8 Maret 2013

Pos-Islamisme: Kekuatan atau Pelemahan?











Banjarmasin Post, 9 Maret 2013


















maruDALAM perbincangan tentang gerakan-gerakan Islam di Timur Tengah, ada istilah yang kerap muncul: “Post-Islamisme”. Istilah ini merujuk pada pergeseran wacana dalam gerakan Islam yang tidak lagi hanya menyuarakan ‘negara Islam’ tetapi juga HAM, demokrasi, hak perempuan, bahkan juga ekonomi dengan nafas Islami.



Dari mana istilah Post-Islamisme muncul?

Olivier Roy (1999) pertama kali menulis bahwa ada sebuah tren ‘moderasi’ dalam gerakan-gerakan Islam yang ia sebut sebagai tren Post-Islamisme. Analisis Roy ini ditangkap dengan baik oleh Asif Bayat (2005) yang menemukan kecenderungan munculnya Post-Islamisme ini di dua negara: Iran & Mesir.


Dari sini gagasan Post-Islamisme mulai dibahas serius. Post-Islamisme yang ditangkap di Bayat di Mesir adalah terjadinya ‘moderasi’ di Ikhwanul Muslimin sebagai strategi mereka untuk menentang Hosni Mubarak. Bayat melihat Post-Islamisme sebagai ‘strategi kontra-hegemoni’ model Gramsci yang diterapkan Ikhwan untuk melawan rezim Mubarak.

Untuk menumbangkan Mubarak, pemikir Post-Islamis sadar bahwa revolusi menjadi tidak mungkin. Ia mengutip Issam Al-Erian, seorang pemimpin Ikhwan, “kita tidak perlu lagi negara Islam yang direbut secara revolusioner”.

Beberapa tokoh Post-Islamisme di Mesir bisa disebut seperti Abdul Mun’im Abul Futuh, Issam Al-Erian, Mohammad Habib, Ibrahim Al-Zafarani, Abul A’la El-Mady. Mereka terkenal sebagai tokoh-tokoh Ikhwan dengan pikiran-pikiran dan move-move progresif.

Pada 1996, gerakan Post-Islamisme mendobrak kebuntuan politik Mesir dengan mendirikan Partai Wasat. Partai ini dipimpin oleh Issam Sultan dan El-Madi. Sayangnya, move-move mereka dipandang terlalu progresif oleh kelompok konservatif di Ikhwan.

Setelah Partai Wasat dibentuk, beberapa saat kemudian Ikhwan mengeluarkan beberapa tokoh kuncinya. Kelompok konservatif masih berkuasa. Padahal, gagasan-gagasan segar Abul A’la El-Madi dan Issam Sultan itu penting untuk penyegaran di Ikhwan dan Mesir.

Kemudian, pada 2008, kelompok Post-Islamisme yang diwakili generasi muda membuat dobrakan lagi dengan menginisasi ‘Gerakan 6 April’ bersama jurnalis Ayman Nour. Kelompok ‘6 April’ di Mesir itu melakukan solidaritas atas pemogokan buruh di Mahallah El-Kubra . Mesir.

Gerakan 6 April itu menggegerkan Mesir karena menggunakan media yang tak lazim: internet. Aktivis-aktivisnya segera ditangkap. Namun, gerakan ini mampu menyulut protes yang keras dari masyarakat Mesir kepada rezim Mubarak.

Gerakan Post-Islamisme ‘6 April’ inilah yang jadi cikal bakal revolusi 2011 yang akhirnya menumbangkan Mubarak. Jadi, Mubarak jatuh bukan karena gerakan yang dibuat oleh Ikhwan, tapi justru diinisiasi oleh anak-anak muda kreatif ini. Setelah revolusi, gerakan 6 April Post-Islamisme kemudian mendeklarasikan Revolutionary Youth Council (RYC).

Tetapi, sayang sekali, ternyata orang-orang konservatif di Ikhwan juga masih tidak suka. Tokoh-tokoh pemuda (syabaab) Ikhwan Post-Islamisme di Gerakan 6 April segera dikeluarkan, seperti Muhammad Al-Qassas & Islam Lotfy. Mereka memilih untuk membuat partai baru.

Selain Gerakan 6 April, ada lagi satu catatan tentang Post-Islamisme di Mesir: Abdul Mun’im Abul Futuh. Sebelum 2011, Abul Futuh dikenal sebagai tokoh Post-Islamisme terkemuka di Mesir, yang membuka jembatan antara Ikhwan dan tokoh-tokoh oposisi lain.

Sebagai mantan aktivis mahasiswa utama tahun 1970-an, murid Umar Tilmisani serta Abbas As-Siisii, dan Ketua Perhimpunan Dokter, ia cukup disegani dengan gagasan-gagasan Post-Islamisme di dalam tubuh Ikhwanul Muslimin.

Pada pertengahan 2011, Abul Futuh mengeluarkan pernyataan kontroversial: ia ingin maju sebagai calon presiden Mesir. Tentu saja keinginan Abul Futuh itu berseberangan dengan sikap Ikhwan waktu itu. Akhirnya, Ikhwan mengeluarkan pernyataan resmi: Abul Futuh dikeluarkan karena bertindak di luar keputusan jama’ah.

Akan tetapi, sikap Abul Futuh itu menyulut ‘api’ yang terpendam sejak insiden Partai Wasat. Beberapa tokoh Post-Islamisme lain keluar, seperti Muhammad Habib, Ibrahim Al-Za’farani, Salah Abd Karim dan Haytham Abu Khalil. Mereka bukanlah orang baru di Ikhwan. Beberapa di antara mereka justru pernah duduk di pucuk pimpinan IM.

Cerita tentang gerakan post-Islamisme di Mesir ini menyiratkan satu hal: wawasan ini lambat laun  menjadi wacana yang dominan di tubuh gerakan-gerakan Islam. Tantangannya adalah menundukkan kaum konservatif yang masih bertahan dengan gagasan-gagasan ‘lama’.

Memang, hambatan utama Post-Islamisme di Ikhwanul Muslimin adalah masih kuatnya doktrin militerisme di Ikhwan, seperti qiyadah wal jundiyah atau tanzhim wal jama’ah. Doktrin-doktrin militeristik ini menyebabkan pemikiran progresif sulit berkembang di Ikhwan saat ini, kendati gagasan dasarnya sudah bersemai sejak era Mursyid ‘Am Umar Tilmisany.

Sekarang, masih ada beberapa pemikir Post-Islamisme yang masih tersisa di Ikhwan. Essam Al-Erian baru saja kalah dalam pemilihan Presiden FJP melawan Saad El-Katatny. Sementara itu, Al-Beltagy agak terkucil gara-gara sering mengkritik kebijakan Syuro IM.

Cerita berbeda terjadi di negara lain . Di Turki, Post-Islamisme Post-Islamisme AKP berhasil mendobrak hegemoni Kemalisme dan mencatatkan kemenangan Islamis dalam Pemilu. Di Tunisia, Rachid Ghannouchi dengan ide Post-Islamisme menjadi tokoh kunci.

Di Aljazair hampir sama dengan Mesir. Salah satu tokohnya, Omar Ghoul, keluar dan membuat partai baru. Di Malaysia, Post-Islamisme Anwar Ibrahim masih berjuang dengan PKR, menghadapi rezim UMNO. Di sana ada partai Islamis lain: PAS yang lebih konservatif.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Fenomena PKS tahun 2013 mencerminkan bahwa sudah saatnya ada penyegaran dalam tubuh gerakan Islam. Dalam tubuh gerakan mahasiswa seperti KAMMI, kecenderungan ‘bergantung’ dengan partai inangnya masih juga cukup kuat.

Padahal, dalam konteks gerakan mahasiswa, perlu ada independensi agar gerakan-gerakan mahasiswa seperti KAMMI bisa melahirkan gagasan-gagasan segar bagi gerakan Islam maupun format politik kebangsaan pada umumnya.

Ada beberapa syarat untuk menghadirkan wacana Post-Islamisme di Indonesia. Pertama, diskursus intelektual harus eksis. perdebatan tak boleh ditutup dengan alasan ‘jamaah’. Kedua, perlu dimunculkan generasi intelektual baru dari gerakan-gerakan Islam. Ketiga, wajah gerakan Islam tak boleh tunggal, perbedaan dan ruang-ruang ijtihad perlu dibuka.

Jadi, gerakan Islam bukan sekadar pengorganisasian politik, tetapi juga pengorganisasian pengetahuan. Belajarlah dari Mesir, Turki, Tunisia, Malaysia, atau Aljazair tentang Post-Islamisme. (*) 

*) Aktivis KAMMI DIY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar