalam penyelenggaraan negara. Bahkan kalau mau jujur, hasil perubahan UUD 1945 sangat bias kepentingan partai politik dan kepentingan politik DPR.

Keempat, pencabutan Dwi Fungsi ABRI sudah dilakukan. Saat ini bahkan dilakukan pemisahan institusi TNI dan Polri. Setelah Polri memisahkan diri dari bayang-bayang TNI, lembaga ini cukup moncer dalam melakukan banyak penyidikan. Namun sayang usaha keras dari Polri kadang pupus oleh pihak Kejaksaan yang masih korup. Banyak terdakwa kasus bersalah dilepaskan oleh pihak Kejaksaan. Kita lihat pelaku pelanggaran HAM, Muchdi PR dilepaskan saja oleh pihak Kejaksaan.

Kelima, penerapan Otonomi Daerah (Otda) yang seluas-luasnya dewasa ini sudah dilaksanakan. Namun justru banyak kendala yang kita rasakan dalam penerapan Otda ini. Semisal biaya pendidikan perguruan tinggi yang semakin mahal pasca penerapan otonomi daerah. Munculnya Raja-raja kecil daerah yang sulit dikendalikan oleh Pemerintahan Pusat. Bahkan saat ini ada upaya bahkan untuk mengembalikan hubungan pusat dan daerah menjadi hubungan yang sentralistik seperti dahulu karena perkembangan politik yang terjadi di daerah semakin sulit dikontrol. Artinya visi yang kelima ini memang perlu kita evaluasi kembali.

Keenam, penegakan demokrasi yang egaliter masih jauh dari harapan kita. Penerapan UU ITE bahkan menggangu kita sebagai manusia yang hidup dalam alam demokrasi. Hasil Penyelenggaraan Pemilu juga sangat buruk oleh pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), dll. Dari evaluasi keenam visi ini, saya menyakini bahwa masih ada peluang bagi mahasiswa untuk menghidupkan kembali semangat reformasi bahkan merekonstruksinya kembali visi-visi yang tidak relevan pada kehidupan berpolitik saat ini.

Nilai Perjuangan Gerakan Mahasiswa

Generasi muda mahasiswa saat ini menghadapi dua tantangan besar. Pertama, menghadapi implikasi proses globalisasi ekonomi, politik dan kultural yang berasal dari negara-negara industri maju. Dengan kata lain, generasi muda mahasiswa harus mampu membawa bangsanya ke dalam proses integrasi masyarakat internasional. Ini menyangkut kemampuan bangsa Indonesia secara teknis profesional dalam berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, adalah tantangan yang menyangkut proses demokratisasi, dari segi ekonomi, sosio-kultural dan politis. Tantangan terakhir ini tidak hanya merupakan masalah etis-politis, tetapi juga teknis profesional.

Dawan Rahardjo berpesan dalam kata pengantarnya dibuku Denny JA. "Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an", ada beberapa alternatif peran para lulusan mahasiswa. Pertama, adalah memasuki birokrasi pemerintahan yang pada masa mendatang akan tetap berkembang, baik kualitatif maupun kuantitatif, terutama dalam memperkuat birokrasi pemerintahan Daerah. Peranan profetik generasi muda mahasiswa adalah, bagaimana menciptakan sebuah birokrasi yang bersih dan berorientasi pada rakyat kecil serta humanistis.

Kedua, terjun ke dalam teknostruktur korporasi besar yang menjanjikan karier sebagai manager dan golongan profesional. Disini, peran mahasiswa bisa bersifat profetik, yakni dalam menjelmakan suatu revolusi manajerial, dimana kaum manager dan profesional mengambil-alih tampuk pimpinan korporasi besar dari para pemilik modal dan mengembangkan di dalamnya kultur korporasi yang memiliki tanggung jawab sosial.

Ketiga, adalah terjun ke dalam masyarakat di luar birokrasi dan teknostruktur. Mereka memimpin masyarakat atau menjadi wiraswasta yang inovatif, yang mengembangkan kemampuan produktif dan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Dewasa ini pemikiran ke arah tiga perspektif tersebut diatas sudah ada ditangan "generasi Wahidin". Generasi muda Mahasiswa mungkin hanya bisa merasakan persoalan-persoalan dan tantangan-tantangan itu dan mungkin pula hanya mendapatkan gambaran yang kabur mengenai bagaimana pemecahannya. Sementara itu, generasi senior yang sudah berfikir dan bahkan bertindak dan merintis, mungkin merasakan hambatan-hambatan yang bersifat struktural dan kompleks. Mereka merasa tidak mampu untuk melakukan dobrakan.

Generasi senior mungkin mengharapkan dari generasi muda lahirnya Sutomo baru yang berwibawa, Soekarno baru yang komunikatif, Suwardi dan Tjipto baru yang berani bertindak. Apakah generasi muda ini akan lahir sebelum abad 21 ini atau menanti genap satu abad Kebangkitan Nasional yang pertama?

Wallahua'lam

*) Ketua Bidang Humas KAMMI DIY 2004-2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar